Rabu, 18 Januari 2006

john welli: kekuatan cinta mengantarku mengenal islam

majalah hidayah edisi 54, januari 2006

Benar kata pepatah, “tak ada kekuatan apa pun yang bisa menandingi kekuatan cinta”. Karena itu, kita kerap mendengar kisah orang yang berubah menjadi baik lantaran ada spirit “cinta” di balik itu. Rupanya, cerita itu pula yang dialami John Welli (Djong Fen Hiang) dalam perjalanan spiritualnya menemukan Islam setelah sebelumnya memeluk agama Khonghuchu dan Kristen (Pantekosta). Semua itu berawal dari keteguhan sang kekasih yang kokoh memeluk Islam, ia kemudian jadi tersentuh. “Apa sih kekuatan Islam sampai aku heran, kok ia rela putus hubungan daripada melepas aqidahnya?” itulah awal mula kisah yang mendorong pemuda Bengkulu –yang lahir 12 Oktober 1974-- ini memeluk Islam, sebagaimana dituturkan kepada Nur Mursidi dari majalah Hidayah.

Perjalanan Masuk Islam
Sebelum hijrah ke Jakarta (1994), tak pernah terlintas dalam benakku niat untuk memeluk Islam. Apalagi, dalam benakku sudah tertanam kuat “citra Islam” yang jelek, akibat orang-orang muslim di kampungku yang suka mabuk, judi dan hidup dalam garis kemiskinan.

Tapi, setelah perkenalanku dengan seorang gadis di tempat kerja, PT Alam Raya ternyata telah membuatku berpikir ulang dalam melihat Islam. Selain dia di mataku, benar-benar telah menampilkan Islam dengan cara yang santun, ia sendiri juga sungguh mempesonaku. Tak seperti orang-orang muslim di kampungku, dia itu ternyata dapat menjaga diri dengan baik. Berpakaian muslimah, dan amat sabar. Tidak salah kalau aku tertarik kepadanya. Tapi setelah aku dekat dengannya, ada satu hal yang membuatku kagum terhadapnya dan juga kebesaran Islam.

Alkisah, saat aku ingin sekali membuktikan cintaku padanya, ternyata dia lebih memilih Islam daripada aku. Sehingga jangankan kuajak “pindah agama” mengikuti agamaku Kristen (Pantekosta), dia bahkan rela memutuskan hubungan sebagai “teman dekat”ku. Hal ini yang membuatku bertanya dalam hati, “Sehebat apa Islam itu sehingga jalinan cinta yang sudah tiga tahun kujalani rela diputuskan dalam waktu satu hari daripada memilih untuk melepaskan aqidahnya?”

Saat itu aku penasaran. Aku tidak bisa memutuskan, karena itulah aku menemui seorang pendeta (Pantekosta), dan kuceritakan yang kualami, "Pendeta, aku punya kekasih orang Islam. Gimana menurut pendeta?” Pendeta itu menyuruhku menjauhinya. Tetapi, aku tidak hanya bertanya soal hidupku. Ada satu pertanyaan lagi yang juga kutanyakan kepadanya, “Kenapa Yesus dipanggil Tuhan?” Dari pertanyaan itu, aku hanya mendapat jawaban bahwa itu adalah masalah keyakinan, tidak ada doktrin yang bisa menjawab.

Tak mendapatkan jawaban yang memuaskan, membuatku ragu dengan Kristen. Apalagi, analogi yang kerap dijelaskan tentang “makna Trinitas” tidak membuatku bisa menerima. Dari situ, aku ingin tahu tentang Islam lebih dalam. Aku lalu mencari buku-buku Islam dan mengajak dia (kekasihku) untuk berdebat. Tak sedikit pernyataan yang kuajukan kepadanya, termasuk di antaranya; kenapa nabi Muhammad beristri banyak?

Ketika dia tak tahu jawaban yang kutanyakan biasanya ia bilang, “Tanyalah orang yang lebih tahu!” Meski dia kerap tidak bisa memberikan jawaban yang kutanyakan, tapi kesabaran yang dimilikinya membuat aku kian terkesima. Karena itu, aku yakin bahwa perempuan ini adalah pilihan yang tidak salah untuk kunikahi.

Sejalan dengan itu, aku kian tahu sedikit banyak tentang Islam yang ternyata tak seperti apa yang kukenal sebelumnya. Sebab, Islam itu ternyata indah dan tidak mau memberikan beban terlalu berat kepada umatnya. Tapi, sebelum jadi muslim, aku tiba-tiba berkeinginan menjalani ibadah puasa Ramadhan di tahun 1996. Dalam pikiranku, aku harus mencoba dulu menjalani puasa sebelum masuk Islam secara penuh. Karena itu, meski ibu kost sempat menyindir, “kenapa ikut-ikutan puasa?” toh aku cuek saja. Aku juga ikut shalat terawih. Rupanya, saat itu ada ketenangan batin yang aku rasakan dan aku semakin mantap untuk memeluk Islam.

Memang, hidayah tidak mampir pada setiap orang. Ia juga tak bisa dicari. Sebab, Hidayah adalah suatu karunia Allah untuk orang yang dikehendak-Nya. Alhamdulillah, aku termasuk orang yang dikehendaki-Nya. Akhirnya aku mantap memeluk Islam pada tanggal 15 juni 1997, mengucapkan dua kalimat syahadat di masjid Sunda Kelapa, bibimbing ust. Abd Rochim setelah aku sempat jadi umat Konghuchu dan Kristen.

Kenal Islam Sejak Kecil
Aku sebenarnya telah mengenal Islam sejak kecil. Meskipun , aku dilahirkan dan dibesarkan di kampung Jalan Laut yang penghuninya keturunan Tiong Hoa (disebut thong ngin), tetapi kampung ini tidak serta-merta tak memiliki hubungan dengan kaum muslim. Sebab kampung ini di kelilingi sungai dan laut serta dihubungkan dengan dua buah jembatan ke arah penduduk yang mayoritas muslim, yaitu Kampung Pasir dan kampung Bukit Kuala. Dari sinilah, aku pertama kali kenal Islam meski hanya sekadar kasat mata.

Penduduk Jalan Laut boleh dikata kurang simpati terhadap Islam. Selain misi Kristen yang gencar, teladan dari umat Islam sendiri juga tak bisa dijadikan contoh akan citra Islam yang baik. Sebab penduduk muslim lebih sering terdengar ditangkap polisi karena tawuran, mabuk dan lebih sering berulah sebagai bandar judi.

Belum lagi, dengan segudang celaan lain terhadap Islam, karena umatnya yang jauh dari ajaran Islam --yang sesungguhnya. Selama kurang lebih 18 tahun aku tinggal di kampung, Islam dipandang sebatas agama yang dianut karena yang bersangkutan menikah dengan pria atau wanita pribumi (muslim) dan bukan sebagai agama tujuan. Dan yang membuatku kagum, toleransi umat Islam di kampungku sangat luar biasa.

Tapi, toleransi itu tidak mendapatkan tempat ketika aku belajar di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 252 Kp. Pasir, Sungailiat Bangka. Aku masih ingat ketika suasana hingar bingar di saing itu mengalun di ruang kelas 6 SDN 252 Kp. Pasir. Ya, siang itu suara ramai dari murid-murid membahana ke udara. Dari mulut mereka terdengar alunan surat al-Qur`an yang dangan susah payah untuk dihafal di luar kepala. Semua tampak serius, semua nampak sungguh-sungguh.

Kesungguhan mereka bisa dimaklumi. Karena, jika sampai tidak bisa menghafal surat al-Qur`an, mereka bisa dihukum “berdiri di depan kelas” oleh sang guru agama yang aku ingat namanya, Bu Sri Hartati. Sepintas pemandangan itu tidaklah nampak unik. Sebab peristiwa itu sudah lazim di banyak sekolah di negeri ini. Tetapi, yang membuat unik adalah tak semua murid di kelas enam tersebut adalah beragama Islam, sebab di antaranya ada yang beragama Konghuchu, termasuk diriku. Karena aku tidak mau dihukum, akupun menghafal mati-matian.

Suasana itu berbeda jauh dengan kondisi empat tahun sebelumnya, di mana aku sempat sekolah di SD Khatolik Maria Goretti. Setiap hari sebelum pelajaran dimulai aku diajar membaca doa atas nama bapa. Namun di dua sekolah itu, secara pribadi aku tak mengenal agama Khatolik dan Islam sesungguhnya. Sebab, agama itu kupelajari tidak lebih karena sekadar pelajaran sekolah. Di rumah, aku juga hanya diajari membakar hio dan manancapkannya di sebuah altar yang biasa disebut sau hiong (sembahyang). Dari orangtua, aku juga tak pernah dididik untuk apa hahekat dari agama itu? Anehnya, aku diberi kebebasan memeluk agama lain, asal jangan Islam.

Meski aku siswa non-muslim, namun agama Islam telah menjadi pelajaran yang tak asing bagiku. Bahkan seusai lulus SDN 252 Kp. Pasir, aku meneruskan ke sekolah SMP PGRI Kuday-Bangka dan ke SMEA Yayasan Pendidikan Sungai Liat, yang masih juga menerima pelajaran agama Islam.

Tapi untuk menganut agama Islam tak pernah terlintas sedikitpun dalam benak! Memang, aku sering mendengar adzan subuh berkumandang dari corong masjid setiap pagi saat aku sedang latihan basket atau lari pagi. Suara itu menggetarkan hatiku, tapi entah kenapa setelah itu, suara itu terasa biasa lagi. Mungkin benar, kalau hidayah itu belum turun, walau getaran di hati itu terasa kuat, toh tak mendorongku mempelajari Islam. Baru tatkala aku mengenal calon istriku, aku merasa tersentuh untuk mendalami Islam dan alhamdulilah setelah aku tak ragu lagi dengan kebenaran Islam, aku mantap berikrar. Saat itulah, aku bersyukur karena telah mendapat hidayah Allah …

Tangisan Orang Tercinta
Setelah aku masuk Islam, aku pun dihadang “berbagai ujian”. Pertama, bingung menentukan sikap saat pulang ke rumah tatkala bertemu dengan orangtua. “Apa nanti kata orangtua terhadapku?”

Tapi, sebagai orang perantau, jelas “sejauh-jauh bangau terbang, toh nanti akan jatuh juga ke kubangan”. Aku akhirnya pulang saat perayaan Imlek tahun 1989. Karena pas perayaan Imlek, jadinya ada hidangan babi di meja makan. Karena aku tahu bahwa daging babi itu haram bagi orang muslim, maka aku tak memakannya. Rupanya, mama tahu, “Kok kau tak makan daging babi?” Aku menjawab, “Tak ada apa-apa kok, ma.”

Rupanya mama mencium ada gelagat lain dalam diriku. Karena itu, saat malam tiba, mama memancingku. Akhirnya, aku berterus terang kalau sudah masuk Islam.

Seketika itu, papaku menangis sesenggukan. Tidak berkata A, juga tak bilang B. Aku merasa bahwa dunia ini seperti terbelah. Aku diam. Karena seorang bapak yang seumur hidupku tak pernah kulihat menangis, di hari itu justru air matanya keluar tiada henti dari pelupuk matanya. Setiap melihatku, beliau pasti menitikkan air mata. Sedih, seakan ada “dosa besar” yang berat untuk ditanggung akibat dari tindakanku. Sebab dalam pikiran papa, aku dikira tidak bakal pindah agama. Karena itu, dia menangis sejadi-jadinya tatkala aku pindah. Papa berpikir, “Apa salahku (papaku) sampai anakku bisa masuk Islam?”

Sementara itu, mama menangis sejadi-jadinya. Juga tak hentinya mengomel dan terus-terusan menyalahkan calon istriku yang menurut beliau sebagai penyebab masuk Islamku --walau tidak kupungkiri calon istriku yang membuatku mengenal Islam lebih dalam, namun jika dibilang aku masuk Islam karena dia, sungguh ini hal yang sangat picik. Karena bagiku, untuk mendapat seorang wanita sebagai pasangan hidup dengan jalan yang membuatku harus mengorbankan aqidah telah merendahkan memuliaanku sebagai manusia. Tapi demi kebenaran, aku mengorbankan segalanya itu. Hal itu pula yang kutangkap dari sosok calon istriku.

Mama saat itu sangat panik, karena melihat papa yang menangis terus-terusan dan tidak mau bicara sepatah kata pun. Sehingga kepulanganku dari perantauan tahun itu, benar-benar pengalaman yang sangat mengharukan dalam mempertahankan agama Islam yang baru kuanut. Sebab, jika aku menuruti persaaanku untuk tinggal di rumah pasti aku akan melepas agama Islam.

Akhirnya, dengan tekat bulat untuk menjadi anak shaleh aku tinggalkan Bangka. Tetapi sebelum berangkat itu, aku memberanikan diri berkata pada papa, “Pa, ngomong dong…!”

“Apa yang perlu diomongkan, jika menjadi kakak saja kau tak pecus. Gak ngasih contoh yang baik sama adik-adikmu!”

“Apa yang salah denganku, pa…? Aku pindah ke agama yang benar, tidak berjudi atau maling? Lantas apa salahku sebagai kakak?”

Dalam pikiran bapak –demikian juga orang Konghuchu di kampungku, agama Islam itu dipandang rendah. Wajar jika papa menangis dan berkata seperti itu. Aku maklum bahwa keturunan Tiong Hoa selalu alergi terhadap Islam, karena mereka tak tahu Islam itu seperti apa. Selama ini, Islam cuma dikenal lewat umatnya yang ramai shalat di hari lebaran, sedang prilaku mereka khususnya di kampungku hanya dikenal sebagai tukang judi, mabok dan maling. Padahal tak ada ajaran Islam seperti itu.

Akhirnya, dengan memberikan pengertian secara berkesinambungan, akhirnya orangtuaku bisa mengerti akan keputusanku masuk Islam. Aku awalnya, yang paling ditakutkan setelah aku masuk Islam adalah aku dikhawatirkan akan melupakan mereka dan lebih patuh pada istriku (jika aku menikahinya).

Sebagai seorang muslim, sedari awal aku memberi bukti bahwa ajaran Islam itu baik. Karena itu, aku memberi pengertian bahwa itu tidak mungkin. Sebab kedudukan orangtua dalam Islam itu setelah Allah dan rasulnya, selama mereka itu tidak berbuat mungkar, sebagaimana dijelaskan rasulullah SAW “Seseorang laki-laki adalah hak ibunya, dan seorang istri adalah hak bagi suaminya.”

Ketika itu, aku memang harus menunjukkan sikap hormat pada keduanya. Aku harus menampilkan sosok muslim ideal di mata mereka, yang mungkin sebelumnya tak pernah mereka lihat. Di sisi lain, aku harus berangkat ke Jakarta untuk menyelamatkan akidah. Sebab kalau aku tetap tinggal di Bangka, aku tak akan mungkin Islam lagi.

Aku akhirnya, minta pamit. “Pa…, ma…, aku tak akan lupa sama papa dan mama,” itu yang kuucapkan kepada orangtuaku. Boleh dibilang besarnya ujian keimanan yang baru kupeluk saat itu. Dan aku berangkat ke Jakarta dengan mantap.

Mungkin karena jarak yang jauh dalam hubungan pertalian darah, kasus diriku yang masuk Islam tidak begitu dipedulikan oleh sanak famili yang lain. Paling tidak, mereka hanya diam di depan dan sedikit berkomentar di belakang.

Ujian yang kedua setelah aku masuk Islam, adalah keraguanku akan apa yang selama ini dikatakan orang terhadapku bahwa Islam itu akan membuatku susah, benar-benar sedang menguji keimananku dalam dunia kerja. Sebab, setelah aku masuk Islam, perusahaan tempatku bekerja lagi kolap. Aku jadi menganggur. Padahal ketakutan itu yang cukup kuat di dalam kampungku, demikian juga padangan orangtuaku.

Tapi prasangka itu ternyata tak benar. Sebab, aku hanya menganggur selama 1 bulan dan setelah itu aku mendapat kerja lagi. Karena itu, aku semakin yakin bahwa Islam adalah agama benar dan bukan agama yang penuh prasangka dan tahayul.

Lebih dari itu, aku tak ragu lagi untuk menikahi gadis pujaanku. Tepat tahun 1999, kami akhirnya menikah. Tak ada lagi keraguan dalam benak mertuaku, sebab aku sudah masuk Islam. Alhamdulillah, dari pernikahan itu, kini kami dikaruniai dua buah hati yang lucu dan menyenangkan; John Wildano Fadhlika (Djong Men Kie), usia 6 tahun serta John Zidano Fakhrika (Djong Men Erol), 2 tahun. Sedang ibu dari kedua buah hati itu, tak akan pernah kulupakan; Ohat Rahayati. (nur mursidi/diolah dari buku stensilan berjudul Terlahir Kembali, karya Abu Wildan dan dilengkapi dengan hasil wawancara).

Tidak ada komentar: