Jumat, 18 November 2005

dubur jenazah mengucurkan darah

majalah hidayah edisi 52 november 2005

"...Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba) maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang-orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (Al-Baqarah: 275)

Tubuh kekar Mbah Kusno, (60 thn, bukan nama sebenarnya) yang dulu pernah dibangga-banggakan semasa masih muda dan menjadi tentara, kini rupanya tinggal jadi kenangan manis. Jika dulu ia sombong dengan tubuh berotot yang dimilikinya dan membuat dia ditakuti warga kampung sehingga hal itu membuatnya dapat bertindak kejam dan berlaku sewenang-wenang, kini semua kenangan itu haruslah dikubur dalam-dalam.

Sebab di usia senjanya, tubuh Mbah Kusno tidak lagi berotot seperti dahulu. Dengan bertambahnya usia yang kian menua, lelaki itu tak dapat berbuat apa-apa dan tubuh kekarnya kini malah sudah digerogoti penyakit, sehingga tidak lagi kuat, tegar dan kokoh seperti tatkala masih muda lagi. Sebaliknya, tubuh laki-laki bekas tentara itu malah tinggal tulang dan kulit di usia senjanya setelah mengalami sakit selama tiga tahun tidak sembuh-sembuh.

Nasib Tragis di Ujung Senja
Setelah tiga tahun lelaki itu didera sakit, tubuhnya kini hanya dapat terbaring di atas ranjang. Dalam sebuah ruangan sempit, tidak banyak yang bisa diperbuat oleh lelaki tua renta itu. Sebab, tubuh lelaki yang sudah memiliki lima anak itu tinggal tulang dan kulit. Akibatnya, dia harus menjalani hari-harinya yang menyedihkan dengan tergeletak lemas di atas ranjang. Tak ada gerakan yang terlihat, kecuali tatapan mata yang kadang menerawang kosong.

Seluruh kulitnya sudah keriput dan daging di tubuhnya seperti menempel di tulang belaka. Seakan, daging yang dimiliki sudah terkikis habis -digeroti usia. Tak lagi ada gumpalan daging dan yang tinggal hanya tulang dan kerangka tubuh yang gering. Kering.

Padahal, sejak tiga tahun didera sakit menahun, beberapa dokter yang diundang telah berusaha memberikan obat dan suntikan. Tapi ia tetap saja tak kunjung sembuh. Hari berlalu selama tiga tahun, tidak membawa hasil apa pun. Malahan kian hari penyakit yang dideritanya membuat fisiknya semakin lemah dan membuat tubuhnya kurus. Akibatnya laki-laki itu kini jadi bertubuh tipis bak triplek yang terbujur lemas di atas kasur.

Kondisi memprihatinkan itu, jelas membuat istri Mbah Kusno, Ijah (50 tahun, bukan nama sebenarnya) tidak tahu lagi harus berbuat dengan cara apa untuk menolong suaminya. Segenap tenaga telah dicurahkan untuk merawatnya supaya suaminya sembuh; bisa berjalan, kerja dan tidak merepotkan seisi rumah.

Namun, semua usaha Ijah itu seperti sia-sia belaka. Selama tiga tahun, ternyata Ijah hanya mendapatkan rasa capek; menyuapi dan membersihkan kotoran yang dikelurkan Mbah Kusno, mulai air seni, ludah dan kotoran yang dikeluarkan setiap harinya. Akibatnya Ijah dan dua anak lelakinya yang masih tinggal serumah harus kerepotan.

Apalagi, segala cara telah ditempuh Ijah, baik mengundang beberapa dokter, dukun dan juga ahli pengobatan tradisional. Namun, Mbah Kusno tidak kunjung sehat. Sebaliknya, kian hari tubuhnya seakan kian habis, kurus dan malah sekarang setelah mengalami sakit tiga tahun; tinggal tulang dan kulit.

"Seisi rumah seperti dibuat putus asa. Dengan cara apa Mbah Kusno disembuhkan. Sementara, tubuh Mbah Kusno semakin hari kian kurus dan setelah tiga tahun berlalu, malah hanya tinggal tulang yang tertinggal di tubuh. Juga, tidak ada orang yang menengok. Toh, jika ada hanya kerabat dekat karena Mbah Kurno tak disukai warga. Saya sendiri sewaktu belajar kelompok dengan anaknya, dibuat merinding melihat Mbah Kusno terbaring seperti itu. Saya malah mengira Mbah Kusno yang terbaring di atas ranjang seperti tengkorak hidup. Sebab, tubuhnya tinggal tulang dan kulit," cerita Laela S. (32 tahun, bukan nama sebenarnya).

Sakaratul Maut Tiga Hari
Setelah tiga tahun menderita sakit, Mbah Kusno akhirnya meradang kesakitan pada suatu malam. Jeritan dan erangan yang terdengar dari ruangan kamar Mbah Kusno, membuat Ijah dan dua anak lelakinya lari buru-buru menjengok keadaan Mbah Kusno. Saat itulah, seisi rumah tahu Mbah Kusno sedang sekarat. "Aduh... aduh," erangnya menahan rasa sakit.

Tahu Mbah Kusno sudah diambang kematian, Ijah mengajari suaminya itu menyebut nama Allah. Tetapi, tuntunan yang dilantunkan Ijah hanya memantul ke dinding. Seolah-olah Mbah Kusno tak mendengar. Bahkan usaha kedua anak lelakinya yang menenangkan Mbah Kusno, seperti tidak berarti. Sebaliknya Mbah Kusno malahan melonjak-lonjak terus.

Malam bergulir dan tengah malam pun tiba, rupanya Mbah Kusno kembali normal dan berhenti menjerit. Seisi rumah menjadi tenang. Namun, esok harinya, kondisi yang sama terjadi kembali. Begitu juga di malam ketiga yang akhirnya membuat seisi rumah berkabung. Sebab Mbah Kusno menghembuskan nafas terakhir setelah merasakan kesakitan tak terkira dan terus melonjak-lonjak di atas kasur.

Sepi Pelayat
Rumah megah yang dibangun almarhum susah payah itu, akhirnya diliputi kesedihan setelah kepergian Mbah Kusno. Aneh, kepergian Mbah Kusno rupanya menjadikan rumah megah itu tetap sepi. Hingga fajar menyingsir, tak ada tetangga yang datang. Tetangga bukan tak tahu, kalau Mbah Kusno meninggal, melainkan memang malas untuk melayat.

Sedih ditinggal pergi ayahnya dan ditambah lagi dengan tak ada tetangga yang datang melayat, membuat Aryo (25 tahun), salah satu anak laki-laki Mbah Kusno bertindak dengan mendatangi satu per satu rumah warga.

"Bapak saya telah meninggal semalam, kami minta tolong untuk dibantu."

Anehnya, hampir sebagian warga yang didatanginya membalas dengan ucapan pedas, "Kubur saja sendiri!"

"Ucapan sebagian warga yang seakan menyalahkan itu memang bukan tanpa alasan. Sebab memang almarhum tak disukai sebagian warga sehingga ketika meninggal itu rumah almarhum terlihat sepi pelayat," cerita Laela S, nara sumber Hidayah.

Meski demikian, akhirnya ada juga beberapa orang yang datang melayat. Saat hari menjejang siang, beberapa datang -meski tidak seberapa, hanya mereka yang merasa kasihan.

Dari Dubur Jenazah Keluar Darah
Setelah beberapa pelayat datang, jenazah pun akhirnya diurus. Tapi, saat jenazah mau diangkat untuk dibawa ke tempat pemandian, ternyata dari dubur jenazah ditemukan darah yang menetes. Juga, ranjang bekas jenazah pun terlihat digenangi darah.

Atas permintaan keluarga, jenazah cepat-cepat dimandikan, dengan harapan jika nanti setelah dimandikan bisa berhenti. Nyatanya, saat dubur jenazah dibersihkan, ternyata kondisi duburnya justru memprihatinkan. Darah terus keluar. "Saat meninggal, dari dubur jenazah keluar darah tiada henti. Meskipun sudah disumbat dengan kain dan kapas berulangkali, tetap saja darah itu mengucur terus," cerita narasumber kepada Hidayah.

Keluarga merasa panik, bingung setengah mati. Berkali-kali dubur disumbat, darah masih juga keluar terus dan sampai jenazah usai dimandikan pun, darah tak henti mengucur. Seperti tidak bisa dihentikan, akhirnya keluarga menutuskan segera merampungkan prosesi pemandian jenazah.

Jenazah pun kemudian dibungkus kain kafan dengan segera, mengingat semua usaha yang dilakukan tidak membuahkan hasil. Setelah itu, jenazah juga cepat-cepat dimasukkan ke dalam keranda dan keluarga minta untuk segera dishalati. Selain sudah tidak lagi bisa berbuat banyak dengan kondisi jenazah yang mengeluarkan darah terus, juga dikarenakan keluarga malu dan khawatir prosesi pemakaman bisa kemalaman.

Setelah jenazah usai dishalati, lalu keranda jenazah diangkat untuk dibawa ke tempat pemakaman. Tetapi ketika keranda hendak dikeluarkan dari rumah itulah, ada keanehan yang membuat para pengantar dibuat terheran-heran. Sebab, kaki keranda tiba-tiba patah. Untung, jenazah tak sampai terjatuh dari keranda. "Sewaktu keranda jenazah hendak diangkat untuk diberangkat itulah, ternyata kaki kerandanya patah," tutur Laela.

Dengan kondisi itu akhirnya membuat para pelayat, memutuskan untuk membopong jenazah daripada dubur jenazah juga mengucurkan darah yang mengotori keranda. Selain itu juga dikarenakan rumah almarhum tidaklah jauh dengan tempat pemakaman umum sehingga tidak terlalu merepotkan. Malahan dengan cara dibopong tak pakai keranda itu, dikarenakan juga alasan darurat.

Empat orang pelayat, akhirnya berinisiatif membuka keranda dan mengambil jenazah untuk kemudian dibopong. Namun saat keranda dibuka itulah, darah yang keluar dari dubur jenazah membuat kain kafan yang putih dengan demikian terlihat memerah di bagian dubur akibat kucuran darah tiada henti keluar dari dubur jenazah. Bahkan, ketika jenazah diangkat untuk dibopong empat pelayat, dari dubur jenazah terlihat nyata meneteskan darah. Tetes-tetes darah itu memercik di lantai dan dari satu-dua tetesan kemudian melebar dan melebar.

Mungkin itu merupakan satu prosesi pemakaman yang memprihatinkan. Karenanya, jenazah cepat-cepat dibawa ke tempat pembaringan terakhir. Sepanjang perjalanan itu, darah juga masih mengucur dan para pelayat membisu menelan ludah sepanjang perjalanan dengan diiringi oleh alunan kalimat keagungan Allah yang dikumandang beberapa warga.

Tak lama kemudian, jenazah sampai di tempat pemakanan. Darah masih mengucur terus. Modin (pemimpin prosesi pemakan di kampung) yang telah mendapatkan pesan dari keluarga pun tanggap dengan kondisi yang terjadi sehingga dengan cekatan mempercepat dan tidak membuang-buang waktu mengurus jenazah yang kondisinya sudah memprihatinkan. Meski darah terus saja mengucur, toh dimasukkan ke dalam liang kubur.

Kondisi itu jelas membuat para pelayat merasa pemakaman itu adalah pemakaman ganjil. Namun, semua warga seperti tahu kalau prosesi pemakaman itu terjadi dengan aneh semata-mata almarhum semasa hidupnya dikenal sebagai orang tidak baik. Selama pulang, dalam benak para pelayat terbayang masa-masa lalu almarhum yang memang dikenal kurang baik di mata sebagian besar warga kampung Halimun (bukan nama sebenarnya).

Ada apa dengan perilaku almarhum semasa masih hidup dahulu kala sehingga prosesi pemakaman yang dialami benar-benar ganjil dan aneh?

Rentenir dan Kikir
Sebagaimana dituturkan Laela S, Mbah Kusno itu adalah seorang rentenir. Apalagi ia termasuk orang kaya di kampung Halimun, tapi dikenal amat kikir. Bahkan sebagai seorang rentenir, Mbah Kusno tergolong cukup kejam dan tidak berperasaan.

"Bagaimana tak kejam? Jika peminjam tidak mengembalikan uang tepat pada waktu yang telah ditentukan, dia tidak segan-segan mengambil barang milik peminjam. Bahkan dari kekejaman Mbah Kusno itu, tak sedikit orang kampung yang kehilangan sawah hanya karena meminjam uang yang cuma berjumlah 100.000,00. Karena, Mbah Kusno memberi patokan bunga sebesar 20 % per-bulan dari uang yang dipinjamkan" tutur Laela sehubungan dengan kekejaman Mbah Kusno yang kerapkali menyita tanah dan sawah si peminjam.

"Cerita itu tidak asing di telinga warga Halimun. Bahkan karena patokan bunga yang tinggi itu, malah ada seorang tetangga yang masih menanggung utang meski Mbah Kusno telah meninggal. Utang itu lalu ditagih oleh istrinya. Padahal, sang tetangga semula pinjam uang karena mau pergi merantau ke Sumatra. Ia pinjam uang sekitar 200.000 ribu dan karena orang yang meminjam itu tidak mampu mengembalikan dengan bunga yang terus beranak, akhirnya utang itu masih menumpuk sehingga kini masih ditagih istri Mbah Kusno," kisah Laela lebih lanjut.

Padahal, Mbah Kusno itu juga seorang haji. Anehnya, meski sudah berhaji ternyata tingkah laku dan prilakunya tidak baik. Orangnya kikir, sehingga oleh warga dijuluki sebagai haji seringgit.

“Ada cerita unik yang didengar dari sesama orang yang naik haji bersamanya. Mbah Kusno sewaktu pergi haji itu tidak pernah melakukan apa-apa karena setiap kali keluar dari penginapan selalu saja muntah-muntah. Katanya, ia mencium bau tahi orang Badui. Padahal, kata orang yang pergi haji bersamanya tak mencium bau apa-apa. Cuma ia saja. Dari situ, orang kampung menganggap bahwa itu balasan dari Allah,” cerita narasumber lain yang tidak mau disebut namanya.

Selain dikenal sebagai rentenir dan kikir, ia itu orangnya juga tidak segan mengakui tanah milik orang sebagai miliknya. "Di belakang rumahnya itu ada seorang janda, yang tidak memiliki anak. Bukannya dia kasihan, eh… malah tanah di belakang rumahnya itu disebarkan (ke orang-orang) telah ia beli. Padahal, ia tak membeli, tetapi mengakui begitu saja. Akhirnya, yang memiliki tanah itu mati sehingga tanah itu jatuh ke tangannya. Hal itu mudah dilakukan, sebab dia seorang tentara dan punya kekuasaan dengan aparat kelurahan dan juga punya uang. Sehingga dengan melobi aparat tanah itu jadi miliknya," cerita Laela sehubungan dengan ulah Mbah Kusno.

Rupanya, kesewenangan dan kekuatan tubuh Mbah Kusno sewaktu masih muda itu ternyata diakhir hanyatnya sama sekali tidak bisa menolong derita yang dialaminya. Saat dia menderita sakit dan dimakan usia, tubuhnya tinggal tulang dan kulit. Sungguh menyedihakan, karena selain itu jenazahnya sejak dimandikan sampai dimakamkan mengucur darah terus.

IN BOX
Laela S, (32 tahun), tetangga
Darah itu adalah Kotoran ...

Almarhum itu dikenal sebagai rentenir yang kejam dan kikir. Selain itu, ia tidak segan mengklaim tanah milik tetangga. Karena itu, warga tidak ada yang suka dengan almarhum.

Tak salah saat kematiannya –awalnya-- tak ada yang mau dating melayat. Tapi karena itu kematian dan mengurusnya adalah wajib mau tak mau harus diurus dan dirawat. Akhirnya ada beberapa yang datang.

Soal peristiwa darah yang mengucur dari duburnya saat meninggal, meskipun sudah disumbat kain berulang kali mungkin menjadi isyarat bahwa yang dimakan itu tidaklah halal. Riba. Sebab darah itu adalah lambang dari kotoran! (n. mursidi)

Tidak ada komentar: