Rabu, 18 Januari 2006

mengingat allah setiap saat

tulisan ini dimuat di majalah hidayah edisi 54 januari 2006

Abu al-Fadl pernah berkata pada Abu Sa`id, "Semua nabi yang berjumlah seratus dua puluh empat ribu dikirim untuk mendakwahkan satu lafal. Mareka menyeru manusia supaya mengucapkan lafal Allah dan beribadah kepadaNya. Orang-orang yang hanya mendengarkannya dengan telinganya saja, lafal itu akan keluar melalui telinga lainnya; tetapi orang-orang yang mendengarnya dengan hatinya, maka lafal itu akan menghunjam di dalam hatinya dan akan diulanginya hingga 'menembus' hati dan jiwanya dan semua wujud adalah lafal tersebut. Mereka terlepas dari lafal yang diucapkannya, mereka terbebas dari bunyi dan huruf-hurufnya, setelah memahami makna ruhani dari lafal ini, mereka jadi asyik di dalamnya sehingga mereka tidak lagi sadar akan keberadaan dirinya."

Perkataan dari Abu al-Fadl itu cukup membekas di dalam hati Abu Sa`id. Ia tak mengabaikannya dan bahkan mengamalkan ajaran zikr Abu al-Fadl itu. Upaya dari Abu Sa`id akhirnya berhasil sebab ia mendapati dirinya asyik dalam keadaan sufistik ketika melantunkan zikr untuk mengingat Allah.

Memang, zikr sebagai medium "mengingat" Allah kerap menjadi semacam syair bagi kaum sufi untuk "menghantarkan" kepada suasana hati yang tenang dan damai. Sebab untuk bertemu dengan Allah, seorang sufi kerapkali melafalkan asma Allah dan keadaan estase pun melingkupi hati dan jiwa sehingga dalam fase setelah itu ia sampai pada keadaaan tak sadarkan diri.

Tetapi, perlu diingat bahwa aktifitas zikr itu bukan semata-mata monopoli kaum sufi. Sebab, kegiatan zikr sebagai sarana untuk “mengingat Allah”, juga diperintahkan kepada seluruh umat manusia. Karena itu, zikr bukan amalan yang asing lagi dalam kehidupan sehari-hari bagi kaum muslim. Sehabis shalat, misalnya, kita bisa menjumpai jama`ah melantunkan zikr --entah itu diucapkan dengan suara keras atau pun pelan. Bahkan sebagai sebuah amalan yang dianggap cukup penting, zikr kerap digelar dalam majlis-majlis yang kini sedang marak.

Al-Qur`an dengan tegas mengatakan bahwa manusia itu adalah wakil Tuhan di bumi ini yang diperintahkan untuk mengingat Allah. Sebagai makhluk yang "dibebani" tanggung jawab, jiwa dan hati manusia harus tetap dijaga untuk selalu bersih dan suci. Karena itu, zikr menjadi salah satu sarana (media) untuk mengingat Allah.

Apalagi di tengah peradaban modern seperti sekarang ini manusia mengabaikan aspek ruhani sehingga kerap terjebak dalam dunia yang kering. Dalam keadaan seperti itu, dengan cara apalagi manusia bisa tenang selain dengan cara mengingat Allah bahwa manuusia adalah makhluk yang lemah dan butuh akan pertolongan-Nya?

Di tengah oase dunia modern yang kering kerontang itu, kekeringan jiwa adalah penyakit yang perlu dibersihkan lewat "amalan" zikr supaya hati tersirami ketentraman, sebagaimana difirmankan oleh Allah "(Hanya) dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenteram.” (QS. Al-Ra`d [13]: 28). Lalu, yang jadi pertanyaan adalah; seperti apa bentuk, tingkatan dan aspek zikr itu?

Zikr sebagai Perbuatan Ibadah
Zikr sebagai perbuatan ibadah, sebagaimana dikatakan oleh al-Ghazali dapatlah dikatakan memiliki empat arti dasar. Pertama, zikr dapat dipahami sebagai perbuatan atau keadaan agar manusia selalu ingat kepada Allah dalam setiap saat ketika sedang dalam keadaan terjaga. Di sini, zikr adalah kebalikan dari makna gaflah (lalai). Dengan makna ini, zikr dimaksudkan supaya hati selalu dalam keadaan diridhai Allah, sehingga saat ditimpa musibah, ia akan bisa tetap sabar dan ketika mendapat kebaikan kemudian bersyukur dan tak lepas menyesali perbuatan salah dengan tetap punya harapan untuk memperoleh ampunan. Dalam keadaan ini iman juga diharapkan bisa meningkat.

Arti zikr yang kedua adalah menyebut nama Allah secara berulang-ulang (biasa dikenal dengan sebutan wirid). Kaum sufi selalu menegaskan pentingnya mengamalkan zikr dengan benar, yakni; dengan niat yang lurus (ikhlas), sadar dan konsentrasi.

Yang ketiga, istilah zikr dapat menggambarkan "keadaan batin" di mana rasa takut dan kesadaran kepada Allah (taqwa) dan amalan zikr menguasai hati, sehingga nantinya benar-benar terpisah dari dunia.

Arti zikr yang keempat adalah tercapainya kedudukan dan maqam di mana zikr dan kesadaran tiba-tiba muncul melalui pertolongan Allah yang "disertai" kehebatan dan keberkahan zikr itu sendiri. Dalam kaitan dengan kasus ini, kita kerap mendengar kisah-kisah kehebatan seorang sufi yang bisa mendengar serta melihat dari jarak yang cukup jauh. Hal ini jika dipahami sebenarnya adalah kebesaran Allah yang dilimpahkan kepada hamba-Nya yang telah mencapai maqam tinggi.

Kenapa Harus Ingat Allah?
Selain diakui sebagai perbuatan ibadah, zikr merupakan hakekat ibadah. Namun sebagai sarana utama untuk mencapai ketinggian ruhani, zikr tidak semata-mata berupa lantunan 'lafal Allah' yang diucapkan dengan mulut semata, sebab jika memang sudah dalam tingkatan tinggi, zikr sudah secara otomatis karena sudah tertanam dalam hati, yakni berzikr dengan seluruh tubuh.

Ada 3 tingkatan dalam zikr yang dikenal dalam kalangan sufi. Pertama, zikr diucapkan dengan lisan; dan yang kedua, bagi seseorang yang ingin menuju tingkatan yang lebih dalam, yakni zikr dalam hati. Tetapi kesempurnaan zikr yang ketiga adalah zikr yang “tertanam” kuat, yakni diucapkan secara otomatis kapan saja di dalam hati, di dalam lisan, bahkan zikr dengan seluruh tubuh.

Tapi, doktrin dan filosofi apa yang mendasari pengalaman zikr sebagai sebuah aspek ruhani sehingga orang harus melakukan amalan zikr? Setidaknya, ada 4 ajaran utama yang ditekankan. Pertama, zikr adalah perbuatan yang diwajibkan bagi seluruh umat manusia. Dalam kaitannya dengan perintah itu, al-Qur`an menjelaskan, "Wahai orang yang beriman, ingatlah Allah dengan mengingat sebanyak-banyaknya" (QS 23: 41) dan "Sebutlah (ingatlah) nama Tuhanmu dan beribadahlah kamu kepada-Nya dengan sepenuh hati" QS. 72: 8).

Kedua, tidak kalah pentingnya dengan ajaran zikr sebagai satu kewajiban adalah apa yang barangkali dapat diistilahkan adanya "prinsip timbal balik". Karena, tatkala seseorang mengingat Allah, maka Allah pun akan mengingatnya, "Ingatlah kepada-Ku, maka aku akan mengingatmu (QS. 2: 152). Allah membalas orang yang mengingat-Nya dengan mengingatnya juga.

Ketiga, ajaran penting lain tentang zikr adalah hakekat ingat, yang mengingat dan Yang Diingat (zikr, zakir dan mazkur) adalah satu. Ini merupakan misteri yang sulit diterangkan. Tapi sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah hadits qudsi setidaknya misteri itu bisa diurai dengan keberkahan yang dilimpahkan Allah kepada hambanya yang berzikr. "Hamba-Ku senantiasa mendekati-Ku dengan amalan-amalan sunah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar, menjadi matanya yang dengannya ia melihat dan menjadi tangannya yang dengannya ia mengambil dan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Seandainya ia meminta kepada-Ku, tentu Aku akan memberinya dan seandainya ia meminta perlindungan kepada-Ku, tentu Aku akan memberinya". (HR. Bukhari).

Keempat, ajaran tentang zikir adalah bahwa zikr menggambarkan keadaan tidak lalai. Sebab Tuhan menciptakan manusia untuk tujuan ini, sehingga manusia sudah selayaknya untuk tidak melalaikan Allah.

Jadi, kenapa kita harus berzikr? Jawabnya karena kita semua adalah makhluk yang diciptakan oleh-Nya sehingga mengingatNya adalah satu kewajiban yang tak bisa ditawar. Apalagi, Allah Maha Melihat sehingga apa yang kita lakukan tak ada satu pun yang lolos penglihatan-Nya.

Menjadi Manusia yang Terjaga
Tetapi, untuk "mengingat" Allah tidak hanya semata-mata melantunkan lafak Allah. Untuk mengingat Allah, bisa dilakukan dengan dengan melaksanakan shalat. Seperti dijelaskan dalam al-Qur`an, shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Dapat dipahami, jika hampir 5 kali dalam sehari seorang muslim mendirikan shalat setidaknya agar umat manusia selalu diingatkan untuk menghadap Allah.

Selain lewat media shalat, upaya mengingat Allah juga dapat ditempuh dengan berdoa, membaca al-Qur`an, wirid dan khalwat (menyendiri) dan yang lebih penting adalah mengingat Allah di setiap saat dan kapan saja. Sebab dengan cara seperti itu, kita akan menjadi manusia yang selalu terjaga. Kalau dalam aktifitas sehari-hari, ingat pada Allah sudah tertanam kuat di dalam hati kita, langkah dan perbuatan kita pun tidak akan melenceng dari apa yang telah diperintahakan. Semisal, saat kita punya niat untuk korupsi, kita sadar bahwa Allah melihat apa yang kita lakukan. Sehingga niat busuk itu pun tidak akan pernah terjadi dan kita selalu berada dalam lindungan-Nya.

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menjelaskan bahwa "Barangsiapa yang menginginkan hati yang bersih, hendaklah ia lebih mendahulukan Tuhannya ketimbang syahwatnya. Karena hati yang 'terpaut' oleh syahwat tertutup dari Allah sesuai dengan kadar 'keterpautannya' dengan syahwat itu. Hati adalah 'wadah' Allah di atas bumi-Nya. Maka hati yang paling dicintainya adalah yang lebih 'tinggi' (kadar kesuciannya), lebih keras (kuat) dan lebih bersih. Jika hati itu diberi makan dengan 'dzikir', disiram dengan tafakkur dan dibersihkan dari cela, ia akan (mampu) melihat berbagai keajaiban dan akan diilhami oleh hikmah."

Karena itu, efek zikr sebenarnya memiliki sentuhan yang cukup kuat menyentuh relung hati. Zikr tak saja menyepuh karat kerak dalam hati, melainkan juga memberikan cahaya yang bisa memberikan jalan terang bagi manusia untuk bisa meniti jalan setapak dalam mengarungi kehidupan yang kering kerontang di dunia ini. (nur mursidi/dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar: