Beberapa waktu lalu, sebagian besar masyarakat Indonesia –khususnya ibu-ibu yang memiliki bayi-- dibuat panik dan khawatir. Pasalnya, temuan tim peneliti dari ITB (Institut Pertanian Bogor) mempublikasikan adanya kontaminasi pada produk susu formula dan makanan bayi yang beredar di pasaran. Tak tanggung-tanggung, hasil penelitian itu menyimpulkan sekitar 22,73 persen susu formula (dari 22 sampel) dan 40 persen makanan bayi (dari 15 sampel)bahkan disebutkan tercemar bakteri enterobacter sakizakii.
Dr Sri Estuningsih (peneliti dari ITB) yang sudah melakukan penelitian dari tahun 2003-1006 pada produk susu formula dan makanan bayi mengungkap Enterobacter Sakazakii bisa berpengaruh terhadap kesehatan makhluk hidup. Pengaruh bakteri itu, menurut Sri, bisa menimbulkan radang pada usus sehingga bayi akan mudah diserang penyakit. Bahkan bakteri tersebut dikhawatirkan pula bisa berpengaruh pada otak sang bayi.
Pengaruh itulah yang membuat ibu-ibu (yang memiliki bayi) bingung dan harus kalang kabut. Tapi berbeda dengan ibu-ibu yang digelayuti kebingungan, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari justru malah mempertanyakan motif dari penelitian para peneliti IPB tersebut. Siti Fadilah Supari justru menduga penelitian itu dilatarbelakangi kepentingan bisnis. Karena penelitian itu dilakukan saat ada sejumlah bayi yang terserang penyakit mencret.
Terlepas apakah tudingan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari itu benar atau tidak, yang jelas penelitian itu sudah dipublikasikan dan membuat ibu-ibu panik. Apalagi penelitian yang dilakukan sejak 2003 itu, tidak menyebutkan merk susu apa yang mengandung bakteri. Maklum, karena ada etika penelitian yang perlu ditaati oleh para peneliti IBP untuk tak menyebutkan merk. Tak pelak, kalau penelitian yang sudah dipublikasikan bahkan Tim peneliti IPB sudah melaporkan hasil penelitian tersebut kepada instansi yang berwenang yakni BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), sekiranya tak ada langkah bijak dan arif selain mewaspadai temuan penelitian itu dan bertindak hati-hati. Karena kalau kita ceroboh, penyakit pun bisa mampir.
Hukum Menyusui dalam Islam
Kepanikan ibu-ibu terhadap bahaya bakteri pada produk susu formula dan makanan bayi yang dipicu dari hasil penelitian Tim peneliti IPB itu tak pelak mengingatkan kita semua pada hak bayi yang telah dikesampingkan sebagian besar ibu yang memiliki bayi, yakni hak sang bayi untuk memperoleh Air Susu Ibu (ASI). Pasalnya, sekarang ini ASI sudah dengan mudahnya digeser dengan susu formula. Apalagi, konon, hanya sekitar 14 persen bayi di Indonesia yang disusui dengan susu esklusif (ASI) oleh ibu mereka hingga usia empat bulan.
Lebih ironis, pergeseran susu esklusif (ASI) dengan mengganti susu formula seakan sudah jadi gaya hidup sebagian besar ibu zaman sekarang. Ada gaya hidup ibu-ibu yang justru merasa malu, jika harus susah-susah menyusi bayi-bayi mereka dengan ASI. Tak salah jika hasil survey pada tahun 1999 terhadap bayi di Indonesia yang semestinya mendapat hak ASI, ternyata cukup menyedihkan.
Pemberian ASI oleh ibu untuk bayi berumur satu jam setelah kelahiran –berdasarkan hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (pada tahun 1997 dan 2002)-- menunjukkan penurunan yang mencengangkan, dari 8 persen menjadi 3,7 persen. Sementara itu, pemberian ASI esklusif oleh ibu kepada bayi selama 6 bulan menurun dari 42,2 persen menjadi 39,5 persen. Adapun penggunaan susu formula meningkat tiga kali lipat dari 10,8 persen menjadi 32,5 persen.
Padahal tidak dapat disangkal, kehebatan dan kelebihan ASI dibanding dengan susu formula tidak bisa disejajarkan. Kelebihan dan kehebatan ASI jelas tidak bisa digantikan oleh susu formula. Karena, ASI merupakan sebuah cairan tanpa tanding untuk memenuhi kebutuhan akan segumpal gizi bagi bayi dan kandungan ASI bisa melindungi bayi dari kemungkinan terserang penyakit.
Tidak salah, jika al-Qur`an dengan tegas menjelaskan masalah persusuan bagi bayi yang harus dipenuhi oleh para ibu. Dalam al-Qur`an Allah berfirman, “Pada ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama 2 tahun, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makanan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya. Dan waris pun berkewajiban demikian. Apalagi keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawarahan, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (QS. al-Baqarah [2]: 233)
Dari penjelasan ayat itu, sudah jelas bahwa seorang ibu diperintahkan Allah untuk menyusui anaknya sampai berusia 2 tahun (sekalipun keadaan ibu bayi itu sudah bercerai dengan suami). Karena waktu 2 tahun itu tak disangsikan adalah jatah dan hak sempurna bagi sang bayi. Di balik penjelasan al-Qur`an itu, tak diragukan tentu ada maksud yang ideal dan sempurna. Maka, penelitian medis dan sejumlah badan kesehatan yang menyatakan bawah waktu ideal seorang ibu menyusui bayi adalah dua tahun tidak meruntuhkan perintah dari al-Qur`an justru menegaskan kebenran al-Qur`an tentang hukum persusuan.
Al-Qur`an dengan tegas menyebutkan bahwa waktu yang ideal adalah dua tahun, karena di balik perintah al-Qur`an itu memang mengandung pesan yang ideal. Selama kurun waktu dua tahun itu, bayi mudah terserang penyakit dan kandungan ASI bisa melawan serangan penyakit yang hendak menyerang tubuh sang bayi. Jadi, jika menginginkan waktu ideal penyusuan bagi sang bayi sebaiknya dilakukan selama kurun waktu dua tahun.
Memang, waktu yang ideal dua tahun. Tapi tidak menutup kemungkinan jika ibu sakit dan tidak bisa mengeluarkan ASI, maka suami-istri boleh menyapih (menghentikan penyusuan). Namun Islam menganjurkan pemberian ASI kepada bayi dengan menyusukan pada wanita lain (ibu susu) dan jika suami istri itu telah bercerai maka sang ayah menanggung hak untuk membayar penyusuan itu.
Kelebihan ASI
Perintah al-Qur`an untuk memberikan ASI pada bayi selama dua tahun, bukan satu penjelasan yang tanpa maksud. Dari hasil penelitian, telah terbukti bahwa kelebihan ASI tidak dapat disejajarkan dengan susu formula. Apalagi ASI merupakan hak bagi sang bayi untuk kelangsungan hidupnya agar bisa tumbuh dan berkembang secara optimal. Karena ASI ternyata memiliki manfaat besar membentuk perkembangan intelensia, rohani serta perkembangan emosional sang bayi. Dalam dekapan sang ibu ketika menyusui bayinya, sang bayi bisa bersentuhan langsung dengan ibunya dan mendapat kehangatan kasih saying dan rasa aman.
Dari sisi kesehatan maupun medis, tak dapat diasangkal jika ASI memiliki kelebihan dan banyak manfaat dibandingkan susu formula. Sejumlah penelitian telah menyebutkan bahwa dalam ASI itu terkandung asam lemak esensial yang tidak terdapat di dalam kandungan susu sapi atau susu formula. Padahal asam lemak esensial ini dibutuhkan untuk pertumbuhan otak serta mata bayi, serta kesehatan bagi pembuluh darah bayi. Selain itu, dalam ASI terkandung vitamin C sehingga bayi tidak perlu mendapatkan sumplemen vitamn C (yang ternyata tidak terdapat dalam susu sapi atau susu formula).
Kelebihan lain, dalam ASI ternyata sudah terkandung enzim lipase yang membantu mencerna lemak, dan enzim itu tidak terdapat dalam susu formula atau susu hewan apa pun. Padahal, pada bayi produksi enzim belum sempurna untuk mencerna lemak tersebut.
Tak mustahil, jika pada tahun pertama pertumbuhan bayi sangat rentan terhadap penyakit. Jadi sang bayi itu butuh perawatan dan perlindungan ekstra dari ibu dan ASI ternyata mengandung sel-sel darah putih dan sejumlah faktor anti-infektif yang membantu melindungi bayi dari infeksi. ASI juga mengandung antibody terhadap berbagai infeksi yang pernah dialami ibu sebelumnya.
Karena itu, sangat disayangkan jika semua ibu tidak bisa memberikan ASI esklusif pada bayinya. Memang banyak faktor dan sebab yang mempengaruhi sang ibu tidak bisa menyusui anaknya. Salah satunya adalah masalah psikologis pascakelahiran atau karena deraan sakit. Kalau sudah begitu, jalan keluar yang ditempuh oleh para ibu zaman sekarang adalah memberikan susu formula atau susu pengganti ASI. Padahal, pemberian susu formula kepada bayi berumur di bawah satu tahun tak dianjurkan dari sisi medis. Dari sisi kesehatan atau medis, bayi seharusnya diberi ASI sampai berusia 6 bulan dan tetap dilanjutkan sampai dua tahun jika sang ibu masih bisa menyusui.
Tapi, kenyataan penelitian medis dan perintah al-Qur`an tentang hukum menyusui bayi yang seharusnya disempurnakan sampai bayi berumur dua tahun itu ternyata disepelekan oleh sebagian ibu zaman sekarang. Dengan tanpa ada dosa, sebagian besar ibu telah menggantikan ASI dengan susu hewan atau susu formula. Maka tidak heran saat ada temuan Tim Peneliti IPB yang mengatakan susu formula dan makanan bayi terkontaminasi bakteri, sebagian ibu pun harus dicekam rasa takut dan panik.
Padahal, jika para ibu mengindahkan perintah al-Qur`an yang diperkuat hasil penelitian medis bahwa waktu yang ideal bagi seorang ibu memberikan ASI pada bayi adalah dua tahun dan tak mengganti ASI dengan susu formula, maka tidak ada kepanikan dan kekhawatiran terhadap penelitian Tim dari IPB tersebut. Karena dalam ASI tidak terkandung bakteri, justru mengandung aneka gizi, protein, azam, enzim yang menunjang pertumbuhan sang bayi, juga dapat menjadi penyangkal dari serangan penyakit. (n mursidi)
Pengaruh itulah yang membuat ibu-ibu (yang memiliki bayi) bingung dan harus kalang kabut. Tapi berbeda dengan ibu-ibu yang digelayuti kebingungan, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari justru malah mempertanyakan motif dari penelitian para peneliti IPB tersebut. Siti Fadilah Supari justru menduga penelitian itu dilatarbelakangi kepentingan bisnis. Karena penelitian itu dilakukan saat ada sejumlah bayi yang terserang penyakit mencret.
Terlepas apakah tudingan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari itu benar atau tidak, yang jelas penelitian itu sudah dipublikasikan dan membuat ibu-ibu panik. Apalagi penelitian yang dilakukan sejak 2003 itu, tidak menyebutkan merk susu apa yang mengandung bakteri. Maklum, karena ada etika penelitian yang perlu ditaati oleh para peneliti IBP untuk tak menyebutkan merk. Tak pelak, kalau penelitian yang sudah dipublikasikan bahkan Tim peneliti IPB sudah melaporkan hasil penelitian tersebut kepada instansi yang berwenang yakni BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), sekiranya tak ada langkah bijak dan arif selain mewaspadai temuan penelitian itu dan bertindak hati-hati. Karena kalau kita ceroboh, penyakit pun bisa mampir.
Hukum Menyusui dalam Islam
Kepanikan ibu-ibu terhadap bahaya bakteri pada produk susu formula dan makanan bayi yang dipicu dari hasil penelitian Tim peneliti IPB itu tak pelak mengingatkan kita semua pada hak bayi yang telah dikesampingkan sebagian besar ibu yang memiliki bayi, yakni hak sang bayi untuk memperoleh Air Susu Ibu (ASI). Pasalnya, sekarang ini ASI sudah dengan mudahnya digeser dengan susu formula. Apalagi, konon, hanya sekitar 14 persen bayi di Indonesia yang disusui dengan susu esklusif (ASI) oleh ibu mereka hingga usia empat bulan.
Lebih ironis, pergeseran susu esklusif (ASI) dengan mengganti susu formula seakan sudah jadi gaya hidup sebagian besar ibu zaman sekarang. Ada gaya hidup ibu-ibu yang justru merasa malu, jika harus susah-susah menyusi bayi-bayi mereka dengan ASI. Tak salah jika hasil survey pada tahun 1999 terhadap bayi di Indonesia yang semestinya mendapat hak ASI, ternyata cukup menyedihkan.
Pemberian ASI oleh ibu untuk bayi berumur satu jam setelah kelahiran –berdasarkan hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (pada tahun 1997 dan 2002)-- menunjukkan penurunan yang mencengangkan, dari 8 persen menjadi 3,7 persen. Sementara itu, pemberian ASI esklusif oleh ibu kepada bayi selama 6 bulan menurun dari 42,2 persen menjadi 39,5 persen. Adapun penggunaan susu formula meningkat tiga kali lipat dari 10,8 persen menjadi 32,5 persen.
Padahal tidak dapat disangkal, kehebatan dan kelebihan ASI dibanding dengan susu formula tidak bisa disejajarkan. Kelebihan dan kehebatan ASI jelas tidak bisa digantikan oleh susu formula. Karena, ASI merupakan sebuah cairan tanpa tanding untuk memenuhi kebutuhan akan segumpal gizi bagi bayi dan kandungan ASI bisa melindungi bayi dari kemungkinan terserang penyakit.
Tidak salah, jika al-Qur`an dengan tegas menjelaskan masalah persusuan bagi bayi yang harus dipenuhi oleh para ibu. Dalam al-Qur`an Allah berfirman, “Pada ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama 2 tahun, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makanan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya. Dan waris pun berkewajiban demikian. Apalagi keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawarahan, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (QS. al-Baqarah [2]: 233)
Dari penjelasan ayat itu, sudah jelas bahwa seorang ibu diperintahkan Allah untuk menyusui anaknya sampai berusia 2 tahun (sekalipun keadaan ibu bayi itu sudah bercerai dengan suami). Karena waktu 2 tahun itu tak disangsikan adalah jatah dan hak sempurna bagi sang bayi. Di balik penjelasan al-Qur`an itu, tak diragukan tentu ada maksud yang ideal dan sempurna. Maka, penelitian medis dan sejumlah badan kesehatan yang menyatakan bawah waktu ideal seorang ibu menyusui bayi adalah dua tahun tidak meruntuhkan perintah dari al-Qur`an justru menegaskan kebenran al-Qur`an tentang hukum persusuan.
Al-Qur`an dengan tegas menyebutkan bahwa waktu yang ideal adalah dua tahun, karena di balik perintah al-Qur`an itu memang mengandung pesan yang ideal. Selama kurun waktu dua tahun itu, bayi mudah terserang penyakit dan kandungan ASI bisa melawan serangan penyakit yang hendak menyerang tubuh sang bayi. Jadi, jika menginginkan waktu ideal penyusuan bagi sang bayi sebaiknya dilakukan selama kurun waktu dua tahun.
Memang, waktu yang ideal dua tahun. Tapi tidak menutup kemungkinan jika ibu sakit dan tidak bisa mengeluarkan ASI, maka suami-istri boleh menyapih (menghentikan penyusuan). Namun Islam menganjurkan pemberian ASI kepada bayi dengan menyusukan pada wanita lain (ibu susu) dan jika suami istri itu telah bercerai maka sang ayah menanggung hak untuk membayar penyusuan itu.
Kelebihan ASI
Perintah al-Qur`an untuk memberikan ASI pada bayi selama dua tahun, bukan satu penjelasan yang tanpa maksud. Dari hasil penelitian, telah terbukti bahwa kelebihan ASI tidak dapat disejajarkan dengan susu formula. Apalagi ASI merupakan hak bagi sang bayi untuk kelangsungan hidupnya agar bisa tumbuh dan berkembang secara optimal. Karena ASI ternyata memiliki manfaat besar membentuk perkembangan intelensia, rohani serta perkembangan emosional sang bayi. Dalam dekapan sang ibu ketika menyusui bayinya, sang bayi bisa bersentuhan langsung dengan ibunya dan mendapat kehangatan kasih saying dan rasa aman.
Dari sisi kesehatan maupun medis, tak dapat diasangkal jika ASI memiliki kelebihan dan banyak manfaat dibandingkan susu formula. Sejumlah penelitian telah menyebutkan bahwa dalam ASI itu terkandung asam lemak esensial yang tidak terdapat di dalam kandungan susu sapi atau susu formula. Padahal asam lemak esensial ini dibutuhkan untuk pertumbuhan otak serta mata bayi, serta kesehatan bagi pembuluh darah bayi. Selain itu, dalam ASI terkandung vitamin C sehingga bayi tidak perlu mendapatkan sumplemen vitamn C (yang ternyata tidak terdapat dalam susu sapi atau susu formula).
Kelebihan lain, dalam ASI ternyata sudah terkandung enzim lipase yang membantu mencerna lemak, dan enzim itu tidak terdapat dalam susu formula atau susu hewan apa pun. Padahal, pada bayi produksi enzim belum sempurna untuk mencerna lemak tersebut.
Tak mustahil, jika pada tahun pertama pertumbuhan bayi sangat rentan terhadap penyakit. Jadi sang bayi itu butuh perawatan dan perlindungan ekstra dari ibu dan ASI ternyata mengandung sel-sel darah putih dan sejumlah faktor anti-infektif yang membantu melindungi bayi dari infeksi. ASI juga mengandung antibody terhadap berbagai infeksi yang pernah dialami ibu sebelumnya.
Karena itu, sangat disayangkan jika semua ibu tidak bisa memberikan ASI esklusif pada bayinya. Memang banyak faktor dan sebab yang mempengaruhi sang ibu tidak bisa menyusui anaknya. Salah satunya adalah masalah psikologis pascakelahiran atau karena deraan sakit. Kalau sudah begitu, jalan keluar yang ditempuh oleh para ibu zaman sekarang adalah memberikan susu formula atau susu pengganti ASI. Padahal, pemberian susu formula kepada bayi berumur di bawah satu tahun tak dianjurkan dari sisi medis. Dari sisi kesehatan atau medis, bayi seharusnya diberi ASI sampai berusia 6 bulan dan tetap dilanjutkan sampai dua tahun jika sang ibu masih bisa menyusui.
Tapi, kenyataan penelitian medis dan perintah al-Qur`an tentang hukum menyusui bayi yang seharusnya disempurnakan sampai bayi berumur dua tahun itu ternyata disepelekan oleh sebagian ibu zaman sekarang. Dengan tanpa ada dosa, sebagian besar ibu telah menggantikan ASI dengan susu hewan atau susu formula. Maka tidak heran saat ada temuan Tim Peneliti IPB yang mengatakan susu formula dan makanan bayi terkontaminasi bakteri, sebagian ibu pun harus dicekam rasa takut dan panik.
Padahal, jika para ibu mengindahkan perintah al-Qur`an yang diperkuat hasil penelitian medis bahwa waktu yang ideal bagi seorang ibu memberikan ASI pada bayi adalah dua tahun dan tak mengganti ASI dengan susu formula, maka tidak ada kepanikan dan kekhawatiran terhadap penelitian Tim dari IPB tersebut. Karena dalam ASI tidak terkandung bakteri, justru mengandung aneka gizi, protein, azam, enzim yang menunjang pertumbuhan sang bayi, juga dapat menjadi penyangkal dari serangan penyakit. (n mursidi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar