"Barangsiapa mendatangi dukun dan percaya kepada ucapannya, maka dia telah mengkufuri apa yang diturunkan Allah SWT. kepada Muhammad SAW. (HR. Abu Daud)
Kampung Delima (sebut saja demikian) tiba-tiba jadi gempar. Pagi itu, selepas subuh saat matahari belum merekah dan sinar lembutnya belum memancar dari balik gunung, tersebar sebuah kabar yang menyedihkan dan sekaligus mengagetkan. Seorang pemuda bernama Wayan (23 tahun, bukan nama sebenarnya) yang selama ini dikenal pendiam dikabarkan telah meninggal dunia dengan tenang di pagi itu. Tidak ada yang menduga, tak ada yang mengira jika pemuda yang masih bujangan itu akan meninggal di usia yang masih belia.
Dari pengeras suara musholla kampung Delima, kabar itu dimaklumatkan oleh seseorang dari pihak keluarga almarhum. Laksana angin, berita duka itu cepat tersebar luas ke penjuru kampung. Orang-orang kampung Delima seketika kaget, juga terkejut. Karena tidak ada yang menduka jika pagi itu, orang yang tinggal di kampung Delima akan berpisah dan tidak akan bertemu lagi dengan Wayan --yang selama ini memang dikabarkan menderita penyakit, meski samar-samar dan kurang jelas-- untuk selama-lamanya.
Setelah kabar sedih itu dimaklumatkan, orang kampung Delima berdatangan ke rumah duka. Dalam waktu singkat, rumah almarhum pun seketika berubah jadi ramai. Orang-orang di kampung Delima datang melayat ke rumah duka, membawa bingkisan sebagai bentuk bantuan kepada keluarga almarhum. Maklum, tradisi datang ke rumah duka dengan membawa sesuatu kepada keluarga almarhum itu sudah menjadi tradisi turun temurun yang sudah lama berlaku di kampung Delima.
"Kenapa Wayan pergi meninggalkanku secepat ini?" ratap Sulasmi (40 tahun, ini bukan nama sebenarnya), ibu kandung Wayan, dengan isak tangis yang keras memecah suasana kerumunan orang-orang yang datang melayat. "Semalam dia masih bercerita banyak, tapi kenapa sekarang sudah terbujur kaku tak bernyawa dan secepat itu pergi meninggalkan kami semua?"
"Sudahlah bu, ini sudah menjadi takdir Allah yang tidak dapat kita tolak," kata Sukron (46 tahun, bukan nama sebenarnya) ketua RT, menenangkan Sulasmi.
“Sabarlah, bu!” bujuk rayu pelayat yang lain.
"Mengapa bukan aku yang harus meninggal terlebih dulu? Kenapa harus Wayan?" ratap Sulasmi kembali membahana, membuat suasana rumah almarhum tambah ramai setelah kedatangan pelayat yang terus berdatangan.
Di rumah duka, orang-orang yang datang melayat ikut bersedih, merasakan apa yang dialami pihak keluarga. Nyaris, orang-orang yang datang melayat ke rumah duka trenyuh. Tak ada canda, tak ada gurau. Orang hanya berbisik-bisik, dan bercengkrama pelan dengan muka berkabung. Selebihnya, ratapan dan jerit tangis pihak keluarga almarhum terus bergema seakan-akan mereka tidak rela Wayan meninggal secepat itu dan dalam usia yang masih muda.
Darah Keluar Saat Dimandikan
Tak terasa, waktu bergulir. Matahari sudah terbit, bahkan sudah hampir tengah hari. Pagi pun sebentar lagi akan berubah menjadi siang. Jerit, ratapan dan isak tangis tak lagi terdengar kencang dan keras seperti waktu pagi tadi. Orang-orang masih terus berdatangan ke rumah almarhum meskipun hanya satu-dua orang. Sanak keluarga yang tinggal atau berada di kampung lain pun sudah mulai berdatangan. Maka, tak ada lagi yang perlu ditunggu.
Sekitar pukul 09 pagi, pihak keluarga memutuskan segera merawat jenazah. Maklum, almarhum rencana dikebumikan siang hari itu selepas shalat dhuhur. Maka, tiga orang dari pihak keluarga mendekati jenazah yang terbaring kaku di ruang tengah, mengangkat jasat Wayan ke tempat pemandian yang berada di samping rumah.
Dalam hitungan menit, jenazah Wayan yang dibopong itupun sudah berpindah tempat dan siap dimandikan. Tetapi saat jenazah siap dimandikan dan kain penutup yang membungkus almarhum dibuka dan hendak diguyur air, pihak keluarga yang akan memandikan jenazah Wayan dibuat tercengah dan juga terperangah kaget, terutama Kasmun (45 tahun bukan nama sebenarnya) yang tak lain adalah ayah kandung Wayan. Saat Kasmun menyibak kain penutup bagian kepala Wayan, dia melihat mulut Wayan mengeluarkan darah. Anehnya, darah yang ditemui oleh Kasmun masih mengalir dan membasahi raut muka Wayan sehingga orang-orang yang hendak memandikan jenazah pun melihat dan dibuat terperangah, bingung dan celingukan.
Kasmun pun langsung bertindak cepat. Dengan kain kapas yang sudah disiapkan untuk perawatan jenazah (bersama dengan alat dan peralatan-peralatan lain), Kasmun berusaha membersihkan darah yang mengalir dari mulut Wayan tersebut. Dia berusaha membersihkan dengan cekatan, seakan tak ingin anak lelakinya itu ternoda leleran darah.
Tetapi, darah yang mengalir dari mulut Wayan tidak kunjung berhenti. Darah itu semakin terus mengalir dari mulut Wayan dan warna darah yang keluar ternyata tak seperti umumnya darah. Darah yang keluar dari mulut almarhum beraneka warna atau berwarna-warni. Memang, darah itu didominasi oleh warna merah, tetapi darah merah itu bercampur dengan darah kecoklatan, kebiru-biruan dan juga kehijauan yang mengundang orang-orang yang ada di dekat jenazah heran, juga terbengong-bengong.
Orang-orang yang mau memandikan jenazah almarhum dibuat semakin bingung dan tidak tahu lagi apa yang akan dilakukan untuk mengatasi keadaan. Apalagi, seiring dengan leleran darah yang mengucur dari mulut Wayan itu, disertai pula dengan bau yang tak sedap dan tak enak untuk dihirup. Bau darah itu cukup menyengat, sehingga Kasmun sampai tidak kuat bertahan dekat jenazah anaknya sendiri, terpaksa menutup hidung rapat-rapat. Bahkan Parman (25 tahun, bukan nama sebenarnya), kakak Wayan yang kebetulan ikut andil memandikan jenazah itu langsung mundur dari tempat (area) pemandian jenazah.
Udara di sekitar tempat pemandian jenazah pun segera tercemar dan bau tidak enak yang bersumber dari mulut Wayan pun menyeruak ke segala penjuru arah seiring hembusan angin. Orang-orang yang melayat jadi tak kuasa lagi menahan aroma tidak sedap tersebut yang bersumber dari mulut Wayan, dan segera menutup hidung rapat-rapat.
Di tengah suasana mencekam dengan bau busuk yang menyengat itu, Sarbini (30 tahun bukan nama sebanarnya) tiba-tiba beranjak dari kursi. Merasa kasihan, tidak tega melihat jenazah Wayan dibiarkan terbengkalai, dia segera melangkahkan kaki ke tempat pemandian jenazah. Seakan mendapat kekuatan dari langit, dia tidak peduli dengan bau yang menyengat. Didorong perasaan tak tega melihat kondisi jenazah, dia segera memerintahkan pihak keluarga untuk membersihkan bagian tubuh Wayan yang lain, sementara dia sendiri mengurusi bagian kepala Wayan, terutama di mulut Wayan yang mengeluarkan darah segar.
Dengan telaten, Sarbini yang memang dikenal warga kampung Delima sebagai orang yang baik itu membersihkan mulut Wayan. Berulangkali, dia mengusap leleran darah yang mengalir tersebut, anehnya tetap saja darah dari mulut Wayan bercucuran terus dan tidak mau dihentikan. Darah itu seakan tak mau henti mengucur, dan prosesi pemandian jenazah Wayan itu pun harus memakan waktu lama, berjam-jam. Karena darah itu tidak kunjung henti, pihak keluarga mulai diserang rasa cemas dan dicekam kebingungan. Akhirnya, proses pemandian jenazah diputuskan untuk disudahi, meski darah segar masih saja terus mengalir dari mulut Wayan. Dengan disumbat kapas putih, darah itu memang sedikit tertahan dan tak keluar. Kendati demikian, rembesan darah yang mengalir dari sumbatan kapas tetap mewarnai kapas yang berwarna putih itu menjadi kotor akibat aliran darah dari mulut Wayan yang belum bisa dihentikan.
Jenazah Wayan segera dibopong ke dalam rumah untuk dikafani dan kemudian dishalati. Setelah mempertimbangkan kondisi jenazah yang sedemikian parah, maka prosesi pemakaman Wayan pun akhirnya dilaksanakan dengan cepat setelah jenazah itu dishalati. Maka, tidak lama setelah dishalati, jenazah Wayan langsung diusung ke tempat peristirahatan terakhir diiringi oleh para pelayat, yang sebagian besar adalah warga kampung Delima.
Tanah Kuburan Longsor
Iring-iringan para pengantar jenazah itu --–setelah berjalan satu kilometer-- akhirnya tiba di pemakaman kampung Delima. Setelah pelayat memasuki pintu makam dan kemudian sampai di dekat lubang kubur yang sudah disiapkan, maka keranda pun diletakkan. Jenazah Wayan pun diambil dari keranda, lalu diangkat oleh empat orang pelayat.
Tetapi, ketika jenazah diangkat, orang-orang yang hadir di pemakaman melihat di bagian kepala jenazah, terutama bagian mulut, ada bercak darah berwarna merah kecoklatan, kebiru-biruan dan juga kehijauan yang membasahi kain kafan berwarna putih menjadi ternodai. Apa mau dikata lagi, darah seperti tak bisa dihentikan. Orang-orang memang sempat bimbang untuk memutuskan tentang keberadaan darah yang masih belum terhenti itu. Akan tetapi, semua orang yang ada di pemakaman seakan memahami dan mafhum dengan kondisi jenazah. Maka, jenazah Wayan itu akhirnya diputuskan untuk segera dimasukkan ke dalam linang lahat.
Tetapi saat dua orang hendak turun ke liang lahat guna menyambut kedatangan jenazah Wayan (sebelum jenazah Wayan dimasukkan ke liang lahat), tanah yang ada di pinggiran kuburan tiba-tiba berjatuhan. Longsor dan menimbuni sebagian lahan liang lahat. Dua orang yang bertugas turun di liang lahat terpana, kaget. Dalam keadaan itu, maka kedua orang itu segera turun untuk mengangkat tanah-tanah yang berjauhan dan menyesaki liang lahat.
Dalam waktu singkat, liang lahat pun sudah bersih dari reruntuhan dan jenazah Wayan siap dimasukkan. Tetapi, sebelum jenazah dimasukkan, peristiwa tanah pinggir kuburan yang longsor terjadi kembali. Tanah longsoran itu dibersihkan, tetapi lagi-lagi peristiwa yang sama terjadi kembali, berkali-kali.
Mau tak mau, pada akhirnmya keluarga memutuskan untuk menerima keadaan yang terjadi itu. Akhirnya karena tanah longsoran itu tidak seberapa, maka diputuskan tetap memasukkan jenazah Wayan ke liang kubur, meskipun jenazah dalam posisi di tengah, bukannya di pinggir sebagaimana pada umumnya prosesi pemakaman jenazah --sebab jenazah itu dikubur tak seperti biasa, dengan kata lain seharusnya posisi mayat agak ke samping dan jenazah Wayan berada di tengah liang lahat.
Setelah jenazah ditempatkan di liang lahat, seorang mengumandangkan adzan. Setelah itu, jenazah ditutup dengan papan dan selanjutnya ditimbun dengan tanah. Setelah gundukan tanah menyembul dan batu nisan ditancamkan di sisi kanan dan kiri makam, orang-orang yang hadir memanjatkan doa (dipimpin ustadz kampung) dengan khitmad agar jenazah Wayan diterima di sisi Allah.
Seterusnya, orang-orang yang melayat pulang dan kembali ke rumah masing-masing. Tanah pekuburan umum itu lengang kembali!
Suka Amalan Kesaktian
Dilahirkan di sebuah kampung terpencil, di kampung Delima, memang tidak ada yang bisa diharapkan lebih dari kondisi atau keadaan kampung yang termasuk daerah agraris tersebut. Apalagi latar belakang kehidupan kedua orangtua Wayan boleh dikata tak tergolong kaya. Bahkan cukup sederhana atau pas-pasan. Maklum orangtua Wayan, Kasmun hanyal seorang petani kecil dan cuma memiliki sawah beberepa petak saja. Sementara Sulasmi, hanya seorang ibu rumah tangga yang kadang-kadang membantu suaminya jika musim panen atau tanam tiba.
Dengan kondisi seperti itu, bisa dimaklumi jika Wayan tidak bisa melanjutkan kuliah selepas SMU dan memilih menjalani hidup apa adanya. Kendati begitu, Wayan tidak mau hanyut dengan pergaulan anak-anak muda zaman sekarang yang nongkrong di pinggir jalan atau mabuk-mabukan. Dia lebih memilih aktif di masjid, ikut kegiatan rebana dan juga pengajian. Pendek kata, dia dikenal warga kampung Delima sebagai orang yang baik dan ringan tangan, apalagi kalau ada tetangga yang memiliki hajatan atau kerja bakti.
Akan tetapi, menurut narasumber Hidayah, ada satu sisi kehidupan Wayan yang membuat hidupnya itu beda dengan masyarakat pada umumnya, dan itu pengaruh dari orang tuanya. Dia itu gemar mencari ilmu kesaktian, dengan menjalani amalan-amalan dari seseorang dan banyak mempercayai hal-hal yang bersifat mistis yang bahkan lebih mengarah ke musyrik, seperti melakukan amalan untuk mendapatkan keris, kekuatan tenaga dalam dan kesaktian lain lagi.
Hingga suatu hari, ia tiba-tiba sakit. Tapi, oleh orangtuanya, Wayan bukannya dibawa ke dokter untuk diperiksa melainkan dibawa ke seorang dukun. Dari satu dukun ke dukun yang lain, memang telah mengobati Wayan, tetapi penyakit yang diderita Wayan itu tak juga kunjung sembuh. Justru lebih parah.
Karena sudah cukup parah, kedua orangtua Wayan akhirnya sadar. Wayan lalu dibawa ke rumah sakit dan oleh dokter dinyatakan terserang paru-paru. Maka, Wayan disarankan untuk menginap. Tapi, tiga hari menginap di rumah sakit, Wayan tetap tak juga sembuh. Orangtua Wayan putus asa membawa Wayan pulang ke rumah. Kebiasaan lama pun tak bisa ditinggalkan, Wayan pun dibawa ke dukun kembali. Dari satu dukun ke dukun lain, Wayan tetap tidak kunjung sembuh dan tetap menderita sakit yang tidak berkesudahan bahkan semakin tak jelas.
Hingga akhirnya, saat malam telah sirna dan hari pun menjelang subuh, Wayan ditemui oleh ibunya sudah meninggal di kamar Wayan sendiri. Ia sudah terbaring kaku tak bernyawa. Sontak, tangis histeris ibu Wayan menjadikan rumah itu segera dikenali orang telah berkabung….
IN BOX
Wahab (22 tahun), teman almarhum
“Suka Menjalani Amalan Kasekten”
Ia meninggal dengan tenang. Hanya setelah meninggal, dari mulutnya banyak mengeluarkan darah. Sampai proses pemandian jenazah berlangsung, darah itu terus mengucur. Anehnya, darah yang mengucur dari mulut almarhum itu tak juga berhenti. Darah mengucur terus dan warna darah yang keluar tak seperti umumnya darah karena beraneka warna. Merah, campur kecoklatan, kebiruan, dan juga kehijauan.
Sontak, masyarakat kaget. Apalagi “bau darah” itu menyengat, sehingga ketika almarhum dimandikan banyak orang yang mundur, bahkan keluarganya --seperti kakak dan ayahnya-- mundur dari barisan orang yang memandikan. Satu-satunya orang yang mau memandikan, bahkan dengan berani mengomandoi prosesi pemandian itu adalah tetangganya, orang yang dikenal baik dan tidak tega melihat keadaan almarhum. Jadi saat proses pemandian, dia yang mengurusi bagian kepala sementara yang lain bagian tubuh dan kakinya.
Tapi darah dari mulut Wayan itu tetap mengalir terus sampai saat dimakamkan. Kendati demikian, proses pemakaman tetap diteruskan meski kondisi jenazah masih mengeluarkan darah dari mulutnya.
Saya mengenal almarhum, karena ia adalah teman saya di kampung. Ia memang rajin ke masjid, juga baik, suka menolong sesama. Tetapi, ada satu sisi yang membuat kehidupan almarhum Wayan itu beda dengan masyarakat umumnya. Sebelum sakit, dia itu menjalankan amalan-amalan dari seseorang dan banyak mempercayai hal-hal yang bersifat mistis yang lebih mengarah pada musyrik, seperti melakukan amalan-amalan untuk mendapatkan keris, kekuatan dalam, atau kesaktian.
Banyak orang, mengira keluarnya darah itu sebagai dampak dari sakit paru-paru yang ia derita. Tapi ada juga yang menyangkal. Alasannya, jika akibat penyakit yang dideritanya, maka darah itu kecoklatan. Apalagi, saat mau dimasukkan ke dalam liang lahat itu, tanah di pinggir kuburan longsur berulangkali. Akibatnya, orang-orang hanya terheran-heran dan tak tahu ada apa di balik semua itu. Mereka semua berkesimpulan, hanya Allah yang tahu!!! (nm)
Dari pengeras suara musholla kampung Delima, kabar itu dimaklumatkan oleh seseorang dari pihak keluarga almarhum. Laksana angin, berita duka itu cepat tersebar luas ke penjuru kampung. Orang-orang kampung Delima seketika kaget, juga terkejut. Karena tidak ada yang menduka jika pagi itu, orang yang tinggal di kampung Delima akan berpisah dan tidak akan bertemu lagi dengan Wayan --yang selama ini memang dikabarkan menderita penyakit, meski samar-samar dan kurang jelas-- untuk selama-lamanya.
Setelah kabar sedih itu dimaklumatkan, orang kampung Delima berdatangan ke rumah duka. Dalam waktu singkat, rumah almarhum pun seketika berubah jadi ramai. Orang-orang di kampung Delima datang melayat ke rumah duka, membawa bingkisan sebagai bentuk bantuan kepada keluarga almarhum. Maklum, tradisi datang ke rumah duka dengan membawa sesuatu kepada keluarga almarhum itu sudah menjadi tradisi turun temurun yang sudah lama berlaku di kampung Delima.
"Kenapa Wayan pergi meninggalkanku secepat ini?" ratap Sulasmi (40 tahun, ini bukan nama sebenarnya), ibu kandung Wayan, dengan isak tangis yang keras memecah suasana kerumunan orang-orang yang datang melayat. "Semalam dia masih bercerita banyak, tapi kenapa sekarang sudah terbujur kaku tak bernyawa dan secepat itu pergi meninggalkan kami semua?"
"Sudahlah bu, ini sudah menjadi takdir Allah yang tidak dapat kita tolak," kata Sukron (46 tahun, bukan nama sebenarnya) ketua RT, menenangkan Sulasmi.
“Sabarlah, bu!” bujuk rayu pelayat yang lain.
"Mengapa bukan aku yang harus meninggal terlebih dulu? Kenapa harus Wayan?" ratap Sulasmi kembali membahana, membuat suasana rumah almarhum tambah ramai setelah kedatangan pelayat yang terus berdatangan.
Di rumah duka, orang-orang yang datang melayat ikut bersedih, merasakan apa yang dialami pihak keluarga. Nyaris, orang-orang yang datang melayat ke rumah duka trenyuh. Tak ada canda, tak ada gurau. Orang hanya berbisik-bisik, dan bercengkrama pelan dengan muka berkabung. Selebihnya, ratapan dan jerit tangis pihak keluarga almarhum terus bergema seakan-akan mereka tidak rela Wayan meninggal secepat itu dan dalam usia yang masih muda.
Darah Keluar Saat Dimandikan
Tak terasa, waktu bergulir. Matahari sudah terbit, bahkan sudah hampir tengah hari. Pagi pun sebentar lagi akan berubah menjadi siang. Jerit, ratapan dan isak tangis tak lagi terdengar kencang dan keras seperti waktu pagi tadi. Orang-orang masih terus berdatangan ke rumah almarhum meskipun hanya satu-dua orang. Sanak keluarga yang tinggal atau berada di kampung lain pun sudah mulai berdatangan. Maka, tak ada lagi yang perlu ditunggu.
Sekitar pukul 09 pagi, pihak keluarga memutuskan segera merawat jenazah. Maklum, almarhum rencana dikebumikan siang hari itu selepas shalat dhuhur. Maka, tiga orang dari pihak keluarga mendekati jenazah yang terbaring kaku di ruang tengah, mengangkat jasat Wayan ke tempat pemandian yang berada di samping rumah.
Dalam hitungan menit, jenazah Wayan yang dibopong itupun sudah berpindah tempat dan siap dimandikan. Tetapi saat jenazah siap dimandikan dan kain penutup yang membungkus almarhum dibuka dan hendak diguyur air, pihak keluarga yang akan memandikan jenazah Wayan dibuat tercengah dan juga terperangah kaget, terutama Kasmun (45 tahun bukan nama sebenarnya) yang tak lain adalah ayah kandung Wayan. Saat Kasmun menyibak kain penutup bagian kepala Wayan, dia melihat mulut Wayan mengeluarkan darah. Anehnya, darah yang ditemui oleh Kasmun masih mengalir dan membasahi raut muka Wayan sehingga orang-orang yang hendak memandikan jenazah pun melihat dan dibuat terperangah, bingung dan celingukan.
Kasmun pun langsung bertindak cepat. Dengan kain kapas yang sudah disiapkan untuk perawatan jenazah (bersama dengan alat dan peralatan-peralatan lain), Kasmun berusaha membersihkan darah yang mengalir dari mulut Wayan tersebut. Dia berusaha membersihkan dengan cekatan, seakan tak ingin anak lelakinya itu ternoda leleran darah.
Tetapi, darah yang mengalir dari mulut Wayan tidak kunjung berhenti. Darah itu semakin terus mengalir dari mulut Wayan dan warna darah yang keluar ternyata tak seperti umumnya darah. Darah yang keluar dari mulut almarhum beraneka warna atau berwarna-warni. Memang, darah itu didominasi oleh warna merah, tetapi darah merah itu bercampur dengan darah kecoklatan, kebiru-biruan dan juga kehijauan yang mengundang orang-orang yang ada di dekat jenazah heran, juga terbengong-bengong.
Orang-orang yang mau memandikan jenazah almarhum dibuat semakin bingung dan tidak tahu lagi apa yang akan dilakukan untuk mengatasi keadaan. Apalagi, seiring dengan leleran darah yang mengucur dari mulut Wayan itu, disertai pula dengan bau yang tak sedap dan tak enak untuk dihirup. Bau darah itu cukup menyengat, sehingga Kasmun sampai tidak kuat bertahan dekat jenazah anaknya sendiri, terpaksa menutup hidung rapat-rapat. Bahkan Parman (25 tahun, bukan nama sebenarnya), kakak Wayan yang kebetulan ikut andil memandikan jenazah itu langsung mundur dari tempat (area) pemandian jenazah.
Udara di sekitar tempat pemandian jenazah pun segera tercemar dan bau tidak enak yang bersumber dari mulut Wayan pun menyeruak ke segala penjuru arah seiring hembusan angin. Orang-orang yang melayat jadi tak kuasa lagi menahan aroma tidak sedap tersebut yang bersumber dari mulut Wayan, dan segera menutup hidung rapat-rapat.
Di tengah suasana mencekam dengan bau busuk yang menyengat itu, Sarbini (30 tahun bukan nama sebanarnya) tiba-tiba beranjak dari kursi. Merasa kasihan, tidak tega melihat jenazah Wayan dibiarkan terbengkalai, dia segera melangkahkan kaki ke tempat pemandian jenazah. Seakan mendapat kekuatan dari langit, dia tidak peduli dengan bau yang menyengat. Didorong perasaan tak tega melihat kondisi jenazah, dia segera memerintahkan pihak keluarga untuk membersihkan bagian tubuh Wayan yang lain, sementara dia sendiri mengurusi bagian kepala Wayan, terutama di mulut Wayan yang mengeluarkan darah segar.
Dengan telaten, Sarbini yang memang dikenal warga kampung Delima sebagai orang yang baik itu membersihkan mulut Wayan. Berulangkali, dia mengusap leleran darah yang mengalir tersebut, anehnya tetap saja darah dari mulut Wayan bercucuran terus dan tidak mau dihentikan. Darah itu seakan tak mau henti mengucur, dan prosesi pemandian jenazah Wayan itu pun harus memakan waktu lama, berjam-jam. Karena darah itu tidak kunjung henti, pihak keluarga mulai diserang rasa cemas dan dicekam kebingungan. Akhirnya, proses pemandian jenazah diputuskan untuk disudahi, meski darah segar masih saja terus mengalir dari mulut Wayan. Dengan disumbat kapas putih, darah itu memang sedikit tertahan dan tak keluar. Kendati demikian, rembesan darah yang mengalir dari sumbatan kapas tetap mewarnai kapas yang berwarna putih itu menjadi kotor akibat aliran darah dari mulut Wayan yang belum bisa dihentikan.
Jenazah Wayan segera dibopong ke dalam rumah untuk dikafani dan kemudian dishalati. Setelah mempertimbangkan kondisi jenazah yang sedemikian parah, maka prosesi pemakaman Wayan pun akhirnya dilaksanakan dengan cepat setelah jenazah itu dishalati. Maka, tidak lama setelah dishalati, jenazah Wayan langsung diusung ke tempat peristirahatan terakhir diiringi oleh para pelayat, yang sebagian besar adalah warga kampung Delima.
Tanah Kuburan Longsor
Iring-iringan para pengantar jenazah itu --–setelah berjalan satu kilometer-- akhirnya tiba di pemakaman kampung Delima. Setelah pelayat memasuki pintu makam dan kemudian sampai di dekat lubang kubur yang sudah disiapkan, maka keranda pun diletakkan. Jenazah Wayan pun diambil dari keranda, lalu diangkat oleh empat orang pelayat.
Tetapi, ketika jenazah diangkat, orang-orang yang hadir di pemakaman melihat di bagian kepala jenazah, terutama bagian mulut, ada bercak darah berwarna merah kecoklatan, kebiru-biruan dan juga kehijauan yang membasahi kain kafan berwarna putih menjadi ternodai. Apa mau dikata lagi, darah seperti tak bisa dihentikan. Orang-orang memang sempat bimbang untuk memutuskan tentang keberadaan darah yang masih belum terhenti itu. Akan tetapi, semua orang yang ada di pemakaman seakan memahami dan mafhum dengan kondisi jenazah. Maka, jenazah Wayan itu akhirnya diputuskan untuk segera dimasukkan ke dalam linang lahat.
Tetapi saat dua orang hendak turun ke liang lahat guna menyambut kedatangan jenazah Wayan (sebelum jenazah Wayan dimasukkan ke liang lahat), tanah yang ada di pinggiran kuburan tiba-tiba berjatuhan. Longsor dan menimbuni sebagian lahan liang lahat. Dua orang yang bertugas turun di liang lahat terpana, kaget. Dalam keadaan itu, maka kedua orang itu segera turun untuk mengangkat tanah-tanah yang berjauhan dan menyesaki liang lahat.
Dalam waktu singkat, liang lahat pun sudah bersih dari reruntuhan dan jenazah Wayan siap dimasukkan. Tetapi, sebelum jenazah dimasukkan, peristiwa tanah pinggir kuburan yang longsor terjadi kembali. Tanah longsoran itu dibersihkan, tetapi lagi-lagi peristiwa yang sama terjadi kembali, berkali-kali.
Mau tak mau, pada akhirnmya keluarga memutuskan untuk menerima keadaan yang terjadi itu. Akhirnya karena tanah longsoran itu tidak seberapa, maka diputuskan tetap memasukkan jenazah Wayan ke liang kubur, meskipun jenazah dalam posisi di tengah, bukannya di pinggir sebagaimana pada umumnya prosesi pemakaman jenazah --sebab jenazah itu dikubur tak seperti biasa, dengan kata lain seharusnya posisi mayat agak ke samping dan jenazah Wayan berada di tengah liang lahat.
Setelah jenazah ditempatkan di liang lahat, seorang mengumandangkan adzan. Setelah itu, jenazah ditutup dengan papan dan selanjutnya ditimbun dengan tanah. Setelah gundukan tanah menyembul dan batu nisan ditancamkan di sisi kanan dan kiri makam, orang-orang yang hadir memanjatkan doa (dipimpin ustadz kampung) dengan khitmad agar jenazah Wayan diterima di sisi Allah.
Seterusnya, orang-orang yang melayat pulang dan kembali ke rumah masing-masing. Tanah pekuburan umum itu lengang kembali!
Suka Amalan Kesaktian
Dilahirkan di sebuah kampung terpencil, di kampung Delima, memang tidak ada yang bisa diharapkan lebih dari kondisi atau keadaan kampung yang termasuk daerah agraris tersebut. Apalagi latar belakang kehidupan kedua orangtua Wayan boleh dikata tak tergolong kaya. Bahkan cukup sederhana atau pas-pasan. Maklum orangtua Wayan, Kasmun hanyal seorang petani kecil dan cuma memiliki sawah beberepa petak saja. Sementara Sulasmi, hanya seorang ibu rumah tangga yang kadang-kadang membantu suaminya jika musim panen atau tanam tiba.
Dengan kondisi seperti itu, bisa dimaklumi jika Wayan tidak bisa melanjutkan kuliah selepas SMU dan memilih menjalani hidup apa adanya. Kendati begitu, Wayan tidak mau hanyut dengan pergaulan anak-anak muda zaman sekarang yang nongkrong di pinggir jalan atau mabuk-mabukan. Dia lebih memilih aktif di masjid, ikut kegiatan rebana dan juga pengajian. Pendek kata, dia dikenal warga kampung Delima sebagai orang yang baik dan ringan tangan, apalagi kalau ada tetangga yang memiliki hajatan atau kerja bakti.
Akan tetapi, menurut narasumber Hidayah, ada satu sisi kehidupan Wayan yang membuat hidupnya itu beda dengan masyarakat pada umumnya, dan itu pengaruh dari orang tuanya. Dia itu gemar mencari ilmu kesaktian, dengan menjalani amalan-amalan dari seseorang dan banyak mempercayai hal-hal yang bersifat mistis yang bahkan lebih mengarah ke musyrik, seperti melakukan amalan untuk mendapatkan keris, kekuatan tenaga dalam dan kesaktian lain lagi.
Hingga suatu hari, ia tiba-tiba sakit. Tapi, oleh orangtuanya, Wayan bukannya dibawa ke dokter untuk diperiksa melainkan dibawa ke seorang dukun. Dari satu dukun ke dukun yang lain, memang telah mengobati Wayan, tetapi penyakit yang diderita Wayan itu tak juga kunjung sembuh. Justru lebih parah.
Karena sudah cukup parah, kedua orangtua Wayan akhirnya sadar. Wayan lalu dibawa ke rumah sakit dan oleh dokter dinyatakan terserang paru-paru. Maka, Wayan disarankan untuk menginap. Tapi, tiga hari menginap di rumah sakit, Wayan tetap tak juga sembuh. Orangtua Wayan putus asa membawa Wayan pulang ke rumah. Kebiasaan lama pun tak bisa ditinggalkan, Wayan pun dibawa ke dukun kembali. Dari satu dukun ke dukun lain, Wayan tetap tidak kunjung sembuh dan tetap menderita sakit yang tidak berkesudahan bahkan semakin tak jelas.
Hingga akhirnya, saat malam telah sirna dan hari pun menjelang subuh, Wayan ditemui oleh ibunya sudah meninggal di kamar Wayan sendiri. Ia sudah terbaring kaku tak bernyawa. Sontak, tangis histeris ibu Wayan menjadikan rumah itu segera dikenali orang telah berkabung….
IN BOX
Wahab (22 tahun), teman almarhum
“Suka Menjalani Amalan Kasekten”
Ia meninggal dengan tenang. Hanya setelah meninggal, dari mulutnya banyak mengeluarkan darah. Sampai proses pemandian jenazah berlangsung, darah itu terus mengucur. Anehnya, darah yang mengucur dari mulut almarhum itu tak juga berhenti. Darah mengucur terus dan warna darah yang keluar tak seperti umumnya darah karena beraneka warna. Merah, campur kecoklatan, kebiruan, dan juga kehijauan.
Sontak, masyarakat kaget. Apalagi “bau darah” itu menyengat, sehingga ketika almarhum dimandikan banyak orang yang mundur, bahkan keluarganya --seperti kakak dan ayahnya-- mundur dari barisan orang yang memandikan. Satu-satunya orang yang mau memandikan, bahkan dengan berani mengomandoi prosesi pemandian itu adalah tetangganya, orang yang dikenal baik dan tidak tega melihat keadaan almarhum. Jadi saat proses pemandian, dia yang mengurusi bagian kepala sementara yang lain bagian tubuh dan kakinya.
Tapi darah dari mulut Wayan itu tetap mengalir terus sampai saat dimakamkan. Kendati demikian, proses pemakaman tetap diteruskan meski kondisi jenazah masih mengeluarkan darah dari mulutnya.
Saya mengenal almarhum, karena ia adalah teman saya di kampung. Ia memang rajin ke masjid, juga baik, suka menolong sesama. Tetapi, ada satu sisi yang membuat kehidupan almarhum Wayan itu beda dengan masyarakat umumnya. Sebelum sakit, dia itu menjalankan amalan-amalan dari seseorang dan banyak mempercayai hal-hal yang bersifat mistis yang lebih mengarah pada musyrik, seperti melakukan amalan-amalan untuk mendapatkan keris, kekuatan dalam, atau kesaktian.
Banyak orang, mengira keluarnya darah itu sebagai dampak dari sakit paru-paru yang ia derita. Tapi ada juga yang menyangkal. Alasannya, jika akibat penyakit yang dideritanya, maka darah itu kecoklatan. Apalagi, saat mau dimasukkan ke dalam liang lahat itu, tanah di pinggir kuburan longsur berulangkali. Akibatnya, orang-orang hanya terheran-heran dan tak tahu ada apa di balik semua itu. Mereka semua berkesimpulan, hanya Allah yang tahu!!! (nm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar