“… Dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepadanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentaknya serta ucapkanlah kepadanya ucapan yang mulia.” (QS. Al-Isra’: 23)
Aris (17 thn) tak pernah menyangka jika kemanjaannya pada sang ibu, Hamidah (36 tahun) saat ia minta diambilkan makan di siang itu, ternyata berbuah tragedi. Sebab rengekan Aris yang membuat sang ibu kesal dan keceplosan omong, ternyata seminggu kemudian jadi kenyataan. Aris terjatuh, kemudian di lututnya tumbuh benjolan yang mengakibatkan dia nyaris tidak punya kaki.
Apa sebenarnya yang diomongkan sang ibu sehingga anak manja itu nyaris tak punya kaki? Bagaimana akhir kisah selanjutnya? Cerita yang terjadi 5 tahun lalu di desa Melinjo (bukan nama sebenarnya) ini, semoga memberi gambaran bagi pembaca, bahwa ibu adalah sosok yang harus dihormati, bukan disuruh-suruh bak seorang pembantu.
/1/
Hari itu, pagi hampir beranjak siang. Tetapi sinar mentari yang garang sudah membuat kulit siswa-siswi yang sedang latihan Paskibra (Pasukan Pengibar Bendera) di halaman SMU Harapan (nama samaran), seakan dipanggang bara api. Tampak, kulit siswa-siswi yang coklat, mengkilat akibat tersepuh mentari. Cucuran keringat berleleran membasahi kaos. Sesekali, siswa-siswi juga menyeka dahi serta melumat bibir menahan haus di tenggorokan.
Untung, saat itu adalah detik-detik terakhir latihan. Siswa-siswi masih berbaris rapi sebelum akhirnya terdengar suara melengking. “Barisan bubar!” teriak si pemimpin barisan. Seketika, barisan yang rapi kemudian berhamburan. Siswa-siswi berlarian, dan bersamaan itu, bel istirahat berbunyi keras bak anjing menggonggong.
Aris yang didera rasa haus, buru-buru berlari dengan kencang ke dalam kelas. Seperti kesetanan, Aris berlari dengan sekuat tenaga. Sesampai di kelas, Aris langsung bergegas ke tempat duduknya. Tapi sial. Ia rupanya ingin segera mengambil uang yang disimpan di tas namun kurang hati-hati, sehingga salah satu kakinya membentur kaki meja.
“Aduuuh!!!!” teriak Aris yang membuat teman-teman sekelas menoleh. Aris pun jatuh. Secepat kilat, dipegangi lututnya. Tidak mau malu, dilihat teman sekelasnya, dia buru-buru bangun. Rasa sakit pun harus dia tahan. Ia bangkit dan duduk di kursinya seolah tak pernah terjadi apa-apa, tak pernah terjadi sesuatu.
Mirna (17 tahun), teman sekelas Aris yang duduk di belakang kursinya, merasa iba, “Kamu tak apa-apa, Ris?”
“Tak apa-apa, kok!” jawab Aris singkat masih memegangi lututnya. “Eh tolong, aku titip dibelikan es di kantin, ya …!” pinta Aris kepada Mirna.
Mirna tidak bisa mengelak. Ada rasa iba yang membuat dia segera beranjak pergi. Setelah Mirna beranjak, Aris menaikkan celana. Dengan cermat, luka di lutut diamati secara detail. Ada sedikit darah, goresan kecil. Tapi ia menganggap cuma luka ringan, sehingga Aris membiarkan dan tidak mengobatinya. Ditutup kembali celananya dan ia berharap kalau luka itu besok akan sembuh dengan sendirinya.
/2/
Tetapi, harapan Aris yang menduga luka itu tak akan membekas dan sembuh dengan sendirinya, ternyata tidak benar. Esok harinya, saat dia bangun dari tidur, luka di lututnya dirasai perih. Goresan yang meninggalkan luka malah membentuk benjolan kecil, berwarna putih kekuning-kuningan. Meski pun terasa sakit, toh dia memaksakan diri masuk ke sekolah.
Hari terus berlalu dan setelah tiga hari luka itu tak sembuh dan benjolan di situ kian bengkak, ayahnya (bernama Hamdan, 40 thn) membawa Aris ke Puskemas untuk memeriksakan Aris. Meskipun tampak benjolan, entah kenapa dokter tak mendiagnosis penyakit apapun, kecuali hanya berkata, “Cuma luka biasa yang nantinya juga akan sembuh.”
Aris pulang dan diberi obat.
Hari berlalu dan seminggu kemudian luka itu tak juga kunjung kempes. Malah, Aris mulai kerepotan untuk berjalan. Untuk itu, seminggu sejak jatuh dia tak bisa masuk sekolah. Saat berjalan, ia pun harus menggunakan alat bantu. Ia lebih banyak terbaring di ranjang.
Dua minggu tak menampakkan hasil, malah lutut Aris kian bengkak dengan benjolan berwarna putih kekuningan. Si ibu tak tega melihat anaknya didera sakit, sehingga membawa Aris ke rumah sakit kabupaten. Aneh, sang dokter lagi-lagi tidak menemukan ada luka yang membahayakan. Aris hanya diberi obat dan kemudian pulang ke rumah.
Tetapi luka itu tidak juga kunjung sembuh meski Aris sudah meminum obat. Luka di lututnya kian hari semakin membengkak. Padahal, ujian sebentar lagi akan berlangsung, yang membuat Aris harus bersedih. Sebab, Aris masih belum bisa berjalan, hanya menghabiskan waktu di atas kasur. “Bahkan saat ujian berlangsung pun Aris masih belum sembuh sehingga mengikuti ujian di rumah,” cerita narasumber kepada Hidayah.
Tak kunjung sembuh dan luka di lutut Aris kian besar, akhirnya membuat sang ibu membawa Aris ke rumah sakit, di Bandung. Berbeda dengan diagnosis dokter sebelumnya, kali ini Aris disarankan menginap. Oleh dokter, ia diperiksa dengan teliti sehingga akhirnya diketahui bahwa Aris terkena kanker tulang dan perlu diamputasi. “Anak ibu terkena kanker tulang. Satu-satu jalan yang bisa kami lakukan adalah mengamputasi kakinya!” ucap dokter kepada ibu Aris.
Sang ibu tercekat saat mendengar keputusan dokter. Tak menduga kaki Aris separah itu, dia menyerahkan keputusan itu pada Aris. Tapi saat Aris dikonfirmasi untuk diamputasi, ia menolak mentah-mentah. “Tidak mau, bu! Aris tak mau jika nanti tak punya kaki!”
Tidak mau diamputasi, si ibu akhirnya membawa pulang setelah seminggu dirawat.
Sepulang dari rumah sakit, si ibu mengambil inisiatif untuk membawa Aris ke tabib. Tapi, itu tak juga membantu. Bengkak di lutut Aris masih saja terus bertambah besar dan tubuhnya malah kian kurus. Selain ke tabib, sang ibu juga pergi ke seorang kiai. Tetapi sang kiai yang sempat ditemui cuma berkata, “Mungkin ibu dulu pernah salah omong, sehingga itu berakibat buruk kepada anak ibu sendiri”.
Sang ibu merasa sadar, dan ingat apa yang dulu sempat diomongkan pada Aris saat anaknya itu merengek minta diambilkan makan. Tetapi, semua sudah terjadi….
Akhirnya setelah tiga bulan berlalu, bengkak di lutut Aris pun pecah. Setelah pecah, ia meninggal dunia. Sebagaimana diceritakan narasumber, “Meninggalnya Aris itu setelah urat-urat di nadinya pecah. Karena tak kuat menampung gumpalan cairan di lutut yang kian hari bertambah besar itu, akhirnya bengkak yang dipenuhi dengan cairan putih kekuningan itu pecah.”
/3/
Siang itu, tiga bulan sebelum Aris meninggal, tepatnya seminggu sebelum dia jatuh, Aris pulang sekolah. Dibuka pintu depan dengan pelan dan ia memasuki rumah dengan rasa lelah yang teramat sangat. Jalannya gontai, seakan di pundaknya digelayuti beban berat. Lalu, duduk di sofa. Dengan malas, dibukanya tali sepatu. Ia melepaskan sepatunya dan kaos kaki, sembari membanting tubuh, bersandar ke sofa.
Di ruang tengah, kedua adiknya lagi asyik nonton TV. Aris berjalan ke ruang tengah, ikut menonton televisi, seraya bertanya “Ibu belum pulang?”
Rina (14 thn, nama samaran) adik Aris yang duduk di kelas 2 SMP menjawab malas, “Belum!” Sementara Ira asyik memeloti tv, tak peduli kedatangan Aris. Aris lalu merebahkan tubuhnya di depan tv dan meminta adiknya untuk mengambilkan nasi buat makan siangnya. Tetapi sang adik bergeming, tak peduli. Cuek!
Tidak lama kemudian, sang ibu pun yang ditunggu akhirnya datang. Rasa capek nampak di raut muka Halimah. Tetapi, dia tetap penuh kasih dan menghampiri ketiga anaknya yang sedang nonton tv --mengeluarkan sebungkus buah dari dalam tas.
“Aris, apa kamu sudah makan?” tanya Halimah, sang ibu kepada Aris.
Aris menjawab malas, “Belum, bu! Habis minta tolong adik, tidak diambilkan. Ia tak mau…”
“Ya sudah…, sana ambil makan sendiri!”
“Capek, bu…!”
Halimah masuk ke dalam kamar, mengganti baju. “Aris kau sudah besar, sana ambil makan sendiri! Kamu tahu kan kalau ibu baru datang dan capek!”
“Malas, bu! Pokoknya saya minta diambilkan!”
Berulangkali, sang ibu membujuk Aris untuk mengambil makan sendiri karena si ibu capek setengah mati. Tapi Aris tetap merajuk, memaksa si ibu untuk mengambilkan makan. Karena membuat kesel, sang ibu pun lalu berucap, “Aris, nanti kalau kamu sudah tidak bisa berjalan, kamu mungkin baru menyesal!”
Mendengar ibunya berkata seperti itu, ia kian kesal. Ia pergi ke kamar, menutup pintu dan ngambek. Siang itu, Aris tak makan bahkan sampai malam hari. Si ibu hanya mengelus dada, tetapi di dalam hati dia benar-benar terluka. Goresan hati seorang ibu yang akibat rasa kesal, akhirnya mengeluarkan kata-kata tidak baik, padahal kata-kata itu diucapkan kepada anaknya sendiri, buah hati yang telah dilahirkannya dengan susah payah selama kurang lebih sembilan bulan.
Rupanya kata-kata si ibu itu jadi kenyataan. Seminggu setelah itu, kaki Aris terbentur kaki meja dan kemudian meninggalkan luka, membengkak dan di luka itu tumbuh benjolan berwarna putih kekuningan yang berakibat Aris tak bisa berjalan. Hanya menghabiskan hari di atas pembaringan dan bahkan oleh dokter divonis terkena kanker tulang. Tak ada pilihan lagi kecuali harus diamputasi. Tapi ia tak menerima kenyataan tak punya kaki, sehingga nasib tragis pun datang. Sebab kanker itu menjalar ke seluruh tubuh, akhirnya ia meninggal.
/4/
Dilahirkan di sebuah kota kecil di Jawa Barat, Aris sudah seharusnya patut berbangga karena ia memiliki orangtua yang penuh kasih sayang dan perhatian. Semua itu bisa dilihat dari curahan hati kedua orangtua Aris yang dikenal sebagai keluarga berpendidikan. Ayahnya seorang guru SMP dan bahkan berbeda dengan umumnya ibu rumah tangga di kampung, ibu Aris tergolong perempuan yang memiliki peran ganda. Selain sebagai seorang ibu rumah tangga Hilimah juga seorang guru SMP sebagaimana suaminya.
Aris merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Kedua adiknya adalah perempuan semua. Rina, adiknya persis, duduk di kelas dua Sekolah Menegah Pertama dan Ira duduk di kelas enam Sekolah Dasar. Tapi, sebagai anak tertua di dalam keluarga itu, Aris tidak bisa jadi teladan bagi adik-adiknya. Ia justru tumbuh manja dan sering meminta bantuan pada adiknya, sering meminta bantuan untuk melayani segala kebutuhan dan keperluannya, termasuk ambil makan segala.
Kenapa hal itu bisa terjadi? Rupanya, sebagai anak lelaki satu-satunya dalam keluarga, Aris sejak kecil sudah dimanja setengah mati oleh sang ibu. Sementara dua adik perempuan Aris kadang harus dikorbankan. Itulah yang membuat Aris kemudian bahkan sampai dimanja dengan cara berlebihan oleh sang ibu, dan tampaknya kasih sayang itu disalahartikan Aris.
Saat usianya menginjak remaja, ia masih saja manja. Minta dilayani dalam hal urusan kecil termasuk meminta makan. Padahal, di luar sifat manja yang dipeluknya itu sebenarnya ia adalah anak yang cerdas. Malah, menurut cerita narasumber Hidayah dia adalah seorang yang cerdas, aktif di OSIS dan kegiatan sekolah. Apalagi ia tergolong dari keluarga yang mengenal pendidikan, sehingga dibanding dengan teman-teman sekelasnya, ia tegolong anak kreativitas dan menonjol.
Tapi kebaikan semua itu ternyata dilukai oleh sifat kemanjaan Aris yang dinikmatinya sejak kecil. Akibatnya, peristiwa siang itu –saat Aris merengek minta diambilkan makan siang dan membuat sang ibu kesal— ibarat susu sebelanga yang ternodai setetes nila. Karena ia tak mau menerima kenyataan tak punya kaki, akhirnya ia meninggal dunia dalam usia muda….
In box
Nunik (22 tahun), teman sekelas Aris
Ia Sebenarnya Baik, Hanya Manja….
Siang itu, Aris pulang sekolah. Rasa lapar menggaruk perut. Tapi saat tiba di rumah, dia benar-benar kecewa. Sebab, dia yang biasa dimanja oleh ibunya –biasa diambilkan makan dan bahkan sampai disuapi segala-- kini tak menjumpai sang ibu. Kedua adiknya merasa enggan mengambil makan untuk Aris. Akhirnya, dia menunggu ibunya datang.
Tak lama kemudian, ibunya datang. Tapi sang ibu capek dan menyarankan dia untuk mengambil makan sendiri. Aris tidak mau dan malahan ngambek, sehingga sang ibu kesal dan berucap, “Kau belum tahu rasanya tak punya kaki, apa?”
Tapi Aris tak peduli, ia malah ngambek, pergi ke kamar, membanting pintu.
Seminggu kemudian, apa yang diucapkan oleh ibunya menjadi kenyataan. Dia jatuh. Kakinya terbentur kaki meja (di sekolah). Lututnya tergores. Seminggu kemudian, di lututnya tumbuh benjolan (berair) sehingga ia tak dapat berjalan lagi. Kian hari benjolan itu kian besar yang membuat tubuhnya kian kurus dan kakinya tidak dapat digerakkan. Apalagi benjolan itu berupa cairan yang menampakkan urat-urat kebiruan. Praktis, tubuhnya hanya terbujur kaku di atas ranjang, karena benjolan di lututnya itu sempat sebesar 2 x bola kasti.
Dokter setelah memeriksa, men-vonis Aris terkena kanker tulang dan kakinya harus diamputasi. Tidak mau menerima kenyataan buntung (tak punya kaki), Aris menolak saran dokter. Tapi kanker itu sudah menjalar ke seluruh tubuh dan karena tak mau dioperasi, maka Aris meninggal setelah tak bisa berjalan selama tiga bulan. (nm)
Apa sebenarnya yang diomongkan sang ibu sehingga anak manja itu nyaris tak punya kaki? Bagaimana akhir kisah selanjutnya? Cerita yang terjadi 5 tahun lalu di desa Melinjo (bukan nama sebenarnya) ini, semoga memberi gambaran bagi pembaca, bahwa ibu adalah sosok yang harus dihormati, bukan disuruh-suruh bak seorang pembantu.
/1/
Hari itu, pagi hampir beranjak siang. Tetapi sinar mentari yang garang sudah membuat kulit siswa-siswi yang sedang latihan Paskibra (Pasukan Pengibar Bendera) di halaman SMU Harapan (nama samaran), seakan dipanggang bara api. Tampak, kulit siswa-siswi yang coklat, mengkilat akibat tersepuh mentari. Cucuran keringat berleleran membasahi kaos. Sesekali, siswa-siswi juga menyeka dahi serta melumat bibir menahan haus di tenggorokan.
Untung, saat itu adalah detik-detik terakhir latihan. Siswa-siswi masih berbaris rapi sebelum akhirnya terdengar suara melengking. “Barisan bubar!” teriak si pemimpin barisan. Seketika, barisan yang rapi kemudian berhamburan. Siswa-siswi berlarian, dan bersamaan itu, bel istirahat berbunyi keras bak anjing menggonggong.
Aris yang didera rasa haus, buru-buru berlari dengan kencang ke dalam kelas. Seperti kesetanan, Aris berlari dengan sekuat tenaga. Sesampai di kelas, Aris langsung bergegas ke tempat duduknya. Tapi sial. Ia rupanya ingin segera mengambil uang yang disimpan di tas namun kurang hati-hati, sehingga salah satu kakinya membentur kaki meja.
“Aduuuh!!!!” teriak Aris yang membuat teman-teman sekelas menoleh. Aris pun jatuh. Secepat kilat, dipegangi lututnya. Tidak mau malu, dilihat teman sekelasnya, dia buru-buru bangun. Rasa sakit pun harus dia tahan. Ia bangkit dan duduk di kursinya seolah tak pernah terjadi apa-apa, tak pernah terjadi sesuatu.
Mirna (17 tahun), teman sekelas Aris yang duduk di belakang kursinya, merasa iba, “Kamu tak apa-apa, Ris?”
“Tak apa-apa, kok!” jawab Aris singkat masih memegangi lututnya. “Eh tolong, aku titip dibelikan es di kantin, ya …!” pinta Aris kepada Mirna.
Mirna tidak bisa mengelak. Ada rasa iba yang membuat dia segera beranjak pergi. Setelah Mirna beranjak, Aris menaikkan celana. Dengan cermat, luka di lutut diamati secara detail. Ada sedikit darah, goresan kecil. Tapi ia menganggap cuma luka ringan, sehingga Aris membiarkan dan tidak mengobatinya. Ditutup kembali celananya dan ia berharap kalau luka itu besok akan sembuh dengan sendirinya.
/2/
Tetapi, harapan Aris yang menduga luka itu tak akan membekas dan sembuh dengan sendirinya, ternyata tidak benar. Esok harinya, saat dia bangun dari tidur, luka di lututnya dirasai perih. Goresan yang meninggalkan luka malah membentuk benjolan kecil, berwarna putih kekuning-kuningan. Meski pun terasa sakit, toh dia memaksakan diri masuk ke sekolah.
Hari terus berlalu dan setelah tiga hari luka itu tak sembuh dan benjolan di situ kian bengkak, ayahnya (bernama Hamdan, 40 thn) membawa Aris ke Puskemas untuk memeriksakan Aris. Meskipun tampak benjolan, entah kenapa dokter tak mendiagnosis penyakit apapun, kecuali hanya berkata, “Cuma luka biasa yang nantinya juga akan sembuh.”
Aris pulang dan diberi obat.
Hari berlalu dan seminggu kemudian luka itu tak juga kunjung kempes. Malah, Aris mulai kerepotan untuk berjalan. Untuk itu, seminggu sejak jatuh dia tak bisa masuk sekolah. Saat berjalan, ia pun harus menggunakan alat bantu. Ia lebih banyak terbaring di ranjang.
Dua minggu tak menampakkan hasil, malah lutut Aris kian bengkak dengan benjolan berwarna putih kekuningan. Si ibu tak tega melihat anaknya didera sakit, sehingga membawa Aris ke rumah sakit kabupaten. Aneh, sang dokter lagi-lagi tidak menemukan ada luka yang membahayakan. Aris hanya diberi obat dan kemudian pulang ke rumah.
Tetapi luka itu tidak juga kunjung sembuh meski Aris sudah meminum obat. Luka di lututnya kian hari semakin membengkak. Padahal, ujian sebentar lagi akan berlangsung, yang membuat Aris harus bersedih. Sebab, Aris masih belum bisa berjalan, hanya menghabiskan waktu di atas kasur. “Bahkan saat ujian berlangsung pun Aris masih belum sembuh sehingga mengikuti ujian di rumah,” cerita narasumber kepada Hidayah.
Tak kunjung sembuh dan luka di lutut Aris kian besar, akhirnya membuat sang ibu membawa Aris ke rumah sakit, di Bandung. Berbeda dengan diagnosis dokter sebelumnya, kali ini Aris disarankan menginap. Oleh dokter, ia diperiksa dengan teliti sehingga akhirnya diketahui bahwa Aris terkena kanker tulang dan perlu diamputasi. “Anak ibu terkena kanker tulang. Satu-satu jalan yang bisa kami lakukan adalah mengamputasi kakinya!” ucap dokter kepada ibu Aris.
Sang ibu tercekat saat mendengar keputusan dokter. Tak menduga kaki Aris separah itu, dia menyerahkan keputusan itu pada Aris. Tapi saat Aris dikonfirmasi untuk diamputasi, ia menolak mentah-mentah. “Tidak mau, bu! Aris tak mau jika nanti tak punya kaki!”
Tidak mau diamputasi, si ibu akhirnya membawa pulang setelah seminggu dirawat.
Sepulang dari rumah sakit, si ibu mengambil inisiatif untuk membawa Aris ke tabib. Tapi, itu tak juga membantu. Bengkak di lutut Aris masih saja terus bertambah besar dan tubuhnya malah kian kurus. Selain ke tabib, sang ibu juga pergi ke seorang kiai. Tetapi sang kiai yang sempat ditemui cuma berkata, “Mungkin ibu dulu pernah salah omong, sehingga itu berakibat buruk kepada anak ibu sendiri”.
Sang ibu merasa sadar, dan ingat apa yang dulu sempat diomongkan pada Aris saat anaknya itu merengek minta diambilkan makan. Tetapi, semua sudah terjadi….
Akhirnya setelah tiga bulan berlalu, bengkak di lutut Aris pun pecah. Setelah pecah, ia meninggal dunia. Sebagaimana diceritakan narasumber, “Meninggalnya Aris itu setelah urat-urat di nadinya pecah. Karena tak kuat menampung gumpalan cairan di lutut yang kian hari bertambah besar itu, akhirnya bengkak yang dipenuhi dengan cairan putih kekuningan itu pecah.”
/3/
Siang itu, tiga bulan sebelum Aris meninggal, tepatnya seminggu sebelum dia jatuh, Aris pulang sekolah. Dibuka pintu depan dengan pelan dan ia memasuki rumah dengan rasa lelah yang teramat sangat. Jalannya gontai, seakan di pundaknya digelayuti beban berat. Lalu, duduk di sofa. Dengan malas, dibukanya tali sepatu. Ia melepaskan sepatunya dan kaos kaki, sembari membanting tubuh, bersandar ke sofa.
Di ruang tengah, kedua adiknya lagi asyik nonton TV. Aris berjalan ke ruang tengah, ikut menonton televisi, seraya bertanya “Ibu belum pulang?”
Rina (14 thn, nama samaran) adik Aris yang duduk di kelas 2 SMP menjawab malas, “Belum!” Sementara Ira asyik memeloti tv, tak peduli kedatangan Aris. Aris lalu merebahkan tubuhnya di depan tv dan meminta adiknya untuk mengambilkan nasi buat makan siangnya. Tetapi sang adik bergeming, tak peduli. Cuek!
Tidak lama kemudian, sang ibu pun yang ditunggu akhirnya datang. Rasa capek nampak di raut muka Halimah. Tetapi, dia tetap penuh kasih dan menghampiri ketiga anaknya yang sedang nonton tv --mengeluarkan sebungkus buah dari dalam tas.
“Aris, apa kamu sudah makan?” tanya Halimah, sang ibu kepada Aris.
Aris menjawab malas, “Belum, bu! Habis minta tolong adik, tidak diambilkan. Ia tak mau…”
“Ya sudah…, sana ambil makan sendiri!”
“Capek, bu…!”
Halimah masuk ke dalam kamar, mengganti baju. “Aris kau sudah besar, sana ambil makan sendiri! Kamu tahu kan kalau ibu baru datang dan capek!”
“Malas, bu! Pokoknya saya minta diambilkan!”
Berulangkali, sang ibu membujuk Aris untuk mengambil makan sendiri karena si ibu capek setengah mati. Tapi Aris tetap merajuk, memaksa si ibu untuk mengambilkan makan. Karena membuat kesel, sang ibu pun lalu berucap, “Aris, nanti kalau kamu sudah tidak bisa berjalan, kamu mungkin baru menyesal!”
Mendengar ibunya berkata seperti itu, ia kian kesal. Ia pergi ke kamar, menutup pintu dan ngambek. Siang itu, Aris tak makan bahkan sampai malam hari. Si ibu hanya mengelus dada, tetapi di dalam hati dia benar-benar terluka. Goresan hati seorang ibu yang akibat rasa kesal, akhirnya mengeluarkan kata-kata tidak baik, padahal kata-kata itu diucapkan kepada anaknya sendiri, buah hati yang telah dilahirkannya dengan susah payah selama kurang lebih sembilan bulan.
Rupanya kata-kata si ibu itu jadi kenyataan. Seminggu setelah itu, kaki Aris terbentur kaki meja dan kemudian meninggalkan luka, membengkak dan di luka itu tumbuh benjolan berwarna putih kekuningan yang berakibat Aris tak bisa berjalan. Hanya menghabiskan hari di atas pembaringan dan bahkan oleh dokter divonis terkena kanker tulang. Tak ada pilihan lagi kecuali harus diamputasi. Tapi ia tak menerima kenyataan tak punya kaki, sehingga nasib tragis pun datang. Sebab kanker itu menjalar ke seluruh tubuh, akhirnya ia meninggal.
/4/
Dilahirkan di sebuah kota kecil di Jawa Barat, Aris sudah seharusnya patut berbangga karena ia memiliki orangtua yang penuh kasih sayang dan perhatian. Semua itu bisa dilihat dari curahan hati kedua orangtua Aris yang dikenal sebagai keluarga berpendidikan. Ayahnya seorang guru SMP dan bahkan berbeda dengan umumnya ibu rumah tangga di kampung, ibu Aris tergolong perempuan yang memiliki peran ganda. Selain sebagai seorang ibu rumah tangga Hilimah juga seorang guru SMP sebagaimana suaminya.
Aris merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Kedua adiknya adalah perempuan semua. Rina, adiknya persis, duduk di kelas dua Sekolah Menegah Pertama dan Ira duduk di kelas enam Sekolah Dasar. Tapi, sebagai anak tertua di dalam keluarga itu, Aris tidak bisa jadi teladan bagi adik-adiknya. Ia justru tumbuh manja dan sering meminta bantuan pada adiknya, sering meminta bantuan untuk melayani segala kebutuhan dan keperluannya, termasuk ambil makan segala.
Kenapa hal itu bisa terjadi? Rupanya, sebagai anak lelaki satu-satunya dalam keluarga, Aris sejak kecil sudah dimanja setengah mati oleh sang ibu. Sementara dua adik perempuan Aris kadang harus dikorbankan. Itulah yang membuat Aris kemudian bahkan sampai dimanja dengan cara berlebihan oleh sang ibu, dan tampaknya kasih sayang itu disalahartikan Aris.
Saat usianya menginjak remaja, ia masih saja manja. Minta dilayani dalam hal urusan kecil termasuk meminta makan. Padahal, di luar sifat manja yang dipeluknya itu sebenarnya ia adalah anak yang cerdas. Malah, menurut cerita narasumber Hidayah dia adalah seorang yang cerdas, aktif di OSIS dan kegiatan sekolah. Apalagi ia tergolong dari keluarga yang mengenal pendidikan, sehingga dibanding dengan teman-teman sekelasnya, ia tegolong anak kreativitas dan menonjol.
Tapi kebaikan semua itu ternyata dilukai oleh sifat kemanjaan Aris yang dinikmatinya sejak kecil. Akibatnya, peristiwa siang itu –saat Aris merengek minta diambilkan makan siang dan membuat sang ibu kesal— ibarat susu sebelanga yang ternodai setetes nila. Karena ia tak mau menerima kenyataan tak punya kaki, akhirnya ia meninggal dunia dalam usia muda….
In box
Nunik (22 tahun), teman sekelas Aris
Ia Sebenarnya Baik, Hanya Manja….
Siang itu, Aris pulang sekolah. Rasa lapar menggaruk perut. Tapi saat tiba di rumah, dia benar-benar kecewa. Sebab, dia yang biasa dimanja oleh ibunya –biasa diambilkan makan dan bahkan sampai disuapi segala-- kini tak menjumpai sang ibu. Kedua adiknya merasa enggan mengambil makan untuk Aris. Akhirnya, dia menunggu ibunya datang.
Tak lama kemudian, ibunya datang. Tapi sang ibu capek dan menyarankan dia untuk mengambil makan sendiri. Aris tidak mau dan malahan ngambek, sehingga sang ibu kesal dan berucap, “Kau belum tahu rasanya tak punya kaki, apa?”
Tapi Aris tak peduli, ia malah ngambek, pergi ke kamar, membanting pintu.
Seminggu kemudian, apa yang diucapkan oleh ibunya menjadi kenyataan. Dia jatuh. Kakinya terbentur kaki meja (di sekolah). Lututnya tergores. Seminggu kemudian, di lututnya tumbuh benjolan (berair) sehingga ia tak dapat berjalan lagi. Kian hari benjolan itu kian besar yang membuat tubuhnya kian kurus dan kakinya tidak dapat digerakkan. Apalagi benjolan itu berupa cairan yang menampakkan urat-urat kebiruan. Praktis, tubuhnya hanya terbujur kaku di atas ranjang, karena benjolan di lututnya itu sempat sebesar 2 x bola kasti.
Dokter setelah memeriksa, men-vonis Aris terkena kanker tulang dan kakinya harus diamputasi. Tidak mau menerima kenyataan buntung (tak punya kaki), Aris menolak saran dokter. Tapi kanker itu sudah menjalar ke seluruh tubuh dan karena tak mau dioperasi, maka Aris meninggal setelah tak bisa berjalan selama tiga bulan. (nm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar