Allah memerintahkan kepadamu mengenai anak-anakmu; bagian yang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan. Maka jika yang ada hanya perempuan, dua orang atau lebih, bagiannya dua pertiga peninggalan. Dan jika hanya seorang, bagiannya separuh… (QS. An-Nisaa` [4]: 11)
Tersebutlah nama Ummu Kujjah. Ia adalah wanita mukmin yang tinggal di Madinah dan hatinya terpaut dengan masjid. Bersama suaminya, Sa'ad bin ar-Rabi', ia abdikan hidup dan mati hanya untuk Islam. Keduanya rajin pergi ke masjid, melaksanakan shalat berjamaah dan juga mendengarkan nasehat-nasehat rasulullah.
Suatu hari, Ummu Kujjah mengetahui akan rencana rasulullah yang akan mendatangi kafilah kaum Quraish yang kembali bersama dengan Abu Sofyan. Sayang, dia saat itu sedang hamil sehingga tidak bisa ikut berjihad dalam membela agama Allah. Hanya sang suami yang bisa berangkat menyertai rasulullah. Karenanya, ada rasa sedih di hatinya. Kendati demikian, ia tetap melepas kepergian sang suami dengan ikhlas dan penuh doa.
"Hai… Ummu Kujjah, aku akan pergi bersama Rasululllah untuk mendatangi kafilah kaum Quraisy," ucap suaminya saat mau berangkat dalam medan perang perang. Perang ini dalam sejarah Islam dikenal dengan perang Badr.
"Semoga Allah memberkati kebenaran imanmu. Demi Allah kalau sekiranya aku tidak sedang hamil di bulan-bulan terakhir, niscaya aku akan keluar bersamamu untuk menyediakan makanan dan minuman."
Akhirnya pergilah sang suami untuk berperang bersama dengan rasulullah. Sementara Ummu Kujjah tinggal di rumah dengan putrinya sampai kaum muslimin kembali ke Madinah bersama rasulullah dengan membawa kemenangan. Di hari saat mereka kembali itulah, Ummu Kujjah melahirkan putrinya yang kedua. Sang suami sebenarnya mengharapkan kelahiran anak laki-laki, tetapi Allah-lah yang menentukan segala sesuatu. “Ia karuniakan anak-anak laki-laki kepada siapa yang Ia kehendaki.” (QS. Asy-Syura 49).
Dengan kelahiran anak itu, berarti pasangan Sa`ad bin ar-Rabi` dan Ummu Kujjah memiliki dua anak perempuan. Ummu Kujjah merawat, mengasuh serta membesarkan kedua anak perempuan itu dengan kasih sayang dan penuh perhatian.
Perang Uhud
Penduduk kota Makkah hampir tidak percaya ketika pasukan kaum Quraisy pulang ke Makkah dengan membawa kekalahan. Sebab jika dilihat dari jumlah tentara kaum muslimin yang cuma sepertiga dari jumlah tentara kaum Quraisy, jelas itu tidak masuk akal. Apalagi pasukan kaum Quraisy memiliki persenjataan yang memadai dan lebih berpengalaman. Tetapi kekalahan itu adalah satu kenyataan yang tak bisa dibantah sehingga membuat mereka harus menerima meski dengan perasaan dan hati yang amat terpukul.
Akibat kekalahan kaum Quraisy dalam Perang Badar itu, mereka dibakar api dendam sehingga kaum Quraisy bertekad bulat untuk membalas kekalahan itu. Apalagi dengan kekakahan itu, secara otomatis akan mengancam rute perdagangan mereka ke Syam, sehingga mereka berada dalam keadaan yang cukup membahayakan secara ekonomi. Karenanya, tak ada pilihan lain kecuali mereka harus membalas kekakahan itu demi meningkat kewibawaan, merebut kembali cengkraman mereka atas suku-suku di pesisir dan demi menyelamatkan rute perdagangan.
Dalam waktu 12 bulan, kaum Quraisy berhasil mengumpulkan sekitar 3000 tentara, termasuk di antaranya 200 pasukan kavaleri dan 700 tentara bersenjata. Pasukan bangsa Quraisy kemudian melakukan perjalanan menuju Madinah pada tanggal 9 Syawal tahun ke 3 Hijriyah dan mendirikan perkemahan di kaki gunung Uhud, 3 mil sebelah utara kota Madinah.
Dengan keberangkatan pasukan Quraisy itu, Rasulullah segera mengadakan pertemuan membahas keadaan genting ini untuk mendapatkan keputusan yang terbaik. Ummu Kujjah mendengar Rasulullah berbincang-bincang tentang strategi apa yang akan diterapkan; apakah sebaiknya keluar menyongsong kaum musyrikin di dekat bukit Uhud, sehingga apabila mereka datang, kaum mukminin dapat menyerang mereka dari atas atau akan menyongsong di dalam kota.
Tokoh dari kaum munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul ternyata menyebarkan bibit-bibit fitnah dan perselisihan yang menyebabkan Rasulullah marah. Rasulullah masuk ke dalam rumah bersiap-siap keluar untuk berperang dan menyongsong kaum musyrikin di luar kota Madinah.
Ketika kaum muslimin sudah bertekat perang, Ummu Kujjah mempersiapkan senjata suaminya, dan sejumlah perban untuk pembalut luka bagi kaum muslimin dan air untuk minum orang-orang yang turut berperang. Saat mau berangkat, suaminya bertanya," Di manakah kedua anak kita kau tinggalkan? Bukankah kau juga akan keluar bergabung dengan pasukan seperti halnya aku?"
"Anak-anak akan aku tinggalkan bersama ibuku," jawab Ummu Kujjah.
"Karunia Allah-lah yang telah membantumu ikut pergi bersama kami," ucap suaminya
"Apakah hanya Anda sendiri yang sekiranya menghendaki pahala berjihad sedangkan aku tidak?”
Setelah itu, pergilah Ummu Kujjah dan Sa`ad bin ar-Rabi` bersama pasukan kaum muslimin. Tetapi dalam perjalanan, dia dan kaum muslimin sangat terkejut saat melihat tokoh munafik, Ibnu Salul surut ke belakang bersama dengan sepertiga pasukan untuk kembali ke Madinah. Meski demikian, pasukan kaum muslimin tetap pergi ke bukit Uhud tempat di mana rasulullah mengatur pasukan dan memerintahkan orang-orang yang berada di atas bukit untuk tidak meninggalkan tempat mereka, baik kemenangan berada di pihak mereka maupun di pihak kaum musyrikin.
Akhirnya, pertempuran pun terjadi. Kaum muslimin mendapat kemenangan atas kaum musyrikin, yang menentang kebenaran itu. Kaum musyrikin kalah dan lari tunggang langgang meninggalkan barang-barang mereka. Saat melihat kaum musyrikin lari tunggang langgang, pasukan panah dari kaum muslimin meninggalkan tempat mereka di atas bukit, menyalahi apa yang telah diperintahkan rasulullah.
Akibatnya, tidak mentaati perintah rasulullah itu kaum muslimin menderita kekalahan karena kaum musyrikin kemudian berbalik menyerang kembali. Tak sedikit pahlawan-pahlawan Islam yang mati sahid di dalam perang Uhud itu. Dalam Perang Uhud ini, kaum muslimin yang gugur sebagai suhada` sebanyak 70 orang. Sementara nabi sendiri, terluka. Di antara orang yang meninggal dalam perang Uhud itu adalah Sa`ad bin ar-Rabi`. Karena itu, Ummu Kujjah kembali ke Madinah sebagai seorang janda dan harus memelihara anak-anaknya dari suaminya yang mati sahid di Uhud seorang diri.
Hukum Warisan
Suaminya yang sahid sebenarnya meninggalkan harta pusaka yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan istri dan kedua anak perempuannya itu setelah kepergiananya. Tapi pamannya ternyata menguasai harta mereka dan mengesampingkan hak-hak dari kedua anak perempuan dan istri saudaranya itu.
Orang-orang telah berusaha mengembalikan hak Ummu Kujjah dan anaknya itu atas harta tersebut, tapi tak berhasil. Sang Paman tetap menguasai harta yang ditinggalkan oleh saudaranya bagi keperluan hidup Ummu Kujjah dan kedua anak perempuannya itu. Akibat dari penguasaan sang paman itu, kedua anak itu harus gigit jari. Karena diperlakukan dengan tidak adil, akhirnya Ummu Kujjah memutuskan untuk menemui rasulullah. Sebab bagi Ummu Kujjah tak ada jalan lain kecuali mendatangi rasulullah untuk mengadukan masalah ini.
Dengan mengajak serta kedua putrinya, Ummu Kujjah meminta keadilan rasulullah. Ia mengadu dengan mengatakan, "Wahai Rasulullah, kedua putri ini adalah anak Sa'ad bin ar-Rabi' yang telah meninggal sebagai syuhada ketika Perang Uhud. Tetapi paman kedua putri Sa'ad ini telah mengambil seluruh harta peninggalan Sa'ad, tanpa meninggalkan barang sedikit pun bagi keduanya" (HR. Imam Bukhari dan Muslim). Bagaimanakah pendapatmu, ya Rasulullah? Karena demi Allah, mereka menganggap bahwa aku tidak kawin melainkan dengan harta ayah kedua anak perempuan ini."
"Allah akan menurunkan menetapkan hukum menyangkut hal yang engkau adukan ini," jawab Rasulullah. Ummu Kujjah pulang ke rumah menantikan keputusan yang akan diputuskan oleh rasulullah.
Tak selang lama, Allah kemudian menetapkan hak kedua anak itu, suatu hukum yang dijadikan sebagai dasar pembagian warisan di antara kaum muslimin sampai di hari Kiamat, dengan turunnya firman Allah, "Allah memerintahkan kepadamu mengenai (bagian warisan untuk) anak-anakmu, bagian yang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan. Maka jika yang ada hanya perempuan, dua orang atau lebih, bagi mereka dua pertiga peninggalan. Dan jika hanya seorang, bagiannya separuh. Dan bagi ayah bunda (orang yang meninggal), masing-masing dari keduanya seperenam peninggalan, jika dia meninggalkan anak. Jika tiada beranak, dan pewarisnya (hanya) ayah bundanya, maka ibunya mendapat sepertiga. Jika ia meninggakan saudara-saudara (laki-laki ataupun perempuan), maka bagi ibunya seperenam. (Semuanya itu) sesudah diselesaikan wasiat yang dibuatnya atau sesudah dibayar utang-uatangnya. Orangtuamu dan putra-putramu, tiada kamu tahu siapa di antara mereka yang paling dekat kepadamu. (Ini adalah) bagian-bagian yang ditetapkan Allah. Sungguh, Allah Mahatahu, Maha bijaksana." (QS. An-Nisa`11)
Setelah turun ayat itu, Rasulullah kemudian mengutus seseorang kepada paman kedua anak Sa`ad itu sambil berpesan kepadanya. "Berikanlah harta peninggalan anak ini sebanyak dua pertiga dan ibunya seperdelapan, sedangkan sisanya ambillah untukmu." (HR. Abu Daud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, melalui Jabir bin Abdillah)
Itulah pembagian warisan yang pertama dalam Islam. Dengan demikian, Ummu Kujjah dan kedua anak perempuannya adalah orang yang merasakan manfaat peraturan yang adil, yang dijadikan sebagai dasar bagi pembagian warisan dalam Islam. (n. mursidi)
In Box
Hak Waris Kaum Wanita Sebelum Islam
Sebelum istri Sa`ad bin ar-Rabi` mengadukan masalah yang menimpa kedua anaknya itu kepada rasululluh, atau lebih tepatnya sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab tidak mengakui hak-hak kaum wanita dalam mendapatkan warisan dari peninggalan ahli waris (orang tua ataupun kerabatnya). Alasan yang dijadikan dalih bagi kalangan masyarakat Arab Jahiliah adalah bahwa kaum wanita itu tidak dapat ikut berperang membela kaum dan sukunya. Bangsa Arab Jahiliah dengan tegas menyatakan, "Bagaimana mungkin kami akan memberi warisan (harta peninggalan) kepada orang yang tidak bisa dan tidak pernah menunggang kuda, tidak mampu memanggul senjata, serta tidak pula berperang melawan musuh." Dengan kata lain, mereka mengharamkan kaum wanita untuk menerima harta warisan (pusaka), sebagaimana mereka mengharamkannya pula kepada anak-anak kecil.
Keadaan yang memprihatinkan dan timpang itu, jelas bagi kita bahwa sebelum Islam datang, bangsa Arab Jahiliah telah memperlakukan kaum wanita secara tidak adil. Mereka tidak memberi hak waris kepada kaum wanita dan anak-anak, baik dari harta peninggalan ayah, suami, maupun kerabat mereka. Kedatangan Islam –dengan turunnya ayat itu—tidak dapat ditepis lagi menjadi justifikasi keadailan dengan memberikan bentuk penghormatan kepada kaum wanita. Sebab kedatangan Islam dengan turunnya ayat tersebut menjadi satu ketetapan syariat yang telah memberikan mereka (kaum wanita) hak untuk mewarisi harta peninggalan kerabat, ayah, atau suami mereka dengan penuh kemuliaan, tanpa direndahkan. Islam memberi mereka hak waris, tanpa boleh siapa pun mengusik dan menentangnya. Inilah ketetapan yang telah Allah pastikan dalam syariat-Nya sebagai keharusan yang tidak dapat diubah.
Nabi Muhammad adalah rasul yang diutus Allah untuk merubah tatanan yang tak adil dan salah satunya adalah tatanan di masayarakat Arab tentang pembagian warisan. Kontan, saat wahyu itu turun kepada Rasulullah saw. (berupa ayat-ayat tentang waris), seketika pula itu kalangan bangsa Arab merasa tidak puas dan keberatan. Mereka sangat berharap kalau hukum yang tercantum dalam ayat itu dapat dihapus (mansukh). Sebab menurut anggapan mereka, memberi warisan kepada kaum wanita dan anak-anak dianggap sangat bertentangan dengan kebiasaan dan adat yang telah lama mereka amalkan dan berlaku sebagai ajaran dari nenek moyang mereka.
Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan sebuah kisah yang bersumber dari Abdullah Ibnu Abbas r.a. Ia berkata: "Ketika ayat-ayat yang menetapkan tentang warisan diturunkan Allah kepada Rasul-Nya --yang mewajibkan agar memberikan hak waris kepada laki-laki, wanita, anak-anak, kedua orang tua, suami, dan istri-- sebagian bangsa Arab merasa kurang senang terhadap ketetapan tersebut. Dengan nada heran dan mencibir mereka mengatakan: 'Haruskah memberi seperempat bagian kepada kaum wanita (istri) atau seperdelapan.' Memberikan anak perempuan setengah bagian harta peninggalan? Juga haruskah memberikan warisan kepada anak-anak ingusan? Padahal mereka tidak ada yang dapat memanggul senjata untuk berperang melawan musuh, dan tidak pula dapat andil membela kaum kerabatnya. Sebaiknya kita tidak perlu membicarakan hukum tersebut. Semoga saja Rasulullah melalaikan dan mengabaikannya, atau kita meminta kepada beliau agar berkenan untuk mengubahnya.'
Sebagian dari mereka berkata kepada Rasulullah: 'Wahai Rasulullah, haruskah kami memberikan warisan kepada anak-anak kecil yang masih ingusan? Padahal kami tidak dapat memanfaatkan mereka sama sekali. Dan haruskah kami memberikan hak waris kepada anak-anak perempuan kami, padahal mereka tidak dapat menunggang kuda dan memanggul senjata untuk ikut berperang melawan musuh?"
Tetapi wahyu Allah adalah aturan sebaik-baik peraturan dan semulia-mulia keputusan. Apa yang diturunkan Allah adalah keputusan terbaik. Dari pengaduaan Ummu Kujjah kepada nabi, lalu turun ayat tentang waris itu setidaknya menjadi satu bentuk nyata ajaran syariat Islam dalam menyantuni kaum wanita; Islam telah mampu melepaskan kaum wanita dari kungkungan kezaliman zaman. Juga, Islam memberikan hak waris kepada kaum wanita yang sebelumnya tak memiliki hak seperti itu, bahkan telah menetapkan mereka sebagai ashhabul furudh (kewajiban yang telah Allah tetapkan bagian warisannya). Ini adalah satu bukti dari ajaran yang dibawa Islam, bahwa Islam adalah agama yang menghargai kaum perempuan. (NM/dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar