Selasa, 01 April 2008

bercak dari di kain kafan kepala jenazah

cerita ini dimuat di majalah hidayah edisi 80, april 2008


Semua orang tahu, kematian suatu saat nanti akan datang menjemput dan dia tak bisa menolak akan perjalanan waktu yang semakin hari berlalu tentu membawanya menjadi semakin tua dilanda usia dan bahkan renta. Juga, sepanjang hidupnya dia dapat diserang penyakit yang bisa saja mengantarnya menemui ajal yang tak diragukan lagi, membuat siapa pun merinding sekadar untuk membayangkan saat-saat kritis sebelum ajal itu tiba.

Semua orang juga tahu, setelah kematian menghampirnya, praktis akan menemui sebuah kehidupan pasca-kematian sebagai balasan atas amal yang telah diperbuatnya selama ia menjalni hidup di dunia. Jika dia menjalani hidup dengan setumpuk keburukan, maka tidak ada alasan kalau kemudian balasan siksaan yang pedih pun bisa ia terima tak saja di akherat kelak, melainkan juga bisa datang sewaktu ia masih hidup di dunia ini. Ia bisa dilanda sakit parah yang cukup menyengsarakan, sebelum ajal itu datang menjemput.

Tetapi, pengetahuan wanita satu ini akan datangnya kematian itu, juga adanya kehidupan setelah dia berpisah dari dunia ternyata tak sebanding lurus dengan amal dan prilakunya yang baik untuk dijadikan bekal. Wanita ini seperti lupa jika satu hari nanti ia akan menemui ajal dan kelak menerima balasan atas segala perbuatan yang diperbuatnya. Dia seakan lupa untuk mempersiapkan bekal yang cukup buat kehidupan nanti sehingga “menjalani hidup di dunia ini” tanpa pernah peduli datangnya siksa dan balasan dari Allah.

Ia hidup jauh dari agama, serakah, suka menfitnah dan bahkan menutup telinga tatkala orang lain memberi nasehat. Dia bahkan tega mencekik leher tetangganya dengan meminjamkan uang disertai bunga. Itulah perilaku wanita satu ini yang oleh penduduk kampung Durian dipanggil Mbah Marfu`ah (bukan nama sebenarnya 60 tahun).

Jatuh Pingsan
Mbah Marfu`ah tak bisa mengelak suatu saat usia tua itu pasti akan tiba. Jika usia tua itu sudah datang menghampirinya, ia pun tak lagi punya kekuatan untuk membendung kerentaan dan tidak dapat disangkal akhirnya ajal itu pun datang, kapan saja dan juga di mana saja. Padahal, kecintaannya pada dunia tidak bisa menolongnya saat dia terjatuh, setelah terpeleset dan tidak kuat lagi bangun sebagaimana saat ia masih muda dulu.

Siang itu, Mbah Marfu`ah ingin makan jagung rebus. Maka ia mengupas beberapa kulit jagung yang telah ia beli di pasar, dengan telaten. Setelah itu, ia berjalan tergopoh-gopoh menuju dapur untuk menyalakan kayu bakar. Setelah itu, dia kemudian mengambil panci lantas berjalan ke sumur di belakang rumah untuk membersihkan jagung itu dan mengisi panci dengan air. Lalu, dia kembali ke dapur dan jagung yang dia kelupas itu ia direbus di atas kobaran api.

Mbah Marfu`ah tahu jika jagung yang direbus itu butuh waktu tak pendek untuk bisa matang agar bisa dimakan, maka ia berjalan ke dalam rumah untuk menunggu beberapa saat kemudian. Seraya menunggu, dia melipat pakaian yang berserak di atas balai-balai. Tetapi setelah melipat pakaian yang berserak ia tiba-tiba ingin menengok jagung di atas perapian. Tergopoh-gopoh, Mbah Marfu`ah menuju dapur dan membenahi kayu bakar yang mulai dimakan api. Ia sempat membuka tutup panci, sekadar untuk menengok rebusan jagung.

Jagung rebus terlihat setengah matang. Ia tidak sabar untuk menunggu lebih lama lagi. Duduk termangu di depan api perapian, ia melihat kobaran api yang menyala-nyala membakar kayu jati di bawah panci dengan perasaan tak sabar. Ia tahu jagung itu, masih agak lama lagi matang. Akhirnya, ia berdiri dan berjalan ke dalam rumah kembali.

Tetapi kejadian tidak disangkanya telah membuatnya terhuyung jatuh. Ia terpeleset, dan jatuh pingsan hingga tak sadarkan diri.

Kulit Mengelupas dan Bernanah
Setelah Mbah Marfu`ah tak sadar, anak-anak Marfu`ah membawanya ke rumah sakit. Mbah Marfua`ah koma, tak sadar sampai 15 hari. Lebih tragis lagi, dokter yang merawat Mbah Marfu`ah mengatakan bahwa wanita itu terkena stroke dan harus menjalani perawatan dengan biaya mahal.

Pihak keluarga, terutama anak-anak Mbah Marfu`ah angkat tangan dan menyerah jika harus merawat Mbah Marfu`ah di rumah sakit. Maka, setelah lima belas hari menginap di rumah sakit dan Mbah Marfu`ah bisa sadar, akhirnya pihak keluarga membawanya pulang ke rumah dengan pertimbangan karena sudah tidak lagi punya uang untuk membayar biaya rumah sakit.

Tetapi setelah pulang dari rumah sakit itu kondisi Mbah Marfu`ah ternyata tidak kunjung membaik. Dia bahkan kian dihantam kondisi fisik yang melemah dan tubuhnya kian lunglai. Hari-hari yang dilalui Mbah Marfu`ah seakan seperti rentetan ketidakberdayaan nasib yang kian memperpuruk hidupnya. Ia nyaris tak lagi bisa bergerak, dan menghabiskan waktu hanya di tempat tidur. Ketiga anaknya merawat dengan baik karena wanita itu tak bisa banyak bergerak.

Hari berlalu, dan waktu berjalan dengan cepat. Selama dua tahun Mbah Marfuah terkapar tidak berdaya di atas balai-balai, dan menghabiskan waktu hanya dengan memandang langit-langit yang muram. Ia tak kunjung sembuh, dan bahkan muncul penyakit aneh di kulit dan tubuhnya. Penyakit aneh itu tiba-tiba diketahui Siti (26 tahun, bukan nama sebenarnya), anak kedua dari Mbah Marfu`ah ketika suatu senja ia ingin memandikan ibunya yang sudah renta itu.

Siti tercekat, terperanjak kaget, lantaran tubuh Mbah Marfu`ah tiba-tiba nyaris dipenuhi koreng di sekujur kulitnya, sehingga kulitnya menjadi mengelupas dan bernanah. Lebih mengenaskan lagi, luka koreng itu menimbulkan bau yang tak sedap saat menerpa hidung. Siti tidak bisa berkutik, apalagi saat matanya menatap koreng di tubuh ibunya ternyata disinggahi binatang-binatang kecil serupa belatung.

Siti hanya bisa pasrah, apalagi tubuh Mbah Marfuah sudah mati rasa dan tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan selama dua tahun itu, Mbah Marfu`ah juga tak dapat bicara. Siti hanya menatap tubuh ibunya dengan belas kasihan juga iba. Lebih mengiris hati, tiba-tiba ibunya menitikkan air mata seakan tak kuat menanggung derita setelah lama terkapar tidak berdaya di atas balai-balai.

Akhirnya senja berlalu dan Siti tak jadi memandikan ibunya. Gelap malam kemudian melingkupi desa Durian, dan kira-kira pukul 18.30 WIB Mbah Marfu`ah menghembuskan napas terakhir. Dia meninggal dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Selain tubuhnya dipenuhi koreng, bernanah dan menimbulkan bau yang tidak sedap, kaki dan tangan Mbah Marfu`ah di sebelah kiri ternyata bengkak sehingga tidak dapat diluruskan kembali.

Keluarga dilanda sedih dan penduduk kampung Durian berkabung. Satu persatu warga datang ke rumah duka, untuk menunjukkan rasa bela sungkawa. Tapi nyaris semua warga yang takziah tak bisa menghindar ketika semerbak bau tidak sedap menghampiri hidung mereka lantaran luka koreng Mbah Marfu`ah menyeruak di sekeliling ruang tengah rumah duka.

Pihak keluarga kemudian membicarakan prosesi pemakaman wanita itu dan diputuskan untuk dikemudikan esok harinya, selepas dhuhur.

Darah melumuri Kafan Bagian Kepala
Esok harinya, setelah jenazah wanita itu dimandikan, dikafani kemudian dishalati, jenazah diberangkatkan ke pemakaman. Tak banyak yang mengiringi prosesi pemakaman, mengingat perangai Mbah Marfu`ah --di mata penduduk kampung Durian-- kurang mengundang simpati. Hanya pelayat dari keluarga dan famili terdekat, juga tetangga sekitar.

Setelah dilepas dengan diiringi tangis dan isak sedih, pengantar jenazah mengusung keranda dengan diliputi rasa iba. Karena, di balik kematian wanita itu masih menyisakan sepenggal kisah yang jadi perbincangan warga. Maklum, warga tahu tatkala jenazah itu diantar ke tempat peristirahatan terakhir, tidak ada yang dibawa sebagai bekal, kecuali perbuatan baiknya. Padahal semua orang di kampung Durian nyaris mengenal perangai Mbah Marfu`ah, apalagi setelah ia menderita sakit lama, dan meninggal dunia dengan menyedihkan.

Tidak lama kemudian, karena jarak rumah duka dengan pemakaman tak cukup jauh, iring-iringan jenazah itu sampai di pemakaman kampung Durian. Setelah memasuki pintu pemakaman dan kemudian tiba di lubang kubur yang sudah disiapkan, keranda jenazah pun diletakkan. Jenazah wanita malang itu kemudian diambil dari keranda oleh empat orang.

Alangkah terkejutnya para pelayat yang hadir karena kain kafan bagian kepala jenazah tiba-tiba berwarna merah dipenuhi darah yang merembes dari kepala jenazah. Kain kafan yang putih bersih itu pun dicoreng bercak darah.

Padahal, menurut narasumber Hidayah, sewaktu mau dikafani sebelum diberangkatkan ke pemakaman, tubuh Mbah Marfuah bersih, tidak ada darah. Tapi kenapa tiba-tiba darah itu bisa mencul, merembes dari kepala jenazah?

Semua pelayat terbengong-bengong. Tapi, mau tidak mau jenazah harus dikubur. Karena tidak mungkin jenazah itu dibawa pulang kembali, maka kain kafan bagian kepala itu pun hanya dibersihkan sekadarnya kemudian jenazah wanita yang meninggal menyedihkan itu dimasukkan ke liang lahat.

Saat jenazah dimasukkan ke liang, masih terlihat dengan jelas warna kain kafan di bagian kepala yang berubah merah. Tetapi, apa yang bisa diperbuat pengantar jenazah? Akibatnya, kejanggalan itu mengundang rasa penasaran. Hingga pemakaman selesai, kejadian yang tak biasa itu menjadi pergunjingan, bahkan hingga beberapa hari setelah orang-orang pulang dari pemakaman.

Serakah
Kejadian tak biasa tentang prosesi pemakaman Mbah Marfua`ah itu pun kemudian disangkut pautkan dengan perilaku Mbah Marfuah yang kurang baik semasa dia hidup di dunia. Tak sedikit sifat dan karakter almarhumah yang tak disenangi keluarga dekatnya, apalagi tetangga atau orang lain yang tak punya hubungan kerabat dengan Mbah Marfuah.

Maklum, di kampung Durian itu Mbah Marfu`ah dikenal berperperai buruk dan jauh dari agama. Wanita itu --diceritakan Maryam-- suka menuduh orang. Pernah suatu hari, almarhumah kehilangan uang lantas menuduh tetangganya sekaligus adiknya, Mardiyah (50 thn, bukan nama sebenarnya) yang mengambil uang itu. Padahal adiknya tak mengambilnya. Kejadian serupa itu tidak hanya sekali terjadi tapi sudah berulang kali. Tak hanya soal uang, adiknya juga pernah dituduh mencuri telur ayam milik Mbah Marfu`ah.

Selain suka menuduh, Mbah Marfuah juga dikenal warga termasuk orang yang serakah. Sewaktu ibu Mbah Marfuah dan Mardiah meninggal dunia dan semua saudaranya mendapatkan warisan sesuai dengan bagiannya, warisan adiknya itu direbut Mbah Marfu`ah. Padahal, almarhumah sudah mendapatkan warisan yang sepadan dengan tanah warisan yang diterima Mardiyah.

Sudah menjadi rahasia umum, di mata warga kampung Durian, Mbah Marfu`ah dikenal juga sebagai rentenir. Meski dengan jumlah pinjaman yang tak besar, hanya untuk orang kampung yang miskin, Mbah Marfuah ternyata tak meminjaminya dengan maksud untuk menolong melainkan malah menjeratnya dengan bunga yang tinggi.

Selain dikenal suka menuduh (menfitnah), serakah dan juga rentenir kecil-kecilan, ternyata Mbah Marfuah juga jauh dari agama. Ia itu tidak pernah mau menjalankan shalat lima waktu meski mengaku beragama Islam, apalagi mau mengaji, dan puasa. Dulu, pihak keluarga sudah berulangkali menasehati agar menjalankan shalat tetapi tetap saja dia tak mengacuhkannya dan menutup telinga rapat-rapat.

BOX
Maryam, 17 tahun, tengga almarhumah
“Dia itu serakah dan jauh dari agama”

Setelah dua tahun sakit parah akibat stroke, tubuh Mbah Mrfuah muncul luka koreng di kulitnya hingga mengelupas, bahkan bernanah. Luka itu bahkan menimbulkan bau tidak sedap. Sewaktu anaknya hendak memandikan ibunya, ia seketika terkejut. Karena luka itu dipenuhi hewan kecil serupa belatung.

Akhirnya, setelah dua tahun berlalu dan Mbah Marfu`ah tidak bisa bicara lagi, dia menitikkan air mata. Malam itu, kira-kira 18.30 WIB dia menghembuskan napas terakhir, meninggal dengan menyedihkan. Kaki juga tangan sebelah kiri Mbah Marfuah bengkak hingga tak dapat diluruskan kembali.

Saat dilangsungkan prosesi pemakaman, kejadian aneh pun terjadi, Saat jenazahnya dikeluarkan dari keranda, tiba-tiba keluar darah dari kepala jenazah yang membuat kain kafan putih dipenuhi bercak darah. Padahal, sewaktu mau dikafani, almarhumah bersih tak ada darah sama sekali.

Dia itu orangnya serakah, suka menfitnah, rentenir dan jauh dari agama. Maka, ketika ia meninggal dengan kejadian yang tidak biasa itu, warga seperti mafhum. Kejadian itu pun memberikan pelajaran bagi warga kampung Durian untuk mengambil pelajaran di balik perilakunya yang kurang baik. (nm)


Tidak ada komentar: