Rabu, 01 Februari 2006

fenomena ruqyah (wawancara dengan Prof Dr. dr. H. Dadang Hawari)

tulisan hasil wawancara dengan Prof Dr. dr. H. Dadang Hawari ini dimuat di majalah hidayah edisi 55 februari 2006

Dalam ilmu kedoketeran atau kesehatan jiwa (mental), tidak dikenal istilah kerasukan jin (setan). Adapun manusia yang mengalami ciri-ciri sebagaimana oleh orang awam disebut kerasukan jin itu --dalam istilah kedokteran jiwa-- disebut reaksi dissosiasi (mengalami keterputusan pikiran).

Setahu saya, setan dan jin itu memang memiliki tugas untuk mengganggu manusia. Tetapi perlu dicatat bahwa setan tidak sampai masuk ke dalam tubuh manusia atau menjelma ke perilaku orang. Setan hanya mengganggu, semisal menggoda para eksekutif muda untuk melakukan zina, korupsi dan perbuatan maksiat lain. Dengan kata lain, setan tidak sampai merasuki tubuh atau alam pikiran manusia. Karena itu, dalam surat an-Nas, kita dianjurkan berdoa "Ya Allah lindungilah hambamu ini dari segala macam godaan, yang berasal dari bisikan-bisikan dari jin, setan maupun manusia."

Saya juga belum pernah membaca buku jika nabi itu melakukan pengobatan ruqyah. Tapi orang yang terganggu pikirannya mesti pergi ke psikiater. Hanya saja, jarang orang melakukan hal itu dan lebih memilih pergi ke pengobatan alternatif, semisal ruqyah yang kini lagi marak stsu menjadi trend.

Ada beberapa faktor kenapa pengobatan ala ruqyah (mengobati kerasukan jin) kini sedang trend. Pertama, semarak ruqyah yang terjadi sekarang ini bisa jadi akibat pelayanan kesehatan di negara kita (pemerintah) sedang merosot. Puskesmas yang dulu ada dokternya kini tidak ada lagi. Juga obat-obatan cukup mahal. Jadi, karena mau berobat ke dokter dihadang biaya yang mahal, lalu orang mencari alternatif, seperti pengobatan a la ruqyah. Artinya, semua ini dilatarbelakangi keadaan ekonomi.

Kedua, dalam pengertian psikologis, gangguan itu terletak pada alam pikirannya dan bukan disebabkan adanya suatu kuman. Sehingga untuk mengobatinya tidak bisa diobati dengan cara pengobatan medis biasa. Kendati demikian, bukan berarti gangguan seperti itu tidak bisa diobati. Asal tahu sebabnya, gangguan ini bisa disembuhkan.

Di balik pilihan orang pergi ke pengobatan ruqyah jika mau dikaitkan dengan aspeks kesadaran dalam keberagamaan, mungkin menjadi masalah tersendiri. Artinya, apakah betul dengan metode ruqyah itu akan menambah keimanan seseorang atau justru akan menggiring ke arah kemusyrikan. Karena jelasnya bukan kerasukan setan. Juga, dalam mengobati penyakit, harus ada istilah ikhtiar yang dalam dunia medis dikenal adanya obat. Sementara dalam ruqyah, ikhtiar itu tidak disertai dengan pengobatan medis. Karena itu, keberhasilannya harus dibuktikan secara ilmiah (bukti klinis/pengujian ilmiah). Apakah sembuhnya itu kebetulan atau memang sembuh secara ruqyah.

Saya pernah menangani pasien reaksi dissosiasi. Dalam mengabati pasien ini, perlu didiagnoasa dahulu. Apakah ada kelainan di otak? Sebab, bisa jadi ada kelainan di otak, semacam epilepsi. Kebanyakan orang yang sehabis dari ruqyah itu yang datang. Orang sakit jiwa, seperti skizofrenia (jiwa yang retak) tidak bisa datang ke ruqyah karena itu sakit hilang ingatan. Orang yang sakit ini bicaranya kacau balau, aneh atau segala macam itu seperti ada orang lain dalam kepribadiannya. Dengan pengobatan medis lalu diperbaiki sistem syinyal syaraf di otaknya. Jadi kita bisa mengobati dengan tepat kalau kita tau sebabnya.

Reaksi dissosiasi itu penyakit menahun, jadi lama penyembuhannya dan kadang bisa kambuh lagi. Sebab namanya juga penyakit bisa datang bisa juga sembuh. Penyakit yang lain juga begitu. Meski demikian, gangguan reaksi dissosiasi tetap bisa sembuh total. Dalam hal menangani pasien, metode di sini adalah metode medis, psikologis dan keagamaan. Oleh karena itu, setiap orang yang berobat ke sini selalu saya tekankan bahwa penyakit apa saja termasuk sakit kesurupan selain saya obati secara medis, juga saya berikan obat supaya bisa tidur. Setelah itu dikasih petunjuk berupa doa dan zikir sebagai pelengkap terapi medis. Sebab bagi saya terapi medis tanpa doa dan zikir tidak efektis.

Dalam kaitannya dengan masalah medis, suatu hari ada seorang sahabat yang datang kepada nabi karena anaknya sedang sakit. "Ya, rasulullah anakku sakit dan aku sudah berdoa. Juga, sudah berzikir memohon kepada Allah. Tetapi kok tidak sembuh-sembuh. Bukankah Allah itu yang menyembuhkan?

Nabi lalu tanya, "Sudahkah anak itu dibawa ke tabib (dokter)?"

"Belum," jawab sahabat itu.

"Kalau sakit, bawalah ke ahlinya..."

Artinya, kita berihtiar dulu baru setelah itu disertai dengan berdoa. Karena Allah itu mendengar setiap doa. Hadits lain, Nabi mengatakan berobatlah kalian sesungguhnya setiap pengakit itu ada obatnya kecuali penyakit tua. Lalu berobatlah, asal obat itu tepat sarannya, atas ijin Allah Insyaallah akan sembuh. Jadi di sini berobat dulu, setelah itu berdoa.

Di sini penanganan medis itu memiliki perbedaan nyata dengan metode ruqyah. Karena kalau ruqyah itu langsung lewat berdoa, tidak ada ihtiar. Kalau sekadar mendoakan supaya lekas sembuh, itu boleh-boleh saja. Tetapi kalau menangani penyakit itu harus lewat medis karena ini bidangnya. Apalagi jika penyakit itu penyakit psikoligs yang tidak disebatkan oleh kuman (penyakit tidak menular) bidang psikiatri atau psikologi adalah bidang yang akan menangani. (n. mursidi)



Tidak ada komentar: