Bagaimana peran Ulama itu menurut Anda?
Ya, kalau dulu ketika kehidupan masih belum maju seperti sekarang ini, ulama Islam di Indonesia itu punya macam-macam peran pioner. Bukan hanya di bidang pengajian atau agama saja tetapi kadang-kadang juga memberikan pelatihan atau contoh dalam bidang pertanian, kerajinan apa industri rumah tangga dan sebagainya. Tetapi karena peran-peran seperti itu sudah diambil alih oleh orang lain, sekarang peran sosial ulama Indonesia menyusut menjadi hal-hal yang ritual saja. Ini sangat disayangkan.
Sementara di sisi lain, ya mereka menggali peran –semisal—di bidang politik. Tapi juga posisi para ulama ini seperti apa namanya tidak punya kekuatan tawar seperti misalnya kekuatan birokrasi, kekuatan militer, kekuatan uang. Posisi ulama di Indonesia itu belum mampu menghadapi kekuatan-kekuatan mereka.
Apa umat Islam masih melihat ulama itu sebagai kelas sosial yang tinggi hingga sampai-sampai pada tingkat peng-kultusan?
Ya, di daerah-daerah pedesaan, misalnya. Posisi ulama masih sebagai panutan karena memang umat masih berpendidikan rendah sehingga ulama masih dominan untuk menentukan arah, arah politik terutama dan juga pemeliharaan ritus-ritus. E… tetapi di daerah perkotaan di mana umat sudah terdidik, peran ulama sudah mulai kendor, sudah kehilangan kemenonjolannya sehingga di daerah perkotaan atau daerah urbanisasi, peran ulama menjadi merosot.
Sampai kini, terutama di zaman Orba, umat Islam itu mengalami penindasan. Apa ulama itu seharusnya memiliki kepedulian/kepekaan sosial?
Ya, ulama bukan harus. Ulama malah harus bertanggung jawab. Karena ulama itu seperti nakhoda, di mana perahunya itu memuat umat. Nah, nakoda itu haruslah berlayar menyebrangkan perahunya sampai ke tujuan. Artinya, menempuh kehidupan ini, melayari kehidupan ini. Nah, untuk memimpin umat sampai ke tujuan dengan selamat itu melalui poerahunya itu ulamanya harus mahir. Mahir di bidang agama, mahir di bidang hal-hal kekinian misalnya, ilmu pengetahuan, ekonomi dan kemasyarakatan dan sebagainya. Kalau hanya bermodalkan ilmu agama, jaman sekrang ini kayaknya tidak mungkin seorang nahkoda (ulama) itu bisa menyeberangkan umat dengan selamat.
Jadi sebetulnya ulama itu tak harus pribadi. Jadi misalnya, NU atau Muhammadiyah atau MUI itu bisa lembaga yang mencukupi dirinya dengan pengetahuan sehingga mampu menjadi pemimpin kehidupan di dunia ini. Tanpa itu saya kira, mereka tidak akan bisa menyelamatkan masyarakat dari hempasan zaman atau globalisasi.
Kepekaan sosial itu bisa dicontohkan?
Sebetulnya kalau di desa-desa itu banyak kiai yang misalnya segera menolong para santri yang hanya datang membawa badan, kemudian juga pelayanan misalnya khitanan massal atau membangun pondok atau madrasah juga mereka kadang-kadang tanpa bantuan umat itu mereka bisa usaha sendiri. Tetapi itu sangat terbatas. Dan kebanyakan yang menyangkut diri mereka sendiri, sementara yan tidak menyangkut diri mereka sendiri biasanya mereka kurang peka.
Contohnya adalah masalah kelangkaan tenaga kerja/pengangguran. Padahal banyak penganggur adalah bekas santri atau anak didik mereka, tapi mereka kelihatan tidak pernah berpikir ke situ. Kemudian juga masalah TKI-TKI itu. Sekian persen dan persenan ini besar adalah bahwa TKI adalah mantan santri. Tetapi kiai atau ulama juga tidak tahu, kurang peka terhadap masalah seperti itu. Juga tentang anak-anak. Bahkan mengenai bencana alam yang dahsyat seperti Tsunami kemarin saja, kita kan malu karena ternyata yang datang membantu mereka itu justru (yang paling banyak membantu maksud saya) bukan dari pimpinan ulama. Malah datang dari asing. Di mana-mana datang musibah yang besar, para ulama tidak menerakkan umatnya untuk memberi bantuan kecuali bersifat seremonial.
Tetapi ini memang saya kira ada masalah teologinya. Ya, karena bagi mereka ibadah itu untuk Allah. Jadi beribadah yang bersifat kemanusiaan, agak kurang diperhatikan. Jadi kalau ritus-ritus agama itu mereka sangat memperhatikan. Tetapi kesalehan-kesalehan yang menyangkut sosial kemasyarakat mereka agak kurang peduli. Ini karena mereka atau teologi kita kan teologi seakan-akan Tuhan itu membutuhkan peribadatan kita. Nah teologi kita kan seperti itu. Padahal, peribadatan kita itu kan harus beruah kesalehan sosial. Nah di bidan kesalehan sosial inilah yang mereka itu tidak memiliki teologinya. Susah itu jadinya!!!!
Kategori atau batasan ulama menurut Anda itu seperti apa?
Sekarang ini, ukuran-ukuran ulama atau kriteria ulama itu adalah karena amalnya. Bukan ilmu yang dikuasainya. Sedang amalnya itu adalah kesalehan sosial. Kesalehan sosial menjadi nilai atau ukuran bagi kesalehan ritualnya. Tanpa kesalehan sosial, menurut saya itu, kesalehan ritual ulama akan menjadi kosong jadinya.
Belakang ini fenomena lahirnya ulama (kiai) yang berisifat populis sebagai akibat dari merebaknya tv itu gimana menurut pandangan Anda?
Ada plus minusnya tentu saja/. Plusnya mereka mampu menggapai atau mencapai masayarakat atau kelompok yang semula tidak tercapai oleh ulama tradisional, seperti Aa Gym dan ulama muda-muda itu. Juga Arifin Ilham itu. Dia itu menjadi ulama kota, itu menurut saya posistif dari situ lagi pula juga sepanjang dia ikhlas. Harus kita dukung. Cuma bahayanya adalah kalau kapitalisasi terhadap keulamaan mereka itu sampai mengorbankan atau melampai batas moralitas Islam. Misalnya, begini maksud saya., Kita sebagai orang Islam itu kan serba jelas nawaitu-nya. Innamal a`malu bin niat. Tentunya kan harus jelas. Kalau penyelenggara televisi itu niatnya untuk menaikkan rating, nah itu kan sangat menjadi risi. Itu tidak etis tetapi sisi positifnya jeals ada, karena ulama-ulama kota ini bisa mencapai umat yang sebelum ini tidak bisa dicapai oleh ulama tradidional.
Cuma saya mengingatkan supaya kapitalisasi dari penampilan mereka itu jangan sampai keterlaluan. Dan saya sampai saat ini masih khusnudon bahwa mereka semua adalah orang-orang yang ikhlas.
Ada hadits yang berbunyi, ulama adalah warisatul ambiya`. Itu gimana menurut Anda?
Untuk mencapai tingkat itu memang sulit. (Ahmad Tohari tertawa terbahak-bahak). Memang itu bukan terjadi di kampung atau di kota.
Yang diwariskan oleh nabi itu kan keikhlasan, kesederhanaan, kemudian ilmu yang tinggi, kemudian juga kasih sayang yang real yang tidak berorientasi kepada materi. Sebab dakwah nabi itu jelas tidak berorientasi kepada materi. Nah, lalu gimana zaman sekarang? Amat sulit memang. Karena kita masih membutuhkan alat transportasi, komunikasi, dana untuk kesiapa. Saya kira itu jika harus miskin seperti kanjeng Nabi itu saya kira tidak. Yang penting adalah trem keulamaan tidaklah berorientasi kepada materi. Saya kira itu yang harus dijaga.
Gimana dengan ulama yang terlibat politik. Gimana peran itu menurut Anda?
Itu akarnya panjang. Ini perlu Anda tulis. Keterlibatan ulama dengan politik itu sebetulnya adalah salah satu penyebabnya adalah perkembangan kehidupan di mana ulama itu kebanyakan memerlukan biaya yang tinggi untuk penghidupannya, maksud saya pesantrennya lho terutama. Pesantrennya misalnya memerlukan biaya operasional yang cukup tinggi, gedung harus bagus. Harus ada listrik, telpon harus ada mobil.
Ya… karena biaya operasional yang tinggi dan kebanyakan pondok pesantren milik ulama itu tak punya sumber penghasilan ya mereka akhirnya harus cari sumber penghasilan dengan cara bergabung kepada kekuatan-kekuatan politik –eksekutif maupun legislatif. Jadi memang bisa dimengerti karena mereka butuh dana. Belum lagi, banyak ulama yang tak tahan terhadap kemewahan. Nyatanya begitu di kota-kota besar.
Tapi bahwa mereka kadang-kadang memiliki alasan bahwa nabi juga berpolitik. Jadi, ulama harus berpolitik. Namun, mereka kadang kurang teliti. Sebab nabi itu tidak berpolitik praktis seperti itu. Tapi politik dalam tingkatan yang lebih tinggi lagi, politik kemaslahatan umat bukan politik untuk merebut kekuasaan. Ini bedanya. Jadi kalau mau mengaku warisatul ambiya` itu harusnya berpolitik katakanlah high politik. Di mana yang dicari adalah cara-cara menghadirkan kemasyalahatan umat melalui pendidikan, ekonomi, dengan melalui pendekatan moral, bukan cara-cara untuk meraih kekuasaan. Ulama berpolitik semestinya seperti itu. Bukan menjadi orang-orang partai politik.
Terus, ulama yang ideal menurut Anda itu seperti apa?
Ulama yang ideal menurut saya itu tentu saja ilmunya cukup tinggi, keikhlasannya tinggi dan mandiri. Itu yang baik. Mandiri di bidang ekonomi. Dia tidak butuh atau berlindung kepada siapapun. Mandiri, ekonominya dicukupi sendiri. Terus dia tidak memerlukan wibawa orang lain. Wibawa sendiri bukan nunut wibawa orang lain. Baik itu partai atau eksekutif.
Bagaimana Anda melihat keberadaan MUI?
Kalau MUI itu bisa membangun masyarakat yang tidak dikotomis, antara agama dan negara itu bagus. Jadi yang harus dibangun MUI adalah penghilangan dikotomi antara agama dan negara. Yang ideal, negara dalam rangka beragama. Satu gerak, satu nafas. Nah seperti itu baru bermanfaat bagi keberadaan negara ini. ***
Ya, kalau dulu ketika kehidupan masih belum maju seperti sekarang ini, ulama Islam di Indonesia itu punya macam-macam peran pioner. Bukan hanya di bidang pengajian atau agama saja tetapi kadang-kadang juga memberikan pelatihan atau contoh dalam bidang pertanian, kerajinan apa industri rumah tangga dan sebagainya. Tetapi karena peran-peran seperti itu sudah diambil alih oleh orang lain, sekarang peran sosial ulama Indonesia menyusut menjadi hal-hal yang ritual saja. Ini sangat disayangkan.
Sementara di sisi lain, ya mereka menggali peran –semisal—di bidang politik. Tapi juga posisi para ulama ini seperti apa namanya tidak punya kekuatan tawar seperti misalnya kekuatan birokrasi, kekuatan militer, kekuatan uang. Posisi ulama di Indonesia itu belum mampu menghadapi kekuatan-kekuatan mereka.
Apa umat Islam masih melihat ulama itu sebagai kelas sosial yang tinggi hingga sampai-sampai pada tingkat peng-kultusan?
Ya, di daerah-daerah pedesaan, misalnya. Posisi ulama masih sebagai panutan karena memang umat masih berpendidikan rendah sehingga ulama masih dominan untuk menentukan arah, arah politik terutama dan juga pemeliharaan ritus-ritus. E… tetapi di daerah perkotaan di mana umat sudah terdidik, peran ulama sudah mulai kendor, sudah kehilangan kemenonjolannya sehingga di daerah perkotaan atau daerah urbanisasi, peran ulama menjadi merosot.
Sampai kini, terutama di zaman Orba, umat Islam itu mengalami penindasan. Apa ulama itu seharusnya memiliki kepedulian/kepekaan sosial?
Ya, ulama bukan harus. Ulama malah harus bertanggung jawab. Karena ulama itu seperti nakhoda, di mana perahunya itu memuat umat. Nah, nakoda itu haruslah berlayar menyebrangkan perahunya sampai ke tujuan. Artinya, menempuh kehidupan ini, melayari kehidupan ini. Nah, untuk memimpin umat sampai ke tujuan dengan selamat itu melalui poerahunya itu ulamanya harus mahir. Mahir di bidang agama, mahir di bidang hal-hal kekinian misalnya, ilmu pengetahuan, ekonomi dan kemasyarakatan dan sebagainya. Kalau hanya bermodalkan ilmu agama, jaman sekrang ini kayaknya tidak mungkin seorang nahkoda (ulama) itu bisa menyeberangkan umat dengan selamat.
Jadi sebetulnya ulama itu tak harus pribadi. Jadi misalnya, NU atau Muhammadiyah atau MUI itu bisa lembaga yang mencukupi dirinya dengan pengetahuan sehingga mampu menjadi pemimpin kehidupan di dunia ini. Tanpa itu saya kira, mereka tidak akan bisa menyelamatkan masyarakat dari hempasan zaman atau globalisasi.
Kepekaan sosial itu bisa dicontohkan?
Sebetulnya kalau di desa-desa itu banyak kiai yang misalnya segera menolong para santri yang hanya datang membawa badan, kemudian juga pelayanan misalnya khitanan massal atau membangun pondok atau madrasah juga mereka kadang-kadang tanpa bantuan umat itu mereka bisa usaha sendiri. Tetapi itu sangat terbatas. Dan kebanyakan yang menyangkut diri mereka sendiri, sementara yan tidak menyangkut diri mereka sendiri biasanya mereka kurang peka.
Contohnya adalah masalah kelangkaan tenaga kerja/pengangguran. Padahal banyak penganggur adalah bekas santri atau anak didik mereka, tapi mereka kelihatan tidak pernah berpikir ke situ. Kemudian juga masalah TKI-TKI itu. Sekian persen dan persenan ini besar adalah bahwa TKI adalah mantan santri. Tetapi kiai atau ulama juga tidak tahu, kurang peka terhadap masalah seperti itu. Juga tentang anak-anak. Bahkan mengenai bencana alam yang dahsyat seperti Tsunami kemarin saja, kita kan malu karena ternyata yang datang membantu mereka itu justru (yang paling banyak membantu maksud saya) bukan dari pimpinan ulama. Malah datang dari asing. Di mana-mana datang musibah yang besar, para ulama tidak menerakkan umatnya untuk memberi bantuan kecuali bersifat seremonial.
Tetapi ini memang saya kira ada masalah teologinya. Ya, karena bagi mereka ibadah itu untuk Allah. Jadi beribadah yang bersifat kemanusiaan, agak kurang diperhatikan. Jadi kalau ritus-ritus agama itu mereka sangat memperhatikan. Tetapi kesalehan-kesalehan yang menyangkut sosial kemasyarakat mereka agak kurang peduli. Ini karena mereka atau teologi kita kan teologi seakan-akan Tuhan itu membutuhkan peribadatan kita. Nah teologi kita kan seperti itu. Padahal, peribadatan kita itu kan harus beruah kesalehan sosial. Nah di bidan kesalehan sosial inilah yang mereka itu tidak memiliki teologinya. Susah itu jadinya!!!!
Kategori atau batasan ulama menurut Anda itu seperti apa?
Sekarang ini, ukuran-ukuran ulama atau kriteria ulama itu adalah karena amalnya. Bukan ilmu yang dikuasainya. Sedang amalnya itu adalah kesalehan sosial. Kesalehan sosial menjadi nilai atau ukuran bagi kesalehan ritualnya. Tanpa kesalehan sosial, menurut saya itu, kesalehan ritual ulama akan menjadi kosong jadinya.
Belakang ini fenomena lahirnya ulama (kiai) yang berisifat populis sebagai akibat dari merebaknya tv itu gimana menurut pandangan Anda?
Ada plus minusnya tentu saja/. Plusnya mereka mampu menggapai atau mencapai masayarakat atau kelompok yang semula tidak tercapai oleh ulama tradisional, seperti Aa Gym dan ulama muda-muda itu. Juga Arifin Ilham itu. Dia itu menjadi ulama kota, itu menurut saya posistif dari situ lagi pula juga sepanjang dia ikhlas. Harus kita dukung. Cuma bahayanya adalah kalau kapitalisasi terhadap keulamaan mereka itu sampai mengorbankan atau melampai batas moralitas Islam. Misalnya, begini maksud saya., Kita sebagai orang Islam itu kan serba jelas nawaitu-nya. Innamal a`malu bin niat. Tentunya kan harus jelas. Kalau penyelenggara televisi itu niatnya untuk menaikkan rating, nah itu kan sangat menjadi risi. Itu tidak etis tetapi sisi positifnya jeals ada, karena ulama-ulama kota ini bisa mencapai umat yang sebelum ini tidak bisa dicapai oleh ulama tradidional.
Cuma saya mengingatkan supaya kapitalisasi dari penampilan mereka itu jangan sampai keterlaluan. Dan saya sampai saat ini masih khusnudon bahwa mereka semua adalah orang-orang yang ikhlas.
Ada hadits yang berbunyi, ulama adalah warisatul ambiya`. Itu gimana menurut Anda?
Untuk mencapai tingkat itu memang sulit. (Ahmad Tohari tertawa terbahak-bahak). Memang itu bukan terjadi di kampung atau di kota.
Yang diwariskan oleh nabi itu kan keikhlasan, kesederhanaan, kemudian ilmu yang tinggi, kemudian juga kasih sayang yang real yang tidak berorientasi kepada materi. Sebab dakwah nabi itu jelas tidak berorientasi kepada materi. Nah, lalu gimana zaman sekarang? Amat sulit memang. Karena kita masih membutuhkan alat transportasi, komunikasi, dana untuk kesiapa. Saya kira itu jika harus miskin seperti kanjeng Nabi itu saya kira tidak. Yang penting adalah trem keulamaan tidaklah berorientasi kepada materi. Saya kira itu yang harus dijaga.
Gimana dengan ulama yang terlibat politik. Gimana peran itu menurut Anda?
Itu akarnya panjang. Ini perlu Anda tulis. Keterlibatan ulama dengan politik itu sebetulnya adalah salah satu penyebabnya adalah perkembangan kehidupan di mana ulama itu kebanyakan memerlukan biaya yang tinggi untuk penghidupannya, maksud saya pesantrennya lho terutama. Pesantrennya misalnya memerlukan biaya operasional yang cukup tinggi, gedung harus bagus. Harus ada listrik, telpon harus ada mobil.
Ya… karena biaya operasional yang tinggi dan kebanyakan pondok pesantren milik ulama itu tak punya sumber penghasilan ya mereka akhirnya harus cari sumber penghasilan dengan cara bergabung kepada kekuatan-kekuatan politik –eksekutif maupun legislatif. Jadi memang bisa dimengerti karena mereka butuh dana. Belum lagi, banyak ulama yang tak tahan terhadap kemewahan. Nyatanya begitu di kota-kota besar.
Tapi bahwa mereka kadang-kadang memiliki alasan bahwa nabi juga berpolitik. Jadi, ulama harus berpolitik. Namun, mereka kadang kurang teliti. Sebab nabi itu tidak berpolitik praktis seperti itu. Tapi politik dalam tingkatan yang lebih tinggi lagi, politik kemaslahatan umat bukan politik untuk merebut kekuasaan. Ini bedanya. Jadi kalau mau mengaku warisatul ambiya` itu harusnya berpolitik katakanlah high politik. Di mana yang dicari adalah cara-cara menghadirkan kemasyalahatan umat melalui pendidikan, ekonomi, dengan melalui pendekatan moral, bukan cara-cara untuk meraih kekuasaan. Ulama berpolitik semestinya seperti itu. Bukan menjadi orang-orang partai politik.
Terus, ulama yang ideal menurut Anda itu seperti apa?
Ulama yang ideal menurut saya itu tentu saja ilmunya cukup tinggi, keikhlasannya tinggi dan mandiri. Itu yang baik. Mandiri di bidang ekonomi. Dia tidak butuh atau berlindung kepada siapapun. Mandiri, ekonominya dicukupi sendiri. Terus dia tidak memerlukan wibawa orang lain. Wibawa sendiri bukan nunut wibawa orang lain. Baik itu partai atau eksekutif.
Bagaimana Anda melihat keberadaan MUI?
Kalau MUI itu bisa membangun masyarakat yang tidak dikotomis, antara agama dan negara itu bagus. Jadi yang harus dibangun MUI adalah penghilangan dikotomi antara agama dan negara. Yang ideal, negara dalam rangka beragama. Satu gerak, satu nafas. Nah seperti itu baru bermanfaat bagi keberadaan negara ini. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar