Malam itu Rini (35 thn) hanya berpangku tangan. Di dalam kamarnya, ia membenamkan diri. Sudah hampir seminggu ia tak keluar rumah, menghabiskan hari-hari yang menjemukan di ruang tengah, kamar tidur serta dapur. Wajahnya yang masih terlihat cantik, meski usia Rini sudah di ambang kepala empat, kini sudah tidak lagi terawat. Ia jarang menatap cermin untuk bersolek, dan menorehkan lipstik di bibir. Karenanya, bintik-bintik, keriput dan bercak hitam mulai menempel di muka Rini yang dulu terawat dengan bersih.
Di atas mejanya, juga tergeletak undangan pernikahan sanak keluarga dan famili yang ditujukan kepadanya. Ada juga beberapa undangan pertunjukan film, teater dan seminar yang harus ia hadiri. Tetapi jangankan ia membaca semua undangan itu! Untuk menyentuhnya saja, ia merasa enggan. Ia seperti dipaksa untuk tidak peduli dengan dunia luar. Ia dilarang untuk menunggu sampai batas waktu tertentu lantaran sang suami tercinta telah meninggal dunia seminggu yang lalu.
Jika seminggu sebelumnya ia masih sedih dirundung duka akibat kematian sang suami, kini justru persoalan lain menghadang. Kini dia terjerat masa penantian dalam ruang sempit bernama rumah dan itu yang kadang mengantarkan Rini pusing tujuh keliling. Dia tidak bisa nikah lagi sebelum semuanya jelas. Dia tidak lagi memiliki kebebasan seperti dulu lagi, karena agama telah mengajarkan dia sebagai wanita yang harus menjalani masa `iddah. Semula, dia ingin memberontak, namun itu urung dia lakukan. Jadinya, Rini menghabiskan hari-hari yang menjemukan di dalam rumah.
Meskipun demikian, dalam hati terdalam Rini, terbersit pertanyaan. Ada apa dengan `iddah? Kenapa wanita harus dianjurkan menunggu sampai waktu tertentu jika ingin menikah lagi? Bukankah kini dunia medis sudah maju, bisa mendeteksi seorang wanita itu dinyatakan hamil atau tidak kalau persoalannya adalah `iddah itu untuk menunggu kemungkinan kehamilan belaka?
Sekilas tentang Iddah
Kasus yang dialami Rini di atas itu bukan hal baru atau asing dalam agama Islam, bagi seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya. Kasus yang dialami Rini itu dikenal dengan nama `iddah. Bahkan sebelum Islam datang, `iddah itu sebenarnya sudah dikenal pada masa Jahiliyah. Karena mengandung manfaat, maka iddah itu tetap diakui sebagai salah satu ajaran dalam syari`at Islam.
Iddah adalah masa penatian yang diwajibkan atas perempuan yang ditinggal oleh sang suami (cerai atau karena kematian) untuk dapat menikah kembali (jika memang mau menikah). Dengan kata lain, pada masa itu dia tak boleh menikah atau menawarkan untuk dinikahi. Iddah bagi wanita yang ditinggal mati suami masanya adalah arba'ata asyhurin wa'asyra --4 bulan sepuluh hari. Adapun dalil dari kasus ini adalah “Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri, maka hendaklah para istri itu menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah: 234).
Sedang 'iddah wanita yang diceraikan suami dan keduanya sudah pernah berduaan atau berhubungan adalah tiga quru'. Hal ini berdasarkan atas firman Allah, “Wanita-wanita yang dithalak hendaklah menahan diri (menunggu) selama tiga masa quru` (QS. Al-Baqarah: 228). Quru` yang dimaksud di sini adalah haid, sebagaimana yang disabdakan rasulullah, “Dia (istri) yang beriddah (menunggu) selama tiga masa haid.” (HR. Ibnu Majah). Juga hadits nabi yang lain, “Dia menunggu selama hari-hari quru`nya. (HR Abu Daud dan Nasa`i).
Adapun bagi wanita yang sedang hamil masa 'iddah-nya sampai melahirkan, sama saja apakah saat melahirkan masih panjang atau pendek. Akan tetapi jika istri itu tidak mengalami haid karena usianya masih kecil, misalnya atau si istri telah menopause maka masa 'iddah-nya selama tiga bulan berdasarkan firman Allah, "Wanita-wanita yang sudah berhenti dari haid dari kalangan istri-istri kalian. Jika kalian ragu, maka 'iddah mereka adalah tiga bulan, demikian pula wanita-wanita yang belum haid." (Ath Thalaq : 4).
Di sini iddah berlaku karena adanya hubungan suami istri. Karena itulah, jika talak itu dijatuhkan setelah akad, sebelum berduaan (bersetubuh) maka tidak ada 'iddah bagi wanita tersebut. Hal itu berdasarkan firman Allah: "Wahai orang-orang yang beriman apabila kalian menikahi wanita-wanita yang beriman, kemudian kalian hendak menceraikan mereka sebelum kalian mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka menjalani masa 'iddah bagi kalian yang kalian minta menyempurnakannya." (Al Ahzab : 49)
Larangan Keluar Rumah
Ada beberapa pendapat mengenai wanita yang menjalani masa iddah; apakah mereka itu boleh keluar rumah atau tidak? Menurut Abu Hanifah, wanita yang sedang dalam masa iddah (raj`i atau ba`in) tak dibenarkan keluar rumah, baik di siang atau malam hari. Sedang bagi istri yang ditinggal mati suaminya, boleh keluar rumah baik pada siang hari atau malam hari.
Sementara menurut Ibnu Jibrin, bagi wanita yang masih dalam keadaan iddah karena suaminya meninggal maka ia tidak boleh keluar rumah atau melakukan perjalanan jauh untuk beribadah haji sebelum masa iddahnya habis. Sebab, dia wajib menunggu di rumah. Adapun wanita yang ber’iddah disebabkan selain kematian suami, maka hukumnya sebagai berikut: Pertama, karena thalak raj’i (suami boleh merujuk), status hukumnya adalah status sebagai istri, maka dia tidak boleh melakukan safar kecuali seizin suami; dan suami tidak apa-apa memberikan izin kepadanya untuk menunaikan ibadah haji, akan tetapi ia harus didampingi oleh seorang mahram.
Kedua, karena thalak ba’in (thalak selama-lamanya), hukumnya pun sama, dia harus tinggal di rumah. Akan tetapi dia boleh menunaikan ibadah haji apabila suami menyetujuinya, karena sang suami masih mempunyai hak di dalam masa ‘iddah itu. Maka apabila sang suami mengizinkannya keluar, hal itu tidak mengapa.
Ulama penganut mazhab Syafi`i dan Hanbali berpendapat lain lagi. Bagi mereka, istri yang ditalak maupun yang ditinggal mati oleh suami, boleh keluar rumah jika memang keadaan mengharuskan, demi mengurusi keperluan hidup atau melaksanakan tugasnya sehari-hari. Ini didasarkan pada hadits yang dirawikan oleh Jabir r.a., “Seorang bibiku (saudara ibuku) pernah ditalak tiga oleh suaminya dan dia tetap keluar dari rumah untuk mengurusi kebun kurma miliknya. Pernah seorang lelaki bertemu dengannya lalu melarangnya untuk keluar dari rumah. Maka pergilah bibiku itu menghadap Nabi SAW dan menyampaikan kepadanya tentang hal itu. Dan beliau pun berkata kepada, ‘Tak mengapa. Keluarlah untuk melaksanakan tugasmu itu. Semoga engkau akan bersedekah dengan sebagian hasilnya atau berbuat suatu kebaikan’.” (HR. Muslim, Ahmad, Ibn Majah dan Abu Daud).
Dibalik Perintah `Iddah
Perintah Allah yang termaktum di dalam al-Qur`an tentang masa `iddah itu membuat Rini, mau tidak mau, harus menunggu masa iddah jika memang ingin menikah lagi. Apalagi, Rini tergolong belum tua dan ada kemungkinan baginya untuk menikah. Tapi, apa persoalan `iddah hanya sekedar menunggu untuk memastikan apakah di dalam kandungan Rini ada jabang bayi yang perlu ditunggu kejelasannya agar nantinya diketahui siapa ayah dari si bayi itu?
Rini tahu, sekrang dunia medis sudah canggih dan bisa mendeteksi isi kandungan jika memang di dalam kandungan itu ada janin. Lantas untuk apa ada iddah segala. Ada apa dengan iddah?
Iddah memang suatu ajaran Islam dan itu kerap mengundang tanda-tanya. Salah satu dari pertanyaan itu adalah apa yang dialami Rini. Padahal persoalan iddah tidak sesepele itu. Setidaknya, ada tiga hal yang perelu digarisbawahi dengan adanya iddah sebagai satu ajaran Islam yang telah disyariatkan bahkan sebelum Islam datang.
Pertama, memberi kesempatan kepada suami-istri (yang tergolong talak raj`i) untuk rujuk kembali dalam membina kehidupan rumah tangga apabila keduanya masih ada kebaikan di dalam hal ini. Memang, perceraian bukanlah sesuatu yang haram. Percerian adalah sesuatu yang halal. Kendati halal, namun itu dibenci oleh Allah.
Kedua, untuk mengetahui kehamilan atau tidaknya pada istri yang diceraikan. Untuk selanjutnya memelihara jika terdapat bayi dalam kandungannya itu agar jadi jelas siapa ayah bayi tersebut. Memang, kini dunia medis sudah canggih dan dapat mendeteksi isi kandungan seorang wanita. Tetapi, siapa yang menjamin kesahihan penemuan kedokteran itu. Tak jarang dokter memeriksa lewat USG dan mengatakan anak dalam kandungan itu laki-laki atau perempuan. Tapi setelah lahir, tak jarang dugaan dokter itu ternyata salah. Lalu, siapa yang berani menjamin kesahihan akan hamil atau tidaknya seorang yang menanti masa iddah jika itu urusan besar, untuk mengetahui status sang ayah yang nantinya akan berhubungan dengan wali nikah, warisan dan lain sebagainya?
Ketiga, supaya istri yang diceraikan dapat merasakan kesedihan yang dialami keluarga suaminya, dan anak-anak mereka untuk menepati permintaan sang suami. Hal ini tentu kalau iddah tersebut dikarenakan oleh kematian suami. Jadi, persoalan iddah di sini bukanlah soal sepele, bukan soal untuk mengetahui isi kandungan apakah ada kehamilan atau tidak. Yang jelas, dibalik setiap perintah Allah itu ada sesuatu hikmah yang kadang tidak kita ketahui. (n. mursidi/foto:dewi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar