Selasa, 01 Agustus 2006

toto tasmara: pembimbing para pecandu narkoba

tulisan ini dimuat di rubrik potret di majalah hidayah edisi 61 agustus 2006

Lelaki yang bernama lengkap Toto Tasmara ini boleh dikatakan sosok yang dikelilingi dengan banyak predikat. Selain dikenal sebagai kiai, sekaligus da’i yang kerap memberikan ceramah keagamaan di mana-mana, ternyata ia juga dikenal sebagai penulis kenamaan. Tidak lebih dari lima buku telah dihasilkan dari buah pikiran tokoh satu ini. Lebih dari itu, malah sebelum dia memilih untuk membaktikan hidup dengan mendirikan pesantren al-Maghfirah --yang khusus menangani para pecandu narkoba-- justru sempat malang melintang sebagai eksekutif handal dan konsultan yang piawai di berbagai perusahaan.

Tak ayal lagi, dari petualangan hidup dan pengalaman lelaki kelahiran Ciamis ini kalau menjumpai pahit getirnya kehidupan dunia dan aneka karakter manusia. Salah satu karakter manusia yang sempat membuat sosok satu ini prihatin adalah tatkala ia menjumpai kenakalan remaja dan para eksekutif muda yang terjebak obat terlarang, bernama narkoba. Dari keprihatinan itulah, kiai satu ini kemudian merasa tergugah untuk membimbing mereka dengan mendirikan pesantren al-Maghfirah yang terletak di kaki Gunung Geulis, Bogor.

Bagaimana kisah awal keterlibatan KH. Toto Tasmara bisa menjadi pembimbing bagi para pecandu narkoba? Metode apa yang diterapkan kiai kharismatik ini dalam menangani para pecandu narkoba? Bagaimana suka-duka kiai ini selama menangani korban narkoba? Kepada Nur Mursidi, reporter majalah Hidayah yang berkesempatan menemuinya di pondok pesantren Al-Maghfirah, di sela-sela kesibukan sang kiai ketika menjadi pemandu dan pemateri dalam pelatihan Manajemen Spiritualitas dan Etos Kerja bagi pegawai Bank BNI Syariah di pesantren al-Maghfirah, salah seorang pendiri Badan Kontak Remaja Masjid Indonesia (BKRMI) ini menuturkan kisah manis-getirnya selama kurang lebih 6 tahun dalam menangani para pecandu narkoba.

Sepenggal Kisah dari Lapangan Golf
Sebelum KH. Toto Tamara mendirikan sekaligus menjadi pengasuh pesantren al-Maghfirah yang menangani pecandu narkoba, lelaki kelahiran Ciamis, 10 November 1948 ini dikenal sebagai eksekutif kenamaan. Kendati ia juga dikenal sebagai kiai dan da’i, toh aktivitas olah raga bergengsi yang biasa dilakukan teman-teman eksekutif tidak dijauhinya. Tak salah, jika KH Toto Tasmara pun sempat turut lapangan untuk bermain golf.

Tapi, pada suatu hari di saat sang kiai itu ikut bermain golf, ternyata menjumpai salah seorang bawahannya ada yang berbicara ngelantur dan bahkan berjalan dengan sempongan di tengah lapangan.

Merasa ada yang aneh dengan semua itu, akhirnya sang kiai perlu mengusut. Setelah usut punya usut, ternyata bawahannya itu sedang sedang teller saat bermain golf, nenggak sabu-sabu. “Selama beberapa tahun, saya menjadi eksekutif. Dari situ saya sering main golf bersama para eksekutif muda dan suatu hari di saat main golf, saya melihat para eksutif muda itu ngomongnya ngelantur, juga jalannya sempoyongan. Tapi PD (percaya diri –red) banget. Eh, rupanya hal itu akibat nenggak sabu-sabu,“ tutur kiai satu ini saat bercerita awal mula bagaimana kisah perjalanan yang membawanya menjadi pembimbing para pecandu narkoba.

“Dari situ, saya kemudian ingin mendalami narkoba. Saya bertanya kepadanya, ‘kenapa kamu bisa begini?’ Memang kasihan juga, tapi walaupun dia itu bawahan dan sekaligus teman saya, toh akhirnya saya pecat juga, “ kisah sang kiai lebih lanjut.

Sepenggal kisah dari lapangan golf itulah yang rupanya pada akhirnya dapat mendorong pendiri Yayasan Labmend (Lembaga Bina Menejemen dan Da`wah/ Laboratory for Management and Development) ini kemudian membaca buku dan belajar seputar masalah yang berkaitan dengan narkoba, “Jadi, selesai bekerja sebagai eksekutif (saat itu saya sebagai asisten operasi di Bank Duta dan salah satu asisten sekretaris di PT Humpus), saya menenggelamkan diri membaca buku-buku yang berkaitan dengan masalah narkoba.”

Rupa-rupanya, dari proses belajar dan limpahan pengetahuan setelah membaca buku itu, kiai satu ini punya gagasan untuk menangani dan membimbing para pecandu narkoba. Dengan cara apa? Tentu dengan mendirikan ponpes yang khusus untuk para pecandu narkoba.

“Tepat pada tahun 1997, akhirnya saya keluar. Dari situ, lalu saya membuka jasa konsultan, sambil tetap mendalami masalah narkoba. Baru pada tahun 1999, saya mendirikan pesantren narkoba al-Maghfirah dengan metode saya sendiri,” ceritanya lebih lanjut mengenai sejarah berdirinya pesantren al-Maghfirah yang memang khusus untuk menggembleng para pecandu narkoba.

Metode Motivasi dan Ornaba
Uniknya, dalam memberikan bimbingan dan motivasi bagi pecandu narkoba, Abi –panggilan akrab bagi para santri di pesantren Al-Maghfirah kepadanya—justru menggunakan metodenya sendiri. Tak ayal, jika metode yang diterapkan tentunya lain dengan cara dokter selama ini dalam menangani para pecandu narkoba.

Apa metode yang dipakai? Dalam menangani pecandu narkoba, sebagaimana dijelaskannya adalah dengan metode terapi atau metode motivasi. Dengan metode ini, sang kiai berusaha memotivasi supaya pecandu narkoba meninggalkan benda haram itu. “Metode ini memanggil hati nurani dengan tidak ada unsur pemaksaan. Pokoknya mereka disadarkan saja, karena yang menyembuhkan itu, ya... dirinya sendiri. Narkoba itu tak ada obatnya, yang menyebuhkan itu dirinya sendiri. Jadi…, kalau dirinya tidak dipanggil, ya tak akan sembuh,” katanya menjabarkan metode motivasi yang dipakai.

Tak berlebihan, jika kiai ini tidak memaksa santri untuk shalat. Sang kiai hanya memberikan motivasi dan ternyata saat tumbuh kesadaran, ternyata mereka melakukan juga shalat dengan penuh kesadaran, tanpa harus disuruh atau dibangunkan segala.

Selain dengan metode motivasi, pendiri pesantren al-Maghfirah ini ternyata juga menerapkan metode lain berupa meditasi ornaba (olah rasa nafas batin). “Jadi, setelah 2 bulan, mereka dilatih olah rasa. Sehingga jika dia melawan suges, saat datang keinginan untuk memakai, pikirannya sudah jernih. Ia bisa melawan keinginannya itu. Melawan dari dirinya sendirinya. Jadi, yang dibangun adalah pemberdayaan nilai-nilai spiritual yang ada di dalam diri. Namanya spiritual empowerment, bagaimana nilai-nilai spiritual yang ada dalam dirinya dibangkitkan, diangkat kembali. Lalu, ditumbuhkan optimisme, ‘aku bisa! aku bisa!’.” tutur kiai satu ini lebih lanjut.

Kendati demikian, tetap diselipi materi agama. Meski bagi KH Toto jelas itu tak mungkin mereka akan menjadi ahli agama. “Itu tak mungkin! Apalagi dalam waktu singkat sekitar 6 bulan, jelas bohong” tuturnya mantap. Yang jelas, mereka dimotivasi supaya hatinya sadar, bahwa mengkonsumsi narkoba itu dosa. Sebab, di mata KH Toto Tasmara, pemakai putaw itu tidak ubahnya budaknya putaw. Jadi, tuhannya itu putaw. Tak salah, jika sang kiai berpandangan bahwa perilaku itu termasuk syirik.

Juga, narkoba itu di mata kiai satu ini adalah penyakit yang disebarkan kaum Dajjalis, sehingga beliau sering menanamkan kesadaran bahwa mengkonsumsi narkoba itu mengkonsumsi Dajjal. Dengan kata lain, mengkonsumsi narkoba itu berarti hamba Dajjal, hambanya Yahudi, karena benda itu berasal dari mereka untuk menghancurkan genarasi supaya kalah. “Nah, dengan cara berpikir seperti itu anak menjadi takut sebab narkoba itu sama dengan seribu kali congor babi. Haramnya itu satu babi saja sudah neraka, apalagi seribu congor babi. Dibangun rasa takutnya, dan alhamdulillah dengan metode seperti itu, banyak yang berhasil.”

Pernah Dicaci-maki
Kendati boleh dikata tidak kurang dari 90% pecandu narkoba yang sukses di bawah bimbingnya, namun tak disangkal kalau selama kurang lebih 6 tahun kiprah sang kiai dalam menangani para pecandu narkoba, pernah juga menuai kegagalan. Dari pengalaman kegagalan itu, KH Toto harus menerima perlakuan buruk dari orangtua si korban. Perlakuan buruk itu, salah satunya berupa cacian dari orang tua santri. Karena setelah sang anak dibimbing dan sudah sewaktunya pulang, ternyata di rumah kambuh kembali.

“Orang tua banyak yang tidak mengerti. Dengan banyak duit, mereka maunya cepat sembuh, maunya nyalahin saja. Kalau sudah begitu, saya akhirnya tegas. Anak ibu tak cocok di pesantren kami. Ya, karena orangtuanya begitu, ya mending saya rehab yang lain yang bisa diajak kerjasama. Ada satu dua, dan tidak banyak memang. Sebab bagi saya itu tetap cukup pahit. Saya juga heran, kok ada juga orangtua yang datang ke sini, ‘Pak ini uangnya, pak ini anaknya dan anak saya gak usah pulang ke rumah, biar tinggal saja di sini. Itulah pengalaman pahit yang pernah saya terima,“ kenangnya atas perlakuan buruk dari salah satu orangtua si pecandu.

Jadi dalam mengasuh para korban narkoba kiai satu ini juga mengajak orangtua untuk terlibat. Harapannya, tatkala nanti anak keluar dari pesantren, orangtua sudah siap menerima dan siap untuk mendampingi.

“Sayang, kebanyakan orangtua tidak paham, sebab dikira jika masuk pesantren dikira saat keluar sudah sembuh total. Jadi orang tua juga harus saya sengat, sebab di sini itu soal kasih sayang bukanlah soal uang. Soal perhatian, jadi setelah keluar dari pesantren orangtua sudah siap, kamar anaknya dibersihkan, dijauhkan dari telpon dan lain-lain. Pendeknya, harus hidup baru. Jadi, tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada saya. Sebab, saya membimbing mereka sebagai wujud pengabdian sosial. Sebab, kalau dibandingkan dengan makan mereka, jelas biaya itu tidak cukup. Bahkan, di sini ada yang disumsidi,“ kata penulis buku Menjadi Muslim Kaffah; Menggali Potensi Diri ini.

Tidak berlebihan, kalau kiprah yang telah diukir sosok ini patut diajungi jempol dalam memberikan bimbingan dan motivasi bagi pecandu narkoba. Sebab dari sekitar 600 santri yang pernah diasuhnya, 90 % sukses. “Ada yang jadi pengusaha, insinyur dan pilot. Saya pernah naik pesawatnya dan ketemu. Melihatnya, saya sudah cukup bangga. Sebab bagi seorang pembimbing (guru), akan cukup bangga jika melihat murid yang dibimbingnya itu sukses dan berhasil,” cerita kiai karismatik ini dengan bangga tatkala mengenang kesuksesan santri-santri yang dibimbingnya (n. mursidi).

doa

tulisan ini dimuat di rubrik renungan di majalah hidayah edisi 61 agustus 2006

Di tempat perantauan, keberadaan teman kerap menjadi harta berharga yang tidak ternilai. Betapa berharganya keberadaan teman itu, saya buktikan sendiri. Lulus SMU, saya ingin melanjutkan kuliah ke Yogya. Hati saya sempat ciut, bukan lantaran dihantui kesulitan untuk mengerjakan soal-soal ujian yang nanti akan saya kerjakan, namun semata-mata hanya terbayang pertanyaan, "Di mana saya akan tinggal selama ujian, sementara saya tak punya sanak famili di Yogya?"

Untung, saat saya SMU dan tinggal di pesantren, punya kakak kelas yang lebih dahulu kuliah di Yogya. Jadi, kost kakak kelas saya itu menjadi tempat tubuhku untuk tidur selama 3 hari, selama menjalani ujian. Ia bahkan memberikan semacam kunci dalam memecahkan soal-soal ujian sehingga saya lolos seleksi. Sampai kini, masih saya ingat kebaikannya itu meski sudah lama berlalu. Apalagi ia sempat membuatku sadar akan fungsi mulut untuk berdoa.

Masih saya ingat, malam pertama saat datang ke kost-nya, rasa capek membuat saya ditikam kantuk. Padahal, saat itu malam sudah memasuki waktu untuk menunaikan shalat isya`. Akhirnya, saya putuskan untuk tidur dahulu dan berencana bangun malam hari untuk shalat isya`sekaligus belajar. Meski terantuk, saya masih melihat ia shalat isya`di sebelahku. Usai salam, saya nyeletuk. "Tolong, saya didoakan agar lolos seleksi, ya!"

Tak terbayangkan di benak saya, kalau ia langsung menoleh kepadaku dan dengan nada sumbang berucap, "Hei, Tuhan itu Maha Mengetahui. Tanpa aku berdoa-pun Tuhan sudah tahu apa yang ada dalam benakku. Jadi untuk apa aku mengutarakan dengan mulut lagi meminta Tuhan agar kamu lolos seleksi?"

Saya melongo! Dalam hati kecilku, saya berpikir kalau apa yang diucapkan itu memang tidak salah. Usai shalat isya`, dia tak berdoa dengan mulutnya untuk mengutarakan kepada Tuhan akan apa yang saya minta. Ia langsung melipat sajadah, melipat sarung dan mendekap selimut. Dengkur di malam yang sunyi, lalu memecah kekelaman. "Apa ia benar telah berdoa dalam hatinya untuk diriku?" Aku tak tahu!

Usai ujian, saya pulang. Tatkala saya kembali ke Yogya, setelah dinyatakan lolos ujian, tak lagi ketemu dengannya. Dia pindah kontrakan. Jejaknya, tak bisa saya endus. Bahkan tiga tahun kemudian, setelah saya diajak seorang teman nonton film Rome & Juliet, saya kembali mencarinya ke penjuru Yogya. Tapi tak ketemu. Saya dengar ia sudah lulus. Pulang kampung.

Padahal misiku untuk mencarinya ke penjuru Yogya semata-mata ingin menceritakan tentang kisah percintaan di film Romeo & Juliet (diangkat dari novel Shakespeare), yang saya lihat itu. Dikisahkan Romeo-Juliet saling jatuh cinta dan tak mungkin bisa dipisahkan. Karena itulah, perbedaan kelas tak membuat Romeo "patah arah". Ia nekat meloncati tembok rumah Juliet untuk menjumpai sang pujaan hati. Setelah Romeo berhasil melompati tembok, ia pun ingin segera menumpahkan isi hatinya untuk mencium bibir Juliet.

Tapi apa yang dilakukan Juliet? Sungguh di luar dugaan! Dengan jari telunjuknya, dia justru menutupi bibir Romeo dan berucap, "Tuhan menciptakan mulut bukan untuk mencium, melainkan untuk berdoa."

Saya tak tahu; apa kakak kelasku sempat menonton film Romeo & Juliet atau tidak. Sebenarnya, saya mencarinya ingin bercerita tentang hal itu dan mengatakan bahwa mulut itu merupakan satu organ ciptaan Allah yang tak hanya untuk makan, minum dan bicara melainkan juga punya hak untuk mengangungkan nama Allah. Mulut pun memiliki hak untuk berdoa. Dan Allah tidak pernah ingkar janji, mengabulkan setiap doa umat-Nya, sebagaimana firman Allah, ''...Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku ....'' (QS 2: 186). (n. mursidi)

wanita yang dilempari sepotong pakaian

tulisan ini dimuat di majalah hidayah edisi 61 agustus 2006

"Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. An-Nisaa` 19)

Dahulu, sebelum jalan-jalan setapak di seluruh penjuru kota Makkah dilalui tapak kaki Rasul yang tanpa lelah mengajak umat manusia ke jalan kebaikan, juga sebelum terdengar adzan menggema (memanggil) orang muslim melaksanakan shalat di subuh yang kelabu dan bahkan jauh hari sebelum gigil malam membuat orang rela meninggalkan tebal selimut, lalu menunaikan shalat tahajut, nenek moyang penduduk kota Makkah dikenal memiliki tradisi turun temurun yang kurang baik dalam memperlakukan kaum perempuan. Tangis seorang bayi perempuan yang "pecah" dari bilik rumah, akan digunjing, dicerca dan dibicarakan sebagai aib. Seolah-olah, melahirkan seorang bayi yang berjenis kelamin perempuan itu ibarat mendapat kutukan. Maka sehabis si ibu mengejan mengeluarkan bayi perempuan, tidak jarang sang ayah segera mengubur dalam keadaan hidup-hidup.

Perempuan yang di hidup zaman itu serupa luka. Dipandang dengan sisi nyinyir. Mirip genting rumah yang retak. Nyaris tak punya harga. Ia ibarat sebuah serpihan kertas. Ketiak perempuan itu sebagai istri dan kemudian suaminya meninggal dunia, tak ada secuil pun harta pusaka digenggaman tangannya. Ia dianggap tak dapat menunggang kuda untuk berperang, ia dianggap hidup tergantung keberadaan suami, maka “guna apa perlu ada semacam warisan segala?”

Perempuan selalu dicibir, seakan tubuhnya adalah selembar kain yang dapat dipangkas kemudian dibagi-bagikan. Tradisi jahiliah menyeret perempuan semakin nista, secara turun-menurun kaum perempuan itu dibaratkan sebuah piala. Karena itu, ketika ada seseorang lelaki meninggal dunia dan dia meninggalkan seorang istri, maka salah seorang dari keluarga suami itu biasanya datang ke rumah almarhum lalu melemparkan sepotong pakaian ke tubuh si istri yang menjanda itu. Jika sudah melempari dengan pakaian, maka yang bersangkutan merasa lebih berhak memperistri dan sejak itu pula, janda tersebut tak lagi memiliki kebebasan atas tubuhnya.

Jika yang bersangkutan itu ingin mengawini wanita tersebut, maka dia tak perlu lagi membayar mahar (mas kawin) lagi. Alasannya, karena mahar yang dulu dibayar oleh mendiang suaminya sudah dirasa cukup untuk wanita tersebut. Tetapi, kalau wanita itu tak jadi dinikahi, maka ia akan dibiarkan dan bahkan dipersulit. Untuk mendapatkan kebebasannya, janda itu terpaksa membayar dengan warisan yang diperoleh.

Perempuan manakah yang tidak merasakan tercabik-cabik hatinya dan ingin menjerit histeris, ketika ditinggal wafat oleh suami tercinta justru sekonyong-konyong datang pihak keluarga dari suami yang tidak menghibur atau memberi nasehat yang menentramkan, tetapi menjatuhkan "hukuman" yang teramat kejam dengan melemparkan sepotong pakaian seperti itu?
***
Perasaan kesal campur aduk itulah yang dialami oleh Kabisyah binti Ma`an saat sang suami tercinta, Ashim bin Al-Aslat wafat. Ketika itu, Kabisyah lagi dirundung duka. Wajar, ia merasa sedih, karena setelah itu ia tak akan lagi bisa hidup bersama suami tercinta, Ashim. Dalam keadaan sedih itu, salah seorang keluarga Ashim datang ke rumah almarhum. Uniknya, kedatangan seorang keluarga Ashim itu tidak untuk melayat atau bertakziyah. Kedatangan keluarga Ashim itu bukan pula untuk menghibur Kabisyah yang dirundung duka agar sabar, tawakkal dan ikhlas setelah kehilangan suaminya, melainkan melemparkan sepotong pakaian kepada Kabisyah.

Hati Kabisyah seketika seperti tersayat sembilu. Pilu. Ia ingin menangis kencang dan keras-keras. Ia ingin menjerit. Ia ingin berontak. Tetapi, semua itu ia biarkan berlalu. Ia biarkan keluarga suaminya itu "melemparkan" sepotong pakaian kepadanya. Ia tahu kalau hal itu merupakan kematian kecil baginya. Sebab Kabisyah tahu, tradisi dan adat yang berlaku telah berurat dan berakar kuat. Kini, jika ia harus mengikuti adat tersebut, maka ia menjadi wanita yang diwariskan. Ia dilarang menikah dengan orang lain dan mulai saat itu ia mengalami semacam tahanan rumah. Sebab, keluarga Ashim telah mengeluarkan maklumat "pelarangan". Padahal, kalau dipikir-pikir Kabisyah secara baik Kabisyah tidak telah berbuat keji secara terang-terangan.

Lantas, kenapa Kabisyah harus diperlakukan tidak adil seperti itu dengan dilempari sepotong pakaian yang membawa implikasi ia tidak memiliki kebebasan atas tubuhnya? Apa sebenarnya salah Kabisyah? Ataukah tradisi itu yang sebenarnya salah?

***

Sebagai istri Ashim bin Al-Aslat, Kabisyah binti Ma`an tidak salah. Ia tidak pernah berbuat keji secara terang-terangan. Ia istri yang baik dan penurut kepada sang suami. Juga ia seorang istri yang patuh. Ia nurut. Ia berbudi baik bak pualam, yang selalu menyinarkan simpati karena Kabisyah selalu membasuh pekerti dengan hati-hati.

Bahkan sebelum Ashim meninggal dunia, Kabisyah dan Ashim hidup seperti layaknya suami istri pada umumnya; penuh romantika hidup, dalam suka dan duka. Hari-hari bahagia itu dilalui dengan rasa sukur dan penuh kesabaran. Mungkin kalau ada satu hal yang dirasa kurang bagi Kabisyah, itu adalah karena ia tak dikarunia seorang anak yang lahir dari rahim Kabisyah sendiri.

Kabisyah memang bukan istri pertama bagi Ashim. Karena sebelumnya, Ashim telah menikah beberapa kali, tetapi dengan Kabisah itu Ashim tidak memperoleh anak (kecuali dari istri sebelumnya). Oleh karena itu, Kabisyah ingin dan berharap sekali mendapatkan seorang anak dari Ashim, seorang laki-laki yang baik. Hari berlalu, minggu terlewati dan tahun-tahun pun terlampaui. Harapan Kabisyah itu, ternyata tinggal sebuah harapan.

Untuk menuruti keinginan Kabisyah yang belum terpenuhi menimang anak itulah, maka suatu hari, saat Ashim mendengar mantan istrinya --sebelum Kabisyah yang memiliki seorang anak-- itu meninggal, Ashim buru-buru pergi untuk menemui keluarga dari bekas istrinya itu. Ia dengan amat sangat meminta kepada keluarga tersebut agar anak itu diasuh oleh Ashim dan dibiarkan untuk tinggal bersamanya.

Keluarga besar istrinya itu, sebenarnya bermaksud pula memelihara anak tersebut, karena ibunya dulu juga sempat tinggal bersama mereka. Karena itu, keluarga tersebut berat sekali melepas anak itu untuk ikut hidup bersama Ashim. Apalagi, istri Ashim --Kabisyah-- itu tak lain adalah ibu tiri bagi anak tersebut. Akibatnya, keluarga bekas istri Ashim itu sejenak berpikir ulang saat mendengar permintaan Ashim. Mereka takut kalau anak tersebut akan diperlakukan tidak baik oleh istri Ashim, Kabisyah.

Ashim tahu kalau keluarga mantan istrinya itu berat melepas. Karena itu, Ashim bin Al-Aslat berterus terang kepada keluarga tersebut dengan mengemukakan satu alasan, "Istri saya sekarang ini sangat menginginkan anak dari saya, tetapi hal itu tidak terlaksana. Karena itulah, ia nanti akan menganggap anak itu seperti anaknya sendiri."

Alasan yang dikemukakan Ashim itu rupanya mampu meruntuhkan hati keluarga bekas istrinya itu. Mereka tak keberatan kalau anak itu hidup bersama Ashim, setelah mengetahu Kabisyah tidak memiliki anak padahal sangat berharap bisa menimang anak. Tetapi, mereka mengajukan syarat, yaitu Ashim haruslah menjamin bahwa anak itu nanti akan diperlakukan dengan baik oleh Kabisyah, istrinya yang sekarang. Ashim menyanggupi permintaan mereka. Ashim berjanji di depan mereka untuk menjamin hak anak itu.

Setelah keluarga itu menyerahkan kepengurusan anak, Ashim bin Al-Aslat sangat gembira. Ia dengan bangga dan senang segera membawa anak itu pulang ke rumah untuk diasuh istrinya yang sekarang, Kabisyah. Kesenangan itu juga disambut oleh istrinya. Dengan kata lain, ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Sebab Kabisyah sendiri memperlakukan anak itu layaknya anaknya sendiri. Juga, tatkala Ashim melihat istrinya mengasihi anaknya yang masih kecil itu, ia merasa perlu menghemat hartanya supaya dapat memberikan makanan yang disukai anak itu dan ia juga memberikan apa yang dikehendaki anak itu. Dan keberadaan anak itu, semakin membuat hidup Kabisyah dan Ashim lebih berwarna, lebih bahagia dan juga lebih menentramkan.

Tetapi kebahagian itu ternyata tidak samoai berlangsung lama. Suatu ketika, Ashim jatuh sakit. Dengan sabar dan telaten, Kabisyah setia menunggu suaminya. Ia merawat, menunggu dan mengobati penyakit suaminya dengan penuh curahan kasih sayang. Akan tetapi, sakit suaminya kian hari kian tambah parah dan selama itu, sebelum Ashim menghembuskan nafas terakhir, tik ada yang dibicarakan oleh Ashim kepada Kabisyah. Ashim hanya berpesan satu hal agar Kabisyah berbuat baik kepada anaknya yang masih kecil. Kabisyah menyakinkan kepada suaminya bahwa ia akan selalu memelihara anaknya itu --dengan kedudukan-- seperti anak kandungnya.

Setelah mendengar pesan itu, terangkatlah ruh Ashim kepada Sang Pencipta dengan tenang di hadapan anaknya yang mash kecil dan istrinya, Kabisyah yang telah berjanji akan merawat selalu dan memelihara anak kecil itu seperti anak kandungnya. Kedukaan segera tiba atau melingkupi rumah Ashim. Berita duka itu pun tersiar sampai ke telinga keluarga Ashim.

Setelah mengetahui Ashim meninggal, keluarga Ashim pun datang. Tetapi, kedatangan mereka itu bukan bermaksud untuk menghibur kesedihan Kabisyah yang sedang dirundung duka, melainkan untuk --menjalankan tradisi jahiliah-- untuk melemparkan sepotong pakaian kepada Kabisyah. Dalam tradisi yang berlaku itu, apabila seorang suami meninggal dunia, keluarganya akan datang melemparkan sepotong pakaian kepada istrinya. Dengan tindakan itu, Kabisyah semacam menjadi wanita yang dijadikan waris, juga tidak dibolehkan kawin lagi kepada orang lain kecuali yang bersangkutan. Mengikuti adat tersebut, berarti pula Kabisyah (sejak saat itu) mengalami semacam tahanan rumah. Sebab keluarga Ashim telah mengeluarkan maklumat pelarangan bagi Kabisyah (yang bersifat simbolis) lewat pelemparan sepotong pakaian.

***

Sudah jatuh masih ditimpa tangga pula. Mungkin peribahasa itu sangatlah pas untuk menggambarkan keadaan hati pilu Kabisyah saat itu. Karena itu, Kabisyah kemudian berpikir bahwa perilaku itu tidak saja telah membuat dirinya tak berkuasa terhadap dirinya sendiri, melainkan juga perlakuan yang tak adil. Akibatnya, Kabisyah mulai berpikir tentang kezaliman yang menimpa dirinya.

Apalagi, dia tahu sepenuhnya kalau sesungguhnya, Islam datang untuk menyelamatkan kaum perempuan dari tindak kezaliman yang mengelilingi dan menekan kaum hawa berabad-abad (dalam catatan sejarah) selalu diperlakukan tidak adil. Dulu misalnya, adat jahiliah telah memperlakukan anak perempuan yang lahir langsung dikuburkan hidup-hidup. Islam datang, mengharamkan hal itu. Rasulullah memberikan kabar gembira bagi kaum muslimin bahwa tak ada perbedaan antara kaum lelaki yang shaleh dan perempuan yang shaleh di sisi Allah.

Juga, dahulu kala, kaum wanita tak mendapatkan warisan. Islam datang, mengangkat derajat kaum perempuan dengan memberikan bagian tertentu secara adil. Dalam kesendirian, Kabisyah lalu berpikir tentang semua hal itu. Ia yakin bahwa Allah akan memberi jalan keluar kepadanya dari kezaliman yang mengepungnya. Islam merevolusi adat dan tradisi jahiliah soal kedudukan kaum wanita yang di zaman jahiliah telah dizalimi dengan perbuatan sewenang-wenang. Oleh karena itu, Kabisyah berpikir apa yang akan ia lakukan?

Akhirnya, ditemukan sebuah jawaban yang membuatnya lega. Tidak ada jalan lain lagi, kecuali ia pergi menemui Rasulullah dan ia akan mengadukan permasalahan yang kini sedang dihadapi itu. Di hadapan Rasulullah, Kabisyah bercerita panjang lebar tentang masalah yang menimpa dirinya.

Allah mendengar pengaduan Kabisyah kepada Rasulullah itu dan kemudian menurunkan hukum tentang hal tersebut dengan firmannya, "Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. An-Nisaa` 19)

Setelah mendengar turunnya ayat di atas yang didalamnya berisi hukum Allah yang tidak menghalalkan bagi orang beriman mempusakai wanita, ia seketika ceria. Sebab setelah turunnya ayat tersebut, Kabisyah menjadi bebas dari jeratan sepotong pakaian yang telah membelit leher Kabisyah. Ia bebas untuk menikah lagi dan tidak menjadi wanita yang bisa diwariskan kepada keluarga Ashim. Dalam hati, Kabisyah bergumam, Allah Maha Besar dan Maha Agung!!! (n. mursidi/ sumber: Profil di Balik Cadar; Kisah Wanita dalam Al-Qur`an, Jabir asy-Syal, terj. Alwi AM, Penerbit Grafiti Pers, Jakarta; 1986 dan Tafsir al-Mishbah, M. Quraish Shihab, Penerbit Lentera Hati, Jakarta; 2000)




dua kali dihadang marabahaya

majalah hidayah edisi 61 agustus 2006

Sejak saya bekerja di majalah Hidayah, seringkali saya mendapat pertanyaan amat krusial yang membuat saya seakan-akan diadili, "Benarkah kisah-kisah yang dimuat Hidayah itu kisah nyata?"

Saya --tidak bisa tidak-- kemudian "angkat bicara" dan membeberkan sekelumit cerita peliputan yang sering mengundang "mara bahaya" dan bahkan mengancam keselamatan narasumber (cerita). Ini semua saya ceritakan agar pembaca tahu sekelumit duka peliputan yang dialami wartawan Hidayah.

Sekitar setahun yang lalu, saya melakukan liputan ke daerah Jatim dan mendapat beberapa oleh-oleh cerita. Dari sejumlah cerita itu, ada dua cerita yang menurut pemred --setelah saya ajukan-- dipandang menarik dan layak dijadikan sebagai cover. Cerita pertama naik cetak dan tak ada kendala. Tapi untuk cerita kedua, sungguh di luar dugaan, tiba-tiba narasumber (cerita) menariknya dari meja redaksi.

Alasan yang dikemukakan, "Kau itu bertindak ceroboh sebab menulis 'tokoh cerita' dengan nama asli almarhum --untuk cerita yang telah kuliput sebelumnya-- dan itu bisa membahayakanku kalau kamu harus mengangkat cerita yang kedua ini. Karena, kini aku sudah dicurigai." Mau tidak mau, saya kemudian membatalkan pemuatan cerita kedua itu. Alasan pertama, saya tidak ingin nasib narasumber saya terancam. Kedua, tanpa restu narasumber, saya juga tak memiliki kewenangan untuk mengajukan cerita agar dimuat. Cerita itu pun tidak jadi naik cetak. Batal.

Meski tak sama, peristiwa dihadang mara bahaya juga saya alami saat melakukan peliputan di daerah Jateng. Berbekal info seorang teman, saya pun berangkat ke kotanya dan rencananya akan dipertemukan dengan saksi cerita. Karena saya tiba di lokasi itu malam hari, maka rencana wawancara dengan narasumber cerita baru dapat dilaksakan esok harinya. Tetapi, apa yang terjadi esok paginya setelah saya melewatkan malam yang mencemaskan itu tidur bersebelahan dengan beberapa ekor sapi dan disesaki bau kotorannya (di kampung itu sapi jadi hewan kebanggaan yang menunjukkan kekayaan sehingga orang kampung jarang membangun kandang di belakang rumah, melainkan sapi ditempatkan di "ruang tamu") yang membuat perut saya mual? Kemarahan dan ancaman!!!

Alkisah, tatkala pagi itu tiba, saya diantar oleh temanku untuk bertemu dengan saksi cerita yang akan saya wawancari. Dengan sedikit bergetar, temanku itu mengetuk pintu rumah saksi. Tetapi, setelah pintu itu dibuka, yang muncul bukannya saksi yang akan saya wawancarai melainkan pamannya yang justru berang dan marah-marah. Ia mengancam saya, kalau sampai meneruskan peliputan, ia akan "berbuat" balik dengan hal yang sama. Saya "celingukan", karena tak tahu wajah saksi cerita. Dengan cepat, temanku menggeret tangan saya dan mengajak lari. Orang-orang kampung melihat kami berdua dengan tatapan mata nanar dan penuh curiga. Padahal, saya dan temanku itu datang dengan baik-baik dan narasumber cerita itu tak lain adalah keponakannya sendiri.

Jika di awal tulisan ini saya bercerita sering mendapat pertanyaan yang seakan mengadili, kini saya balik bertanya, "Masih adakah secuil keraguan di benak pembaca setelah mengetahui peliputan yang dilakukan wartawan Hidayah itu ternyata berhadapan dengan mara bahaya?" Jawaban dari pertanyaan ini, tentunya ada di benak pembaca sendiri! (n. mursidi)