Kamis, 01 November 2007

dari kubur keluar ular besar

tulisan ini dimuat di majalah hidayah, edisi 76 november 2007

Di kampung Mangga, ia dikenal orang kaya. Maklum, di tempatnya tinggal itu, lelaki paruh baya yang bernama Majnun (tentu bukan nama sebenarnya, 50 tahun) ini adalah petani sukses. Sawah dan ladang Majnun luas membentang. Lebih dari itu, ia dikenal sebagai pedagang buah terkenal dan berhasil. Tak ayal, jika warga menyebut-nyebut lelaki yang memiliki lima anak itu tak kekurangan materi lantaran bergelimang dengan harta.

Tapi, kekayaan yang dimiliki Majnun itu tidak membuat dia menjadi orang yang ingat kebesaran Allah dengan rezeki yang telah diberikan padanya sehingga dia jadi dermawan atau ringan tangan terhadap orang miskin, paling tidak orang yang lagi dilanda kesusahan. Justru, dia selalu menggenggam jemari tangannya dengan erat dan bahkan congkak terhadap orang miskin.

Mungkin, tidak jadi soal jika Majnun tidak mau membantu orang yang butuh namun masih dengan cara baik dan rendah hati. Tapi, sudah tak mau mengulurkan tangan, Majnun masih berbohong, dan merasa tidak sebagai saudara.

Orang Kikir
Suatu hari, pernah ada sepupu Majnun dari jauh yang datang ke rumahnya untuk meminjam uang. Saudara Majnun itu lagi ditimpa musibah, lantaran anaknya sakit sehingga butuh biaya tak sedikit untuk berobat. Sepupu Majnun sebenarnya sadar, kalau tipis harapan jika harus meminjam uang kepada Majnun. Tetapi, jalan untuk mendapatkan uang sudah tidak ada lagi. Dia sudah bersusah payah minjam uang ke beberapa tetangga di kampung tempat tinggalnya, tetapi sayang tidak ada satu orang pun yang bisa membantu. Maka, tak punya pilihan lain, kecuali datang ke rumah Majnun. Dalam hati, ia membatin siapa tahu dengan keadaan anak sakit, Majnun tersentuh hati dan luluh sehingga tidak keberatan meminjamkan uang.

Sayang, harapan sepupu Majnun ternyata bertepuk sebelah tangan. Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, dan tiba di rumah Majnun bukan sapaan akrab dan uluran tangan keluarga yang ia dapat melainkan luapan wajah cemberut di wajah Majnun yang serupa singa. Tentu saudara Majnun tidak mungkin pulang jika tanpa usaha. Dia sudah jauh terlanjur sampai di rumah Majnun, maka akhirnya memberanikan membuka mulut...

"Kedatangan saya ke sini sebenarnya selain silaturrahmi juga ada masalah penting yang ingin saya bicarakan!”, ucap sepupu Majnun.

“Masalah apa lagi?” tanya Majnun.

“Saya ingin minta tolong!” ucap sepupu Majnun gagap. “Saya butuh uang untuk mengobati anak saya yang sakit…"

Saat mendengar meminjam uang, seketika itu Majnun mendidih. Jantungnya berdegup kencang, mukanya merah serupa batu bata yang terbakar bara. Majnun berkacak pinggang, "Kau ini tiba ke sini hanya minta tolong! Saya tak punya uang. Hari ini dagangan buah tak laku, hasil panen pun belum tiba. Lagi pula, saya ini memang apa-mu?” ketus Majnun.

Sepupu Majnun itu, terdiam. Kedua kakinya lemas. Langit-langit seakan gelap. Mulutnya terkunci dengan ucapan Majnun yang ketus itu. Belum lagi, wajah cemberut Majnun yang dilihat seram menakutkan. Maka, tak ada pilihan lain untuk tinggal lebih lama. Dia segera pamit pulang, dengan tanpa membawa uang.

Dia sebenarnya tidak heran dengan kelakuan Majnun itu, karena penolakan Majnun terhadapnya kali ini bukanlah pertama yang dia alami. Sebelumnya pernah ia meminjam uang dan selalu dijawab dengan kata “tidak punya uang”.

Tetapi kali ini saudara Majnun terpaksa, tapi, apa daya orang yang selama ini dianggap sebagai saudara ternyata tak lebih dari orang asing yang tak saling kenal.

Watak Majnun itu, sebenarnya sudah jadi rahasia umum warga Semangka. Warga tahu, Majnun memang kaya. Tapi menurut warga, kekayaan yang dimiliki Majnun itu justru membuat Majnun sombong, congkak dan enggan bergaul dengan warga yang mayoritas berstatus rendah. Selain kikir, Majnun dikenal warga suka mendatangi sebuah pohon besar yang ada di ujung kampung. Tak jarang, Majnun kepergok oleh salah seorang warga yang mencari rumput.

Anto (36 tahun), warga yang mencari rumput itu pun sering melihat Majnun bersila di bawah pohon, melakukan ritual dengan menyajikan sesajen, membakar dupa dan mulutnya berkomat-kamit membaca mantera. Di akhir prosesi, Majnun kemudian bersujud di hadapan pohon besar tersebut dengan seksama.

Kebiasaan buruk itu, sudah sering dilakukan Majnun tatkala hari menjelang Maghrib --tepatnya Jum'at sore. Maklum jika Anto tahu. Dia seorang warga desa yang sehari-hari bekerja di sawah milik Majnun sebagai buruh harian. Tak salah pula Anto sering memergoki Majnun melakukan ritual aneh itu. Anto mengatakan aneh, sebab suatu hari pernah melihat Majnun bermesraan dengan seekor ular besar di bawah pohon.

Memang, awalnya ritual aneh itu hanya diketahui Anto. Tetapi, lama-lama warga tahu juga. Tapi warga hanya diam tak pernah mengusik kebiasaan Majnun yang dianggap menyimpang. Orang-orang kampung Semangka hanya berbisik-bisik tatkala di warung kopi lantas menyebut-nyebut Majnun itu telah mengambil pesugihan.

Sombong
Dengan memiliki kekayaan yang berlimpah dan tidak ada orang di kampung Semangka yang mampu menandinginya, Majnun pun jadi sombong termasuk kalau ada orang yang datang ke rumahnya. Padahal kedatangan orang ke rumahnya itu belum tentu mau meminjam uang. Bisa jadi, orang yang datang ke rumah Majnun itu ingin memberikan informasi, atau apa lagi…

Tapi karena Majnun selalu berprasangka negatif kepada setiap orang yang datang ke rumahnya, akhirnya orang kampung tak berani datang ke rumah Majnun jika memang tidak perlu. Rumah Majnun jadi angker, angkuh dan menyeramkan. Tidak jarang, pengemis atau anak yatim yang datang ke rumah Majnun pun untuk minta sedekah, akhirnya harus menantap rumah megah Majnun itu dengan tatapan yang nyaris tidak percaya jika pemiliknya ternyata tak bersahabat.

Selain dikenal angkuh dan sombong, Majnun juga nyaris tak pernah hadir jika ada warga atau tetangga yang lagi punya hajat. Maklum jika satu dua kali tak hadir, tetapi seringkali undangan warga itu tidak pernah dipenuhi Majnun dengan seribu alasan, seperti sibuk kerja atau sedang ke pergi ke luar kota.

Menurut pengakuan Anto, Majnun memang orang yang tidak suka bergaul dengan warga kampung. Sikap itu pula yang membuat warga membenci Majnun dengan sepenuh hati. Karena tidak semestinya Majnun bersikap sombong, apalagi tak mau bergaul dengan tetangga. Lebih dari itu, Majnun suka menghina orang.

Pernah suatu ketika, ia menghina Anto karena Anto sedang sakit dan minta istirahat beberapa hari untuk libur dari kerja di sawah Majnun. Tapi, Majnun tak memberi izin kepada Anto apalagi memberi bantuan uang untuk berobat. Justru, Anto dihina-hina. "Kau itu sudah miskin, sakit-sakitan lagi! Kapan lagi kamu akan menyelesaikan kerjaan di sawah!" bentak Majnun dengan muka bersemu merah menyala.

Jelas, hinaan itu langsung membuat Anto kecewa dengan majikannya yang selama ini ia bantu. Dalam hati kecil, Anto ingin memutuskan tidak melanjutkan bekerja di sawah Majnun. Tapi ia berfikir ulang, dari mana dia akan mendapatkan uang kalau tidak bekerja sebagai buruh harian di sawah Majnun? Apalagi istrinya sedang hamil dan nanti butuh biaya banyak untuk bersalin. Belum lagi, kebutuhan lain yang harus ditanggung Anto. Saat berpikir jernih, ia pun urung keluar kerja.

Sejak peristiwa itu, Anto menebalkan telinga, dan bungkam seribu bahasa meski Majnun menyumpahi dengan sumpah serapah yang tidak enak didengar. Tak salah, jika orang-orang sebelum Anto pun nyaris tidak pernah bertahan lama selama kerja di sawah Majnun.

Datang Sakit...
Jelas, roda kehidupan datang silih berganti. Ada orang yang kaya, ada pula yang miskin. Ada sehat, ada pula sakit. Ada siang, juga malam. Kadang di atas, suatu kali pun bisa jadi berganti ada di bawah. Seperti halnya Majnun, dia tak selamanya menjadi orang kaya yang bisa merendahkan setiap orang yang ada di sekitarnya. Ia juga tak selamanya akan sehat.

Hingga suatu hati, Majnun mendapat ujian dari Allah. Ia sakit. Ia mengalami stroke, tepatnya di kepala bagian kanan. Sakit yang dideritanya itu tak bisa lagi membuatnya pergi untuk berjualan buah. Tak pelak, ia pun hanya terbaring lemah di atas ranjang, menatap langit rumah yang kelam. Ia tidak mampu berkata-kata kasar pada orang-orang disekitarnya. Ia tak kuasa lagi berbicara dengan keras. Tak kuasa bergerak leluasa, bahkan sekadar untuk memalingkan wajahnya ke kiri atau kanan. Ia sudah tak mampu lagi berbuat banyak.

Satu bulan berlalu, sakit yang diderita Majnun ternyata belum pulih. Maka keluarga dan anak-anak Majnun ditikam bingung, pasalnya sudah sebulan itu pula Majnun menginap di rumah sakit dan biaya rumah sakit sudah membengkak tinggi, tetapi Majnun masih saja tak ada perkembangan. Tetapi apa daya, Allah memang belum berkehendak untuk menyembuhkan Majnun dari sakit. Sudah puluhan juta yang dihabiskan untuk mengobati Majnun. Tapi uang puluhan juta itu tidak mampu menyembuhkan sakit yang diderita oleh Majnun. Karena tidak pernah menderita sakit seperti itu sebelumnya, Majnun pun sering menjerit-jerit dengan kencang, dank eras lantaran tak kuasa menderita rasa sakit.

Saat tahu Majnun sakit keras, warga desa ada yang simpati tetapi ada yang girang bukan kepalang. Mereka yang simpati, akhirnya datang membesuk Majnun dan mendoakannya supaya lekas sembuh dan nanti segera bertaubat atas segala kesombongan dan keangkuhannya setelah diuji Allah dari stroke.

Tapi bagi mereka yang girang mendengar Majnun ditimpa penyakit stroke, sama sekali tak mau menjenguk dan mengatakan jika Majnun ditimpa sakit seperti itu, adalah wajar sebab ia orang sombong dan selalu membanggakan dirinya yang kaya raya. Padahal, kekayaannya yang disombongkan itu pun berangsur-angsur digerogoti kebutuhan untuk membiayai perawatan di rumah sakit.

Jadi Ular Besar
Setelah lama terkapar dan tidak bisa berbuat apa-apa, akhirnya sakit yang diderita Majnun mendekati masa kritis, dan puncaknya Allah menghendaki Majnun meninggal dunia. Majnun menghembuskan nafas terakhir seusai menderita sakit yang tak terperikan. Ia menjerit-jerit, hingga akhirnya kesunyian menjadi saksi bahwa Majnun telah meninggal dunia. Kesunyian itu disusul sedih. Tangis istri dan anak-anaknya pecah. Seketika, kamar rumah sakit ramai isak tangis, ratapan dan jeritan.

Setelah keluarga mengurus biaya rumah sakit, almarhum dibawa pulang ke rumah untuk dikebumikan hari itu. Meski Majnun dikenal kurang baik oleh warga kampung, tetap ada sebagian warga yang melayat. Jenazah almarhum kemudian dimandikan, dikafani, dishalati kemudian diberangkatkan ke tempat peristirahatan terakhir. Tak ada kejadian aneh yang terjadi waktu pemakaman berlangsung.

Tetapi kejadian aneh berlangsung satu minggu kemudian setelah jenazah Majnun dikebumikan dengan tenang. Sebagaimana umumnya pemahaman sebagian orang kampung Semangka, orang yang meninggal diadakan tahlilan, dan yasinan. Apalagi karena yang meninggal itu adalah orang kaya, maka anak-anak dan isteri Majnun membuat tenda besar di sekitar makam Majnun. Di tenda besar itu, nanti warga desa diundang untuk mengadakan tahlilan dan membaca yasin.

Tak kurang dari empat puluh orang hadir dalam acara tahlilan itu. Tahlilan berlangsung mewah. Bahkan menurut Sanusi (29 thn), seorang warga yang turut diundang tahlilan, menuturkan seusai membaca yasin dan tahlil itu, setiap orang masih diberi uang oleh anak-anak Majnun.

Tahlilan dan yasinan itu dilakukan setelah Maghrib dan rencananya, acara itu akan digelar selama 40 hari. Tapi saat tahlilan dan yasinan itu berlangsung 1 minggu, kejadian aneh terjadi. Tiba-tiba kuburan Majnun meledak hebat. Orang yang sedang tahlilan kaget, tercekat bunyi ledakan. Apalagi sesaat kemudian, dari dalam kubur muncul seekor ular besar yang menjulur-julurkan lidahnya ke arah warga yang sedang membaca surat Yasin.

Seketika orang yang hadir dalam acara tahlilan itu berhamburan kabur, lari tunggang langgang. Tetapi, tidak berapa lama kemudian, ular raksasa itu masuk kembali ke kubur yang sudah terbuka.

Kejadian aneh itu ditafsiri warga dengan berbagai cerita. Tetapi, yang jelas di malam itu anak-anka almarhum Majnun segera meminta orang-orang yang ikut tahlilan untuk merahasiakan kejadian aneh tersebut agar tutup mulut, dan setiap orang diberi uang yang lumayan besar.

Tentu saja, cerita tragis yang dialami keluarga Majnun itu bukanlah suatu kebetulan belaka. Lantaran semasa hidupnya, Majnun dikenal sebagai orang yang sombong, angkuh dan punya pesugihan. Padahal, Allah menganjurkan umat Islam supaya tidak sombong sebagaimana dalam firman-Nya, “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan sombong, sesungguhnya Allah tak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri." (QS. Lukman: 18).

Selain itu, pesugihan itu adalah syirik dan dosa syirik adalah dosa besar yang tidak diampuni oleh Allah. Semoga kisah Majnun ini menyadarkan kita!



Tidak ada komentar: