Jumat, 02 Desember 2005

simonto: sejarah rasul membawaku ke pangkuan islam

majalah hidayah edisi 53 desember 2005

Jika hidayah itu memang belum turun ke hati, meski setitik kebenaran sudah diakui akal sehat, toh tetap saja terasa berat untuk meninggalkan kepercayaan lama yang sudah dianut sejak lama. Apalagi, jika di dalam dunia lama yang telah dijalani itu telah memberikan segala kemewahan, kehormatan, kenikmatan dan jabatan lumayan. Tentunya, dibutuhkan sebuah keberanian lebih untuk putar haluan. Tidak saja semata-mata dibutuhkan suatu keberanian untuk dianggap tersesat (murtad), tetapi juga harus rela dan siap menerima kehidupan baru yang akan dilalui di depan mata dengan rasa prihatin. Kisah pencarian kebenaran itulah yang dialami Simonto, mantan seorang pendeta (Protestan) sebagaimana dituturkan kepada Nur Mursidi dari majalah Hidayah di bawah ini.

Sukses Materi, Kering Hati
Terlahir sebagai anak keempat dari enam bersaudara, aku adalah seorang lelaki keturunan Thionghoa. Orangtuaku menganut kepercayaan Konghuchu. Tapi anehnya, keduanya jarang pergi ke klenteng. Malah, mereka menganjurkan anak-anaknya untuk pergi ke gereja. Toh, demikian aku jarang ke gereja. Apalagi dalam tradisi keluargaku, aku dididik bagaimana hidup sukses. Tak salah, kalau aku tidak peduli pada agama.

Yang jelas, di keluargaku pentingnya hidup sukses materi telah mengalahkan ketaatan pergi ke gereja. Karena itulah, dalam kepalaku selalu tertanam kuat bagaimana agar aku bisa berhasil. Cukup kuat tuntutan itu, sehingga singkat cerita, selepas SMU aku langsung kerja. Awal mula aku kerja di PT. Alas Bumi Kusuma, yang bergerak di penebangan kayu. Dua tahun, aku pindah ke PT. Sumber Satwa Pertiwi dan dua tahun kemudian, aku sudah dipercaya bos sebagai pimpinan proyek.

Soal materi, aku boleh dikatakan berhasil. Tetapi, di balik itu? Batinku menjerit. Celakanya, aku tak mencari pegangan dari agama yang kuanut, melainkan justru lari ke hal negatif. Aku lari ke minuman dan sempat kecanduan, tidak ketulungan. Bayangkan! Begitu bangun dari tidur, aku sudah biasa menenggak alkohol. Meski demikian, karirku tetap naik walau sebenarnya hatiku terasa kosong.

Jadi, masa itu kehidupanku benar-benar hancur. Aku jadi pecandu alkohol dan bagiku, agama tak cukup penting. Karenanya, aku merasa tak ada urusan dengan ustad dan biksu. Semua itu tak berarti bagiku, karena saat itu aku punya kekuatan spiritual sendiri lewat jalan meditasi. Jika, aku merasa kosong, aku melakukan meditasi, untuk menerobos alam gaib (alam ruh). Aku mempelajari semua itu dari buku yang kemudian aku kembangkan sendiri, jadi bukan cenderung ke satu agama tertentu.

Saat hancur itu, sekitar tahun 1995, aku sempat berkenalan dengan Islam setelah kecantol (jatuh cinta) dengan seorang gadis (dari Sambas). Dia adalah seorang gadis yang teguh memegang Islam dan masih punya darah (keturunan) Pakistan. Ia gadis shalehah, rajin ke masjid dan berjilbab. Tapi entah kenapa aku kagum pribadinya, sehingga dalam hati sempat terbesit keinginan untuk menekuni Islam. Apalagi, waktu itu aku bermimpi melihat ada sebuah bulan yang jatuh dan kemudian pecah tepat di depanku.

Aku pernah bertanya kepada seseorang tentang mimpiku itu, “Wah… itu mimpi bagus. Itu mimpi rasulullah,” jawab seseorang. Tetapi karena saat itu aku tak kenal siapa rasulullah, maka aku cuek. Juga, ketika mimpi itu aku ceritakan kepada gadis pujaanku, ia berkata kalau aku mau mendapatkan hidayah dari Allah. Ia benar-benar memikatku. Tapi sialnya, orangtua gadis itu tidak sejutu sebab aku adalah seorang China dan gadis itu keturunan Pakistan.

Gagal cinta, aku kecewa. Akhirnya, kami berpisah dan tahun 1996, aku pergi ke Jakarta. Tetapi, saat di Jakarta itu hidupku kian hari menuju ke arah kehancuran, karena aku sering begadang dan pergi ke diskotik. Itu berlangsung selama satu tahun, hingga suatu hari aku sadar; aku harus berubah dan mencari suatu landasan untuk berpijak. Karena sudah lama aku merasa kosong. Untuk itu, aku berpikir agama apa yang harus kuanut?

Aktif di Gereja
Lantas tahun 1997, aku kembali ke Pontianak. Aku tidak tahu, kenapa semua itu terjadi? Yang pasti aku harus mencari kebenaran yang harus aku temukan. Sampailah di penghujung tahun 99, aku benar-benar mengalami kebosanan hidup dan telah mencapai puncak dari kekosongan itu. Saat itu, tak ada hal yang kuinginkan dan aku terasa mati. Yang ada hanya kepingin mati, hingga suatu hari aku ingin pergi ke gereja, yang sudah kutinggalkan sekitar 9 tahun lamanya sebab aku terakhir ke gereja usia 16 tahun.

Di gereja itu, aku mulai ikut kegiatan. Aku aktif, dan mulai mempelajari Kristen. Ketika itu, aku mulai berubah. Pola pikirku berubah dan gaya hidupku juga berubah. Semua itu dorongan hatiku yang merasa bahwa aku sudah mengecewakan orangtua dan keluarga. Dari situ, aku sadar dan kupikir lebih baik aktif di gereja.

Seorang (Mahasiswa) Pemberontak
Dari aktif ke gereja itu, aku kemudian ingin melanjutkan studi. Di penghujung tahun 1999, aku akhirnya kuliah di salah satu Sekolah Theologia (Misi). Saat di kampus itu, aku benar-benar digembleng. Karena setiap hari, aku harus bangun jam 04.00 pagi, berdoa selama 2 jam. Setelah berdoa, aku ke kampus sampai jam 1 siang. Istirahat, makan siang, dan jam 15.00 berdoa lagi.

Saat itu, aku berpikir bahwa aku ternyata mulai didoktrin. Otakku mulai dicuci. Tapi, semakin aku mempelajari al-kitab, ternyata aku malah bingung. Sebab, jujur saja, nalarku tak bisa menerima makna Trinitas, di mana satu oknum tersusun dari 3 pribadi. Allah bapak, itu yang ada di surga. Pribadi bapak, turun ke dunia jadi Yesus Kristus, itu pribadi anak. Jadi, setelah Yesus disalip di bukit Golgota (disebut bukit Tengkorak) dan bangkit pada hari ketiga, 40 hari kemudian dia naik ke surga, dia lalu berpesan kepada murid-muridnya, aku tidak akan meninggalkan kalian menjadi anak yatim piatu, maka aku akan meminta kepada bapak, roh yang menemani kalian agar kalian tak sendirian. Itu yang disebut roh kudus. Itu pribadi Allah juga.

Aku berpikir kenapa Allah harus bersandiwara? Kenapa Allah itu harus menjadi manusia, untuk menyelamatkan manusia, menebus dosa? Masak Allah yang Mahabesar harus bersandiwara seperti itu, naik ke surga, turun lagi jadi ruh kudus. Dalam hati, aku berpikir, ruh kudus di mana? Padahal, ia ada di dalam diri setiap manusia, yang disebut naluri (sanubari). Jika demikian, apa ruh kudus itu hanya milik orang Kristen? Aku tahu tidak! Sebab, dalam Islam juga ada, dalam Budha juga ada. Sebab bagiku, ruh kudus itu nurani yang selalu membisikkan kepada hal-hal yang benar. Itu yang disebut ruh kudus oleh orang kristen, jadi di theologi itu aku dianggap telah tersesat. Apalagi aku sering protes dosen-dosenku.

Dalam pengamatanku, terutama soal trinitas, ternyata tak memiliki fondasi kuat. Sebab dalam al-kitab (baik perjanjian baru maupun perjanjian lama) tidak ada kata-kata tentang trinitas. Mereka itu mengambil dari ayat-ayat yang ditafsirkan sendiri sehingga menjadi seperti trinitas. Bahkan, dalam al-Kitab itu ada yang tutup kurung dan buka kurung, itu menurutku, adalah tambahan.

Jadi, dalam agama Kristen aku melihat sudah tidak murni. Aku memang tahu, bahwa Taurat dan Injil itu benar. Tapi itu yang asli. Sebab, al-Qur`an sendiri menurutku membenarkan akan hal itu. Karena kedua kitab itu memang diturunkan Allah kepada kaum Yahudi dan Nasrani. Bobroknya, adalah tafsiran (tambahan) yang tak kumengerti, apalagi dalam al-Kitab bahasa Indonesia yang kosa katanya kurang. Siapa itu Yesus? Apakah dia Tuhan?

Di dalam bahasa Indonesia sendiri tidak ada kata Tuhan, yang ada itu Tuan. Jadi pada awal-awal abad 16, kalau tidak salah, itu dirubah oleh orang-orang Eropa dengan tambahan "h" untuk menyimpangkan tatanan agama di negeri Indonesia. Mereka ingin mempengaruhi agama-agama lain, sehingga mereka-lah yang berkuasa.

Setahun setelah menempuh studi, aku praktek di pedalaman Kalimantan Barat (awal 2000) untuk memberitakan Injil. Aku tak mau balik ke Theologia lagi, karena aku tahu di sana aku akan dihina. Sebab pemahamanku tentang al-Kitab dianggap sesat. Di sana, aku mengabarkan Injil selama setahun.

Lalu akhir 2001 aku ke Surakarta lagi. Dalam benakku, itu adalah satu panggilan karena memang ada tugas untuk mendirikan gereja di sana. Dalam waktu dua bulan, ternyata ada jemaat lebih dari 30. Ada orang Islam yang masuk Kristen. Tapi, gereja di mana aku berada itu dimusuhi oleh gereja-gereja lain, karena aku berpedoman bahwa Allah itu Esa (tauhid). Selain itu, aku juga berpendapat Yesus itu nabi, kakak sulungku.

Tak salah, jika aku sering dianggap tersesat oleh orang Kristen sendiri. Sebab aku beranggapan bahwa Yesus itu manusia sehingga ia juga berdosa. Sebab ada ayat yang menerangkan semua manusia jatuh dalam dosa dan kehilangan kemuliaan Allah. Jadi, menurutku, semua orang berdosa, termasuk Yesus. Kenapa Yesus dibabtis usia 30 tahun di sungai Yordan? Ke mana Yesus sebelum usia 30 tahun? Hal itu tak diceritakan dalam al-Kitab, kecuali sejak berusia 30 tahun. Sebelum usia 30 tahun Yesus di mana?

Ini proses di mana Yesus diputus sejarahnya! di situ ia, menurutku diproses. Dia manusia biasa. Bagiku, Yesus itu nabi dan kenabiaan itu dikasih ketika Yesus berusia 30 tahun. Karena saat itu dia sudah bisa, sudah sampai waktunya. Dan setelah dibaptis dia pun masih diuji, kalau dia tidak berdosa kenapa diuji?

Alkisah, setelah dibabtis di sungai Yordan, ruhnya dibawa Iblis untuk diuji tiga kali dan Yesus menang. Setelah itulah, dia melayani dan berjalan untuk memberitakan kebenaran. Jadi, hal itu sering membuat aku disesat-sesatin oleh mereka. Tapi aku masih terikat doktrin. Aku mau lepas dari doktrin tapi terbelenggu ikatan. Sebab sewaktu aku hidup di gereja, bisa dikata hidup enak. Ada persembahan banyak.

Kagum Muhammad saw
Tapi, kupikir suatu hari nanti aku harus lepas. Nah, di akhir 2004 itu, aku diajak teman bekerja di proyek pasir, di Purwakarta dan mendirikan sebuah gereja baru. Entah kenapa, ketika itu aku memutuskan untuk berkata “yang benar katakan benar dan yang salah katakan salah”.

Aku belum tahu Islam saat itu tapi aku melihat ada ajaran Islam yang sederhana, Allah itu Esa. Bersamaan tugas di Purwakarta itu, aku ketemu seorang gadis desa yang sederhana, taat, shalehah, sehingga saat itu aku melihat cinta yang dulu pernah hilang. Pertemuan itu, bagiku adalah satu tanda bahwa Allah telah menunjukkan Hidayah.

Aku kemudian mempelajari sejarah kehidupan rasulullah. Setelah membaca sejarah Muhammad, aku dibuat tercengang. Aku membayangkan perjuangan rasul itu melawan kekafiran di satu sisi dan kejahiliyahan di sisi lain. Aku kagum sebab seorang anak manusia itu bisa berjuang dengan segala pengorbanan, menegakkan kebenaran. Aku belajar hikmah dari sejarah rasulullah. Bagiku, ada sesuatu yang luar biasa. Karena itu, aku terkagum dan ketika ada orang Kristen menjelek-jelekkan rasulullah, aku panas sekali, meski saat itu aku belum masuk Islam.

Aku terinspirasi oleh beliau, aku mengagumi luar biasa. Kerena itu, aku pernah dianggap telah mengkristenisasikan Islam. Jelas tuduhan itu aku tolak. Aku mencintai rasulullah dan keluarganya. Tetapi saat itu, aku masih terikat dengan dominasi gereja di mana aku bernaung, sehingga sulit lepas. Aku tahu; banyak sekali pendeta yang tahu kebanaran tetapi mereka tak berani. Sebab Allah itu Esa. Al-kitab itu tak menulis Allah banyak.

Tapi aku sadar bahwa aku sudah tua dan tidak tahu kapan lagi ajal menjemput. Apalagi, aku telah mengkafirkan banyak orang. Ya, dosaku banyak, sehingga kalau ajal menjemput, “Apa yang harus aku pertanggungjawabkan?”

Ketika rasa tanggung jawab dan rasa berdosa itu menggedor-gedor batinku, aku langsung menemui mantri (untuk berkhitan). Yang jelas, itu terjadi awal bulan April 2005, dan di akhir bulan itu pula, aku dibimbing seorang ustadz yang kulupa namanya, aku berikrar masuk Islam.

Ingin Jadi Prajurit Baru
Setelah aku masuk Islam, respon keluarga pun tidak tunggal. Ada yang pro dan ada yang kontra. Tapi sebagian besar keluargaku sadar aku sudah dewasa, sudah punya pilihan sendiri. Dan dari pihak gereja, aku sengaja memutuskan hubungan, sudah tidak menjalin lagi komunikasi. Sebab, aku tahu seandainya aku ketemu mereka, sudah tidak dihargai lagi. Aku dianggap murtad, seperti ustadz atau da`i yang keluar Islam. Itulah yang aku alami sekarang ini. Pasti umat (Kristiani) benci kepadaku.

Kini, aku sudah masuk agama Islam. Aku dihadapkan sebuah kehidupan baru. Apalagi, tepat 21 September 2005 kemarin, aku menikahi seorang gadis desa yang taat, shalehah dan sederhana, sehingga aku kini punya tempat berbagi. Apalagi, sejak masuk Islam segala inventaris gereja ditarik semua. Aku tak lagi memiliki apa-apa. Untung, dia mendorongku untuk berani mengupas kebenaran, berani menerima akibat perjuangan, termasuk harta yang kumiliki dari fasilitas yang diberikan gereja. Ia membimbingku, meskipun sebenarnya aku sedari awal sudah tahu kebenaran itu, tetapi pertanyaannya adalah berani tidak untuk melepaskan gembok-gembok kapitalis yang aku miliki dari fasilitas, jabatan dan kuasa, penghormatan manusia saat itu?

Harapanku, kini aku ingin mendalami Islam. Aku akan menata hidupku, belajar al-Qur`an di pesantren dan insyaallah setelah itu aku akan menjalani misi seperti yang pernah kukerjakan, tapi bukan sebagai prajurit lama, melainkan jadi prajurit yang baru di kapal Islam. Aku mau membenahi orang-orang yang dulu masuk kristen karena aku. Aku ingin mengembalikan orang-orang yang dulu telah aku sesatkan

Selain itu, aku ingin Islam kembali ke semangat Islam awal, di zaman rasul, yang penuh solidaritas, benar-benar punya jiwa dan hati.***


Tidak ada komentar: