Alkisah, seorang saudagar kaya mengalami nasib sial. Suatu malam, pencuri berhasil menggondol 100 keping lebih uang emasnya. Karena merasa kehilangan maka keesokan harinya dia segera lapor kepada tuan Hakim dan berharap pencuri itu bisa ditangkap. Lebih penting lagi, uang emas itu bisa kembali dengan utuh.
Hari berlalu dan seminggu pun terlampai. Tetapi tuan hakim tidak bisa menangkap si pencuri. Padahal dia telah berusaha keras dengan berbagai cara. Saudagar sedih, kecewa dan nyaris putus asa. Tak mau kehilangan uangnya, dia lalu membuat pengumuman ‘siapa yang mencuri hartanya, dia merelakan separo jumlah itu menjadi milik si pencuri bila bersedia mengembalikannya’.
Anehnya, meski telah diiming-imingi separoh hasil curian, pencuri itu memilih diam seribu bahasa. Saudagar tambah pusing. Akhirnya, saudagar itu mengadakan sayembara ‘barangsiapa berhasil meringkus pencuri itu ia berhak memiliki seluruh harta tersebut.’
Tidak sedikit orang kampung yang mengikuti sayembara. Tetapi semua kandas. Pencuri itu pun merasa aman karena tidak ada satu pun orang yang bisa menangkap dirinya. Yang lebih menjengkelkan, ternyata dia sendiri pura-pura ikut sayembara.
Setelah semua cara gagal, seseorang mengusulkan kepada tuan Hakim, “Kenapa tidak meminta bantuan kepada Abu Nawas?” Sayang, Abu Nawas saat itu sedang bertugas. Ia mendapat undangan dari pangeran Damaskus dan baru kembali ke Mesir tiga hari kemudian.
Tiga hari kemudian, saat yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. Abu Nawas kembali dari Damaskus. Hati si pencuri berdebar tak karuan mendengar nama Abu Nawas disebut-sebut. Ia resah. Sebab selama ini Abu Nawas dikenal amat cerdik. Karena itu, dia berencana ingin meninggalkan kampung. Tetapi setelah dipikir-pikir, dia membatalkannya karena tindakan itu sama dengan membuka kedoknya sendiri. Ia memutuskan tetap tinggal di kampung dan menerima apa pun yang akan terjadi.
Esoknya, tuan hakim meminta kepada semua penduduk berkumpul di depan gedung pengadilan. Abu Nawas hadir dengan membawa tongkat dalam jumlah besar. Tongkat-tongkat itu mempunyai ukuran yang sama panjangnya yang kemudian dibagi-bagikan. Setelah semua penduduk mendapat tongkat, Abu Nawas berpidato, "Tongkat-tongkat itu telah aku beri mantra. Besok pagi kalian kembali ke sini membawa tongkat itu. Jangan khawatir, tongkat yang dipegang oleh pencuri akan bertambah panjang satu jari telunjuk. Sekarang, pulanglah!"
Orang-orang yang merasa tidak mencuri, tentu tidak mempunyai pikiran apa-apa. Sebaliknya, sang pencuri ditikam resah. Sampai larut malam ia tidak bisa memejamkan mata. Ia terus berpikir keras bagaimana supaya tongkatnya tak bertambah panjang. Akhirnya, ia memutuskan memotong tongkat satu jari telunjuk. Dengan demikian, tongkat yang dibawanya itu akan kelihatan seperti ukuran semula.
Pagi harinya, semua penduduk berkumpul lagi di depan pengadilan. Si pencuri merasa tenang karena yakin tongkatnya tidak akan bisa diketahui karena dia telah memotong sepanjang satu jari telunjuk. Dalam hati, ia memuji akalnya karena kali ini dapat mengelabuhi Abu Nawas.
Antrian panjangpun mulai terbentuk. Setelah Abu Nawas datang, segera ia memeriksa satu per satu tongkat yang dibagikan kemarin. Tiba pada giliran si pencuri, Abu Nawas segera tahu bahwa orang inilah yang selama ini dicari-cari. Sebab tongkat yang dibawanya telah berkurang satu jari telunjuk. Sang pencuri itu telah memotong tongkatnya karena takut bertambah panjang satu jari telunjuk.
Akhirnya, pencuri itu diadili dan dihukum sesuai dengan kesalahannya. Seratus keping lebih uang emas, kini berpindah ke tangan Abu Nawas. Tetapi dia bijaksana. Sebagian dari hadiah itu diserahkan kembali kepada keluarga si pencuri, sebagian lagi kepada orang-orang miskin dan sisanya untuk keluarga Abu Nawas. (n. mursidi/ dinukil dari buku Abu Nawas; Cuplikan Kisah 1001 Malam, Rahimsyah, Penerbit Amelia, Surabaya, 2003).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar