Kamis, 01 Desember 2005

kh abdul wahab hasbullah: kiai multidimensional

(majalah hidayah edisi 53, desember 2005)

Selain KH. Hasyim `Asy`ari, sosok KH. A. Wahab Hasbullah tak sekadar bapak dan pendiri NU, melainkan juga simbol perjuangan dan motor organisasi.

Sepanjang hidup kiai ini, tak cuma sumbangan tenaga dan ilmu yang telah dicurahkan, tetapi juga rela merogoh kocek (harta) untuk memelihara dan membesarkan NU. Tak berlebihan jika sosok kiai ini dikenang sebagai ruh dan motor penggerak NU.

Sosok kiai ini, memang berperawakan kecil. Tetapi siapa sangka dibalik tubuh kecil itu, tersimpan jiwa yang energik, semangat membara dan berwibawa. Bahkan, kiai satu ini sering diceritakan tidak dapat marah dan kerap melontarkan joke dan humor.

Kendati humoris, kiai dari Jombang ini tak diragukan punya kecerdasan luar biasa. Kristalisasi semua itu dapatlah dilihat dari sejumlah sebutan, yang disandang; ulama, intelektual "berjiwa bebas" dan berpikiran merdeka. Sebab sepanjang hidup kiai ini, ia dikenal berpikir maju dan teguh. Selain itu, dikenal sebagai politisi serta pejuang.

Lahir dari Tradisi Pesantren
Lahir di Tambakberas, Jombang (Jawa Timur) bulan Maret 1888, Wahab adalah putra pasangan kiai Chasbullah dan nyai Lathifah. Kalau dirunut, silsilah dari keluarga Chasbullah -pengasuh Pondok Tambakberas- ini masih punya hubungan kekerabatan dengan ulama paling masyhur di awal abad 20 yang berasal pula dari Jombang, yakni kiai Hasyim Asy'ari. Nasab keduanya "bertemu" dalam satu keturunan dengan kiai Abdussalam. Konon, jika diurut ke atas lagi nasab keluarga ini bertemu pada Lembu Peteng, salah seorang raja Majapahit.

Awal mulanya, pendidikan bagi Wahab kecil diberikan sendiri oleh sang ayah. Saperti tradisi di pesantren pada umumnya, pelajaran agama dan membaca al-Qur'an merupakan perkenalan awal. Setelah itu, Wahab diajari tauhid, ilmu fiqh dan tasawuf.

Setelah dipandang mumpuni, Wahab dikirim ke berbagai pesantren untuk berguru, di antaranya ke Pesantren Langitan, Tuban. Dari Tuban, Wahab pindah ke pesantren Mojosari, Nganjuk di bawah "bimbingan" kiai Sholeh. Lalu, berturut-turut pindah ke pesantren Cempaka di bawah asuhan kiai Zainuddin khusus memperdalam fiqh, ke pesantren Tawangsari yang dipimpin kiai Mas Ali untuk belajar tadwid, lalu ke pesantren Kademangan Bangkalan, langsung berguru pada kiai Cholil yang dikenal alim. Terakhir, oleh kiai Cholil, Wahab disuruh menimba ilmu ke Pesantren Tebuireng.

Di berbagai pesantren itu, kehidupan Wahab ditempa. Ia mempelajari banyak kitab penting keagamaan sampai mahir. Tidak salah, kalau di pesantren Tebuireng Wahab kemudian dipercaya menjadi lurah dan mengajar santri yunior.

Ketika berusia 27 tahun, Wahab menunaikan ibadah haji ke Makkah dan belajar ilmu di sana. Di kota suci itu, Wahab berguru pada ulama-ulama terkenal, di antaranya kiai Machfudz Termas, kiai Muhtarom Banyumas, Syekh A. Chotib Minangkabau, kiai Bakir Yogya, kiai Asya'ri Bawean, syekh Said al-Yamani dan syekh Umar Bajened.

Dari pertemuan dengan ulama-ulama besar itu, wawasan dan pengetahuan kiai Wahab kian luas. Tak berlebihan jika di kalangan ulama sebayanya saat itu, dia sudah terlihat menonjol, baik dari segi pemikiran maupun dan keilmuannya.

Pemikir dan Pejuang
Sepulang dari Mekkah, Wahab dinikahkan dengan putri kiai Musa, Maimunah. Setelah menikah, Wahab menetap di Kertopaten Surabaya serta mulai aktif di kegiatan kemasyarakatan. Bukan Wahab jika tak gelisah saat melihat kenyataan sosial waktu itu, apalagi Indonesia dalam "cengkraman" penjajah Belanda. Kiai Wahab lalu berpikir keras bagaimana caranya menyumbangkan pikiran untuk memperbaiki keadaan. Dari sinilah, Wahab bersama Kiai Mas Mansur, kawan mengaji di Mekkah kemudian membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya (1914).

Awalnya, kelompok ini hanya mengadakan kegiatan dengan peserta terbatas. Tapi berkat prinsip kebebasan yang diterapkan dan topik yang dibicarakan menjangkau lingkup kemasyarakatan, dalam waktu singkat kelompok yang didirikan bersama Mas Mansyur ini sudah sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Bahkan tak sedikit tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu di forum ini membicarakan permasalahan pelik yang dianggap penting (urgen) untuk dibahas.

Selain membidani lahirnya Tashwirul Afkar, masih bersama Mas Mansur, Wahab menghimpun ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air). Dari organisasi yang memiliki badan hukum 1916 ini, Wahab mendapat restu dari ulama, di antara adalah kiai M. Bisri Syansuri Jombang, kiai Abdul Halim Leimunding, Cirebon, kiai H. Alwi Abdul Aziz, kiai Ma'shum dan kiai Cholil Lasem.

Adapun untuk menampung aspirasi kalangan pemudanya, disediakan wadah Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air) yang didirikan tahun 1924, yang di dalam wadah itu ada nama Abdullah Ubaid. Organisasi ini, kemudian menjadi cikal bakal Gerakan Pemuda Ansor yang berdiri tahun 1934. Dalam kelompok ini, Wahab mulai memimpin dan menggerakkan gelora pemikiran berdasarkan paham agama dan jiwa nasionalisme. Rupanya, duet Wahab-Mas Mansur tidak sehaluan terus. Akhirnya, retak dan keduanya pun berpisah. Jika tidak, mungkin "jalan sejarah" ormas Islam atau lebih besar lagi umat Islam Indonesia akan "berbicara lain". Tetapi, kemunduran Mas Mansur tak menjadikan Wahab patah arang. Jiwanya yang bebas, selalu ingin mencari penyelesaian masalah, menjadikan Wahab melakukan kontak dengan tokoh-tokoh pergerakan dan keagamaan. Karena itu, saat kaum pelajar Surabaya mendirikan Islam Studie Club, yang banyak dihadiri kaum pergerakan, Wahab tak menyia-nyiakan kesempatan. Dari forum inilah, Wahab akhirnya berkawan akrab dengan Dr. Soetomo.

Suduh jadi hal umum dan lumrah jika di dalam sebuah organisasi selalu ada gesekan. Demikian juga dalam Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan, Syubbanul Wathan, maupun Islam Studie Club solidaritas di mana Wahab berada dalam ruang dan lingkup organisasi tersebut. Kendati demikian Wahab bersikap terbuka. Setidaknya, di situlah perjuangan kiai Wahab diasah sehingga tak membuat kiai satu ini tergilas zaman.

Mendirikan NU
Mungkin, ini saat cukup bersejarah dalam hidup kiai Wahab. Tanggal 31 Januari 1926, di Surabaya tokoh-tokoh Komite Hijaz, di antaranya adalah kiai Wahab, kiai M. Bisri Syansuri, kiai Ridwan (Semarang), kiai Haji Raden Asnawi Kudus, kiai Nawawi Pasuruan, kiai Nachrowi Malang, serta kiai Alwi Abdul Aziz Surabaya mengadakan urun rembuk. Dari hasil itu, disimpulkan dua hal pokok.

Pertama, mengirimkan delegasi ke Kongres Dunia Islam di Mekkah untuk meminta kepada Raja Saud supaya hukum-hukum menurut mazhab 4; Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali tetap mendapat perlindungan dan kebebasan dalam wilayah serta kekuasaan raja.

Kedua, membentuk jam'iyah bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) yang bertujuan menegakkan syariat Islam yang berhaluan ke salah satu empat mazhab. Adapun nama "Nahdlatul Ulama" itu merupakan usulan dari KH. Alwi Abdul Aziz.

Konon, saat penyusunan kepengurusan, kiai Wahab tak bersedia menduduki jabatan Rois Akbar. Wahab merasa cukup untuk sebuah jabatan Katib 'Am (Sekretaris Umum) Syuriah. Sedang jabatan tertinggi organisasi baru ini diserahkan kepada KH. Hasyim Asy'ari, sedangkan Presiden (Ketua) Tanfidziyah dipegang Hasan Gipo. Itulah, kiprah Wahab dalam memberi sumbangan saat Nahdlatul Ulama lahir.

Sedang di masa awal kemerdekaan, Wahab bersama kalangan pergerakan lain, seperti Ki Hajar Dewantoro, Dr. Douwes Dekker, dan Dr Rajiman Wedyodiningrat duduk dalam Dewam Pertimbangan Agung, lalu berkali-kali duduk di kursi parlemen sampai akhir hayatnya pada 1971. Peran cukup menonjol dari kiai Wahab dalam hal ini sebagai negosiator antara pihak NU dan pemerintah. Sebagai seorang negosiator, wajar saja jika Wahab kemudian sangat dekat dengan presiden dan pejabat tinggi lainnya.

Gebrakan lain di tubuh intern NU, ketika bersama-sama tokoh muda lainnya, seperti; kiai Wahid Hasyim dan Idham Chalid menjadikan NU sebagai partai politik untuk bersaing dengan partai lain, yang lebih dahulu mapan dalam gelanggang politik. Usul kiprah NU sebagai partai itu diterima secara bulat dalam Muktamar NU 1952.

Karena itu, tak lama kemudian dalam Pemilu 1955, NU ikut pemilu dan berhasil mengukir sejarah. Sebab NU keluar sebagai salah satu partai besar di samping PKI, PNI dan Masyumi. Memang, Wahab bukan satu-satunya tokoh penting dalam membesarkan NU, tapi peranan Wahab cukup menonjol. Apalagi, Wahab dikenal kompeten sebagai pengatur strategi perjuangan NU yang piawai dalam pergolakan, dari pembentukan MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia), GAPPI (Gabungan Partai Politik Indonesia), Masyumi sampai NU keluar dari partai Islam itu. Di sini, Wahab terlibat pergumulan dengan tokoh-tokoh, seperti Mas Mansur, Dr. Sukiman, Abikusno Cokrosuyoso, Mr. Sartono, Sukarjo Wiryopranoto, Amir Syarifuddin dan lain-lain.

Membangun Tradisi Jurnalistik di NU
Apakah kiprah Wahab cuma sampai di situ? Ternyata tidak! Sebab, bukan sosok kiai Wahab kalau tak selalu memutar otak, gelisah ketika punya cita-cita brilian namun belum bisa terwujud. Karena itu, saat NU belum berkiprah di dunia percetakan dan jurnalistik, kiai Wahab bersama tokoh-tokoh NU lain, membeli sebuah percetakan, serta gedung untuk dijadikan pusat aktivitas NU, yang terletak di Jalan Sasak 23 Surabaya.

Dari gedung ini, dirintis tradisi jurnalistik modern dalam NU. Semua ini semata-mata dilandasi pemikiran Wahab yang sebenarnya amat sederhana, yaitu bagaimana menyebarkan gagasan NU agar secara lebih efektif dan efisien bisa diterima umat, sebab selama itu kiprah dakwah dan penyebaran gagasan dan pemikiran di tubuh NU hanya dijalankan melalui "dakwah panggung" dan pengajaran di pesantren-pesantren.

Dari percetakan itu, dalam waktu berikutnya terbitlah majalah tengah bulanan dengan nama Suara Nahdlatul Ulama. Hampir selama tujuh tahun, majalah satu ini dipimpin oleh kiai Wahab. Dari teknis redaksional majalah ini, lalu disempurnakan kiai Mahfudz Siddiq, menjadi Berita Nahdlatul Ulama. Di samping itu, terbit pula Suluh Nahdlatul Ulama di bawah asuhan Umar Burhan. Tidak cuma itu, sebab masih ada Terompet Ansor yang dipimpin Tamyiz Khudlory dan majalah bahasa Jawa Penggugah, dipimpin kiai Raden Iskandar yang setelah itu digantikan oleh Saifuddin Zuhri.

Tak dapat diingkari, dari kiprah beberapa penerbitan di atas kemudian dalam sejarah dan tradisi kepenulisan di NU, boleh dikata telah melahirkan jurnalis-jurnalis, seperti Asa Bafaqih, Saifuddin Zuhri serta Mahbub Junaidi. Juga, NU sendiri memiliki surat kabar prestisius seperti Duta Masyarakat.

Karena itu, sekali lagi, posisi dan peran kiai Wahab dalam NU adalah memegang andil besar karena meletakkan dasar-dasar organisasi NU dalam hampir semua sektor; dari mulai tradisi intelektual, peletak dasar struktur Syuriah dan Tanfidziyah di NU, jurnalistik sampai siasat bertempur di "medan perang".

Mungkin benar yang pernah diucapkan oleh kiai Wahab, yang sampai sekarang masih populer, "Kalau kita mau keras harus punya keris." Keris dalam hal ini diibaratkan sebagai suatu kekuatan. Kekuatan di sini, tentu saja tak hanya kekuatan dari segi fisik, melainkan kekuatan politik, militer dan juga kekuatan mental (batin). Sebab kita semua tahu, tanpa "kekuatan", apa artinya sebuah cita-cita?

Hidup dalam Tiga Zaman
Sebagai seorang kiai yang multidimensional, kiai Wahab dicatat sempat hidup dalam 3 era, zaman pergerakan kemerdekaan, zaman sesudah proklamasi kemerdekaan (Orla) dan zaman Orde Baru. Sepanjang tiga zaman itu, Wahab merasakan bagaimana pahit dan getirnya hidup, terutama di zaman penjajahan. Toh, Wahab dikenal sebagai seorang kiai yang memiliki kharisma, namun tidak lepas juga dari ejekan, fitnah dan hinaan. Di samping itu, tentu saja sanjungan dan kehormatan.

Hampir sepanjang hidup kiai satu ini, perhatian, pemikiran, harta dan tenaga, sepenuhnya dicurahkan untuk mewujudkan cita-cita Islam dan bangsa Indonesia ini melalui NU. Tak heran kalau, demi takjim dan pengabdian penuh itulah, kiai Wahab bahkan tidak pernah absen dalam Muktamar NU selama 25 kali.

Karena itu, meski sedang sakit, kiai Wahab masih berkeinginan bisa menghadiri Muktamar ke-25 di Surabaya dan berharap besar memberikan suaranya bagi partai NU dalam pemilu tahun 1971. Keinginan itu ternyata dikabulkan Allah. Dan, sekali lagi dalam Muktamar Surabaya, kiai kondang ini terpilih sebagai Rois 'Am PB Syuriah NU.

Tetapi, empat hari kemudian, setelah Muktamar Surabaya, ulama yang banyak berjasa dalam organisasi NU ini serta terhadap bangsa Indonesia ini, dipanggil Allah, tepat tanggal 29 Desember 1971. Tentunya, tak ada kata yang pantas untuk melepaskan kepergian kiai satu ini, selain kesedihan serta rasa kehilangan dan ketakjiman. Lebih dari itu, yang lebih penting adalah "acuan" bagi umat NU untuk meneladani kiprah dan perjuangan yang pernah dilakukan dan diukir sepanjang hidupnya. Sebuah kiprah mulia yang tidak sia-sia untuk diteladani! (n. mursidi/ dari berbagai sumber).


Tidak ada komentar: