Sabtu, 03 Mei 2008

hanung bramantyo: "film islam itu media dakwah bagi sutradara"

majalah hidayah edisi 81 mei 2008
oleh: n. mursidi

Setelah novel Ayat-ayat Cinta --karya Habiburrahman El-Shirazy—meraih sukses dan mengundang decak kagum para pembaca, kini film yang diangkat (baca: diadaptasi) dari novel tersebut kembali mengundang fenomena yang sama.

Tak tanggung-tanggung, film yang disutradarai oleh sineas muda Hanung Bramantyo itu ternyata mampu menjerat sekitar tiga (3) juta penonton. Sebuah prestasi yang patut dicatat dalam sejarah film Indonesia karena selama ini nyaris film-film Indonesia hampir sepi dari penonton.

Kehadiran film Ayat-ayat Cinta bahkan sempat mengundang kalangan ibu-ibu pengajian yang selama ini tidak pernah “menginjakkan” kaki di gedung bioskop tidak merasa malu untuk menyaksikan film (bernuansa) Islami tersebut. Sebuah fenomena yang nyaris tidak terbayangkan oleh pembuat film Indonesia jika film bernuansa Islami ternyata bisa laku dan mampu mendatangkan jumlah penonton cukup sepektakuler.

Tentu saja, di balik kesuksesan film Ayat-ayat Cinta itu tak lepas dari kerja keras semua kru dan pembuat film tersebut yang telah berjuang sekuat tenaga. Salah satunya adalah sutradara Hanung Bramantyo. Ditemui di kantornya Dapur Film, di Jl AMD VIII No 40, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Hanung Baramantyo menerima kehadiran Hidayah dengan ramah untuk berbagi cerita di balik layar film Ayat-Ayat Cinta (ACC) dan perjalanan kariernya menjadi sutradara.

Di Balik Layar Film ACC
Satu hal yang patut dicatat kesuksesan Hanung mengadaptasi film Ayat-ayat Cinta tidak dapat ditepis merupakan perwujudakan dari mimpi terpendam yang sudah lama ingin diwujudkan. Pasalnya, sejak lama dia sudah “terobsesi” untuk membuat film bernapaskan Islam, tetapi kesempatan itu rupanya belum pernah mampir dan memihak kepadanya. Maka, ketika datang tawaran untuk membuat film Ayat-ayat Cinta, Hanung tidak menolak. Justru, dengan antusias dan idelaisme tinggi, dia berjuang keras supaya film itu selain bisa jadi hiburan dan alternatif di tengah film horor dan cinta romantis sekaligus jadi film tuntunan untuk mengenal Islam lebih jauh.

Hanung sadar, memang tak mudah untuk mengadaptasi novel menjadi sebuah film. Apalagi novel setebal sekitar 300 halaman harus diringkas menjadi sebuah cerita yang hanya bersurasi sekitar 2 jam. Karena itu, bagi Hanung, yang terpenting adalah menangkap “benang merah plot” dari novel untuk kemudian divisualisasikan dalam bentuk film. Pasalnya, novel dan film adalah dua hal yang berbeda. Film adalah bahasa visual dan novel itu bahasa tulis. “Saya mencoba membuat film Ayat-ayat Cinta itu realis, tetapi kenyataannya tidak bisa. Karena novel itu sendiri tidak realis. Novel itu dibangun dengan spirit dongeng,” kata sang sutradara Hanung Bramantyo.

Tak pelak jika datangnya tawaran itu merupakan sebuah tantangan bagi Hanung. Maka, dia pun mempersiapkan dengan matang. Ia harus riset ke Mesir, membaca buku-buku fiqh dan sunnah. Bahkan Hanung bisa dikata cukup hati-hati menggarap film tersebut untuk memenuhi tuntutan apa yang telah tertulis dalam novel agar tak melenceng, sehingga Hanung pun menggandeng ketua PP MuHammadiyah Din Syamsudin sebagai penasehat dan melibatkan Kang Abik --panggilan akrab Habiburahman El-Shirazy-- dan sejumlah mahasiswa dari Al-Azhar untuk memberi masukan.

Kerja keras Hanung dan semua pihak yang terlibat dalam pembuatan film ACC memang tidak sia-sia. Meski tidak sedikit yang mengkritik dan bahkan sinis terhadap film ACC, tapi kerja keras Hanung patut diacungi jempol. Apalagi mengingat tak sedikit kendala yang berhasil ditepis, setelah bertubi-tubi cobaan dan kendala datang silih berganti. Salah satunya adalah tak bisanya shooting di Mesir sebagaimana tuntutan setting novel Ayat-Ayat Cinta. Kendati demikian, kerja keras Hanung membuktikan film AAC telah meraih “sukses besar” karena mampu menarik jumlah penonton sekitar 3 juta orang.

Dari Keluarga Muhammadiyah
Setelah film Ayat-ayat Cinta “jadi”, kemudian diputar di bioskop bahkan meraih sukses, harapan Hanung untuk membuat film Islam sebagaimana pesan sang ibunda tercinta, praktis sudah terpenuhi. Pasalnya, beberapa tahun yang lalu tatkala Hanung hendak meninggalkan Yogyakarta untuk melanjutkan kuliah ke Jakarta, sang ibu sempat berpesan, “Kalau kamu sudah bisa membuat film, sekali-kali bikin film tentang agamamu!”

Pesan sang ibu itu, rupanya diingat betul oleh Hanung. Meski ketika itu ia sempat tersenyum ragu. “Saya tidak tahu, ibu punya maksud apa pada saat itu. Yang jelas, waktu itu saya sebagai anaknya kurang begitu mencitrakan Islam sebagai anak yang lahir dan besar di lingkungan muhammmadiyah. Mungkin ibu melihat perilaku saya yang nakal, karena waktu itu saya badung sekali,” ujar lelaki kelahiran Yogyakarta, 1 Oktober 1975 ini.

Lahir di Yogyakarta, pada 1 Oktober 1975 dari keluarga Muhammadiyah, Hanung pun dididik untuk dekat dengan agama (Islam). Selain di sekolahkan di sekolah Muhammadiyah, dari SD sampai SMU, sejak kecil Hanung tenyata sudah dikenalkan dengan bahasa Arab dan mengaji al-Qur`an.

“Keluarga saya keluarga muslim, keluarga muhammadiyah. Bapak saya bahkan ketua masjils ekonomi muhammadiyah. Ayah saya pun bergaul dengan ulama, kiai dan pemimpin Islam lainnya. Itu sedikit banyak mempengaruhi saya. Sejak kecil saya sudah disuruh mengaji dan dikenalkan dengan bahasa Arab. Bapak saya tidak ingin anak-anaknya tidak bisa mengaji,” jelasnya.

Tak salah, jika didikan orangtua itu memberikan ruang bagi Hanung kecil untuk dekat dengan agama Islam. Apalagi dari SD-SMU Hanung menimba ilmu di sekolah Muhammadiyah terus. Praktis, Hanung menganggap ia dibesarkan di keluarga yang dekat dengan Islam. Kendati demikian, Hanung tidak memungkiri kalau jiwanya memiliki bakat seni dan tertarik pada dunia peran. Maka, ia pun belajar seni peran dengan menceburkan diri bergabung di kelompok teater di kota Yogyakarta, seperti teater Gandrik, teater Jeprik, dan teater Alam.

Ketertarikan pada dunia seni itulah, yang kemudian mendorong Hanung berkeinginan untuk melanjutkan kuliah ke ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta setelah lulus SMU. Tetapi, harapan Hanung untuk bisa menimba seni peran di ISI jurusan teater, ternyata membentur tembok. Pasalnya, orangtua Hanung tidak memberi restu. Akhirnya, Hanung terpaksa kuliah di jurusan Ekonomi Universitas Islam Indonesia.

Tapi di jurusan Ekonomi itu Hanung tak menyelesaikannya dan kemudian lebih memilih mengembangkan ketertarikannnya pada seni peran sehingga dia belajar langsung pada Teguh Karya. Tetapi, Teguh Karya justru menyarankan Hanung untuk kuliah ke IKJ (institut Kesenian Jakarta) untuk mempelajari dunia film pada Jurusan Film pada Fakultas Film dan Televisi. “Jadi kuliah di fakultas ekonomi itu adalah pelarian saja. Karena tidak diijinkan kuliah di ISI, maka saya pilih ekonomi”, terang sutradara terbaik dalam Festival Film Indonesia 2005 lewat film Brownies ini ketika memutuskan untuk kuliah di IKJ.

Pilihan untuk kuliah di IJK itu, rupanya membuat sang ibu merasa khawatir sehingga sang ibu berpesan, jika suatu saat sudah bisa membuat film, Hanung diminta untuk membuat film tentang Islam.

“Mungkin di mata ibu, perilaku saya tak menceriminkan Islam. Saat masih SMU dan kuliah, memang saya masih labil. Maka ketika saya memutuskan untuk kuliah di IKJ dan diterima di sana, ibu saya mungkin khawatir tentang perilaku saya yang tak mencerimkan Islam ditambah pergaulan saya dengan seniman, sehingga ibu takut saya semakin jauh dari nilai-nilai islam. Karena itu, ibu saya berpesan ‘Jika nanti kamu sudah bisa bisa membuat film, buatlah film tentang agamamu!’.”

Akhirnya, setelah meninggalkan bangku kuliah Ekonomi Universitas Islam Indonesia, Hanung pun kuliah di IKJ dan sekaligus belajar langsung pada Teguh Karya. Pada waktu itu, sebenarnya Hanung tidak percaya sebuah institusi bisa membentuk orang menjadi seniman. Lantaran bagi Hanung, seorang seniman lahir karena dirinya sendiri, bukan dibentuk oleh institusi apalagi sekolah. Maka saat Hanung magang di tempat Teguh Karya dan belajar langsung darinya tentang bagaimana cara membuat film, tapi justru Teguh Karya menyarankan Hanung untuk kuliah di IKJ. Akhirnya, mau tidak mau, Hanung kuliah di IKJ.

Setelah belajar di IJK dan belajar langsung dari Teguh Karya, Hanung pun seperti mencecap dua mata rantai tentang dunia film dari sebuah institusi dan pengalaman real di lapangan. Dari IKJ itu Hanung mendapatkan teori tentang film, dan di tempat Teguh Karya, ia mendapatkan olah rasa dan pengalaman nyata di lapangan.

“Di tempat Teguh Karya itu, saya belajar rasa dan belajar berkomunikasi karena di teater popular itu sebuah sanggar bukan sebuah pena. Sementara di IKJ, saya belajar teori, bagaimana membuat film, bagaimana sejarah film, dan teknologi film. Saya belajar banyak di IKJ, tetapi IKJ hanya memberikan ruang buat saya untuk melakukan olah secara teknik dan keilmuan tapi secara rasa, saya bangun sendiri dari Teguh Karya juga persinggungan saya dengan teater-teater di Yogjakarta,“ terang seneas muda ini dengan senyum renyah.

Kendati demikian, bagi Hanung, Teguh Karya telah membangun mental dan olah rasanya semakin kuat. Apalagi di mata Hanung, Teguh Karya selalu menekankan pada darinya, bahwa ‘gurumu adalah dirimu sendiri’. Pesan dari Teguh Karya itu semakin memantapkan kemandirian Hanung yang yakin bahwa seorang manusia bisa lahir menjadi manusia besar bukan karena orang lain tapi karena dirinya sendiri. Jadi, di mata Hanung, seniman itu lahir bukan karena institusi, tetapi karena dirinya sendiri.

Karena itu, ketika Teguh Karya berpesan pada Hanung ‘Jika kamu tidak berbuat apa-apa sekarang ini, maka jangan harap besok kamu akan menjadi sesuatu’, Hanung seperti terpacu untuk tidak menyia-nyiakan waktu. Tak salah, jika ucapan Teguh Karya itu mematik kerja keras Hanung, sehingga lahirlah film-film besutan Hanung Bramantyo seperti Brownies (2004), Catatan Akhir Sekolah (2005), Jomblo (2006), Lentera Merah (2006), Kamulah Satu-satunya (2007), Legenda Sundel Bolong (2007) dan Get Married (2007).

Tapi sebelum kelahiran film Ayat-ayat Cinta, Hanung bisa dikata berkutat dalm film bergenre cinta romantik, komedi dan horor. Maka kehadiran film Ayat-Ayat Cinta ini, selain pertama kalinya Hanung membuat film Islam juga tak bisa ditepis merupakan pemenuhan terhadap pesan sang ibu.

Belum Ada Kesempatan
Sebenarnya, Hanung Bramantyo sudah lama ingin membuat film tentang Islam untuk memenuhi keinginan sang bunda itu. Tapi kesempatan yang sudah lama diimpikan itu ternyata baru terwujud dalam film Ayat-ayat Cinta.

Ceritanya, dulu waktu masih kuliah, Hanung pernah berniat membuat film tentang KH Ahmad Dahlan. Merasa lahir dan besar di keluarga Muhammadiyah, Hanung pun terobsesi untuk mengangkat sang tokoh pendiri Muhammadiyah itu ke layar lebar. Pilihan Hanung mengangkat tokoh KH Ahmad Dahlan, karena dia menilai tokoh (terlebih tokoh agama yang karismatik) bisa membuat penonton bercermin.

Berangkat dari situ, Hanung kemudian mengajukan proposal film Ahmad Dahlan untuk ditawarkan ke Pimpinan Pusat Muhammadiyah. “Waktu kuliah di IKJ dulu, saya pernah membuat proposal film KH Ahmad Dahlan. Tapi proposal itu berhenti, dan tidak ditanggapi dengan alasan tak ada uang. Jadi, tidak ada ruang buat saya untuk membuat film Islami, apalagi di dunia industri film kita ini didominasi orang-orang bukan muslim.”

Meski waktu itu proposal Hanung membuat film Islam tentang Kiai Haji Ahmad Dahlan ditolak, tetapi dia tetap yakin bahwa suatu saat nanti pasti akan datang sebuah tawaran untuk membuat film Islam. Keyakinan Hanung ternyata tidak meleset, karena kemudian datang sebuah tawaran untuk membuat film bernapaskan Islam, yakni film Ayat-Ayat Cinta.

Dari film Ayat-ayat Cinta itu Hanung mendapat pelajaran dan hikmah. Film yang diangkat dari novel yang berjudul sama itu, Hanung mendapatkan arti tentang sabar dan ikhlas. Tak pelak, meskipun film Ayat-ayat Cinta itu nyaris menggoyahkan Hanung pada titik nadir setelah datang sejumlah rintangan dan halangan, Hanung tetap maju dan terus berjuang untuk menjadikan obsesinya dalam membuat film Ayat-ayat Cinta itu bisa dirilis.

Rupanya, cobaan bertubi-tubi selama membuat film itu telah membuat Hanung merasa dekat dengan Islam, dengan dijiwai percikan sabar dan ikhlas –sebagaimana pesan yang ditangkap Hanung dari film Ayat-ayat Cinta tersebut.

Selain itu, film Ayat-ayat Cinta itu juga membuat Hanung merasa dekat dengan Islam yang indah, bersahaja dan penuh dengan toleransi. “Dalam islam itu ada seni dan sastra. Dan seniman itu bukan menyimpang dari Islam, karena ketika orang jadi seniman, dia melakukan satu upaya untuk mencitrakan Islam secara berbeda. Dokter, penguasa, kiai dan seniman itu adalah media untuk menyampaikan pesan atau dakwah melalui cara dia sendiri…”

Karena itu, film Ayat-ayat Cinta ini tak bisa disangkal adalah pesan atau media dakwah Hanung untuk menyampaikan Islam melalui cara dia sebagai sang sutradara. (n mursidi)

Kamis, 01 Mei 2008

susu formula dan perihal menyusui dalam islam

majalah hidayah edisi 81 mei 2008

Beberapa waktu lalu, sebagian besar masyarakat Indonesia –khususnya ibu-ibu yang memiliki bayi-- dibuat panik dan khawatir. Pasalnya, temuan tim peneliti dari ITB (Institut Pertanian Bogor) mempublikasikan adanya kontaminasi pada produk susu formula dan makanan bayi yang beredar di pasaran. Tak tanggung-tanggung, hasil penelitian itu menyimpulkan sekitar 22,73 persen susu formula (dari 22 sampel) dan 40 persen makanan bayi (dari 15 sampel)bahkan disebutkan tercemar bakteri enterobacter sakizakii.

Dr Sri Estuningsih (peneliti dari ITB) yang sudah melakukan penelitian dari tahun 2003-1006 pada produk susu formula dan makanan bayi mengungkap Enterobacter Sakazakii bisa berpengaruh terhadap kesehatan makhluk hidup. Pengaruh bakteri itu, menurut Sri, bisa menimbulkan radang pada usus sehingga bayi akan mudah diserang penyakit. Bahkan bakteri tersebut dikhawatirkan pula bisa berpengaruh pada otak sang bayi.

Pengaruh itulah yang membuat ibu-ibu (yang memiliki bayi) bingung dan harus kalang kabut. Tapi berbeda dengan ibu-ibu yang digelayuti kebingungan, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari justru malah mempertanyakan motif dari penelitian para peneliti IPB tersebut. Siti Fadilah Supari justru menduga penelitian itu dilatarbelakangi kepentingan bisnis. Karena penelitian itu dilakukan saat ada sejumlah bayi yang terserang penyakit mencret.

Terlepas apakah tudingan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari itu benar atau tidak, yang jelas penelitian itu sudah dipublikasikan dan membuat ibu-ibu panik. Apalagi penelitian yang dilakukan sejak 2003 itu, tidak menyebutkan merk susu apa yang mengandung bakteri. Maklum, karena ada etika penelitian yang perlu ditaati oleh para peneliti IBP untuk tak menyebutkan merk. Tak pelak, kalau penelitian yang sudah dipublikasikan bahkan Tim peneliti IPB sudah melaporkan hasil penelitian tersebut kepada instansi yang berwenang yakni BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), sekiranya tak ada langkah bijak dan arif selain mewaspadai temuan penelitian itu dan bertindak hati-hati. Karena kalau kita ceroboh, penyakit pun bisa mampir.

Hukum Menyusui dalam Islam
Kepanikan ibu-ibu terhadap bahaya bakteri pada produk susu formula dan makanan bayi yang dipicu dari hasil penelitian Tim peneliti IPB itu tak pelak mengingatkan kita semua pada hak bayi yang telah dikesampingkan sebagian besar ibu yang memiliki bayi, yakni hak sang bayi untuk memperoleh Air Susu Ibu (ASI). Pasalnya, sekarang ini ASI sudah dengan mudahnya digeser dengan susu formula. Apalagi, konon, hanya sekitar 14 persen bayi di Indonesia yang disusui dengan susu esklusif (ASI) oleh ibu mereka hingga usia empat bulan.

Lebih ironis, pergeseran susu esklusif (ASI) dengan mengganti susu formula seakan sudah jadi gaya hidup sebagian besar ibu zaman sekarang. Ada gaya hidup ibu-ibu yang justru merasa malu, jika harus susah-susah menyusi bayi-bayi mereka dengan ASI. Tak salah jika hasil survey pada tahun 1999 terhadap bayi di Indonesia yang semestinya mendapat hak ASI, ternyata cukup menyedihkan.

Pemberian ASI oleh ibu untuk bayi berumur satu jam setelah kelahiran –berdasarkan hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (pada tahun 1997 dan 2002)-- menunjukkan penurunan yang mencengangkan, dari 8 persen menjadi 3,7 persen. Sementara itu, pemberian ASI esklusif oleh ibu kepada bayi selama 6 bulan menurun dari 42,2 persen menjadi 39,5 persen. Adapun penggunaan susu formula meningkat tiga kali lipat dari 10,8 persen menjadi 32,5 persen.

Padahal tidak dapat disangkal, kehebatan dan kelebihan ASI dibanding dengan susu formula tidak bisa disejajarkan. Kelebihan dan kehebatan ASI jelas tidak bisa digantikan oleh susu formula. Karena, ASI merupakan sebuah cairan tanpa tanding untuk memenuhi kebutuhan akan segumpal gizi bagi bayi dan kandungan ASI bisa melindungi bayi dari kemungkinan terserang penyakit.

Tidak salah, jika al-Qur`an dengan tegas menjelaskan masalah persusuan bagi bayi yang harus dipenuhi oleh para ibu. Dalam al-Qur`an Allah berfirman, “Pada ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama 2 tahun, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makanan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya. Dan waris pun berkewajiban demikian. Apalagi keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawarahan, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (QS. al-Baqarah [2]: 233)

Dari penjelasan ayat itu, sudah jelas bahwa seorang ibu diperintahkan Allah untuk menyusui anaknya sampai berusia 2 tahun (sekalipun keadaan ibu bayi itu sudah bercerai dengan suami). Karena waktu 2 tahun itu tak disangsikan adalah jatah dan hak sempurna bagi sang bayi. Di balik penjelasan al-Qur`an itu, tak diragukan tentu ada maksud yang ideal dan sempurna. Maka, penelitian medis dan sejumlah badan kesehatan yang menyatakan bawah waktu ideal seorang ibu menyusui bayi adalah dua tahun tidak meruntuhkan perintah dari al-Qur`an justru menegaskan kebenran al-Qur`an tentang hukum persusuan.

Al-Qur`an dengan tegas menyebutkan bahwa waktu yang ideal adalah dua tahun, karena di balik perintah al-Qur`an itu memang mengandung pesan yang ideal. Selama kurun waktu dua tahun itu, bayi mudah terserang penyakit dan kandungan ASI bisa melawan serangan penyakit yang hendak menyerang tubuh sang bayi. Jadi, jika menginginkan waktu ideal penyusuan bagi sang bayi sebaiknya dilakukan selama kurun waktu dua tahun.

Memang, waktu yang ideal dua tahun. Tapi tidak menutup kemungkinan jika ibu sakit dan tidak bisa mengeluarkan ASI, maka suami-istri boleh menyapih (menghentikan penyusuan). Namun Islam menganjurkan pemberian ASI kepada bayi dengan menyusukan pada wanita lain (ibu susu) dan jika suami istri itu telah bercerai maka sang ayah menanggung hak untuk membayar penyusuan itu.

Kelebihan ASI
Perintah al-Qur`an untuk memberikan ASI pada bayi selama dua tahun, bukan satu penjelasan yang tanpa maksud. Dari hasil penelitian, telah terbukti bahwa kelebihan ASI tidak dapat disejajarkan dengan susu formula. Apalagi ASI merupakan hak bagi sang bayi untuk kelangsungan hidupnya agar bisa tumbuh dan berkembang secara optimal. Karena ASI ternyata memiliki manfaat besar membentuk perkembangan intelensia, rohani serta perkembangan emosional sang bayi. Dalam dekapan sang ibu ketika menyusui bayinya, sang bayi bisa bersentuhan langsung dengan ibunya dan mendapat kehangatan kasih saying dan rasa aman.

Dari sisi kesehatan maupun medis, tak dapat diasangkal jika ASI memiliki kelebihan dan banyak manfaat dibandingkan susu formula. Sejumlah penelitian telah menyebutkan bahwa dalam ASI itu terkandung asam lemak esensial yang tidak terdapat di dalam kandungan susu sapi atau susu formula. Padahal asam lemak esensial ini dibutuhkan untuk pertumbuhan otak serta mata bayi, serta kesehatan bagi pembuluh darah bayi. Selain itu, dalam ASI terkandung vitamin C sehingga bayi tidak perlu mendapatkan sumplemen vitamn C (yang ternyata tidak terdapat dalam susu sapi atau susu formula).

Kelebihan lain, dalam ASI ternyata sudah terkandung enzim lipase yang membantu mencerna lemak, dan enzim itu tidak terdapat dalam susu formula atau susu hewan apa pun. Padahal, pada bayi produksi enzim belum sempurna untuk mencerna lemak tersebut.

Tak mustahil, jika pada tahun pertama pertumbuhan bayi sangat rentan terhadap penyakit. Jadi sang bayi itu butuh perawatan dan perlindungan ekstra dari ibu dan ASI ternyata mengandung sel-sel darah putih dan sejumlah faktor anti-infektif yang membantu melindungi bayi dari infeksi. ASI juga mengandung antibody terhadap berbagai infeksi yang pernah dialami ibu sebelumnya.

Karena itu, sangat disayangkan jika semua ibu tidak bisa memberikan ASI esklusif pada bayinya. Memang banyak faktor dan sebab yang mempengaruhi sang ibu tidak bisa menyusui anaknya. Salah satunya adalah masalah psikologis pascakelahiran atau karena deraan sakit. Kalau sudah begitu, jalan keluar yang ditempuh oleh para ibu zaman sekarang adalah memberikan susu formula atau susu pengganti ASI. Padahal, pemberian susu formula kepada bayi berumur di bawah satu tahun tak dianjurkan dari sisi medis. Dari sisi kesehatan atau medis, bayi seharusnya diberi ASI sampai berusia 6 bulan dan tetap dilanjutkan sampai dua tahun jika sang ibu masih bisa menyusui.

Tapi, kenyataan penelitian medis dan perintah al-Qur`an tentang hukum menyusui bayi yang seharusnya disempurnakan sampai bayi berumur dua tahun itu ternyata disepelekan oleh sebagian ibu zaman sekarang. Dengan tanpa ada dosa, sebagian besar ibu telah menggantikan ASI dengan susu hewan atau susu formula. Maka tidak heran saat ada temuan Tim Peneliti IPB yang mengatakan susu formula dan makanan bayi terkontaminasi bakteri, sebagian ibu pun harus dicekam rasa takut dan panik.

Padahal, jika para ibu mengindahkan perintah al-Qur`an yang diperkuat hasil penelitian medis bahwa waktu yang ideal bagi seorang ibu memberikan ASI pada bayi adalah dua tahun dan tak mengganti ASI dengan susu formula, maka tidak ada kepanikan dan kekhawatiran terhadap penelitian Tim dari IPB tersebut. Karena dalam ASI tidak terkandung bakteri, justru mengandung aneka gizi, protein, azam, enzim yang menunjang pertumbuhan sang bayi, juga dapat menjadi penyangkal dari serangan penyakit. (n mursidi)

kisah perdebatan nabi dengan pemuka nasrani

majalah hidayah edisi 81 mei 2008

“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkanmu), maka katakanlah (kepadanya), ‘Mari kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, istri-istri kami dan istri-istri kalian, diri kami dan diri kalian; kemudian mari kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta’.” (QS. Ali Imran: 61)

Perkembangan agama Islam di jazirah Arab bisa dikata serupa cahaya. Tak pelak, kalau seiring perjalanan waktu, sejak nabi Muhammad diperintahkan oleh Allah untuk menyebarkan agama Islam di tengah kejahiliyahan kaum kafir dan kaum musyrik ternyata agama Islam seperti cahaya matahari yang melesat cepat menerangi permukaan bumi. Agama Islam bisa memikat penduduk Arab karena agama Islam telah memancarkan cahaya terang kepada manusia dari kegelapan sebuah zaman. Apalagi, perilaku (karakter) nabi yang jujur, berbudi luhur dan rendah hati, tak bisa disangkal lagi telah mendukung nilai-nilai ajaran agama Islam yang ditegakkan oleh Rasulullah.

Alhasil, Islam pun menawarkan harapan baru dan janji akan masa depan yang cemerlang. Serupa matahari yang menerangi bumi, Islam pun menerangi jiwa dan hati manusia untuk tak tersesat dalam kegelapan. Tak salah, meski pun kaum kafir Quraisy tak henti-henti menentang, menghujat dan memusuhi nabi, ternyata Islam tak menjadi pudar dan padam, tapi justru mampu menunjukkan kelebihan akan nilai-nilai hidup yang memang layak untuk dipeluk.

Menyulut Kecemburuan
Seiring perjalanan waktu, cahaya Islam itu melesat, berkembang dan bahkan maju dengan cepat. Apalagi, setelah nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah dan nilai-nilai agama Islam yang dibawa rasul mengajarkan kebajikan dan kebaikan bagi penduduk Madinah. Maka satu per satu penduduk di jazirah Arab mulai tertarik untuk memeluk agama baru (Islam) itu, tak terkecuali warga di wilayah luar Makkah dan Madinah. Bahkan agama Islam mampu menerobos ke wilayah Najran. Padahal, Najran merupakan kawasan Hijaz yang sebagian besar penduduknya selama bertahun-tahun telah memeluk dengan setia dan fanatik terhadap agama Nasrani.

Tetapi keagungan Islam ternyata bisa meluruhkan hati penduduk Najran. Kemuliaan Islam, seperti tak bisa disangkal untuk tidak dipeluk. Rupanya agama Islam telah memikat penduduk Najran untuk meninggalkan kepercayaan lama kemudian memeluk Islam dengan penuh kesadaran. Bahkan penyebaran Islam di Najran itu, seiring bergantinya hari semakin luas dan nyaris tak bisa dibendung lagi. Maka tak mustahil lagi, jika pemuka-pemuka Nasrani seperti tersulut bara api. Tak ada alasan bagi para pemuka Nasrani untuk tak digelayuti rasa benci dengan agama Islam selain karena rasa cemburu dan sebongkah perasaan tak senang lantaran agama Islam dipandang telah menggerongoti kepercayaan orang-orang Nasrani Najran.

Tetapi, ketidaksenangan pemuka-pemuka Nasrani itu tidak diungkapkan secara langsung dengan cara terang-terangan. Berbeda dengan kaum Yahudi yang dengan berani dan terang-terangan mengingkari janji, gemar membuat onar, menyebarkan desas-desus yang bohong, melancarkan tekanan ekonomi terhadap kaum Muslim, bahkan berkomplot dengan musuh-musuh Islam (seperti kaum Quraisy) untuk menyerang dan menghancurkan agama Islam. Meski pun kedua golongan itu sama-sama tidak senang dengan perkembangan agama Islam, anehnya kaum Nasrani Najran menunjukkan sikap yang lentur dan secara sembunyi-sembunyi ternyata memendam rasa cemburu di lubuk hati mereka yang paling dalam hanya di permukaan saja menampilkan sikap yang lunak.

Sikap lunak –meski dalam hati dicekam rasa cemburu-- yang ditunjukkan kaum Nasrani itu, tentunya bukan satu hal yang aneh. Lantaran kaum Nasrani telah mengetahui bahwa uskup-uskup mereka (seperti Waraqah bin Naufal di Hijaz dan Bahira di Syam) adalah dua tokoh Nasrani yang mengenal baik akan ciri-ciri Muhammad yang memang tak lain dan tak bukan adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh seorang Rasul. Tetapi, rasa cemburu itu tidak bisa dielakkan dan tak bisa diubah menjadi simpati. Apalagi, sudah jelas-jelas ada perbedaan antara kepercayaan kaum syirik (yang menyekutukan Tuhan) dan kaum yang teguh bertauhid (mengesakan Tuhan) memang tidak bisa diserasikan.

Tak pelak lagi, kalau kaum Nasrani Najran -khususnya para pemukanya–dengan cara yang halus dan bahkan sembunyi-sembunyi kemudian berusaha keras untuk mencegah dan menghalangi perkembangan Islam di Najran. Tapi sayangnya usaha pemuka-pemuka Nasrani itu seperti membentur tembok. Islam seperti tak dapat dibendung. Islam telah mematik hati penduduk Najran.

Tak kuasa mencegah perkembangan Islam yang kian hari berkembang dan memikat penduduk daerah Najran, apalagi sebagian penduduk yang tidak beragama Nasrani pun juga tertarik dengan Islam, maka para pemuka Nasrani Najran mulai dibuat gelisah dan dicekam rasa takut akan masa depan agama Nasrani. Maka, pemuka-pemuka Nasrani itu tak menemukan jalan lain lagi untuk menghalangi perkembangan agama Islam, dan mereka kemudian menempuh jalan lain mengadu “kebenaran” dengan cara menantang debat nabi untuk menentukan kebenaran agama yang diridhai oleh Allah di antara agama Islam dan Nasrani itu.

Dengan keputusan itu, maka akhirnya kaum Nasrani mengirimkan utusan ke Madinah untuk menemui nabi dan berniat bulat untuk beradu argumen guna membuktikan kebenaran antara agama keduanya.

Menantang Debat
Utusan dari kaum Nasrani Najran itu dipimpin oleh tiga orang terkemuka Najran, yakni Al-Aqib, Muhsin dan seorang oleh seorang uskup agung dengan diiringi pula dua orang Yahudi terkemuka. Utusan itu datang menemui Nabi di Madinah. Kedatangan utusan Nasrani Najran itu tidak ada maksud lain, kecuali untuk mendebat dan menantang nabi beradu argumen.

Setelah sampai di Madinah, utusan kaum Nasrani Najran itu kemudian menemui Rasul. Di depan nabi, sang uskup langsung mengajukan pertanyaan,” Wahai Abul Qasim (yang tak lain merupakan sebutan untuk nabi Muhammad), siapakah ayah nabi Musa?”

Nabi pun menjawab dengan sopan dan lembut, “Imran.”

Lalu, sang uskup itu bertanya lagi, “Lalu, siapakah ayah Yusuf?”

“Ya`qub,” jawab nabi tanpa ragu.

Sang uskup itu kemudian melanjutkan pertanyaan, “Semoga aku menjadi penebus bagi Anda. Lalu, siapakah ayah Anda?”

Nabi menjawab dengan tegas, “Abdullah bin Abdul Muththalib.”

Sang uskup itu bertanya lebih lanjut, “Siapakah ayah Isa?”

Sejenak Rasulullah diam. Wahyu dari Allah kemudian turun kepada nabi Muhammad, “(Katakan) ia ruh Allah dan kalimat-Nya.”

Sang uskup lalu bertanya lagi, “Dapatkah ia menjadi ruh tanpa memiliki tubuh?”

Lagi-lagi sebuah wahyu disampaikan pada nabi Muhammad SAW. Dan wahyu itu berbunyi, “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, ‘Jadilah (seorang manusia), maka jadilah dia’.” (QS. Ali Imran: 59)

Usai mendengar jawaban itu, sang uskup mengajukan keberatan pada nabi --yang mengatakan bahwa Isa as diciptakan dari tanah. Sementara, Rasul tak sedikitpun ragu karena nabi Muhammad menyandarkan kebenaran itu dari wahyu, “Kebenaran (mengenai Isa) itu datang dari Allah, Tuhanmu. Karena itu, janganlah termasuk orang yang ragu.” (QS. Ali Imran: 60)

Sang uskup lalu berkata, “Muhammad, kami tidak menemukan ini ada di dalam Taurat, Injil atau pun Zabur. Engkaulah orang pertama yang mengatakan tentang hal ini.

Seketika itu nabi mendapat wahyu dari Allah yang berbunyi, “Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkanmu), maka katakanlah (kepadanya), ‘Mari kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, istri-istri kami dan istri-istri kalian, diri kami dan diri kalian; kemudian mari kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta’.” (QS. Ali Imran: 61)

Setelah mendengar ayat tersebut, para utusan itu ternyata tak mau kalah dan berkata, “Tetapkanlah bagi kita sebuah rapat yang khitmad (yang mana setiap pihak bermohon pada Allah untuk mengutuk pihak yang lain jika mereka pendusta).”

“Esok pagi –insyaallah,” jawab nabi.

Peristiwa Mubahalah
Malam akhirnya berlalu, dan hari kemudian berganti menjadi pagi.

Di pagi itu, nabi Muhammad menunaikan shalat subuh lalu menyuruh Ali untuk mengikuti beliau. Bersama itu pula, Fatimah menggamit Hasan dan Husain untuk mengikuti Ali. Sebelum berangkat, Nabi sempat memerintahkan kepada mereka, “Ketika aku berdoa, kalian harus mengatakan, ‘Amin’.”

Nabi bersama ahlul bait kemudian menuju tempat yang sudah disetujui kedua belah pihak sebelumnya guna mengadakan mubahalah (kedua pihak berbeda keyakinan mau membuktikan kebenarannya masing-masing dengan bersumpah kepada Allah serta bersama memohon kepada-Nya agar melaknat (mengutuk) dan menimpakan bencana besar kepada pihak yang batil).

Bersamaan itu, utusan kaum Nasrani itu pergi bersama dengan beberapa keluarga mereka menuju tempat tersebut. Kedua kelompok (keluarga nabi dan keluarga utusan kaum Nasrani) itu kemudian berdiri dalam keadaan terpisah menghadap ke arah sebuah bukit yang terlihat agak jauh.

Setelah kedua pihak itu bertemu, utusan dari kaum Nasrani meminta nabi untuk mengikrarkan mubahalah lebih dulu. Nabi maju beberapa langkah dan mubahalah pun hendak diikrarkan. Tapi, tiba-tiba terjadi satu hal di luar dugaan. Langit yang semula menentramkan, tiba-tiba tampak mencekam dan di atas bukit pun tampak awan hitam yang bergumpal-gumpal, bahkan makin lama justru semakin berwarna merah menyala mirip bola api yang berkobar terang dan menyala-nyala hendak menghancurkan segala sesuatu yang berada di bukit. Awan yang bergumpal itu kemudian berlahan-lahan bergerak ke tempat mubahalah, di mana kedua belah pihak berdiri.

Setelah melihat warna langit yang tiba-tiba mencekam itu, sontak utusan dari kaum Nasrani merasa merinding dan dicekam rasa takut. Hati mereka pun digerus perasaan gelisah, jika laknat itu benar-benar menjadi kenyataan. Maka para utusan dari kaum Nasrani itu saling pandang, dan salah satu dari mereka berkata, “Demi Allah, dia itu nabi sejati dan jika dia mengutuk kita, niscaya Allah menjawab doanya dan menghancurkan kita semua. Maka, satu-satunya jalan yang dapat menyelamatkan kita semua di sini adalah memohon kepadanya agar melepaskan kita dari rapat ini”.

Uskup agung menimpali ucapan itu, lantaran di hatinya digelayuti rasa takut yang tak bisa dilawan, “Wahai kaum Nasrani, sungguh aku melihat wajah-wajah manusia yang jika mereka minta pada Allah mengerakkan gunung, Dia pasti akan melakukannya. Jangan adakan rapat ini atau kalian akan dihancurkan dan tak akan ada lagi orang Nasrani tinggal di bumi hingga hari kebangkitan.”

Utusan kaum Nasrani itu pun menghadap pada nabi. Utusan dari kaum Nasrani itu meminta kepada rasulullah untuk mengurungkan mubahalah sebab mereka semua dicekam ketakutan yang sungguh luar biasa. Tak terbayangkan dalam benak mereka semua, jika laknat dari Allah itu benar-benar akan datang dan menghanguskan tubuh mereka. Tak terbayangkan, jika ucapan nabi untuk mengutuk utusan kaum Nasrani itu kemudian menjadi kenyataan. Maka utusan kaum Nasrani itu kemudian memohon kepada nabi, “Abul Qasim, bebaskan kami dari rapat yang khidmat ini.”

Suasana di tempat mubahalah itu pun serasa mencekam. Nabi melihat dengan jelas wajah-wajah utusan dari kaum Nasrani itu dilanda perasaan takut dan cemas. Dari raut wajah mereka itu, Nabi tahu bahwa permohonan mereka itu adalah bentuk kekalahan yang telak. Maka nabi menjawab, “Sungguh akan aku lakukan, Dia yang mengirimku dengan kebenaran adalah Saksiku dan jika saja aku mengutukmu, Allah tak akan menyisakan seorang Nasrani pun di muka bumi.”

Nabi Muhammad akhirnya memenuhi permintaan utusan Nasrani untuk mengurungkan mubahalah dan membatalkan laknat Allah itu tiba. Tetapi nabi memperingatkan bahwa mereka akan tetap ditimpa laknat Allah kalau mereka tidak menyadari akan kesalahan mereka lantaran telah berani menantang nabi untuk melakukan mubahalah.

Tak ingin ditimpa laknat Allah, mereka pun merindukan untuk selamat dari bencana yang sangat menakutkan itu. Maka tidak ada pilihan lagi bagi utusan kaum Nasrani itu untuk tidak mengajukan ganti rugi pada kaum muslimin berupa beberapa ratus potong pakaian. Rasul menyetujui, tetapi masih menyertakan syarat agar mereka tak menghalangi dan mempersulit utusan nabi yang akan dikirim ke Najran untuk mendakwahkan Islam bagi penduduk Najran.

Sejak saat itulah, tak ada lagi halangan dan rintangan dari kaum Nasrani ketika utusan Rasulullah menyebarkan agama Islam ke daerah Najran. Islam lalu berkembang dengan pesat, membawa umat mausia dari kegelapan menuju cahaya. (n. mursidi)

kisah sebuah kalung

majalah hidayah edisi 81 mei 2008

Suatu hari, datang seorang laki-laki tua mengenakan pakaian usang, dan jalannya sempoyangan menemui rasulullah. “Wahai nabi, aku lapar, telanjang (berpakaian usang) dan miskin. Berilah aku pakaian, sandang dan bantuan!”

Saat itu, Rasul dilanda kesusahan. “Sungguh aku ini tak memiliki apa-apa yang dapat kuberikan padamu. Pergilah ke rumah perempuan yang mendahulukan Allah daripada dirinya, yakni Fatimah…”

Bilal kemudian mengantar orang tua itu ke rumah Fatimah. Di hadapan Fatimah, orang tua itu berkata “Wahai putri Muhammad…, aku lapar dan butuh pakaian. Tolonglah aku, semoga Allah memberkatimu!”

Ketika itu, Fatimah juga dilanda kesusahan, tetapi ketika melihat kondisi orang tua itu ia tidak tega. Ia memberi kulit biri-biri yang biasa dipakai alas tidur Hasan dan Husain, “Ambillah ini, semoga Allah menggantinya bagimu dengan yang lebih baik lewat menjualnya.”

“Wahai Fatimah, aku mengeluh lapar kepadamu dan engkau memberiku kulit biri-biri! Bagaimana bisa aku makan dengan ini?”

Fatimah seperti diiris sembilu. Lantas, ia mengulurkan kalungnya. Orang itu mengambil kalung tersebut, lalu kembali menemui nabi. “Wahai nabi, Fatimah memberiku kalung dan memintaku untuk menjualnya…”

Rasul tersenyum, “Sungguh, Allah akan memberimu jalan keluar, karena Fatimah memberimu kalung ini.”

Ammar bin Yasir yang ada dekat nabi, meminta izin nabi untuk membeli kalung itu. Rasulullah memberi izin dan Ammar menanyakan harganya.

“Sepiring roti dan daging, sehelai baju Yaman untuk menutupi auratku dan mendirikan shalat di hadapan Allah, uang 1 dinar agar aku bisa pulang!”

Ammar yang baru menjual harta rampasan --perang Khaibar-- ternyata menawar lebih, “Aku memberimu 20 dinar, 200 dirham, sehelai baju Yaman, kuda untuk membawamu pulang dan kebutuhanmu akan roti dan daging.”

Setelah Ammar mengajak orang itu untuk memenuhi janjinya, orang itu menemui nabi lagi, “Aku kini jadi kaya. Semoga ayah dan ibuku jadi penebus bagi Anda.”

Nabi menimpali, “Balaslah Fatimah atas kemurahanhatinya!’

Orangtua itu memanjatkan doa. Setelah itu, ia pun pamit pulang.

Ammar membeli kalung itu, rupanya punya maksud lain. Ia membungkus kalung itu kemudian meminta budaknya (Shahm) mengantarkannya pada nabi, “Berikan kalung ini pada rasulullah. Katakan pada beliau, aku menyerahkanmu kepadanya.”

Shahm menemui nabi dan menyampaikan amanat dari Ammar tapi rasul justru minta Shahm untuk menemui Fatimah, “Bawalah kalung ini pada Fatimah dan aku serahkan kamu pada Fatimah!”

Shahm menyampaikan pesan nabi. Fatimah menerima kalung itu, seraya mengatakan bahwa Shahm telah merdeka. Seketika itu, Shahm tertawa. Karena tak tahu di balik tawa Shahm itu, maka Fatimah pun bertanya kepadanya.

“Aku tertawa karena memikirkan kebajikan kalung ini. Ia memberi makan orang lapar, memberi pakaian orang telanjang, melapangkan orang miskin, memberbaskan budak, dan kembali kepada pemilik aslinya.”

Itulah kisah sebuah kalung di balik kemurahan hati Fatimah. Apakah kita semua dapat meneladani perilaku Fatimah di kala susah tetapi ringan tangan merelakan apa yang dimiliki kepada orang lain yang membutuhkan? (n mursidi)

Kamis, 03 April 2008

menara masjid

majalah hidayah edisi 80, april 08

Di era sekarang ini, nyaris tak ada masjid yang dibangun tanpa menara. Seolah-olah menara itu sudah menjadi unsur penting arsitektur masjid yang tak bisa dipisahkan. Pendek kata, menara dianggap unsur penting arsitektur masjid, sehingga masjid yang berdiri megah tanpa menara, dianggap kurang lengkap.

Padahal, menara sebagai bagian dari arsitektur masjid tidak ada pada zaman nabi. Wajar jika masjid Quba dan masjid Nabawi yang dibangun nabi itu awalnya tak memiliki menara sebagai pelengkap arsitektur masjid. Tradisi masjid tanpa menara itu bahkan masih diteruskan empat khalifah setelah rasulullah (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib).

Meski tanpa menara, tapi masjid di zaman nabi dan khulafaur rasyidin itu dilengkapi dengan ruang kecil di puncak teras masjid sebagai tempat muadzin untuk mengumandangkan adzan.

Dari Tradisi Byzantium
Sejarah mencatat, menara menjadi bagian dari arsitektur masjid itu baru berlangsung sejak era pemerintahan Bani Umayyah. Khalifah Al-Walid dari Bani Umayyah (705-715) merupakan orang yang pertama memasukan unsur menara dalam arsitektur masjid. Ketertarikan Khalifah Al-Walid pada rancang bangun arsitektur itulah yang menjadikan menara kemudian dikenal jadi salah satu unsur arsitektur bangunan masjid sekarang ini.

Ceritanya, masa penyebaran Islam dahulu, kota yang ditaklukkan tanpa perlawanan, menjadikan pasukan Muslim memperbolehkan warga (setempat) untuk tetap mempergunakan gereja (sinagog) mereka sebagai tempat shalat. Maka, ada beberapa gereja yang beralih fungsi menjadi masjid setelah melalui pemugaran, dan salah satunya adalah basilika Santo John (Yahya).

Sewaktu memugar basilika Santo John (Yahya) untuk dijadikan masjid itu (di kemudian hari menjadi masjid Agung Damaskus), rupanya Khalifah Al-Walid menyiasakan dua menara dari bangunan itu --yang semula berfungsi sebagai petunjuk waktu (lonceng pada siang hari dan kerlipan lampu pada malam hari). Khalifah Al-Walid rupanya tertarik untuk tak merobohkan kedua menara itu dan menjadikannya sebagai keindahan bangunan masjid.

Tak cuma itu, Khalifah Al-Walid pun memerintahkan membangun sebuah menara lagi di sebelah utara pelataran masjid (tepat di atas gerbang al-Firdaus yang kemudian dikenal sebagai menara utara masjid Damaskus). Dari situlah, tradisi menara yang sebenarnya merupakan salah satu ciri khas dari bangunan Byzantium menjadi bangunan yang tak terpisahkan dari arsitektur masjid. Satu tahun kemudian (705 M), Al-Walid memugar masjid Nabawi yang tak memiliki menara dan memerintahkan para arsiteknya untuk memasang menara.

Beberapa Bentuk Menara
Bangunan awal menara masjid Damaskus dan masjid Nabawi tak berdiri terpisah, melainkan menyatu dengan struktur bangunan masjid. Model menara yang dibangun berdasarkan tradisi Byzantium ini kemudian menyebar ke seluruh negeri, melintasi dataran Arab bahkan hingga ke Andalusia. Tapi seiring dengan perkembangan zaman, tak semua menara dibangun menyatu dengan struktur masjid. Ada juga menara yang dibangun terpisah. Model itu bisa dilihat pada bangunan menara masjid Agung Samara dan menara masjid Abu Dulaf di Irak.

Dari bentuk dasar menara, setidaknya dikenal beberapa model. Model klasik dengan lantai dasar segi empat, lalu naik ke atas menjadi oktagonal (segi delapan) kemudian diakhiri dengan tower silinder yang dipuncaki sebuah kubah kecil. Model manara klasik ini dapat dilihat di menara masjid Mad Chalif Kairo, yang dibangun abad ke-11 pada masa Khalifah Al-Hakim dari Dinasti Fatimiyah.

Model lain adalah jenis variasi. Fondasi bangunan segi empat di bagian bawah lalu bertarnsformasi menjadi segi enam dan dihiasi balkon segi delapan. Menara jenis ini bisa dilihat pada menara masjid Al-Azhar. Sedang jenis silinder dikenal dengan diameter silinder yang semakin mengecil di puncak menara, semisal menara masjid Natanz, Iran.

Sedang jenis lain adalah menara segi empat. Dari dasar berbentuk segi empat hingga puncak dan tidak ada kubah di puncak. Model ini terdapat di wilayah Mediterania, di masjid Aleppo, dan masjid Agung Sivilla. Model menara yang jarang diadopsi untuk menara adalah bentuk spiral. Bentuk menara yang banyak dipakai di masjid-masjid di Samarra ini merupakan tradisi bangunan menara Mesopotania. Masjid yang menerapkan bentuk spiral ini adalah masjid Ibnu Tulun di Fustat, Mesir.

Fungsi Menara
Fungsi utama menara tak lain tempat bagi muadzin mengumandangkan adzan. Tapi seiring perkembangan zaman ternyata difungsikan lebih dari itu. Kini menara dibangun menjulang tinggi dengan fungsi ganda semisal juga dijadikan mercusuar atau menara pengintai. Menara Ribbat Shushah di Tunisia, lantaran terletak di sebuah kota pelabuhan, maka menara masjid itu digunakan sebagai sarana untuk melakukan pengamatan lepas pantai dari balkon menara.

Sementara menara masjid Agung Jawa Tengah, Semarang yang memiliki ketinggian 99 meter juga difungsikan multi fungsi. Lantai dasar, digunakan studio radio Dakwah Islam. Lantai 2 dan 3 sebagai museum kebudayaan. Lantai 18 digunakan kafe muslim. Pada bulan Ramadhan, menara ini bahkan digunakan ru`yatul hilal, melihat posisi bulan untuk menentukan awal puasa. (n. mursidi)

Rabu, 02 April 2008

memotivasi umat dengan berbasis pada fitrah

majalah hidayah edisi 80, april 08

Pagi itu, cuaca cerah. Langit tidak digelayuti mendung. Matahari bersinar dari ufuk timur memberikan harapan baru bagi kehidupan.

Hidayah yang sudah membuat janji wawancara dengan ustadz Muhammad Rusdi Malik di sela-sela kesibukannya yang padat untuk mengisi tausiyah di sejumlah tempat, akhirnya berkunjung ke rumahnya yang asri di komplek Limus Pratama, daerah Cileungsi, Bogor.

Kebetulan pagi itu Hidayah datang lebih awal dari jadwal yang dijanjikan sehingga sempat menunggu untuk beberapa saat. Tetapi tidak lama berselang, ustadz yang dikenal kalem dan lembut ini kemudian menyambut Hidayah. Lalu perbincangan mengalir dalam suasana santai. Lelaki ramah yang dulu belajar ilmu arsitektur di Fakultas Teknik, Jurusan Arsitektur, Universitas Hasanudin ini pun bercerita panjang lebar tentang perjalanan hidupnya setelah ia meninggalkan kampung halaman, hingga kemudian menjadi seorang penceramah.

“Rumah ini merupakan hasil kerja saya di bidang arsitek,” ujarnya kalem, seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. “Tapi, karena sekarang sibuk mengisi taisiyah, terpaksa saya meninggalkan bakat saya tersebut setelah saya menunaikan shalat istikharah. Maklum, karena panggilan mengisi ceramah kini padat, akhirnya saya memutuskan untuk total dalam berdakwah. Apalagi, saya sudah berumur di atas empat puluh tahun, sehingga saya memandang perlu untuk memikirkan bekal bagi kehidupan nanti.”

Dari Arsitek Sampai Da`i
Memang, jalan hidup seseorang kadang susah ditebak. Demikian juga yang dialami ustadz Muhammad Rusdi Malik. Awal mulanya ustadz Muhammad Rusdi Malik merantau ke Jakarta tak lain ingin mengembangkan ilmu di bidang arsitektur. Tetapi, siapa yang menyangka kalau kemudian dia harus menjadi seorang da`i?

Maklum, laki-laki satu ini dahulu kuliah di Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Universitas Hasanudin. Maka, setelah lulus kuliah dan membina keluarga bahkan sudah memiliki anak empat yang masih kecil-kecil dan dituntut bisa memberikan nafkah yang layak, ia lalu memutuskan merantau ke Jakarta. Dengan berbekal ijazah dan ilmu arsitektur yang diperolehnya di kampus disertai kepercayaan diri akan rahmat Allah, maka lelaki satu ini pun tak ragu mengajak istri dan keempat anaknya yang masih kecil-kecil. “Dalam posisi seperti itu, tak jarang seseorang akan dituntut untuk kreatif,’ ujarnya menceritakan tentang keberaniannya pergi ke Jakarta.

Padahal, waktu ustadz Muhammad Rusli Malik bersama istri dan keempat anaknya meninggalkan kampung halaman untuk merantau ke ibu kota tak ada jaminan yang pasti. Tak ada lowongan kerjaan yang memanggil untuk datang ke Jakarta. Bahkan, di Jakarta juga tidak memiliki sanak saudara untuk dijadikan tumpangan. Akhirnya, ustadz Rusli bersama keluarga mengontrak sebuah kamar yang sempit di pinggir kali Ciliwung yang kumuh, di daerah Matraman Salemba. Lebih sedih lagi, daerah itu setiap malam seringkali dilanda perang batu dan api dengan Matraman Dalam.

Tetapi, hal itu ternyata tidak menghalangi ustadz Rusli untuk mundur dan takut. Justru tantangan serta halangan itu, bahkan dilihatnya sebagai driving force (tenaga pendorong) untuk maju dan terus berjuang. Tidak salah, meskipun dilanda kondisi yang “kurang menguntungkan”, ustadz Rusdi justru terpicu. Di sisi lain, dengan keadaan seperti itu kreativitas pun kemudian muncul. Maka, untuk mencukupi kebutuhan hidup, karena ia belum bisa mengembangkan bakatnya di bidang arsitektur lantaran belum ada prasarana dan sarana yang memandai akhirnya ia memutuskan untuk menjadi penulis lepas di sejumlah media massa.

“Karena untuk mengembangkan arsitek itu saya harus memiliki meja dan beberapa peralatan, sementara saya tak punya, akhirnya saya memilih menulis, yang tidak memerlukan modal. Dengan menulis, selain mendapat honor juga akan menambah volume intelektual kita,” dalihnya.

Seiring dengan perjalanan waktu, akhirnya ustadz Rusdi dapat memenuhi tuntutan yang sesuai dengan ijazahnya dan mulai bisa mengembangkan ilmu arsitektur yang telah diperoleh. Bersaman itu pula, ustadz Rusli yang sudah mulai berdakwah sewaktu masih mahasiswa dulu kemudian diminta untuk menjadi penceramah pengganti kala ada ustadz yang kebetulan berhalangan hadir. Tak jarang, juga mengisi kultum dan bahkan menggantikan seorang khatib yang kebetulan tidak bisa hadir.

Awalnya memang sebagai pengganti tetapi lambat laun ternyata model cemarah ustadz Rusli memikat jamaah sehingga tak salah jika secara berangsur-angsur didaulat untuk menjadi penceramah. Akhirnya, kini jadwal tausiah yang harus diisi ustadz satu ini berdatangan, nyaris penuh dalam seminggu. Jadinya, selain sebagai penulis dan arsitek, kini ustadz ini dikenal sebagai penceramah atau da`i yang sudah kerap memberikan cahaya pengetahuan di sejumlah majlis taklim, radio FM, perumahan dan perusahaan-perusahaan.

Dari Basic di Kampus
Meski ustadz Rusli menimba ilmu di Fakultas teknik, jurusan arsitektur, tetapi saja hal itu tak menutup pintu ketertarikannya untuk belajar agama. “Meski sejak SD sampai kuliah dulu saya di sekolah umum, tetapi saya terus belajar bahasa Arab dan ilmu agama. Bahkan sejak belajar di kampus dulu, saya sudah konsens mendalami tafsir al-Qur`an,” ujarnya kalem.

Maka, tidak mustahil jika dia bisa menjadi penceramah di kemudian hari, karena basic itu sudah tertanam sejak masih menjadi mahasiswa. “Sejak masih mahasiswa dulu saya sudah sering berdakwah. Ada kelompok jamaah di masjid yang seringkali diisi dengan kultum, dan saya sering mendapat giliran. Anehnya, orang senang dengan cara ceramah saya, sehinga akhirnya saya pun menjadi pengganti kutbah jika ada khatib berhalangan hadir”.

Basic atau modal ceramah itu, memang tidak datang tiba-tiba. Dahulu pernah suatu hari, sewaktu ustadz Rusdi masih jadi mahasiswa menghadiri acara peringatan maulid nabi. Kebetulan yang jadi penceramah adalah seorang ahli ekonomi yang memberikan tausiyah cukup memikat pada jamaah, khususnya ustadz Rusli. Tak salah, jika ustadz Rusli merasa terpukau. Apalagi, sang da`i itu tampil mengesankan. Akhirnya, dari pengalaman itulah ia kemudian ikut aktif di HMI dan lebih giat belajar agama. Pengaruh itulah yang kemudian menjadi satu pengalaman mengesankan sehingga ustadz Rusli kemudian menjadi da`i.

Berdakwah pula Lewat Buku
Dalam pandangan ustadz Rusli, Al-qur`an selain mengajarkan umat Islam untuk membaca, juga menuntut umat untuk menyampaikannya dan kemudian menulis dalam bentuk tulisan, entah itu lewat sebuah buku atau media massa. Maka, ustadz Rusli pun tidak sekadar membaca dan menyampaikan kebenaran dari ajaran Islami yang diwahyukan Allah itu, melainkan pada tahap berikutnya kemudian merilis buku yang tidak lain juga merupakan satu bentuk dakwah.

Setidaknya, sampai saat ini sudah dua buah buku yang ditulis ustadz Rusli, Dua buku itu antara lain, buku Puasa: Menyelami Arti Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Spiritual dan Kecerdasan Emosional di Bulan Ramadhan dan buku Maju Sambil Tersenyum: Sebuah Manejemen Diri Berbasis pada Fitrah untuk Menjadi Manusia Produktif dan Bahagia Secara Kuantum.

Dalam buku Maju Sambil Tersenyum (2006), ustadz Rusli mengajak umat Islam untuk jadi manusia yang produktif, maju dan bahagia tidak dengan jalan mengagungkan materi, melainkan kembali pada fitrah, yakni dengan berbasis pada jiwa manusia. Sebab, menurut ustadz Rusli, jiwa itu yang akan membawa umat Islam mencapai kesempurnaan.

“Kalau manusia ingin mencapai kesempurnaan, maka manusia itu harus mengolah dan memenejemen jiwanya. Karena tubuh manusia itu tidak pada taraf kesempurnaan, melainkan menuju kehancuran. Sebaliknya, jiwa-lah yang bergerak menuju kesempurnaan. Jadi jika orang ingin mencapai kesempurnaan tetapi mendasarkan pada tubuh, maka manusia itu akan menuju kehancuran. Karena inti manusia adalah jiwa.”

Kenapa? Karena bagi ustadz satu ini, Al-Qur`an atau agama itu datang sebenarnya ditujukan pada jiwa. Bahkan bisa disaksikan bahwa seluruh atau segala aktivitas manusia itu bertumpu pada jiwanya. Maka jika orang mengejar kesuksesan tapi bertumpu pada tubuh (materi), maka dia sebenarnya telah mengkhianati dirinya. “Jadi, jiwalah yang menentukan segala-galanya. Bahkan dalam al-Qur`an, Allah mensifatkan jiwa itu pada Tuhan dan juga ketika Tuhan menciptakan jiwa manusia itu menggunakan kata fitrah.”

Tak dapat disangkal, karena fitrah (jiwa) manusia itu mengajak ke arah kebaikan dan kesempurnaan. Tetapi sayangnya, di zaman sekarang ini orang justru menimbun potensi atau kekuatan dari fitrah manusia itu dalam keburukan-keburukan. Tak salah, jika kekuatan potensial dari fitrah itu kemudian tidak bisa membawa seseorang pada taraf kebahagiaan sejati karena ia mendasarkan kebahagiaan itu dan menukarnya dengan sebongkah materi, kekayaan, serta kekuasaan yang sebenarnya bersifat sementara.

Akibatnya, kejujuran, kelembutan dan nilai-nilai baik lain tenggelam dan yang timbul di permukaan adalah sifat-sifat seperti dengki, dendam, culas dan sebagainya. Tak ayal, jika kebahagian manusia itu pun bersifat semu dan jauh dari kenyataan. Karena memang tidak berfondasi pada “kekuatan jiwa” yang bermuara pada kesempurnaan. (n. mursidi)



shalat witir: pamungkas dari shalat malam

majalah hidayah, edisi 80 april 08

Setiap muslim diwajibkan Allah untuk senantiasa menjaga (memelihara) kelangsungan shalat fardu. Dalam sehari-semalam, seorang muslim diharuskan menunaikan shalat wajib 5 waktu untuk menjaga tegaknya tiang agama, dan juga memupuk keimanan di dalam hati. Di sisi lain, shalat fardhu itu pun sebagai wujud ketundukan seorang hamba pada Allah.

Tetapi untuk mencapai tingkat keimanan yang lebih tinggi, jika sekadar menjaga keutuhan shalat wajib, rasanya belum cukup. Karena itu, setiap muslim pun perlu menyempurnakan tingkat keimanan di lubuk hati agar meningkat dan tetap berkualitas dengan mendirikan shalat-shalat sunat yang dianjurkan dan dicontohkan oleh rasulullah.

Dengan menunaikan shalat-shalat sunnah itu, tak ada tujuan lain kecuali untuk menambal kekurangan shalat wajib yang selama ini dilakukan, siapa tahu ada kekurangan dalam pelaksanaan shalat fardhu itu. Dengan kata lain, guna meningkatkan keimanan dan juga ketaqwaan pada Allah, setiap muslim “perlu menambah” dengan shalat-shalat sunah. Selain sebagai benteng shalat-shalat sunat itu ternyata juga menaikkan maqam dan derajat yang tinggi di sisi Allah. Salah satu shalat sunat yang bisa menaikkan maqam dan menjadi benteng itu adalah shalat sunat witir.

Waktu Shalat Witir
Shalat witir merupakan shalat sunat yang dikerjakan malam hari yang waktunya berawal dari sesudah --seseorang melaksanakan-- shalat isya` sampai datang waktu untuk menunaikan shalat sunnah fajar, baik itu dilakukan di bulan Ramadhan atau di bulan-bulan lain. Mengenai waktu pelaksanaan shalat sunat witir itu didasarkan sabda nabi saw, “Sesungguhnya Allah SWT telah membantu kalian dengan shalat yang lebih baik dari kekayaan rajakaya, yaitu shalat witir. Maka kemudian Allah menjadikanya untuk kalian [agar dilaksanakan] mulai dari isya` hingga terbit fajar.”

Shalat sunat ini dinamakan “shalat sunat witir”, tidak lain karena shalat ini dilakukan dengan bilangan rakaat yang ganjil. Shalat witir ini dengan demikian, berbeda dengan shalat fardhu dan shalat-shalat sunat yang lain. Ini didasarkan pada sebuah hadits nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad, Ashhab al-Sunan, al-Turmudzi dan Hakim dari Ali bin Abi Thalib r.a, “Sebernarnya witir itu bukanlah fardhu sebagaimana shalat kamu yang lima waktu. Tetapi, setelah Rasulullah melakukan shalat witir, baginda bersabda, ‘wahai ahli al-Qur`an, kerjakanlah shalat witir sebab Allah itu Witir (ganjil dan Esa) dan suka sekali kepada yang ganjil’.”

Shalat sunat witir ini merupakan salah satu shalat sunat muakad (shalat sunnah yang dianjurkan dan senantiasa dikerjakan dengan istiqamah oleh nabi Muhammad). Tidak salah, jika Rasulullah senantiasa melaksanakan shalat sunat witir dengan shalat fajar, baik ketika nabi sedang mukim atau dalam perjalanan (musafir). Bahkan ada sebuah riwayat yang mengatakan, Rasulullah tak pernah meninggalkan shalat sunat witir.

Rakaat Shalat Witir
Tidak dapat dibantah lagi, lantaran shalat sunat witir itu berjumlah raka`at ganjil, maka sudah tentu jumlahnya tidak genap. Jadi, shalat witir itu shalat ganjil dan ini didasarkan hadits nabi, “Sesungguhnya Allah adalah witir dan mencintai witir (HR. Abu Daud dan Nasa`i). Jadi, shalat witir itu dapat dilakukan satu rakaat atau tiga rakaat atau lima atau tujuh atau sembilan atau sebelas rakaat.

Rasulullah sering mengerjkan shalat witir ini sebanyak sebelas rakaat. Ada juga yang meriwayatkan bahwa Rasulullah mengerjakannya lima rakaat sekali salam. Bahkan ada yang meriwayatkan, Rasulullah saw mengerjakan shalat witir sebanyak satu (1) rakaat. Dengan mempertimbangkan riwayat-riwayat di atas, maka shalat witir itu boleh dikerjakan paling sedikit satu raka`at, kemudian tiga, lima, sampai yang paling afdhal (utama) adalah sebelas rakaat.

Akhir Malam
Karena shalat witir dilakukan di malam hari, atau bahkan di penghujung (akhir) malam, maka shalat witir ini disebut sebagai shalat penutup. Dengan kata lain, shalat witir itu shalat pamungkas waktu malam untuk “mengganjilkan” shalat-shalat yang genap. Rasulullah saw bersabda “Jadikanlah witir akhir shalat kalian di waktu malam (HR Bukhari).

Adapun yang lebih utama, waktu shalat witir itu dilakukan di akhir malam atau sepertiga malam. Karena di waktu akhir malam itu, shalat seorang hamba disaksikan didasarkan sabda rasulullah, “Barangsiapa takut tidak bangun di akhir malam maka witir-lah pada awal malam dan barangsiapa berkeinginan untuk bangun di akhir malam, maka witir-lah di akhir malam karena sesungguhnya shalat di akhir malam itu masyhudah [disaksikan].” (HR. Muslim)

Maka akhirlah atau pungkasilah shalat malam Anda dengan witir. Karena tak ada kerugian bagi seseorang yang bangun tengah malam lalu mengambil wudhu untuk menunaikan shalat sunat witir. Lantaran menghadap Allah di akhir malam lebih berharga daripada kekayaan apa pun di dunia ini! (n. mursidi)