Minggu, 02 Juli 2006

membincangkan asal kejadian perempuan

tulisan ini dimuat di rubrik nisa` di majalah hidayah edisi 60 juli 2006

Terlahir sebagai seorang perempuan bukanlah satu kesalahan. Tapi banyak orangtua kerapkali kecewa dan tak mau menerima takdir tatkala menjumpai bayi yang lahir dari rahim sang istri “berjenis kelamin” perempuan. Kelahiran bayi perempuan itu seakan-akan dianggap sebagai aib, tragedi dan bahkan suatu nasib sial.

Padahal antara laki-laki dan perempuan —sebenarnya—tak ada perbedaan krusial yang perlu diperdebatkan. Bahkan dengan kehadiran anak perempuan, dunia ini seharusnya patut berbangga karena planet ini akan tetap eksis melangsungkan proses kehidupan umat manusia. Perempuan akan jadi patner bagi laki-laki, sebagai istri dan setelah melahirkan anak adalah satu keniscayaan perempuan menjadi ibu yang berperan besar mengasuh dan membesarkan anak untuk mengisi pola budaya generasi baru dalam mewarnai peradaban.

Tapi, sejarah kerap dicoret dengan persepsi yang salah dalam memandang perempuan. Berabad-abad lamanya, perempuan dianggap “makhluk lain” yang tak penting. Makanya, peran perempuan selalu dimarginalkan di dalam kultur yang hanya mengutamakan energi maskulin (mental dan fisik) serta mengerdilkan energi feminin (emosional dan spiritual). Akibatnya, ruang gerak perempuan sangat terbatas dan kerapkali menerima perlakuan tak adil dari laki-laki, yang tak hanya dalam ranah rumah tangga, melainkan pula dalam dunia kerja.

Anggapan bahwa perempuan itu adalah makhluk lain, makhluk yang kerap mendasarkan perasaan daripada akal dan sebagai makhluk yang hanya bermukim di rumah --setidaknya-- muncul dari sebuah asumsi yang ada di dalam “teks suci” tentang asal kejadian perempuan. Pertanyaannya kemudian adalah; benarkah “asal kejadian” perempuan itu berasal dari tulang rusuk lelaki sehingga perempuan itu lemah, halus, kerdil yang pada akhirnya menjadi sebuah justifikasi akan keberadaan perempuan?

Misteri Arti Nafs al-Wahidah
Sebenarnya, di dalam al-Qur`an tak ditemui ayat-ayat yang secara terperinci, detail dan gamblang tentang asal kejadian perempuan. Kata Hawa (dalam literatur bahasa Inggris disebut Eva), yang selama ini dipersepsikan sebagai perempuan yang menjadi istri Adam sama sekali tak ditemukan dalam al-Qur`an. Kendati demikian, ada satu ayat dalam al-Qur`an yang kerap dijadikan rujukan dalam pembicaraan tentang asal kejadian perempuan, yakni firman Allah QS. an-Nisa [4]: 1; "Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari nafs yang satu (sama) dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan lelaki dan perempuan yang banyak."

Tetapi ayat tersebut disanyalir masih memiliki korelasi yang membuka peluang makna tak tunggal. Karena itulah, sejumlah mufassir berbeda pendapat dalam menjelaskan siapa sebenarnya yang dimaksud dengan “nafs yang satu” (nafs al-wahidah), siapakah yang ditunjuk pada kata ganti (dhamir) “dari padanya” (minha), dan apa yang dimaksud “pasangan” (zawj) pada ayat tersebut?

Pendapat dari jumhur pakar tafsir memahami “nafs al-wahidah” dengan Adam, dan dhamir “minha” ditafsirkan dengan “dari bagian tubuh Adam” dan kata “zawj” ditafsirkan dengan Hawa, istri Adam, sebagaimana dalam Tafsir al-Qurthubi, Tafsir al-Mizan, Tafsir Ibn Katsir, tafsir al-Bahr al-Muhith, Tafsir Ruh al-Bayan, Tafsir al-Kasysyaf, Tafsir al-Sa`ud, Tafsir Jami al-Bayan dan Tafsir al-Maraghi. Pendapat ini, adalah pendapat mayoritas ulama.

Karena ayat di atas menerangkan pasangan tersebut diciptakan dari “nafs” yang berarti Adam, para penafsir memahami bahwa istri Adam (perempuan) diciptakan dari Adam sendiri. Alasan pendapat ini agaknya bersumber dari hadits yang berbunyi: "Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok... (HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah).

Sementara mufassir Muhammad 'Abduh dalam tafsir Al-Manar, tidak berpendapat demikian. Begitu juga rekannya Al-Qasimi. Mereka memahami arti “nafs” dalam arti "jenis". Demikian pula dengan Abu Muslim al-Isfahani, sebagaimana dikutip al-Razi dalam tafsirnya (Tafsir al-Razi), mengatakan bahwa dhamir “ha” pada kata “minha” bukan dari bagian tubuh Adam tetapi dari jenis (gen), unsur pembentuk Adam.

Alasan mereka mengatakan bahwa kata nafs itu adalah jenis (gen), unsur pembentuk Adam –sebagaimana ditulis Nasaruddin Umar dalam buku Prespektif Jender dalam Islam-- didasarkan pada kata nafs al-wahidah sebagai asal kejadian yang terulang lima kali, tetapi semua itu tidak berarti Adam, karena pada ayat lain, seperti QS al-Syu`ra [42]: 11, nafs itu juga berarti binatang. Kendati demikian, kata nafs al-wahidah dalam QS. An-Nisa: 1 boleh jadi suatu genus dan salah satu spesiesnya ialah Adam dan pasangannya (QS. Al-A`raf [7]: 189), sedangkan spesies lainnya ialah binatang dan pasangannya (QS al-Syura [42]: 11 dan tumbuh-tumbuhan dan pasangannya (QS. Thaha [20]: 53).

Adapun pendapat lain dikemukakan oleh ulama Syi`ah, mengartikan “nafs al-wahidah” itu dengan arti “roh”. Alasan yang bisa dikemukakan adalah, dalam al-Qur`an itu ada kata nafs yang terulang 295 kali dalam berbagai bentuknya dan tidak satupun yang dengan tegas menunjuk kepada Adam. Kata “nafs” kadang-kadang berarti “jiwa” (QS. Al-Maidah [5]: 32), “nafsu” (QS. Al-Fajr [89]: 27), “nyawa atau roh” (QS. Al-Ankabut [29]: 57).

Implikasi Bias Tafsir
Dari pendapat pertama yang mengemukakan “nafs” itu Adam, tidak dapat dimungkiri jika kemudian melahirkan pandangan yang negatif terhadap perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari laki-laki. Artinya, tanpa ada lelaki, perempuan itu tidak akan ada. Al-Qurthubi misalnya, menekankan bahwa istri Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok dan karena itulah wanita bersifat “auja” (bengkok atau tidak lurus). Pandangan demikian ini, jika dilacak bersumber dari sebuah hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi dari Abu Hurairah yang menyatakan perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok.

Agaknya hadits tersebut, sebagaimana dikemukakan M. Quraish Shihab dalam buku Wawasan Al-Qur`an, dipahami para ulama terdahulu secara harfiah. Tidak salah, jika tidak sedikit ulama kontemporer yang kemudian memahaminya secara metafora, bahkan ada pula yang menolak kesahihan (kebenaran) hadits tersebut. Sementara itu, mereka yang memahami hadits tersebut secara metafora, berpendapat bahwa hadits itu sebenarnya memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana, karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki --di mana bila tak disadari akan dapat mengantarkan kaum laki-laki bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan dari perempuan, kalaupun mereka berusaha pada akhirnya akan berakibat fatal, seperti fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.

Ath-Thabathaba'i dalam tafsirnya –dikutip M. Quraish Shihab- menulis, bahwa ayat di atas menegaskan bahwa "perempuan (istri Adam) diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam dan ayat itu sedikitpun tidak mendukung paham sementara mufassir yang beranggapan bahwa perempuan diciptakan dari tulung rusuk Adam. Alasan yang dikemukakan, bahwa tidak ada satu petunjuk yang pasti dari ayat-ayat al-Quran yang dapat mengantarkan kita untuk menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, atau bahwa unsur penciptaannya berbeda dengan lelaki.

Alasan kuat yang mendukung serta menekankan persamaan unsur kejadian Adam dan Hawa dan persamaan kedudukan lelaki dan perempuan, antara lain didasarkan pada surat al-Isra': 70, "Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan mereka mencari kehidupan). Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempuma atas kebanyakan makhluk-makhluk yang Kami ciptakan." Demikian pula penghormatan Tuhan yang diberikan-Nya itu mencakup anak-anak Adam seluruhnya, baik perempuan maupun lelaki. Pemahaman ini dipertegas lagi QS. Ali-Imran; 195 yang menyatakan, "Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain ..."

Sementara menurut Nasaruddin Umar, QS. al-Nisa' itu kurang relevan jika dijadikan dasar dalam menerangkan asal kejadian manusia secara biologis, karena dilihat dari konteks (munasabah), ayat itu berbicara tentang tanggung jawab para wali terhadap orang di bawah perwaliannya. Karena ada ayat-ayat lain yang lebih khusus berbicara tentang asal kejadian, seperti asal-usul manusia dari "air"/al-ma' (QS. al-Furqan [25]: 54), "air hina"/ma'in mahin (Q.S. al-Mursalat [77]: 20), dan "air yang terpancar"/ma'in dafiq (Q.S. al-Thariq [86]: 6), "darah" ('alaq) (Q.S. al-'Alaq [96]: 2), "saripati tanah"/sulalatin min thin (Q.S. al-Mu'minun [23]: 12), "tanah liat yang kering"/shalshalin min hama'in mahan (Q.S. al-Hijr [15]:28), "tanah yang kering seperti tembikar"/shalshalin ka 'l-fakhkhar (Q.S. al-Rahman [55]: 15), "dari tanah"/min thin (Q.S. al-Sajdah [32] :7), dan "diri yang satu" (nafs al-Wahidah (Q.S. al-Nisa'[4]: 1).

Akan tetapi asal-usul kejadian manusia masih perlu diteliti lebih lanjut, yang mana asal-usul dalam arti ciptaan awal (production) dan mana asal-usul dalam arti ciptaan lanjutan (reproduction).

Yang jelas, bias tafsir atas asal kejadian perempuan bisa melahirkan satu persepsi yang bisa menyudutkan perempuan. Padahal, antara lelaki dan perempuan tak ada perbedaan yang cukup krusial. Allah bahkan tak melihat seseorang berdasarkan jenis kelamin, melainkan berdasarkan tingkat ketaqwaan (QS. Al-Hujurat: 13). Karena pada hekekatnya, antara lelaki dan perempuan itu sama, tak memiliki perbedaan urgent untuk dipermasalahkan lagi.

Dalam ayat lain, Allah juga menegaskan, “Sesungguhnya Aku tak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik lelaki maupun perempuan (QS. Ali-Imron [3]: 195. Akhirnya, dengan ketegasan itu, masihkah antara lelaki dan perempuan diperbincangkan lagi dengan mempertanyakan asal kejadian perempuan yang bisa membuat kaum perempuan tersudutkan? (n. mursidi).


Tidak ada komentar: