Suatu siang, di hari Jum`at. Mentari ada di atas kepala. Adzan shalat Jum`at juga sudah berkumandang. Tapi di tengah suasana terik mentari yang membakar kulit itu, tak sedikit pun menyurutkan niat warga penghuni perumahan Asri melangkahkan kaki ke masjid. Sejumlah warga berpakaian rapi, memakai kopiah dan menenteng sajadah.
Saat orang-orang pergi ke masjid itulah, Anton –mahasiswa fakultas Ekonomi-- yang kebetulan mengontrak rumah di perumahan itu baru pulang dari kuliah. Kontan, sebagai orang Islam yang taat, ia pun dihinggapi cemas, segera mandi, dan cepat-cepat berganti pakaian. Sofyan, teman Anton, menunggunya seperti tak sabaran,” Ayo dong!”
“Sebentar lagi, ini baru cari kopiah!” jawab Anton seraya membuka almari.
“Emangnya kenapa jika tidak pakai kopiah? Apa shalat kita tidak sah?”
“Ah, kau ini! Kayak tak pernah nyantri aja! Kan, udara sedang panas… tau”
Pertanyaan Sofyan itu mungkin tak pernah terlintas dalam benak kita selama ini berkaitan soal kopiah ketika melakukan shalat. Apa sebenarnya hukum kopiah? Apakah wajib? Sunnah atau makruh? Sebab di luar konteks shalat, tak jarang kita menjumpai kopiah dipakai orang berta`ziyah, menghadiri walimahan, pengajian dan lain-lain.
Status Hukum Kopiah
Kopiah sebagai penutup kepala bagi lelaki tak bisa dimungkiri telah meluas dan menyebar di hampir semua negara-negara Islam. Tak cuma di negeri kita, bahkan di negeri Cina, lelaki muslim di sana juga memakai kopiah. Padahal, dalam nash-nash al-Quran atau sunnah, tidak ada dalil sharih dan qath'i yang terkait perintah mengenakan kopiah bagi lelaki, baik saat shalat atau di luar konteks shalat.
Memang, tak hanya di waktu shalat, rasul sering diriwayatkan menggunakan 'imamah yaitu sorban yang dililitkan di atas kepala. Jadi, sebenarnya yang disunnahkan itu adalah memakai sorban, bukan memakai kopiah. Hal ini berdasarkan hadits nabi SAW, "Berserbanlah kamu kerana syaitan tidak memakai serban."
Lantas bagaimana hukum memakai kopiah baik dalam shalat maupun di luar konteks shalat? Para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan sunnah, namun pendapat ulama yang lain mengatakan tidak. Adanya perbedaan itu, karena memang di dalam nash tak ditemukan dalil yang secara langsung merujuk pada pemakaian kopiah. Rasulullah hanya memerintahkan kaum muslim memakai sorban.
Akan tetapi, jika kita mencari dalil di luar al-Quran dan sunnah nabi SAW, salah satu yang dapat disebutkan untuk masalah ini adalah masalah `urf atau kebiasaan. Bila dilihat dari sisi ini, ada yang berpendapat pentingnya mengenakan kopiah. Menurut pendapat ini, memakai kopiah merupakan adat kebiasaan yang terkait dengan masalah kesopanan. Tentu saja, ini hanya berlaku kepada kelompok masyarakat tertentu di masa tertentu dan di negara tertentu. Artinya, tidak diberlakukan secara universal.
Karena ada di wilayah attitude (kebiasaan), seorang yang tidak memakai kopiah seolah dianggap menyalahi kebiasaan. Contoh nyata dalam hal ini adalah yang berlaku di negeri kita. Jika ada orang pergi ke masjid tak memakai kopiah, kayaknya dipandang kurang sopan. Ibarat orang tampil di depan umum bertelanjang dada. Padahal, dilihat secara syari`ah, tak ada yang salah dengan orang yang bertelanjang dada. Sebab lelaki dibolehkan bertelanjang dada karena aurat lelaki; dari pusar hingga lulut. Tapi telanjang dada di muka umum di masyarakat ini adalah aib, paling tidak menurut norma umum kesopanan yang berlaku.
Karena tidak ada nash al-Qur`an maupun hadits yang terkait dengan pemakaian kopiah (yang diperintahkan adalah memakai sorban), tak salah jika kopiah merupakan satu bentuk kreasi perkembangan budaya dalam memaknai tafsir hadits nabi --memakai sorban. Apalagi, konteks sorban kini sudah dipandang lain, maka kopiah dimaknai sebagai bentuk lain dari penutup kepala.
Tak Sekadar Penutup Kepala
Kendati demikian, kopiah tak sekadar penutup kepala. Perkembangan zaman telah mampu mengubah kopiah diproduksi dengan beraneka ragam. Juga, soal warna serta corak. Tak salah jika kopiah yang dulu sering dikenali dengan bentuk itu saja, kini kopiah tampil dengan segala aksesoris dan model baru dengan rancangan menarik.
Kaum muslim di luar kabilah Uighur dan orang-orang Kazakh dari daerah barat laut Cina, misalnya, mengenakan kopiah putih dan baju putih, terutama saat melakukan shalat berjamaah. Kopiah yang mereka pakai biasanya dihiasi dengan pintalan kaligrafi dua kalimat syahadat dan tak ada yang terbuat dari bahan dasar sutera.
Selain dalam bentuk dan warna, kopiah yang sudah tidak lagi sekadar penutup kepala bisa juga dijumpai di negeri ini sebagai kelengkapan berpakaian kenegaraaan, sehingga kita bisa melihat foto presiden dan wakil presiden memakai kopiah. Padahal, itu foto kenegaraan bukan foto untuk urusan keagamaan.
Jadi, kopiah dari zaman ke zaman sudah menjadi benda yang dianggap wujud dari bentuk kesopanan. Jika demikian, mungkin tak salah saat Anton mau ke masjid dan merasa pusing karena tak menemukan kopiahnya, dalam hati kecilnya seolah-olah ada rasa tak sopan jika harus pergi ke masjid dengan tidak memakai kopiah. (n. mursidi)
“Sebentar lagi, ini baru cari kopiah!” jawab Anton seraya membuka almari.
“Emangnya kenapa jika tidak pakai kopiah? Apa shalat kita tidak sah?”
“Ah, kau ini! Kayak tak pernah nyantri aja! Kan, udara sedang panas… tau”
Pertanyaan Sofyan itu mungkin tak pernah terlintas dalam benak kita selama ini berkaitan soal kopiah ketika melakukan shalat. Apa sebenarnya hukum kopiah? Apakah wajib? Sunnah atau makruh? Sebab di luar konteks shalat, tak jarang kita menjumpai kopiah dipakai orang berta`ziyah, menghadiri walimahan, pengajian dan lain-lain.
Status Hukum Kopiah
Kopiah sebagai penutup kepala bagi lelaki tak bisa dimungkiri telah meluas dan menyebar di hampir semua negara-negara Islam. Tak cuma di negeri kita, bahkan di negeri Cina, lelaki muslim di sana juga memakai kopiah. Padahal, dalam nash-nash al-Quran atau sunnah, tidak ada dalil sharih dan qath'i yang terkait perintah mengenakan kopiah bagi lelaki, baik saat shalat atau di luar konteks shalat.
Memang, tak hanya di waktu shalat, rasul sering diriwayatkan menggunakan 'imamah yaitu sorban yang dililitkan di atas kepala. Jadi, sebenarnya yang disunnahkan itu adalah memakai sorban, bukan memakai kopiah. Hal ini berdasarkan hadits nabi SAW, "Berserbanlah kamu kerana syaitan tidak memakai serban."
Lantas bagaimana hukum memakai kopiah baik dalam shalat maupun di luar konteks shalat? Para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan sunnah, namun pendapat ulama yang lain mengatakan tidak. Adanya perbedaan itu, karena memang di dalam nash tak ditemukan dalil yang secara langsung merujuk pada pemakaian kopiah. Rasulullah hanya memerintahkan kaum muslim memakai sorban.
Akan tetapi, jika kita mencari dalil di luar al-Quran dan sunnah nabi SAW, salah satu yang dapat disebutkan untuk masalah ini adalah masalah `urf atau kebiasaan. Bila dilihat dari sisi ini, ada yang berpendapat pentingnya mengenakan kopiah. Menurut pendapat ini, memakai kopiah merupakan adat kebiasaan yang terkait dengan masalah kesopanan. Tentu saja, ini hanya berlaku kepada kelompok masyarakat tertentu di masa tertentu dan di negara tertentu. Artinya, tidak diberlakukan secara universal.
Karena ada di wilayah attitude (kebiasaan), seorang yang tidak memakai kopiah seolah dianggap menyalahi kebiasaan. Contoh nyata dalam hal ini adalah yang berlaku di negeri kita. Jika ada orang pergi ke masjid tak memakai kopiah, kayaknya dipandang kurang sopan. Ibarat orang tampil di depan umum bertelanjang dada. Padahal, dilihat secara syari`ah, tak ada yang salah dengan orang yang bertelanjang dada. Sebab lelaki dibolehkan bertelanjang dada karena aurat lelaki; dari pusar hingga lulut. Tapi telanjang dada di muka umum di masyarakat ini adalah aib, paling tidak menurut norma umum kesopanan yang berlaku.
Karena tidak ada nash al-Qur`an maupun hadits yang terkait dengan pemakaian kopiah (yang diperintahkan adalah memakai sorban), tak salah jika kopiah merupakan satu bentuk kreasi perkembangan budaya dalam memaknai tafsir hadits nabi --memakai sorban. Apalagi, konteks sorban kini sudah dipandang lain, maka kopiah dimaknai sebagai bentuk lain dari penutup kepala.
Tak Sekadar Penutup Kepala
Kendati demikian, kopiah tak sekadar penutup kepala. Perkembangan zaman telah mampu mengubah kopiah diproduksi dengan beraneka ragam. Juga, soal warna serta corak. Tak salah jika kopiah yang dulu sering dikenali dengan bentuk itu saja, kini kopiah tampil dengan segala aksesoris dan model baru dengan rancangan menarik.
Kaum muslim di luar kabilah Uighur dan orang-orang Kazakh dari daerah barat laut Cina, misalnya, mengenakan kopiah putih dan baju putih, terutama saat melakukan shalat berjamaah. Kopiah yang mereka pakai biasanya dihiasi dengan pintalan kaligrafi dua kalimat syahadat dan tak ada yang terbuat dari bahan dasar sutera.
Selain dalam bentuk dan warna, kopiah yang sudah tidak lagi sekadar penutup kepala bisa juga dijumpai di negeri ini sebagai kelengkapan berpakaian kenegaraaan, sehingga kita bisa melihat foto presiden dan wakil presiden memakai kopiah. Padahal, itu foto kenegaraan bukan foto untuk urusan keagamaan.
Jadi, kopiah dari zaman ke zaman sudah menjadi benda yang dianggap wujud dari bentuk kesopanan. Jika demikian, mungkin tak salah saat Anton mau ke masjid dan merasa pusing karena tak menemukan kopiahnya, dalam hati kecilnya seolah-olah ada rasa tak sopan jika harus pergi ke masjid dengan tidak memakai kopiah. (n. mursidi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar