Sabtu, 18 Februari 2006

stigma miring dunia pesantren

majalah hidayah edisi 55 februari 2006

Benarkah pesantren telah menjadi sarang teroris? Pertanyaan itulah yang mencuat belakangan ini terkait dengan aksi peledakan bom di sejumlah tempat, seperti di Bali, Jakarta dan sejumlah tempat lain dan ada beberapa pelaku yang disinyalir adalah santri lulusan pesantren Ngruki dan Lamongan. Rupanya, dari tudingan itu kemudian diikuti adanya pengawawsan ketat terhadap pesantren dan tersebar pula adanya isu sidik jari bagi para santri yang membuat umat Islam tersentak.

Kontan, tudingan itu membuat sejumlah kiai dan elemen dari pesantren "mencak-mencak" serta menganggap hal itu cukup berlebihan. Dalam kesempatan ini, wartawan Hidayah mewawancarai Masdar F Mas`udi --kini menjabat sebagai Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M)-- untuk memberikan tanggapan dan pandangan atas stigma miring pesantren yang dianggap sebagai sarang teroris, seputar makna jihad yang dijadikan dalil bagi kaum teroris dalam menghalalkan kekerasan dan sistem pendidikan apa yang harus diterapkan pesantren untuk menepis tudingan tersebut. Tulisan di bawah ini adalah hasil dari wawancara yang telah disarikan.

Stigma Pesantren dalam Rentang Sejarah
Jika mau menengok sejarah, "tudingan dan stigma miring" yang dituduhkan penguasa terhadap kalangan muslim dan pesantren itu memang bukan satu hal baru. Karena itu, Masdar F. Mas`udi --salah satu tokoh kenamaan NU-- tidak heran dengan tuduhan penguasa terhadap lembaga pesantren yang dipojokkan, dituding dan dituduh sebagai sarang teroris.

Sejak zaman penjajahan, kalangan muslim dan pesantren telah dipojokkan dan dituduh sebagai sarang dan tempat bagi para pemberontak. Karena itulah, di zaman penjajahan dahulu, pesantren diawasi dengan ketat. Kiai yang diketahui berbahaya langsung ditangkap dan pesantren yang diasuhnya kemudian dibubarkan. Tidak salah, jika dalam rentang waktu ratusan tahun, pesantren ditelikung oleh penjajah serta kegiatan dakwah selalu di halangi. Adapun motif di balik penelikungan itu tak lain untuk meredam gejolak dan semangat perlawanan ulama (kiai) kepada pemerintah kolonial. Karena itu, jika sekarang ini pesantren kembali dituduh yang bukan-bukan, menurut Masdar, hal ini merupakan penyakit menahun dari penguasa.

Sejarah adalah rentetan peristiwa yang terjadi di masa lalu, tetapi tidak menutup bagi siapa pun untuk belajar dari peristiwa yang terjadi dalam rentang sejarah itu. Rupanya, hal ini tak disadari penguasa Orde Lama. Pada zaman Soekarno (Orde Lama), misalnya, umat Islam (juga pesantren) lagi-lagi dituduh sebagai pemberontak. Umat Islam dituduh pemberontak karena ada segelintir umat Islam yang tergabung dalam kelompok DI/TII yang berusaha "menggulingkan" pemerintahan Orde Lama dengan niatan untuk menjadikan negeri Indonesia ini sebagai negara Islam.

Setelah Orde Lama runtuh, Orde Baru ternyata masih memiliki "penyakit sama" dalam melihat kalangan muslim. Pada zaman pemerintahan Orde Baru, umat Islam dituduh, dipojokkan serta dituding sebagai kelompok yang kurang mendukung Pancasila dan pembangunan. Umat Islam dicurigai tidak mau menerima Pancasila sebagai azaz tunggal. Dalam masa itu, lelaki yang lahir di Purwokerti pada tahun 1954 ini memang mengaku ada aksi dari komando jihad. Tetapi, lagi-lagi umat Islam digeneralisir sebagai anti pembangunan dan anti-Pancasila.

Sementara pada zaman reformasi sekarang ini, pesantren kembali dituduh, dipojokkan dan dicurigai sebagai sarang teroris. Padahal, hanya segelintir alumni pesantren yang terlibat jaringan teroris. Padahal dalam pengamatan Masdar, mereka lebih banyak terlibat dengan jaringan teroris Afghanistan dan Malaysia. Tetapi, segelintir orang itu dihantam rata dan dianggap telah mewakili pesantren. Tidak salah, Masdar berpandangan bahwa tuduhan itu sebenarnya adalah penyakit penguasa negeri ini, dari waktu ke waktu. "Saya dapat mengatakan bahwa selama penyakit ini tidak berubah, artinya selama cara pandang dan sikap penguasa terhadap umat Islam masih seperti itu, mencurigai, memojokkan maka negeri ini tidak akan pernah bangkit. Negeri ini akan terus berada dalam keterpurukan," kata tokoh NU ini di kantor P3M.

Apalagi sebagian besar penduduk Indonesia adalah umat Islam, yang tidak bisa diingkari telah berjasa besar dalam membangun negara ini. Karena itu, Masdar lebih lanjut berkata, "Sebenarnya ada yang tidak benar di negeri ini. Sebab dengan penduduk Islam terbesar dan Indonesia bisa mencapai kemerdekaan berkat perjuangan tokoh atau ulama (pesantren dan umat islam), anehnya setelah Indonesia merdeka, dari waktu ke waktu pemerintah justru selalu mencurigai umat Islam dan pesantren. Padahal di dalam pesantren itu, sebenarnya tak ada benih-benih pemberontakan." Dengan kata lain, tak ada hubungan antara pesantren dan terorisme.

Islam tidak Mengajarkan Kekerasan
Dunia pesantren dan terorisme merupakan dua entitas yang sebenarnya bertolak belakang atau berseberangan. Pesantren merupakan satu lembaga pendidikan yang diejawantahkan dari ajaran-ajaran dan nilai-nilai Islam, dengan tetap memberikan penekanan pada ajaran moral, etika dan prilaku yang baik, luhur dan agung. Tidak ada dalam kitab kuning yang menjadi acuan (fiqh, tasawuf dan lain-lain) dalam pelajaran di pesantren mengajarkan tindak kekerasan. Sebaliknya, pendidikan di pesantren berupaya membekali dan mengajarkan kepada santri untuk berprilaku baik berdasarkan al-Qur`an dan hadits. Sebab, salah satu ajaran pokok Islam itu adalah menebar kedamaian kepada siapapun.

Sementara itu, terorisme sebagaimana dikatakan Masdar bisa dimaknai sebagai aksi yang sengaja dan secara sistematis dimaksudkan untuk membuat orang lain dalam keadaan ketakutan. Di dalam aksi dan perilaku menakut-nakuti itu, seorang teroris bisa dengan menggunakan ancaman bom, nuklir, serta perang secara sistematis dan dilakukan dengan sadar.

Memang terorisme telah membawa-bawa agama, sebagai dalih atau pembenaran terhadap aksi teror yang dilakukan. Dalam kaitannya dengan kasus ini, Masdar mengakui kalau ada satu atau dua dari pesantren di negeri ini yang telah terembesi dengan ideologi garis keras sehingga hal itu kemudian merusak model Islam di Indonesia. Tidak cuma itu saja, bahkan telah menganggap dirinya paling benar dan yang tak sepaham dengannya lalu dianggap sebagai ahli neraka dan boleh ditumpahkan darahnya.

Dengan dalil dan dalih jihad, kelompok garis keras itu kemudian "menabuh genderang" perang terhadap kelompok lain yang tidak sepaham. Atas nama jihad (agama), kelompok ini kemudian melakukan aksi teror dengan melakukan peledakan di sejumlah tempat. Tentu, aksi mereka yang mengatasnamakan agama (Islam) itu telah mencoreng wajah Islam yang ramah.

Kendati demikian, sebagaimana dikatakan Masdar, bukan berati lantas membuat generalalisasi terhadap semua pesantren. Sebab pesantren NU dan shalaf yang dia kenal tak memiliki keterkaitan dengan silsilah atau ideologi dengan terorisme. "Memang ada satu dua orang santri yang terlibat, tetapi tak berarti lantas kemudian dianggap sebagai pandangan yang dominan bahwa pesantren itu adalah sarang teroris," tandas Masdar.

Dengan berpijak pada ajaran pokok Islam yang cinta damai, Masdar menolak Islam digunakan sebagai dalih untuk melakukan kekerasan dan aksi teror atas nama agama. Karena agama Islam menentang adanya kekerasan. Dengan demikian, terorisme jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam yang mencitai kedamaian. Karena itu, jihad di mata Masdar tidak bisa dijadikan alasan untuk menghalalkan aksi teror dan kekerasan. Apalagi, jika sampai melakukan pembunuhan terhadap sesama manusia serta melakukan bom bunuh diri. Sebab jihad itu, menurut Masdar, pada intinya adalah berusaha secara sungguh-sungguh untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan demi kemajuan Islam. Bentuk dari kesungguhan itu bisa diwujudkan dengan mengembangkan potensi intelektual, belajar secara sungguh-sungguh dengan ilmu yang dimiliki untuk membuktikan secara rasional dan ilmiah akan kebenaran yang dibawa Islam.

Dari konteks itu, tidak menutup kemungkinan bersungguh-sungguh membela kebenaran dan keadilan dengan harta dan materi yang dimiliki untuk membangun kemaslahatan bangsa. Sebagai penulis, misalnya, dia bisa berjihad dengan pena dan berwacana yang cerdas. Tetapi, jihad yang paling efektif adalah jihad dengan akhlak atau perilaku yang baik. Dengan perilaku yang mulia itu, orang bukan hanya bisa ditaklukkan, melainkan dapat direbut. Beda dengan jihad pedang, justru akan membuat orang malah benci kepada Islam.

Dalam kaca mata Masdar, tokoh yang terkenal dengan dua bukunya Agama Keadilan, Risalah Zakat [Pajak] Dalam Islam (1991), dan Islam dan Hak-Hak Reproduksi Wanita (1996), semua agama memang pernah memiliki catatan akan bercak darah yang telah mengotori jubah suci yang dibawa agama. Kendati demikian, Islam tak membenarkan sebuah doktrin yang yang menganjurkan umatnya untuk menyerang duluan. Jika pada akhirnya umat Islam diserang, Islam tetap tidak menganjurkan melakukan pembalasan, kecuali dengan satu balasan yang setimpal. Di sini Islam telah menghapus doktrin yang berlaku bahwa pembalasan itu bersifat lebih kejam. Justru Islam mengajurkan jika bisa bersabar, justru hal itu adalah sebaik-baik perbuatan. Intinya, Islam menganjurkan akan pengendalian diri dan bersabar, bukan sebaliknya dengan melanggengkan kekerasana dan aksi teror.

Karena itulah, menuduh secara dominan bahwa pesantren sebagai sarang teroris merupakan satu tuduhan yang gegabah dan tak masuk akal. Lebih dari itu, juga tidak ada dasar yang kuat dan bukti secara real. Sebab pesantren adalah satu lembaga pendidikan yang seharusnya dikembangkan serta dibantu oleh pemerintah karena pesantren telah menjadi lembaga pendidikan dalam rangka pencerdasan bangsa, bukan sebaliknya dituduh, dicurigai dan dipojokkan dengan sejumlah tudingan miring.

Masdar tak menutup mata bahwa akibat dari segelintir santri yang terlibat dalam jaringan teroris telah mencoreng nama baik pesantren sebagai lembaga pendidikan. Karena itu, diperlukan satu instropeksi dan upaya untuk menghapus stigma miring itu. Dalam masalah ini, Masdar lalu mengusulkan solusi demi menghapus stigma buruk dan demi masa depan sistem pendidikan di pesantren.

Pesantren harus lebih banyak memberikan porsi waktu dan perhatian dengan sistem pendidikan yang membuat anak didik (santri) lebih halus. "Jangan sampai para santri di didik dengan sistem kekerasan. Jangan mendidik santri di pesantren dengan cara menakut-nakuti. Karena cara seperti itu bukan membuat manusia sadar, melainkan hanya pada level permukaan saja," kata Masdar. Hal ini tak bisa diingkari karena sasaran kekerasan adalah menakut-nakuti dan itu akan membiasakan umat Islam dengan kebiasaan berpikir dengan "logika kekerasan".

Dengan mengajarkan akan kebaikan yang berpijak pada akhlak yang mulia, halus serta lembut pada satu sisi dan mengurangi wacana-wacana keagamaan yang bersifgat mengancam pada sisi lain, Islam akan menjadi sebuah agama yang benar-benar ramah. Kalau umat Islam menghindari larangan semata-mata karena takut diancam, itu tak lebih seperti binatang. Sebab manusia itu --di mata Masdar-- memiliki naluri mulia. Sebuah naluri keimanan yang tidak akan mungkin membuat kerusakan di muka bumi ini. (n. mursidi)


Tidak ada komentar: