Di era sekarang ini, nyaris tak ada masjid yang dibangun tanpa menara. Seolah-olah menara itu sudah menjadi unsur penting arsitektur masjid yang tak bisa dipisahkan. Pendek kata, menara dianggap unsur penting arsitektur masjid, sehingga masjid yang berdiri megah tanpa menara, dianggap kurang lengkap.
Padahal, menara sebagai bagian dari arsitektur masjid tidak ada pada zaman nabi. Wajar jika masjid Quba dan masjid Nabawi yang dibangun nabi itu awalnya tak memiliki menara sebagai pelengkap arsitektur masjid. Tradisi masjid tanpa menara itu bahkan masih diteruskan empat khalifah setelah rasulullah (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib).
Meski tanpa menara, tapi masjid di zaman nabi dan khulafaur rasyidin itu dilengkapi dengan ruang kecil di puncak teras masjid sebagai tempat muadzin untuk mengumandangkan adzan.
Dari Tradisi Byzantium
Sejarah mencatat, menara menjadi bagian dari arsitektur masjid itu baru berlangsung sejak era pemerintahan Bani Umayyah. Khalifah Al-Walid dari Bani Umayyah (705-715) merupakan orang yang pertama memasukan unsur menara dalam arsitektur masjid. Ketertarikan Khalifah Al-Walid pada rancang bangun arsitektur itulah yang menjadikan menara kemudian dikenal jadi salah satu unsur arsitektur bangunan masjid sekarang ini.
Ceritanya, masa penyebaran Islam dahulu, kota yang ditaklukkan tanpa perlawanan, menjadikan pasukan Muslim memperbolehkan warga (setempat) untuk tetap mempergunakan gereja (sinagog) mereka sebagai tempat shalat. Maka, ada beberapa gereja yang beralih fungsi menjadi masjid setelah melalui pemugaran, dan salah satunya adalah basilika Santo John (Yahya).
Sewaktu memugar basilika Santo John (Yahya) untuk dijadikan masjid itu (di kemudian hari menjadi masjid Agung Damaskus), rupanya Khalifah Al-Walid menyiasakan dua menara dari bangunan itu --yang semula berfungsi sebagai petunjuk waktu (lonceng pada siang hari dan kerlipan lampu pada malam hari). Khalifah Al-Walid rupanya tertarik untuk tak merobohkan kedua menara itu dan menjadikannya sebagai keindahan bangunan masjid.
Tak cuma itu, Khalifah Al-Walid pun memerintahkan membangun sebuah menara lagi di sebelah utara pelataran masjid (tepat di atas gerbang al-Firdaus yang kemudian dikenal sebagai menara utara masjid Damaskus). Dari situlah, tradisi menara yang sebenarnya merupakan salah satu ciri khas dari bangunan Byzantium menjadi bangunan yang tak terpisahkan dari arsitektur masjid. Satu tahun kemudian (705 M), Al-Walid memugar masjid Nabawi yang tak memiliki menara dan memerintahkan para arsiteknya untuk memasang menara.
Beberapa Bentuk Menara
Bangunan awal menara masjid Damaskus dan masjid Nabawi tak berdiri terpisah, melainkan menyatu dengan struktur bangunan masjid. Model menara yang dibangun berdasarkan tradisi Byzantium ini kemudian menyebar ke seluruh negeri, melintasi dataran Arab bahkan hingga ke Andalusia. Tapi seiring dengan perkembangan zaman, tak semua menara dibangun menyatu dengan struktur masjid. Ada juga menara yang dibangun terpisah. Model itu bisa dilihat pada bangunan menara masjid Agung Samara dan menara masjid Abu Dulaf di Irak.
Dari bentuk dasar menara, setidaknya dikenal beberapa model. Model klasik dengan lantai dasar segi empat, lalu naik ke atas menjadi oktagonal (segi delapan) kemudian diakhiri dengan tower silinder yang dipuncaki sebuah kubah kecil. Model manara klasik ini dapat dilihat di menara masjid Mad Chalif Kairo, yang dibangun abad ke-11 pada masa Khalifah Al-Hakim dari Dinasti Fatimiyah.
Model lain adalah jenis variasi. Fondasi bangunan segi empat di bagian bawah lalu bertarnsformasi menjadi segi enam dan dihiasi balkon segi delapan. Menara jenis ini bisa dilihat pada menara masjid Al-Azhar. Sedang jenis silinder dikenal dengan diameter silinder yang semakin mengecil di puncak menara, semisal menara masjid Natanz, Iran.
Sedang jenis lain adalah menara segi empat. Dari dasar berbentuk segi empat hingga puncak dan tidak ada kubah di puncak. Model ini terdapat di wilayah Mediterania, di masjid Aleppo, dan masjid Agung Sivilla. Model menara yang jarang diadopsi untuk menara adalah bentuk spiral. Bentuk menara yang banyak dipakai di masjid-masjid di Samarra ini merupakan tradisi bangunan menara Mesopotania. Masjid yang menerapkan bentuk spiral ini adalah masjid Ibnu Tulun di Fustat, Mesir.
Fungsi Menara
Fungsi utama menara tak lain tempat bagi muadzin mengumandangkan adzan. Tapi seiring perkembangan zaman ternyata difungsikan lebih dari itu. Kini menara dibangun menjulang tinggi dengan fungsi ganda semisal juga dijadikan mercusuar atau menara pengintai. Menara Ribbat Shushah di Tunisia, lantaran terletak di sebuah kota pelabuhan, maka menara masjid itu digunakan sebagai sarana untuk melakukan pengamatan lepas pantai dari balkon menara.
Sementara menara masjid Agung Jawa Tengah, Semarang yang memiliki ketinggian 99 meter juga difungsikan multi fungsi. Lantai dasar, digunakan studio radio Dakwah Islam. Lantai 2 dan 3 sebagai museum kebudayaan. Lantai 18 digunakan kafe muslim. Pada bulan Ramadhan, menara ini bahkan digunakan ru`yatul hilal, melihat posisi bulan untuk menentukan awal puasa. (n. mursidi)
Padahal, menara sebagai bagian dari arsitektur masjid tidak ada pada zaman nabi. Wajar jika masjid Quba dan masjid Nabawi yang dibangun nabi itu awalnya tak memiliki menara sebagai pelengkap arsitektur masjid. Tradisi masjid tanpa menara itu bahkan masih diteruskan empat khalifah setelah rasulullah (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib).
Meski tanpa menara, tapi masjid di zaman nabi dan khulafaur rasyidin itu dilengkapi dengan ruang kecil di puncak teras masjid sebagai tempat muadzin untuk mengumandangkan adzan.
Dari Tradisi Byzantium
Sejarah mencatat, menara menjadi bagian dari arsitektur masjid itu baru berlangsung sejak era pemerintahan Bani Umayyah. Khalifah Al-Walid dari Bani Umayyah (705-715) merupakan orang yang pertama memasukan unsur menara dalam arsitektur masjid. Ketertarikan Khalifah Al-Walid pada rancang bangun arsitektur itulah yang menjadikan menara kemudian dikenal jadi salah satu unsur arsitektur bangunan masjid sekarang ini.
Ceritanya, masa penyebaran Islam dahulu, kota yang ditaklukkan tanpa perlawanan, menjadikan pasukan Muslim memperbolehkan warga (setempat) untuk tetap mempergunakan gereja (sinagog) mereka sebagai tempat shalat. Maka, ada beberapa gereja yang beralih fungsi menjadi masjid setelah melalui pemugaran, dan salah satunya adalah basilika Santo John (Yahya).
Sewaktu memugar basilika Santo John (Yahya) untuk dijadikan masjid itu (di kemudian hari menjadi masjid Agung Damaskus), rupanya Khalifah Al-Walid menyiasakan dua menara dari bangunan itu --yang semula berfungsi sebagai petunjuk waktu (lonceng pada siang hari dan kerlipan lampu pada malam hari). Khalifah Al-Walid rupanya tertarik untuk tak merobohkan kedua menara itu dan menjadikannya sebagai keindahan bangunan masjid.
Tak cuma itu, Khalifah Al-Walid pun memerintahkan membangun sebuah menara lagi di sebelah utara pelataran masjid (tepat di atas gerbang al-Firdaus yang kemudian dikenal sebagai menara utara masjid Damaskus). Dari situlah, tradisi menara yang sebenarnya merupakan salah satu ciri khas dari bangunan Byzantium menjadi bangunan yang tak terpisahkan dari arsitektur masjid. Satu tahun kemudian (705 M), Al-Walid memugar masjid Nabawi yang tak memiliki menara dan memerintahkan para arsiteknya untuk memasang menara.
Beberapa Bentuk Menara
Bangunan awal menara masjid Damaskus dan masjid Nabawi tak berdiri terpisah, melainkan menyatu dengan struktur bangunan masjid. Model menara yang dibangun berdasarkan tradisi Byzantium ini kemudian menyebar ke seluruh negeri, melintasi dataran Arab bahkan hingga ke Andalusia. Tapi seiring dengan perkembangan zaman, tak semua menara dibangun menyatu dengan struktur masjid. Ada juga menara yang dibangun terpisah. Model itu bisa dilihat pada bangunan menara masjid Agung Samara dan menara masjid Abu Dulaf di Irak.
Dari bentuk dasar menara, setidaknya dikenal beberapa model. Model klasik dengan lantai dasar segi empat, lalu naik ke atas menjadi oktagonal (segi delapan) kemudian diakhiri dengan tower silinder yang dipuncaki sebuah kubah kecil. Model manara klasik ini dapat dilihat di menara masjid Mad Chalif Kairo, yang dibangun abad ke-11 pada masa Khalifah Al-Hakim dari Dinasti Fatimiyah.
Model lain adalah jenis variasi. Fondasi bangunan segi empat di bagian bawah lalu bertarnsformasi menjadi segi enam dan dihiasi balkon segi delapan. Menara jenis ini bisa dilihat pada menara masjid Al-Azhar. Sedang jenis silinder dikenal dengan diameter silinder yang semakin mengecil di puncak menara, semisal menara masjid Natanz, Iran.
Sedang jenis lain adalah menara segi empat. Dari dasar berbentuk segi empat hingga puncak dan tidak ada kubah di puncak. Model ini terdapat di wilayah Mediterania, di masjid Aleppo, dan masjid Agung Sivilla. Model menara yang jarang diadopsi untuk menara adalah bentuk spiral. Bentuk menara yang banyak dipakai di masjid-masjid di Samarra ini merupakan tradisi bangunan menara Mesopotania. Masjid yang menerapkan bentuk spiral ini adalah masjid Ibnu Tulun di Fustat, Mesir.
Fungsi Menara
Fungsi utama menara tak lain tempat bagi muadzin mengumandangkan adzan. Tapi seiring perkembangan zaman ternyata difungsikan lebih dari itu. Kini menara dibangun menjulang tinggi dengan fungsi ganda semisal juga dijadikan mercusuar atau menara pengintai. Menara Ribbat Shushah di Tunisia, lantaran terletak di sebuah kota pelabuhan, maka menara masjid itu digunakan sebagai sarana untuk melakukan pengamatan lepas pantai dari balkon menara.
Sementara menara masjid Agung Jawa Tengah, Semarang yang memiliki ketinggian 99 meter juga difungsikan multi fungsi. Lantai dasar, digunakan studio radio Dakwah Islam. Lantai 2 dan 3 sebagai museum kebudayaan. Lantai 18 digunakan kafe muslim. Pada bulan Ramadhan, menara ini bahkan digunakan ru`yatul hilal, melihat posisi bulan untuk menentukan awal puasa. (n. mursidi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar