Minggu, 02 Juli 2006

masjid kemayoran: masjid yang dibangun pemerintah belanda

tulisan ini dimuat di rubrik masjid di majalah hidayah edisi 60 juli 2006

Jika ada bangunan masjid di negeri ini yang dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda, maka salah satunya adalah masjid Kemayoran ini. Tetapi pemerintah Hindia Belanda tidak dengan ringan tangan membangun masjid ini, jika saja umat Islam (di sekitar Kemayoran) pada waktu itu tak berjuang sampai titik darah penghabisan guna memperjuangkan bangunan masjid yang berdiri di Surapringgo. Bagaimana sejarahnya? Adakah bukti sejarah kalau masjid ini dibangun pemerintah Hindia Belanda?

Masjid Kemayoran yang terletak di Jalan Indrapura ini mungkin tak akan pernah ada jika saja umat Islam tak mati-matian memperjuangkan bangunan masjid yang dibangun secara gotong royong oleh umat Islam sebelum tahun 1772 yang terletak di Surapringgo, Surabaya (kini menjadi tugu pahlawan). Entah kapan tepatnya masjid di Surapringgo itu dibangun, tak ada catatan sejarah yang menorehkan dengan pasti.

Alkisah, setelah masjid itu berdiri, tidak lama kemudian pemerintah Hindia Belanda mendirikan kantor pusat pemerintahan daerah Jawa Timur (yang dikenal Hoeve Kamtoer -kantor besar) dan oleh penduduk setempat disebut kantor gubernur, persis di depan masjid tersebut. Anehnya, pada kurun berikutnya, pemerintah Hindia Belanda tergiur dengan tanah masjid itu dan ingin membangun di atas tanah tersebut, kantor Peradilan Pemerintah Hindia Belanda. Sebab, pemerintah Belanda ingin menjadikan kantor pengadilan itu dekat kantor gubernur (berhadapan) supaya nantinya bisa mempermudah urusan.

Jelas saja, keinginan pemerintah Hindia Belanda itu dipandang penghinaan oleh umat Islam. Jika karena letak yang berhadapan dengan kantor gubernur, kenapa masjid sebagai rumah Allah yang dikorbankan? Penghinaan itulah yang membuat umat Islam melakukan penentangan, diprakarsai oleh ulama dan kiai di Surabaya sehingga terjadi perlawanan hebat untuk menggagalkan niat busuk pemerintah Hindia Belanda itu.

Perlawanan semakin gencar, karena umat Islam berjuang dengan semangat jihad dan fi sabilillah sampai perlawanan itu memuncak setelah tertembaknya seorang pemimpin umat Islam bernama Kiai Badrun, dikenal dengan sebutan kiai Sedo Masjid. Artinya seorang kiai yang gugur membela masjid (untuk mengenang dan menghormati jasa-jasa beliau itulah, umat Islam mengebumikan jasadnya di sebelah lokasi masjid dan memberi nama jalan Tembaan).

Masjid Pengganti
Karena perlawanan umat Islam tak kenal takut, Pemerintah Hindia Belanda akhirnya kewalahan. Akhirnya, untuk meluluhkan hati (menarik simpati), maka pihak pemerintah Hindia Belanda menawarkan sebuah bangunan masjid dengan mendirikan masjid pengganti jika tanah bekas masjid itu didirikan sebagai kantor peradilan --letaknya jauh dari masjid semula, yaitu di atas sebidang tanah yang cukup luas-- bekas rumah seorang mayor AD Pemerintah Hindia Belanda. Masyarakat setempat menyebutnya dengan nama “Kemayoran”, karena itu masjid yang dibangun di atas tanah tersebut diberi nama Masjid Jami` Kemayoran.

Sejarah berdirinya masjid Kemayoran Surabaya ini diperkuat adanya prasasti yang terbuat dari logam berwarna kuning bertuliskan huruf Jawa dan berbahasa Jawa pada masa pemerintahan Bupati Surabaya, Raden Tumenggung Kromojoyo Dirono (tahun 1772-1776).

Jerih payah perjuangan umat beserta ulama mempertahankan keberadaan masjid di sekitar tugu Pahlawan itu adalah dengan didapatkannya masjid dan tanah pengganti berupa tanah dan bangunan masjid Kemayoran Surabaya serta persil yang saat ini ditempati Taman Pendidikan Ta`miriyah Surabaya, Jalan Indrapura nomor 2, Surabaya (penetapan Hak Atas Tanah itu kemudian diperkuat keputusan Menteri Agraria dan Pertanian nomor SK IV/46/63 tgl. 14 Maret 1963, sertifikat hak pakai no. 39 dari Badan Pertahanan Nasional tahun 1995).

Selain itu, ditambah Persil dan bangunan yang sekarang dikenal dengan nama SLTP Negeri 2, di jalan Kepanjen 1 Surabaya. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda gedung tersebut dipakai oleh HBS sekolah Belanda, namun setelah dikuasai Jepang atas permohonan KH. Abdul Manab Murtadlo, gedung itu dikembalikan oleh Sitjokang KK kepada Masjid Kemayoran Surabaya. Gedung tersebut kemudian dipakai SMI (Sekolah Menengah Islam), yang salah satu gurunya pada waktu itu adalah Ustadz Abdul Wahab Turhan dari Peneleh. Tatkala pecah revolusi kemerdekaan, gedung SMI sempat dipakai sebagai salah satu pos perjuangan dan untuk menampung pejuang-pejuang tentara Hisbullah. Setelah perang kemerdekaan, tanah dan gedung tersebut dikuasai oleh negara.

Juga, masih ditambah puluhan petak tanah yang terletak di daerah Kemayoran Gang Buntu, Kemayoran Kauman, Kemayoran Gang Masjid dan Jalan Indrapura. Ratusan petak tanah yang terletak di jalan Grogol, Grogol Kauman Gang I, II, dan III, Grogol Kalimir, Lawang Seketeng Gang V, Jagalan Gang I dan Pandean Gang V. Ratusan petak tanah masjid itu saat ini ditempati para pemukim yang membayar sewa bulanan dengan tarif sewa tanah yang sulit disetarakan dengan sewa tanah pada masa sekarang, karena tergolong murah.

Renovasi Berulangkali
Karena masjid Kemayoran berdiri tahun 1772, maka tak mustahil masjid yang sudah berusia tua ini sampai sekarang ini mengalami beberapa kali renovasi. Tak saja dalam bentuk perluasan, tetapi juga pemugaran. Sejak didirikan hampir 300 tahun yang lalu, perluasan dan pemugaran masjid pernah dilaksanakan, antara lain; pada tahun 1848 dilaksanakan pemugaran masjid Kemayoran Surabaya dengan tetap pada bentuk aslinya (kubahnya berbentuk kerucut bersusun seperti tampak pada relief di taman depan masjid).

Tahun 1934 diadakan perluasan dan pemugaran masjid, tetapi kubahnya masih tetap berbentuk kerucut. Sementara pada 31 Januari 1961, diadakan perombakan dan pemugaran kubah masjid dengan bahan alumunium berbentuk setengah lingkaran bola.

Tahun 1969, perluasan masjid telah selesai --seperti yang terlihat sekarang-- dan berpagar sepanjang jalan, dari masjid sampai halaman sebelah Timur. Sementara tahun 1985 diadakan pemugaran kubah dengan penggantian konstruksi dan pelapisan kubah dengan serat kaca (fibver glass) berwarna hijau. Pemugaran ini diikuti dengan pemugaran interior ruang utama masjid.

Lalu, 12 Agustus 1995 diadakan peresmian pemugaran gapura (pintu gerbang) masjid Kemayoran Surabaya yang bentuk bangunannya disesuaikan dengan model eksterior pintu utama masjid sekarang (pintu dekat taman). Tanggal 26 Juli 1997 diresmikan Gedung Serba Guna Masjid Kemayoran Surabaya oleh bapak HM. Basofi Sudirman, gubernur Jawa Timur saat itu.

Memiliki Sekolahan
Perkembangan pengelolaan masjid Kemayoran mulai dapat dikata teroganisir setelah terbentuk Perhimpunan Ta`mirul Masajid yang disahkan Menteri Kehakiman RI tanggal 9 Juni 1952 nomor: JA5/78/4.

Sedangkan kegiatan ketakmiran mulai tertata dengan baik dimulai sejak tahun 1960 setelah KH. Abdul Manab Murtadlo mendapatkan amanat sebagai Ketua Ta`mirul Masajid Kemayoran Surabaya. Hal ini dapat dilihat dari laporan–laporan keuangan dan infaq beserta pertanggungjawaban, perluasan serta pemugaran masjid yang dilaksankan oleh pengurus atau takmir Masjid Kemayoran Surabaya.

Pada perkembangan selanjutnya, sampai saat ini pengelola kegiatan kemasjidan lebih ditingkatkan dengan melibatkan semua unsur masyarakat yang ikut terpanggil menumbuhkan-kembangkan kegiatan kemasjidan (di masjid Kemayoran Surabaya). Perwujudan dari upaya-upaya pengurus masjid di dalam memakmurkan masjid itu antara lain;

1) Dibentuknya Yayasan Ta`mirul masjid Kemayaran sebagai penyelenggara dan pengelola kegiatan kemasjidan masjid Kemayoran dengan akta notaris GOESTI DJOHAN, nomor 34 pada tanggal 3 Maret 1976.

2) Dibentuknya Pelaksana Harian Yayasan Ta`mirul Masjid Kemayoran yang khusus menangani bidang kemasjidan; peribadatan dan dakwah, ijtimaiyah, tarbiyah, pemberdayaan umat dan majlis persaudaraan haji, serta tata laksana kerja yang bertanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan masjid sehari-hari dengan masa bakti per-dua bulan.

3) Keuangan shadaqoh, infaq, jariyah dan kas masjid yang selalu dibukukan seperti sistem pembukuan yang berlaku dan dipertanggungjawabkan kepada aghniyah/jamaah secara ajeg dan terbuka.

4) Tata cara peribadatan yang dilaksanakan di masjid Kemayoran Surabaya telah dilaksanakan sejak masjid didirikan (1772 M) yang sesuai dengan tuntunan rasulullah dengan sistem peribadatan yang berpedoman ajaran ahlussunnah wal-jama`ah senantiasa dipelihara dan ditumbuhkembangkan.

5) KH. Abdul Manab Murtadho sebagai ketua Ta`mir Masjid Kemayoran Surabaya merasa berkewajiban untuk memakmurkan masjid dengan melandasi gagasan filsafat “masjid laksana lumbung (tempat menyimpan padi)”, sedangkan untuk mengisinya perlu lahan yang bisa ditanami. Oleh karena itu, beliau mendirikan lembaga pendidikan yang diberi nama Ta`miriyah yang kemudian sering disebut taman pendidikan Ta`miriyah yang diselenggarakan Ta`mirul Masjid Kemayoran Surabaya.

Taman pendidikan Ta`miriyah Surabaya sebagai sebuah lembaga pendidikan formal mengelola jenjang pendidikan, antara lain; Taman Kanak-Kanak (TKI, Sekolah Dasar (SD) Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Ta`miriyah. Selain itu, juga mengelola pendidikan non-formal yang telah berjalan dengan baik, seperti TPA, Jam`iyah Tahsin Liqiro`atil Qur`an dan lembaga pendidikan Bahasa Arab (LPBA). (n. mursidi)

obat

tulisan ini dimuat di rubrik renungan di majalah hidayah edisi 60 juli 2006

Alkisah, suatu hari Nabi Musa a.s. menderita sakit gigi. Karena namanya sakit, maka Nabi Musa pun merasakan keadaan yang tidak mengenakkan. Tidak hanya giginya yang cukup mengganggu saat digunakan mengunyah makanan. Lebih dari itu, sekujur tubuh atau fisik Nabi Musa juga merasa kurang nyaman. Tidur pun tak nyenyak.

Nabi Musa kemudian mengadukan sakit giginya itu kepada Allah dan Allah berfirman kepadanya, “Ambillah rumput falani dan letakkanlah di gigimu yang sakit.” Mendapat perintah seperti itu, Nabi Musa tak membantah dan langsung bertindak. Atas izin dan kehendak Allah, rasa sakit yang diderita Nabi Musa akhirnya hilang. Dengan kata lain, gigi Nabi Musa tidak lagi terasa sakit. Nabi Musa a.s sembuh dan bisa tidur dengan nyenyak.

Tapi di lain waktu, sakit gigi yang diderita Nabi Musa itu kambuh. Karena mengetahui kalau rumput falani yang sempat diambil dulu bisa menyembuhkan penyakit gigi yang diderita, maka Nabi Musa langsung mengambil rumput itu dan meletakkannya sebagaimana pertama kali dulu Nabi Musa mengobati giginya yang sakit. Nabi Musa begitu yakin, bahwa rumput itulah yang berkhasiat menyembuhkan sakit giginya.

Di luar dugaan Nabi Musa, sakit gigi yang diidapnya itu bukannya sembuh, malah sakit giginya itu justru bertambah parah. Padahal, Nabi Musa tak salah mengambil rumput untuk mengobati giginya tersebut. Rumput yang ia ambil, adalah rumput yang sama seperti yang ia ambil dahulu. Nabi Musa pun kembali memohon pertolongan kepada Allah SWT. “Ya Allah, bukankah Engkau telah menyuruh dan menunjukkan kepadaku tentangnya?”

Allah berfirman, “Wahai Musa…, Aku adalah yang menyembuhkan dan menyehatkan. Aku adalah yang memberikan bahaya dan manfaat. Pada waktu pertama, engkau melakukannya karena Aku, sehingga Kuhilangkan penyakitmu. Sedangkan sekarang ini, engkau melakukannya bukan karena Aku, melainkan rumput itu.”

Dari kisah di atas nampak jelas, bahwa yang membuat sakit bisa sembuh itu bukanlah obat. Bahkan dalam kasus sakit gigi yang diderita oleh Nabi Musa, kesembuhan gigi yang sakit itu bukanlah karena rumput. Karena itu, Allah menunjukkan kepada Nabi Musa bahwa rumput yang dulu digunakan sebagai obat itu, ternyata tidak mampu menyembuhkan rasa sakit ketika Allah tidak mengizinkan.

Tetapi kita kerap lupa, tidak sadar dan juga pongah. Bahkan kita tak jarang percaya dan yakin bahwa obat itu yang menyebabkan kita sembuh dan sehat. Padahal, obat itu adalah perantara (media) saja. Sedangkan yang mampu menyembuhkan sakit manusia adalah Allah. Di sini, hal yang kerap terlupakan lagi adalah tentang keberadaan dokter. Padahal, dokter itu bukanlah penyembuh penyakit. Dokter hanyalah orang yang mengobati dan lagi-lagi, masalah kesembuhan itu adalah atas izin Allah.

Akhirnya, hikmah atau pesan dari kisah di atas yang bisa diambil adalah; manusia itu harus menyadari bahwa segala bentuk obat, termasuk juga dokter, hanya medium. Sedangkan yang mampu menyembuhkan manusia adalah Allah. Dengan kata lain, atas kehendak Allah-lah yang membuat obat itu dapat membuat kita sembuh. Dengan juga dengan dokter. Ia hanya perantara. Sebab, Allah yang menurunkan penyakit, maka Allah pula yang memiliki kekuasaan untuk menyembuhkan. (n. mursidi)


membincangkan asal kejadian perempuan

tulisan ini dimuat di rubrik nisa` di majalah hidayah edisi 60 juli 2006

Terlahir sebagai seorang perempuan bukanlah satu kesalahan. Tapi banyak orangtua kerapkali kecewa dan tak mau menerima takdir tatkala menjumpai bayi yang lahir dari rahim sang istri “berjenis kelamin” perempuan. Kelahiran bayi perempuan itu seakan-akan dianggap sebagai aib, tragedi dan bahkan suatu nasib sial.

Padahal antara laki-laki dan perempuan —sebenarnya—tak ada perbedaan krusial yang perlu diperdebatkan. Bahkan dengan kehadiran anak perempuan, dunia ini seharusnya patut berbangga karena planet ini akan tetap eksis melangsungkan proses kehidupan umat manusia. Perempuan akan jadi patner bagi laki-laki, sebagai istri dan setelah melahirkan anak adalah satu keniscayaan perempuan menjadi ibu yang berperan besar mengasuh dan membesarkan anak untuk mengisi pola budaya generasi baru dalam mewarnai peradaban.

Tapi, sejarah kerap dicoret dengan persepsi yang salah dalam memandang perempuan. Berabad-abad lamanya, perempuan dianggap “makhluk lain” yang tak penting. Makanya, peran perempuan selalu dimarginalkan di dalam kultur yang hanya mengutamakan energi maskulin (mental dan fisik) serta mengerdilkan energi feminin (emosional dan spiritual). Akibatnya, ruang gerak perempuan sangat terbatas dan kerapkali menerima perlakuan tak adil dari laki-laki, yang tak hanya dalam ranah rumah tangga, melainkan pula dalam dunia kerja.

Anggapan bahwa perempuan itu adalah makhluk lain, makhluk yang kerap mendasarkan perasaan daripada akal dan sebagai makhluk yang hanya bermukim di rumah --setidaknya-- muncul dari sebuah asumsi yang ada di dalam “teks suci” tentang asal kejadian perempuan. Pertanyaannya kemudian adalah; benarkah “asal kejadian” perempuan itu berasal dari tulang rusuk lelaki sehingga perempuan itu lemah, halus, kerdil yang pada akhirnya menjadi sebuah justifikasi akan keberadaan perempuan?

Misteri Arti Nafs al-Wahidah
Sebenarnya, di dalam al-Qur`an tak ditemui ayat-ayat yang secara terperinci, detail dan gamblang tentang asal kejadian perempuan. Kata Hawa (dalam literatur bahasa Inggris disebut Eva), yang selama ini dipersepsikan sebagai perempuan yang menjadi istri Adam sama sekali tak ditemukan dalam al-Qur`an. Kendati demikian, ada satu ayat dalam al-Qur`an yang kerap dijadikan rujukan dalam pembicaraan tentang asal kejadian perempuan, yakni firman Allah QS. an-Nisa [4]: 1; "Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari nafs yang satu (sama) dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan lelaki dan perempuan yang banyak."

Tetapi ayat tersebut disanyalir masih memiliki korelasi yang membuka peluang makna tak tunggal. Karena itulah, sejumlah mufassir berbeda pendapat dalam menjelaskan siapa sebenarnya yang dimaksud dengan “nafs yang satu” (nafs al-wahidah), siapakah yang ditunjuk pada kata ganti (dhamir) “dari padanya” (minha), dan apa yang dimaksud “pasangan” (zawj) pada ayat tersebut?

Pendapat dari jumhur pakar tafsir memahami “nafs al-wahidah” dengan Adam, dan dhamir “minha” ditafsirkan dengan “dari bagian tubuh Adam” dan kata “zawj” ditafsirkan dengan Hawa, istri Adam, sebagaimana dalam Tafsir al-Qurthubi, Tafsir al-Mizan, Tafsir Ibn Katsir, tafsir al-Bahr al-Muhith, Tafsir Ruh al-Bayan, Tafsir al-Kasysyaf, Tafsir al-Sa`ud, Tafsir Jami al-Bayan dan Tafsir al-Maraghi. Pendapat ini, adalah pendapat mayoritas ulama.

Karena ayat di atas menerangkan pasangan tersebut diciptakan dari “nafs” yang berarti Adam, para penafsir memahami bahwa istri Adam (perempuan) diciptakan dari Adam sendiri. Alasan pendapat ini agaknya bersumber dari hadits yang berbunyi: "Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok... (HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah).

Sementara mufassir Muhammad 'Abduh dalam tafsir Al-Manar, tidak berpendapat demikian. Begitu juga rekannya Al-Qasimi. Mereka memahami arti “nafs” dalam arti "jenis". Demikian pula dengan Abu Muslim al-Isfahani, sebagaimana dikutip al-Razi dalam tafsirnya (Tafsir al-Razi), mengatakan bahwa dhamir “ha” pada kata “minha” bukan dari bagian tubuh Adam tetapi dari jenis (gen), unsur pembentuk Adam.

Alasan mereka mengatakan bahwa kata nafs itu adalah jenis (gen), unsur pembentuk Adam –sebagaimana ditulis Nasaruddin Umar dalam buku Prespektif Jender dalam Islam-- didasarkan pada kata nafs al-wahidah sebagai asal kejadian yang terulang lima kali, tetapi semua itu tidak berarti Adam, karena pada ayat lain, seperti QS al-Syu`ra [42]: 11, nafs itu juga berarti binatang. Kendati demikian, kata nafs al-wahidah dalam QS. An-Nisa: 1 boleh jadi suatu genus dan salah satu spesiesnya ialah Adam dan pasangannya (QS. Al-A`raf [7]: 189), sedangkan spesies lainnya ialah binatang dan pasangannya (QS al-Syura [42]: 11 dan tumbuh-tumbuhan dan pasangannya (QS. Thaha [20]: 53).

Adapun pendapat lain dikemukakan oleh ulama Syi`ah, mengartikan “nafs al-wahidah” itu dengan arti “roh”. Alasan yang bisa dikemukakan adalah, dalam al-Qur`an itu ada kata nafs yang terulang 295 kali dalam berbagai bentuknya dan tidak satupun yang dengan tegas menunjuk kepada Adam. Kata “nafs” kadang-kadang berarti “jiwa” (QS. Al-Maidah [5]: 32), “nafsu” (QS. Al-Fajr [89]: 27), “nyawa atau roh” (QS. Al-Ankabut [29]: 57).

Implikasi Bias Tafsir
Dari pendapat pertama yang mengemukakan “nafs” itu Adam, tidak dapat dimungkiri jika kemudian melahirkan pandangan yang negatif terhadap perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari laki-laki. Artinya, tanpa ada lelaki, perempuan itu tidak akan ada. Al-Qurthubi misalnya, menekankan bahwa istri Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok dan karena itulah wanita bersifat “auja” (bengkok atau tidak lurus). Pandangan demikian ini, jika dilacak bersumber dari sebuah hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi dari Abu Hurairah yang menyatakan perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok.

Agaknya hadits tersebut, sebagaimana dikemukakan M. Quraish Shihab dalam buku Wawasan Al-Qur`an, dipahami para ulama terdahulu secara harfiah. Tidak salah, jika tidak sedikit ulama kontemporer yang kemudian memahaminya secara metafora, bahkan ada pula yang menolak kesahihan (kebenaran) hadits tersebut. Sementara itu, mereka yang memahami hadits tersebut secara metafora, berpendapat bahwa hadits itu sebenarnya memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana, karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki --di mana bila tak disadari akan dapat mengantarkan kaum laki-laki bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan dari perempuan, kalaupun mereka berusaha pada akhirnya akan berakibat fatal, seperti fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.

Ath-Thabathaba'i dalam tafsirnya –dikutip M. Quraish Shihab- menulis, bahwa ayat di atas menegaskan bahwa "perempuan (istri Adam) diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam dan ayat itu sedikitpun tidak mendukung paham sementara mufassir yang beranggapan bahwa perempuan diciptakan dari tulung rusuk Adam. Alasan yang dikemukakan, bahwa tidak ada satu petunjuk yang pasti dari ayat-ayat al-Quran yang dapat mengantarkan kita untuk menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, atau bahwa unsur penciptaannya berbeda dengan lelaki.

Alasan kuat yang mendukung serta menekankan persamaan unsur kejadian Adam dan Hawa dan persamaan kedudukan lelaki dan perempuan, antara lain didasarkan pada surat al-Isra': 70, "Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan mereka mencari kehidupan). Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempuma atas kebanyakan makhluk-makhluk yang Kami ciptakan." Demikian pula penghormatan Tuhan yang diberikan-Nya itu mencakup anak-anak Adam seluruhnya, baik perempuan maupun lelaki. Pemahaman ini dipertegas lagi QS. Ali-Imran; 195 yang menyatakan, "Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain ..."

Sementara menurut Nasaruddin Umar, QS. al-Nisa' itu kurang relevan jika dijadikan dasar dalam menerangkan asal kejadian manusia secara biologis, karena dilihat dari konteks (munasabah), ayat itu berbicara tentang tanggung jawab para wali terhadap orang di bawah perwaliannya. Karena ada ayat-ayat lain yang lebih khusus berbicara tentang asal kejadian, seperti asal-usul manusia dari "air"/al-ma' (QS. al-Furqan [25]: 54), "air hina"/ma'in mahin (Q.S. al-Mursalat [77]: 20), dan "air yang terpancar"/ma'in dafiq (Q.S. al-Thariq [86]: 6), "darah" ('alaq) (Q.S. al-'Alaq [96]: 2), "saripati tanah"/sulalatin min thin (Q.S. al-Mu'minun [23]: 12), "tanah liat yang kering"/shalshalin min hama'in mahan (Q.S. al-Hijr [15]:28), "tanah yang kering seperti tembikar"/shalshalin ka 'l-fakhkhar (Q.S. al-Rahman [55]: 15), "dari tanah"/min thin (Q.S. al-Sajdah [32] :7), dan "diri yang satu" (nafs al-Wahidah (Q.S. al-Nisa'[4]: 1).

Akan tetapi asal-usul kejadian manusia masih perlu diteliti lebih lanjut, yang mana asal-usul dalam arti ciptaan awal (production) dan mana asal-usul dalam arti ciptaan lanjutan (reproduction).

Yang jelas, bias tafsir atas asal kejadian perempuan bisa melahirkan satu persepsi yang bisa menyudutkan perempuan. Padahal, antara lelaki dan perempuan tak ada perbedaan yang cukup krusial. Allah bahkan tak melihat seseorang berdasarkan jenis kelamin, melainkan berdasarkan tingkat ketaqwaan (QS. Al-Hujurat: 13). Karena pada hekekatnya, antara lelaki dan perempuan itu sama, tak memiliki perbedaan urgent untuk dipermasalahkan lagi.

Dalam ayat lain, Allah juga menegaskan, “Sesungguhnya Aku tak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik lelaki maupun perempuan (QS. Ali-Imron [3]: 195. Akhirnya, dengan ketegasan itu, masihkah antara lelaki dan perempuan diperbincangkan lagi dengan mempertanyakan asal kejadian perempuan yang bisa membuat kaum perempuan tersudutkan? (n. mursidi).


Sabtu, 01 Juli 2006

mentar pada kesuksesan dan kemuliaan

wawanca dengan Edit Estetika (bekerja sebagai proses and sistem pada Bank Permata Syari`ah) ini dimuat di majalah hidayah edisi 60, juli 2006

Sampai saat ini, saya telah mengikuti pelatihan motivasi dan kepemimpinan sebanyak tiga kali. Kenapa saya mengikuti pelatihan semacam itu, karena saya butuh untuk aktualisasi diri apalagi jika pelatihan itu relevan dan cukup menarik. Dari ketiga pelatihan yang saya ikuti setidaknya membuat saya menjadi semakin fokus dengan apa yang saya cita-citakan, apa yang saya inginkan dan semua itu bermuara pada kesuksesan dan kemuliaan (terlebih di dalam pelatihan terakhir; Kubik Leadership).

Memang, dari ketiga pelatihan yang saya ikuti itu ada yang membedakan. Perbedaan itu terletak pada kontens, yang menekankan bagaimana bisa membangun mental, kepercayaan diri dan menggali potensi diri. Karena tiga hal itu penting bagi setiap manusia, makanya saya mengikutinya meski menurut ukuran orang biaya pelatihan itu terbilang sangat mahal.

Tapi saya tak melihat nominalnya karena pelatihan semacam itu bagi saya merupakan life time invesment (investasi seumur hidup). Dengan kata lain, ada ilmu yang saya dapatkan untuk masa depan nanti. Jadi, saya bertindak (melakukan sesuatu) berdasarkan ilmu dan dari ilmu itu saya punya prinsip. Itu value lebihnya. Makanya, biaya seberapapun jika itu masih dalam batas rasional, saya melihat pada nilai investasi di masa depannya. Apalagi, saya tahu bahwa penyelenggara pelatihan juga membutuhkan cost, tempat, konsumsi, hak cipta dan lain sebagainya.

Memang, untuk mendapatkan hal semacam itu, saya bisa membaca buku. Tetapi yang membedakan ketika saya ikut pelatihan adalah adanya silaturrahmi, network semakin luas dan bisa kenal dengan orang-orang yang memiliki visi. Itulah yang tidak saya dapatkan ketika saya membaca buku. Makanya, di sini value-nya sangat tinggi. Kalau yang dilihat adalah nominalnya, maka itu akan dikatakan mahal. Tapi bagi saya sendiri, pertama kali adalah ilmunya. Kemudian, aktualisasi diri dengan orang-orang yang memiliki visi dan itu tidak saya pungkiri jadi aset bagi saya di masa mendatang.

Terus terang, setelah mengikuti pelatihan itu saya mnengalami semacam perubahan paradigma dalam diri saya. Pertama, kepercayaan diri (keyakinan). Kedua, berkaitan dengan kepemimpinan yang meliputi; keyakinan (sesuai dengan prinsip Tuhan, prinsip alam dan prinsip manusia), pimpin ati (kerja keras, cerdas dan ikhlas), juga pimpin pekerti yang mengajarkan bagaimana berpikir positif, produktif dan kemudian kontributif. Sebab orang tidak cukup hanya berpikir positif, tapi juga harus diikuti tindakan yang menghasilkan sesuatu (produktif) serta bermanfaat (kontributif) bagi orang lain. (n. mursidi)









tanah kubur penuh dengan batu

cerita ini dimuat di majalah hidayah edisi 60 juli 2006

“…janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kami yang akan memberi rizki kamu dan mereka”. (Al An'am:152)

Petang merayap pelan dan hari sebentar lagi berganti menjadi malam. Adzan maghrib yang bergema dari pengeras suara di mushalla Baburrahaman, di ujung perumahan Mahoni, sayup-sayup sudah tidak lagi terdengar. Keheningan seakan menyeruak dan sebelum iqamah berkumandang, Asti (29 tahun) bangkit dari sofa, lalu melangkah ke kamar mandi. Ia ingin mengambil air wudhu untuk menunaikan shalat maghrib.

Tetapi belum sempat langkah kaki Asti menginjak batas pintu, baru beberapa langkah di depan pintu kamar mandi, tiba-tiba telepon di rumah Asti berdering. Asti bimbang. Dering telepon itu seakan mencegah langkah Asti. Ia tak jadi mengambil air wudhu dan memutuskan untuk menerima telepon.

Asti segera melangkah ke ruang tengah dan diraihnya gagang telepon. Setelah Asti menjawab salam, terdengar suara sang ayah dari seberang.

"Asti, segeralah pulang ke rumah!"

Ia tertegun, "Memang ada apa, yah?"

"Ibumu meninggal," suara ayah Asti mendesah, terdengar seperti menangis.

Mendengar kabar itu, Asti seperti tersekap dalam ruang yang sempit. Ia mematung, suara ayahnya dari seberang bergema, serupa guntur yang menyentak. Lalu, Asti hanya bisa berucap, "Asti akan segera pulang, yah."

Setelah sang ayah menutup gagang telepon, Asti masih berdiri mematung. Asti masih merasa berat melangkah. Sejurus kemudian, dia duduk di kursi dan merasa tubuhnya lemas. Bagimana tidak? Sehari sebelumnya, Asti menjenguk ibunya dalam keadaan sehat. Karena itu, kabar dari ayahnya itu seketika membuat Asti tak percaya, membuat Asti tak mengerti dan Takdir Tuhan memang tidak bisa ditolak. "Sebulan lalu ayah saya yang sakit. Ibu baru sakit sekitar seminggu lalu dan sehari sebelum ibu meninggal, saya sempat menengok dan kondisi ibu sehat. Karena itu, saat ayah mengabarkan ibu meninggal, saya kaget," cerita Asti.

Sehabis shalat maghrib, Asti pulang ke rumah. Di depan jenazah ibunya, ia menitikkan air mata. Sang ayah menenangkan Asti dan bercerita detik-detik terakhir kematian ibunya.

Meninggal Mendadak
Seminggu sebelum ibu Asti, Asmah (50 tahun) meninggal, memang kerap mengeluh tidak enak badan. Tubuh Asmah terasa panas dan seringkali buang air kecil. Tetapi, Asmah tidak mau pergi ke dokter. Ia memilih pengobatan alternatif sebagai pilihan. Apalagi, Asmah memiliki adik sepupu yang dikenal sebagai ahli pengobatan alternatif. Makanya, Asmah meminta bantuan adik sepupunya itu untuk menangani sakit yang dideritanya.

Setelah datang ke tempat adiknya, Asmah dipijat dan diberi jamu (tradisional). Ada dua alasan yang membuat Asmah memilih tidak ke dokter dan pergi ke tempat pengobatan alternatif. Pertama, alasan ekonomi --karena keuangan tidak memungkinkan. Kedua, Asmah takut dengan vonis dokter. Sebab, sewaktu muda, Asmah pernah mengidap radang ginjal dan itu membuatnya bergidik seandainya dokter menvonis penyakitnya kambuh.

Sepulang dari tempat adik sepupunya, Asmah memang sehat. Asmah tidak merasakan ada gangguan di saat buang air kecil, bisa berjalan dengan normal dan merasa tubuhnya tidak kurang suatu apapun. Tapi seminggu berselang, sehari setelah Asti menengok, Asmah merasa tubuhnya lemas dan dia lebih banyak menghabiskan waktu di atas tempat tidur. Karena itu, seluruh anak-anak Asmah tak memiliki firasat jika hari itu adalah hari terakhir Asmah bisa bercerita dan berbagi kisah kepada Andar (55 tahun), sang suami tercinta.

Sore itu, Asmah menghabiskan waktu di atas tempat tidur. Tubuhnya lemas, membuat ia tak banyak bergerak. Sang suami menunggu di samping pembaringan mendengarkan kisah Asmah yang bercerita tentang masa awal pernikahan sampai kedua pasangan itu mempunyai anak. "Ibu bercerita pada ayah tentang awal berkeluarga sampai memiliki anak," cerita Asti sebagaimana diceritakan ayahnya sebelum Asmah meninggal.

Mendengarkan cerita Asmah yang tidak seperti biasa itu, Andar lalu bertanya, "Ada apa kamu bercerita seperti ini? Apa kau merasa punya salah?"

Asmah diam, tak menjawab. Asmah tak mau mengaku salah apa. Asmah hanya menatap jendela. Sekitar satu jam Asmah bercerita kepada suaminya, tiba-tiba Asmah merasa haus. Lalu, meminta suaminya mengambilkan air minum.

Andar beranjak, mengambil segelas air putih. Asmah segera meneguknya, dan setelah itu duduk di atas pembaringan. "Aku mau tidur," ucap Asmah kepada suaminya, memelas.

Andar membantu Asmah berbaring menyelimutinya dengan selimut tebal agar tidur dengan pulas. Andar masih di samping tempat tidur, menunggu Asmah yang seakan sulit tidur. Tapi tak lama kemudian, Asmah benar-benar tidak tertidur. Napas Asmah justru tersengal. Asmah seperti merasakan kalau napasnya sesak seperti ada semacam tarikan gaib yang tak dipahaminya. Andar berusaha menenangkan Asmah, tapi itu tak membantu. Sekitar 15 menit kemudian, Asmah meregang nyawa. Ia sudah tidak lagi merasakan sesak napas dan ia terbujur kaku sudah tak bernyawa.

Tahu kalau istrinya sudah meninggal, Andar segera memberi tahu tetangga terdekat dan setelah itu menelepon Asti.

Asti tiba di rumah ibunya sekitar isya`. Sejak remaja Asti memang sudah tidak lagi berkumpul dengan kedua orangtuanya karena ia diadopsi oleh pamannya. Saat Asti datang, seluruh keluarga sudah berkumpul. Setelah diadakan rapat keluarga, almarhum ibu Asti yang meninggal sehabis maghrib itu rencana dimakamkan besok siang, sekitar jam 14.00 WIB.

Tanah Kubur Penuh Batu
Pagi sekitar jam enam, empat orang penggali kubur berangkat ke tempat pemakaman keluarga Andar. Tanah kubur Asmah sudah tersedia, dan empat penggali kubur dengan sigap mengayunkan cangkul. Pagi cepat beranjak dan empat penggali itu dikejar waktu untuk segera menggali tanah dan sebelum jam dua siang harus sudah siap. Karena itu, secara bergantian keempat penggali kubur itu menganyunkan cangkul.

Tetapi ketika tanah itu tergali sekitar duapuluh lima centimeter, keempat penggali kubur itu dibuat tercengang. Tanah kubur almarhum yang berada di pemakaman keluarga itu, ternyata dipenuhi batu-batu yang besar. Batu-batu itu seakan menghalangi penggali untuk meneruskan penggalian. Sebab jika diteruskan bukannya mereka itu menggali tanah melainkan akan memecah batu-batu besar.

"Penggalian ini jelas tidak mungkin kita teruskan," ucap salah seorang penggali kubur kepada penggali yang lain, "Sebab ini berarti memecah batu bukannya menggali tanah!"

"Gimana jika kita pindah ke tempat sebelah?" usul yang lain

"Mungkin itu lebih baik," jawab penggali tadi, segera ia mengajak penggali kubur yang lain pindah ke tanah sebelahnya.

Keempat penggali kubur itu, lagi-lagi secara bergantian menggali kubur. Tetapi, saat tanah kubur sebelah digali mencapai sekitar duapuluh lima centimeter, ternyata peristiwa yang sama terjadi kembali. Jelas, keempat penggali kubur itu seperti dibuat bingung dan mau tidak mau memutuskan untuk pindah ke tanah sebelah lagi.

Keempat penggali kubur itu menganyunkan cangkul lagi bergulat dengan keringat dan mengerahkan tenaga untuk menggali tanah. Tetapi, kejadian "aneh" dengan batu-batu besar yang ada di tanah kubur kembali dijumpai keempat penggali kubur tersebut. Padahal selama keempat penggali kubur itu menggali tanah kubur di keluarga Andar, tidak pernah menemukan batu-batu besar di pemakaman itu. Karenanya, keempat penggali kubur saling berpandangan, mencari-cari tanah kosong untuk digali, tetapi tanah kosong di pemakaman keluarga itu sudah tak ada lagi yang tersisa. Semua tanah di pemakaman kelurga sudah penuh dengan kuburan --dari keluarga Andar.

Mau tidak mau, akhirnya keempat penggali kubur itu tidak punya pilihan lain, kecuali meneruskan penggalian yang dipenuhi batu-batu besar, meski mereka tidak menggali tanah, melainkan memecah batu-batu. Karenanya, salah satu penggali kubur itu segera bergegas ke rumah almarhum untuk memberitahukan rencana penundaan pemakaman.

"Rencananya, ibu dimakamkan jam dua siang, tetapi sebelum dhuhur tiba-tiba seorang penggali kubur datang ke rumah memberi tahu pemberangkatan almarhum ditunda karena harus menungu tanah kubur yang penuh batu," kisah Asti.

Siang merambat dan keluarga menunggu cemas. Akhirnya, setelah keempat penggali kubur menyisingkan lengan, penggalian pun selesai jam empat sore. "Penggalian itu memakan waktu total sepuluh jam," kisah Asti.

Setengah jam selanjutnya, iring-iringan pelayat tiba di pemakaman. Jenazah Asmah yang dimakamkan dengan peti kayu itu pun siap diturunkan. Tapi saat peti itu dimasukkan ke dalam kubur, ternyata tidak muat. Dipaksa berkali-kali, peti itu masih belum bisa masuk. Lalu, peti itu dipangkas. Akibatnya, tutup peti menjadi rusak.

“Aku sampai tidak tega melihatnya,” kenang Asti saat melihat pemakaman Asmah.

Seluruh pelayat seakan dibuat heran. Tetapi, sebagian yang lain –terutama keluarga almarhum—memaklumi kondisi pemakaman yang sedikit janggal itu. Ingatan mereka seketika terkenang dengan masa lalu alhmarhum.

Keras dan Takut Miskin
Sebetulnya, Asmah itu orangnya ramah dan supel. Hanya saja, Asmah itu orangnya keras. Kepada Hidayah, Asti bercerita, “Ibu orangnya keras. Karena itu, sampai saya sempat berpikiran; apa Allah menunjukkan batu-batu yang ada di tanah makam itu menandakan kalau beliau selama hidupnya begitu keras? Sebab semua keluarga sempat bermasalah dengan ibu dan semua pernah dikecewakan. Bukan hanya sekedar dimarahi tetapi sampai menyangkut ke urusan tanah warisan pun pada akhirnya ibu sempat bermusuhan.”

Sebagai PNS (Pemda), Asmah boleh dibilang tidak hidup kekurangan. Apalagi, Andar juga seorang PNS. Tetapi anehnya, Andar dan Asmah tidak bisa mengelola uang dengan baik. Bahkan setelah Asmah memiliki dua anak lelaki dan memanjakan keduanya dengan setengah mati, kondisi keuangan menjadi berantakan dan keluarga Asmah pun dililit utang. Akibatnya, Asmah dan Andar pontang-panting mengatur uang. Padahal, keduanya sama-sama PNS.

Karena itu, ketika Asmah hamil anak yang ketiga (yang tidak lain adalah Asti), Asmah takut sekali. Asmah merasa nanti tidak akan mampu untuk menghidupi keluarga dan memilih menggugurkan kandungannya. “Namun karena Allah menghendaki lain, saya tetap lahir meski pada akhirnya saya diadopsi oleh paman,” cerita Asti.

Padahal, kalau mau berpikir jernih dan ikhlas sebenarnya tak ada alasan takut miskin hanya gara-gara kelahiran seorang jabang bayi. Hal ini dengan tegas telah difirmankan Allah, “…janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kami yang akan memberi rizki kamu dan mereka”. (Al An'am:152)

Meskipun Asti diambil anak angkat oleh pamannya, tetap saja kehidupan keluarga Asmah dan Andar tidak semakin membaik. Asmah dan Andar selalu kekurangan dan terlebih setelah Asmah melahirkan anak yang keempat. Tidak jarang, karena kekurangan akibat dililit utang, Asmah dan Andar sering cekcok. Tetapi, karena Asmah keras, Andar –meski sebagai kepala keluarga-- pun kerap mengalah.

Sampai Asmah sakit saat menjelang ajal, ia merasa hidup kekurangan secara ekonomi. Itu yang menjadi alasan Asmah tidak mau pergi ke dokter. Sampai ajal menjemput, keluarga juga tidak tahu menahu apa sebenarnya penyakit yang dideritanya. Akhirnya, Asmah seakan meninggalkan misteri dan sekaligus hikmah yang bisa diambil pelajaran. Sebab di saat Asmah meninggal, tanah kuburnya dipenuhi dengan batu. Padahal di tanah kubur keluarga Andar itu sepanjang sejarah tidak pernah ditemukan batu sebagaimana yang dijumpai pada tanah kubur Asmah.

In Box
Asti, (29 tahun), anak almarhum
“Menunjukkan Karakter Almarhum”
Habis maghrib itu saya mendapat telpon kalau ibu meninggal. Padahal, kondisi sehari sebelumnya saat saya menjenguk, ibu sehat dan bisa jalan-jalan. Ia meninggal ditunggui ayah. Setelah mendapat telepon, saya segera pulang. Tetapi karena malam, maka jenazah almarhum dimakamkan esok siangnya.

Esoknya, saat tanah kubur digali, keluarga sempat dibuat kaget. Sebab tanah kubur almarhum dipenuhi dengan batu. Pindah ke tempat lain, ternyata juga mengalami hal sama dan akhirnya tidak ada pilihan lain kecuali penggali kubur itu terpaksa memecah batu, bukannya menggali tanah. Karena ini soal makam keluarga, sudah dikasih patok, ditembok dan jatahnya sudah di situ, maka tidak ada ada alternatif lain untuk pindah.

Setelah pemakaman itu, dalam hati saya berpikir, “Apa Allah menunjukkan batu-batu yang ada di tanah makam itu sebagai pertanda kalau beliau selama hidupnya begitu keras?” (nm/maaf narasumber tidak mau diambil fotonya)

Yayuk, (24 tahun), teman dekat Asti
“Dihantui Kemiskinan”

Tidak banyak yang tahu apa kesalahan yang dilakukan almarhum sampai tanah kubur almarhum dipenuhi dengan batu-batu besar. Apalagi, almarhum itu orangnya ramah dan supel. Kendati demikian, di mata keluarga, almarhum dikenal keras. Yang lebih aneh, almarhum takut miskin padahal jika dihitung secara materi tidak kekurangan. Meskipun kisah ini tidak cukup mencengangkan dan menghebohkan, semoga bisa diambil hikmahnya bagi siapa pun. (nm)