Jumat, 01 Desember 2006

mengantar pada sebuah perubahan

tulisan ini dimuat di majalah hidayah edisi 65 desember 2006

Sudah semestinya ibadah haji itu akan menjadi ibadah peralihan bagi setiap muslim. Karena itu, ibadah haji tak bisa dikata sekadar tour, gagah-gagahan, apalagi untuk menaikkan status sosial atau pamer akan kelebihan materi bahwa dia bisa menjenguk ka`bah. Pendek kata, ibadah haji itu aadalah transit yang dapat mengantarkan seorang mengalami perubahan cukup signifikan sepulang dari tanah suci.

Setidaknya, media "transit" dari ibadah haji itulah yang dapat direngkuh H. Bambang Sutrisno sepulang dari tanah suci beberapa tahun lalu. Ia bukan kiai, atau ulama. Ia hanya orang biasa yang ingin mengunjungi ka`bah, karena ibadah haji itu salah satu rukun Islam yang wajib ditunaikan bagi setiap muslim yang mampu dan mendapat panggilan dari Allah.

Memang, H. Bambang dapat dilihat sebagai "contoh orang yang dapat panggilan dari Allah". Pada mulanya, ia ingin berangkat --bersama istri tercinta-- ke tanah suci, tapi quota jamaah haji sudah tidak memiliki tempat bagi keikutsertaan Bambang untuk berangkat tahun itu. Akibatnya, ia mendapat waiting list dan pergi tahun berikutnya. Seperti banyak orang yang gagal pergi haji, saat itu pun Bambang kecewa. Ada kekhawatiran jika tahun depan Allah berkehendak lain. Tapi orang-orang menyarankan untuk memasrahkan pada Allah. Bambang pun kemudian menjadi sedikit tenang.

Pada tahun berikutnya, panggilan Allah itu pun akhirnya datang. H. Bambang (bersama istri) berangkat ke tanah suci. Tetapi tidak tebersit di hati Bambang kalau kerangkat haji itu membutuhkan kesiapan manasik. Maka, ia sempat kikuk lantaran pengetahuan agamanya boleh dikata kurang. Tetapi prosesi manasik itu dijalani. Ia pergi ke tanah suci dan pulang membawa oleh-oleh ruhani yang berharga. “Ibadah haji itu adalah pengalaman personal, jadi rasanya tak enak jika saya menceritakan kepada orang lain," ujar istri H. Bambang merendah.

Tetapi sepulang dari tanah suci, H. Bambang mendapat pengalaman yang mengubah perjalanan hidupnya. Ia menjadi lebih rajin shalat dan bahkan berjama`ah. Ia tak merasa canggung pula untuk belajar agama. Ia bahkan membangun sebuah masjid di depan rumahnya. Lebih dari itu, dia merasa senang kalau melihat orang yang punya keinginan pergi haji bisa terlaksana. Tidak berlebihan, ketika ia tahu ada seorang ustadz yang berkeinginan pergi haji tapi secara materi kurang, ia pun kemudian menambahi sehingga ustadz itu bisa pergi haji.

Ibadah haji memang diharapkan bisa menjadi tahap baru dalam kehidupan pasca-haji. Karena jika tidak, untuk apa pergi ke Mekkah dan Madinah? Belum lagi harus mengeluarkan uang tak sedikit. Ibadah haji bukan piknik, tetapi ritual agung yang dapat membawa manfat besar, bisa mengubah prilaku dan sikap hidup orang yang melaksanakan haji, serta merengkuh tahap demi tahap perubahan ke arah yang lebih baik. Dan tak pelak, kisah perjalanan haji H. Bambang menyadarkan kita bahwa ibadah haji itu harus menjadi sarana perubahan jamaah haji yang telah mengucapkan labbayk allahumma labbayk (Aku penuhi panggilan-MU ya Allah) di tanah suci Mekkah. (sebagiamana diceritakan oleh Eli kepada N. Mursidi dari Hidayah)



Tidak ada komentar: