Rabu, 02 Januari 2008

jalan panjang pertaubatan sang kanibal

tulisan ini dimuat di majalah hidayah edisi 78, januari 08

Siapa yang tak kenal dengan Sumanto? Lelaki satu ini memang sangat fenomenal. Empat tahun silam, dia pernah menghebohkan negeri ini dengan berulah di luar akal sehat. Putra Mulya Wikarta dan Samen ini, di awal tahun 2003 silam, sempat membuat bulu kuduk siapa pun berdiri dan bisa meregang takut lantaran dia dikenal sebagai pemakan mayat manusia. Ia telah membongkar kuburan, mencuri dan kemudian memakan jenazah tetangganya, Mbah Rinah (81 tahun) yang belum genap 24 jam dikebumikan di tempat peristirahatan terakhir.

Ulah Sumanto di luar akal sehat itu, tantu langsung membuatnya menjadi sosok fenomenal sekaligus kontroversial. Ulah yang konon tak masuk akal itu dinilai sebagai perbuatan orang miring, tak waras dan gila. Vonis hakim pun kemudian dijatuhkan atas kiprah itu. Sumanto dihukum penjara. Tetapi, bagaimana setelah dia keluar dari penjara dan menjalani kehidupan selanjutnya?

Berikut ini adalah hasil liputan wartawan Hidayah, yang sempat berkunjung ke Wisma Rehabilitasi Sosial, Mental dan Narkoba di Bungkanel, Kecamatan Karanganyar, Purbalingga milik H. Supono Mustajab. Di bawah asuhan pembimbing spiritual yang dengan sabar dan rendah hati telah mengasuh dan membimbing Sumanto, kini laki-laki itu pun dikenal sudah jauh berbeda. Padahal dahulu semua orang nyaris menghina dan menyia-nyiakan. Bahkan warga tempat kelahiran Sumanto sendiri, sempat menolak dan tak mau menerima kehadiran Sumanto sekeluar dari penjara untuk pulang ke kampung halaman.

Masa Lalu itu Sudah Berlalu…
Sumanto, demikianlah laki-laki itu diberi nama oleh kedua orangtuanya. Tetapi, kedua orangtua Sumanto, Mulya Wikarta dan Samen nyaris tak pernah bermimpi buruk jika anaknya bisa tumbuh dan kemudian jadi “seorang kanibal” yang memakan mayat tetangganya, Mbah Rinah setelah jenazah wanita tua itu tak lama dikuburkan.

Wikarta seperti ditempelak. Samen pun seakan-akan ditusuk ulu hatinya dengan perbuatan Sumanto itu, saat polisi membekuk Sumanto dan menuduh sebagai pencuri mayat dan diamankan karena telah memakan mayat Mbah Rinah tersebut. Celakanya lagi! Karena tidak tahu, sang ayah pun ternyata ikut makan jenazah tersebut bersama anaknya, setelah potongan daging Mbah Rinah itu dibakar oleh Sumanto.

Sumanto –sebenarnya- sudah bertindak trampil. Waktu dia menggali kuburan, tak ada orang yang tahu. Sayang, dia sedikit kurang teliti dalam menyembunyikan sisa mayat Mbah Rinah. Memang, ulah busuk suatu saat pasti akan terbongkar dan tercium. Ulah Sumanto itu pun akhirnya terkuak. Itu bermula berita hilangnya mayat seorang nenek berusia 81 tahun, yang baru dikubur di kuburan desa Mojotengah, Kemangkon, Purbalingga, Jawa Tengah ketahuan. Seketika, berita itu membuat geger warga.

Dengan kondisi kuburan Mbah Rinah yang sudah acak-acakan, warga menjadi kaget. Lebih tragis lagi, ternyata mayat Mbah Rinah itu sudah raib dari kuburan. Berita itu pun segera menyebar sampai ke desa tetangga. Malahan, ada warga yang kemudian membumbui “berita” tersebut dengan hal-hal yang berbau mistis sehingga warga desa merasa ‘terteror’ dan ditikam rasa takut. Bulu kuduk pun berdiri.

Seketika itu, malam harinya warga perempuan terpaksa dilanda ketakutan dan tak berani tidur sendirian. Sementara warga lelaki harus melakukan ronda sampai pagi hari. Ketakutan itu baru berakhir ketika polisi membekuk Sumanto di rumahnya sekitar 5 KM dari makam Mbah Rinah. Itu karena Sumanto teledor. Ia tak memperhitungkan ‘sisa’ mayat yang dia tanam di depan rumahnya bakal menyebarkan aroma busuk yang menyengat dan mengundang hidung terusik. Kebetulan ada warga mencium aroma tak sedap itu dan langsung curiga, kemudian melapor ke polisi.

Sumanto pun dibekuk, tentunya setelah polisi menemukan potongan tubuh dan tulang-tulang Mbah Rinah di rumah Sumanto. Selain itu, polisi mendapatkan tengkorak manusia, dua alat vital laki-laki dalam sebuah botol. Sumanto bahkan mengaku dirinya melakukan ulah itu lantaran sedang memperdalam ilmu di bawah bimbingan seorang guru agar bisa sakti. Dengan memakan mayat itu, konon badannya akan menjadi kebal bahkan tak akan terluka oleh goresan senjata. Selain itu, dengan ritual tersebut konon bisa mendatangkan ketenangan batin. Benarkah pengakuan Sumanto itu? Tentu, hanya dia yang tahu!

Untuk menjadi sakti itulah, Sumanto harus berbuat nekat di luar batas akal sehat manusia. Konon, saat Mbah Rinah meninggal dunia, Sumanto sudah menyusun rencana yang akan dilakukan. Maka ketika jenazah wanita tua itu dimakamkan dan orang-orang yang mengantar jenazah pulang, Sumanto beraksi. Saat itu ia mulai menggali kuburan Mbah Rinah yang telah diamatinya sejak sore. Kain kafan pembungkus mayat Mbah Rinah yang dimakamkan Sabtu siang, baru berhasil ia sentuh pada hari Minggu pukul dua dini hari.

Hal itu dikarenakan pembongkaran kuburan dilakukan dengan “tangan kosong” tanpa menggunakan alat bantu, semisal cangkul atau linggis. Setelah mayat Mbah Rinah berhasil dikeluarkan Sumanto dari liang kubur, kain kafan yang membalutnya dilucuti dan ditinggalkan begitu saja. Mayat itu kemudian dimasukkan ke dalam karung plastik lalu diangkut dengan sepeda onthel menuju rumahnya yang berjarak kira-kira 1,7 km.

Setiba di rumah, Sumanto “memotong” alat vital Mbah Rinah dan membungkus dengan kain merah. Saat dia ditangkap, polisi menemukan bungkusan kain merah itu di saku bajunya. Selanjutnya, nyaris tak dapat dibayangkan! Karena, Sumanto memotong- mayat mayat Mbah Rinah seperti memotong daging ayam atau sapi. Lebih tragis, lantas dibakar, dimasak di dalam kuali dan sebagian lagi konon dimakan mentah-mentah.

Selain jenazah Mbah Rinah, konon Sumanto juga pernah memakan daging orang lain. Karena itu, diduga kuat mayat Mbah Rinah itu bukanlah pengalaman pertama bagi Sumanto memakan mayat manusia. Sebab menurut pengakuan Sumanto, sebelumnya ia telah memakan tiga tubuh manusia. Korban pertama yang dia makan adalah seorang perampok yang semula akan membegalnya. Perampok itu sempat bertarung dengan Sumanto dan dia berhasil membunuhnya, lalu memakan daging perampok itu mentah-mentah.

Perilaku miring Sumanto itu diduga berawal dari pengalaman Sumanto selama merantau ke Lampung. Ketika di Lampung itu, Sumanto bertemu dengan seorang guru spiritual yang bernama Taslim. Taslim mengajarkan bahwa memakan mayat manusia dapat memberikannya kesaktian dan kekayaan.

Peristiwa kedua yang ia makan adalah korban kecelakaan kereta api. Ceritanya, waktu itu Sumanto berjalan di pinggir rel (di sekitar daerah Rajabasah) dan menemukan potongan kaki manusia. Seketika itu, ia langsung memakan mentah-mentah. Kemudian kejadian ketiga adalah seorang begal yang juga berhasil dia bunuh. Begal itu kemudian dimakan oleh Sumanto. Korban ketiga ini, kemudian dia ambil penisnya dan dijadikan sebagai kalung. Hanya saja, 3 peristiwa itu masih menjadi tanda tanya! Apa pengakuan Sumanto itu benar? Tentu, hanya dia yang tahu!

Dengan ulah Sumanto itu, orang pun menduga Sumanto tak waras. Maklum jika orang berpikir demikian. Tetapi, dugaan itu bisa saja keliru. Karena ulah Sumanto bisa jadi sebuah ritual untuk mendapatkan ilmu kesaktian. Karena saat Sumanto diperiksa oleh polisi, kenyataannya ia bisa menjawab pertanyaan dengan lancar, tak berbelit-belit. Sementara setelah diperiksa oleh tim psikologi Polda Jawa Tengah, Sumanto dinyatakan psikopat. Semua perbuatan Sumanto dilakukan secara sadar dan dengan pertimbangan yang matang.

Akhirnya, karena “ulah” Sumanto mengganggu ketentraman warga, pengadilan menjatuhkan vonis terhadap Sumanto. Dia pun dihukum kurungan. “Saya tak dihukum tetapi diamankan! Dan masa lalu itu sudah berlalu…,” demikian pengakuan Sumanto.

Tak Pernah Mandi
Siapa tidak takut dengan Sumanto? Penjahat kelas kakap pun, tidak bakal punya keberanian untuk memakan daging manusia. Karena itu, ketika Sumanto dipenjara di Lapar Purwokerto, dia pun ditakuti napi. Lebih dari itu, prilaku lain juga membuat napi harus menjauh. Dia tak mau mandi, berbau tak sedap dan sungguh menakutkan. Maka, ia pun seperti sosok fenomenal yang mengundang rasa takut terhadap siapa pun, tidak terkecuali penjahat, maling dan bahkan pembunuh sekali pun.

Sumanto pun mengakui, semua orang berbuat baik terhadapnya. Sipir pun baik dan semua baik-baik saja. “Semua baik, tak ada apa-apa!” demikian kata Sumanto soal kehidupan yang dijalani di penjara atau Lembaga Permasyarakatan (LP) Purwokerto.

Kebaikan napi dan sipir itu, lantaran Sumanto memang tidak berbuat ulah atau lebih tepat sering memilih diam. Rupanya pilihan diam itu membawa keberuntungan. Ia pun menjalani masa tahanan dengan baik dan kabar akan bebas pun (pada tanggal 24 Oktober 2006) beredar. Sayang, kabar kebebasan Sumanto itu kembali membuat warga Pelumutan, Kecamatan Kemangkon, Purbalingga Jawa Tengah dan empat desa lain di sekitar kampung Pelumutan harus dilanda rasa takut.

Tak pelak, kalau kemudian warga tempat kelahiran Sumanto protes keras untuk menerima Sumanto pulang ke kampung halaman. Pasalnya Sumanto masih menyisakan rasa takut di benak warga kampung. Berita penolakan itu, untungnya membuat Supono Mustajab tersentuh hati untuk membawa pulang Sumanto supaya dirawat di rumah sakit jiwa miliknya, Wisma Rehabilitasi Sosial, Mental dan Narkoba di desa Bungkanel, Kecamatan Karanganyar, Purbalingga. Apalagi, tidak disangkal, ternyata banyak orang penderita gangguan jiwa yang sudah sembuh setelah dirawat di tempat tersebut.

Niat baik Supono itu, ternyata direstui oleh sejumlah pihak, termasuk keluarga Sumanto. Maka, selepas dari penjara (Lebaran, 24 Oktober 2006 lalu, tepatnya setelah melaksanakan salat Idul Fitri di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Purwokerto) orang yang dikenal sebagai mantan kanibal asal Pelumutan, Kecamatan Kemangkon, Purbalingga, Jawa Tengah itu langsung dibawa H Supono pulang ke Wisma Rehabilitasi yang konon juga dikenal sebagai pondok pesantren.

''Saya ikhlas lillahi ta'ala, ibadah untuk merawat dan menyembuhkan dia agar kembali seperti manusia normal,” ujar H Supono. Padahal ketika Sumanto keluar dari penjara, banyak juga pihak yang coba mengajak Sumanto bergabung. Ada pengusaha kapal ikan di Jakarta yang hendak menjadikan Sumanto tukang tagih utang. Ada juga pengusaha entertainment yang mau menjadikan Sumanto jadi bintang hiburan. Tetapi, H Supono kukuh membawa Sumanto karena memang berniat untuk menjadikan Sumanto kembali normal. Akhirnya, kekukuhan dari H. Supono itu berhasil membawa Sumanto ke desa Bungkenel, Purbalingga untuk dirawat dengan baik.

Ingin Menjadi Da`i
Kini, sudah setahun lebih Sumanto tinggal di Wisma Rehabilitasi Sosial, Mental, dan Narkoba di desa Bungkanel, Kecamatan Karanganyar, Purbalingga. Sumanto pun sudah bertaubat. Berita mencengangkan lagi, Sumanto ternyata sudah sering diajak oleh pembimbing spiritualnya itu untuk tampail di panggung dakwah menjadi seorang da`i.

Memang, Sumanto masih belum cukup mahir berceramah. Tapi kehadirannya di atas panggung dakwah di kampung-kampung selalu mengundang daya pikat tersendiri untuk menjadikan pengajian yang diisi oleh H. Supono menjadi menarik perhatian. Di sisi lain, saat H Supono diundang untuk berceramah dan kemudian mengajak Sumanto itu juga dengan maksud mengenalkan Sumanto pada publik, bahwa kini ia telah taubat.

Bahkan, kehadiran Sumanto itu tidak cuma di panggung-panggung dakwah di kampung. Sejumlah stasiun televise pun kemudian mengudang Sumanto dan H Supono Mustajab. Sumanto pun dalam waktu sekejab mendadak menjadi seorang selebritis.

Sekembalinya Sumanto menjadi manusia normal tentu mengundang rasa ingin tahu sejumlah orang. Apa yang dilakukan H. Supono Mustajab sehingga Sumanto bisa kembali normal, bahkan bertaubat dan menjadi dai? Ternyata, niat baik dan ikhlas yang melandasi H. Supono untuk menyembuhkan Sumanto itu yang menjadi modal utama kesembuhan lelaki asal Pelumutan yang dulu dikenal sebagai sang kanibal.

Dengan disiplin tinggi, memadukan pengobatan medis dan non-medis, akhirnya Sumanto kembali normal. Dengan cara medis, H. Supono bekerja sama dengan 6 dokter dari Purbalingga dan Purwokerto. Untuk penyembuhan non-medis, ia sendiri langsung turun tangan. Selain itu, H Supono juga mengenalkan Sumanto dengan ilmu agama, mewajibkan shalat 5 waktu. “Saya selalu diperingatkan pak Haji untuk shalat. Karena itu memang wajib,” kata Sumanto tanpa ragu atas didikan Supono tentang pengetahuan dan ilmu agama.

Tak pelak, kalau kini Sumanto pun sudah bisa berbaur dengan masyarakat desa Bungkanel, ikut olahraga sepak bola dan kegiatan lain lagi. “Kalau pagi, saya olahraga lalu dilanjutkan sarapan, baca koran kalau ada. Kalau, tidak ada… ya merokok, kerja atau istirahat sampai makan siang. Jadwal itu biasa dan soal shalat lima waktu pun, saya sadar itu kewajiban. Saya harus shalat,” tutur anak lelaki dari Mulya Wikarta dan Samen tersebut.

Program H Supono untuk membuat Sumanto menjadi waras, kenyang dan bisa mencari uang pun kini sudah menjadi kenyataan. Sumanto sudah waras (sehat), makan pun kenyang, tak kurang dari suatu apa pun, karena H Supono sudah menanggung atas kebutuhan hidup Sumanto dan kadang-kadang jika ada undangan ceramah, Sumanto pun diajak. Dari situlah, Sumanto tak jarang mendapat uang. Tidak salah, ketika ditanya orang, kini Sumanto pun tidak segan-segan menjawab dia ingin menjadi seorang da`i.

Jalan pertauban mantan sang kanibal ini memang panjang. Tetapi, di balik jalan panjang itu tentu saja ada sejuta hikmah dan pelajaran yang dapat dipetik. Semoga saja jalan panjang pertaubatan Sumanto ini bisa memberikan pelajaran bagi kita semua agar kita bisa meneladani kiprah dari H Supono Mustajab. Sebab, tanpa rengkuhan tangan H Supono Mustajab, mungkin jalan hidup Sumanto akan lain. Wallahu a`lam bish-shawwab.


Tidak ada komentar: