“…janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kami yang akan memberi rizki kamu dan mereka”. (Al An'am:152)
Petang merayap pelan dan hari sebentar lagi berganti menjadi malam. Adzan maghrib yang bergema dari pengeras suara di mushalla Baburrahaman, di ujung perumahan Mahoni, sayup-sayup sudah tidak lagi terdengar. Keheningan seakan menyeruak dan sebelum iqamah berkumandang, Asti (29 tahun) bangkit dari sofa, lalu melangkah ke kamar mandi. Ia ingin mengambil air wudhu untuk menunaikan shalat maghrib.
Tetapi belum sempat langkah kaki Asti menginjak batas pintu, baru beberapa langkah di depan pintu kamar mandi, tiba-tiba telepon di rumah Asti berdering. Asti bimbang. Dering telepon itu seakan mencegah langkah Asti. Ia tak jadi mengambil air wudhu dan memutuskan untuk menerima telepon.
Asti segera melangkah ke ruang tengah dan diraihnya gagang telepon. Setelah Asti menjawab salam, terdengar suara sang ayah dari seberang.
"Asti, segeralah pulang ke rumah!"
Ia tertegun, "Memang ada apa, yah?"
"Ibumu meninggal," suara ayah Asti mendesah, terdengar seperti menangis.
Mendengar kabar itu, Asti seperti tersekap dalam ruang yang sempit. Ia mematung, suara ayahnya dari seberang bergema, serupa guntur yang menyentak. Lalu, Asti hanya bisa berucap, "Asti akan segera pulang, yah."
Setelah sang ayah menutup gagang telepon, Asti masih berdiri mematung. Asti masih merasa berat melangkah. Sejurus kemudian, dia duduk di kursi dan merasa tubuhnya lemas. Bagimana tidak? Sehari sebelumnya, Asti menjenguk ibunya dalam keadaan sehat. Karena itu, kabar dari ayahnya itu seketika membuat Asti tak percaya, membuat Asti tak mengerti dan Takdir Tuhan memang tidak bisa ditolak. "Sebulan lalu ayah saya yang sakit. Ibu baru sakit sekitar seminggu lalu dan sehari sebelum ibu meninggal, saya sempat menengok dan kondisi ibu sehat. Karena itu, saat ayah mengabarkan ibu meninggal, saya kaget," cerita Asti.
Sehabis shalat maghrib, Asti pulang ke rumah. Di depan jenazah ibunya, ia menitikkan air mata. Sang ayah menenangkan Asti dan bercerita detik-detik terakhir kematian ibunya.
Meninggal Mendadak
Seminggu sebelum ibu Asti, Asmah (50 tahun) meninggal, memang kerap mengeluh tidak enak badan. Tubuh Asmah terasa panas dan seringkali buang air kecil. Tetapi, Asmah tidak mau pergi ke dokter. Ia memilih pengobatan alternatif sebagai pilihan. Apalagi, Asmah memiliki adik sepupu yang dikenal sebagai ahli pengobatan alternatif. Makanya, Asmah meminta bantuan adik sepupunya itu untuk menangani sakit yang dideritanya.
Setelah datang ke tempat adiknya, Asmah dipijat dan diberi jamu (tradisional). Ada dua alasan yang membuat Asmah memilih tidak ke dokter dan pergi ke tempat pengobatan alternatif. Pertama, alasan ekonomi --karena keuangan tidak memungkinkan. Kedua, Asmah takut dengan vonis dokter. Sebab, sewaktu muda, Asmah pernah mengidap radang ginjal dan itu membuatnya bergidik seandainya dokter menvonis penyakitnya kambuh.
Sepulang dari tempat adik sepupunya, Asmah memang sehat. Asmah tidak merasakan ada gangguan di saat buang air kecil, bisa berjalan dengan normal dan merasa tubuhnya tidak kurang suatu apapun. Tapi seminggu berselang, sehari setelah Asti menengok, Asmah merasa tubuhnya lemas dan dia lebih banyak menghabiskan waktu di atas tempat tidur. Karena itu, seluruh anak-anak Asmah tak memiliki firasat jika hari itu adalah hari terakhir Asmah bisa bercerita dan berbagi kisah kepada Andar (55 tahun), sang suami tercinta.
Sore itu, Asmah menghabiskan waktu di atas tempat tidur. Tubuhnya lemas, membuat ia tak banyak bergerak. Sang suami menunggu di samping pembaringan mendengarkan kisah Asmah yang bercerita tentang masa awal pernikahan sampai kedua pasangan itu mempunyai anak. "Ibu bercerita pada ayah tentang awal berkeluarga sampai memiliki anak," cerita Asti sebagaimana diceritakan ayahnya sebelum Asmah meninggal.
Mendengarkan cerita Asmah yang tidak seperti biasa itu, Andar lalu bertanya, "Ada apa kamu bercerita seperti ini? Apa kau merasa punya salah?"
Asmah diam, tak menjawab. Asmah tak mau mengaku salah apa. Asmah hanya menatap jendela. Sekitar satu jam Asmah bercerita kepada suaminya, tiba-tiba Asmah merasa haus. Lalu, meminta suaminya mengambilkan air minum.
Andar beranjak, mengambil segelas air putih. Asmah segera meneguknya, dan setelah itu duduk di atas pembaringan. "Aku mau tidur," ucap Asmah kepada suaminya, memelas.
Andar membantu Asmah berbaring menyelimutinya dengan selimut tebal agar tidur dengan pulas. Andar masih di samping tempat tidur, menunggu Asmah yang seakan sulit tidur. Tapi tak lama kemudian, Asmah benar-benar tidak tertidur. Napas Asmah justru tersengal. Asmah seperti merasakan kalau napasnya sesak seperti ada semacam tarikan gaib yang tak dipahaminya. Andar berusaha menenangkan Asmah, tapi itu tak membantu. Sekitar 15 menit kemudian, Asmah meregang nyawa. Ia sudah tidak lagi merasakan sesak napas dan ia terbujur kaku sudah tak bernyawa.
Tahu kalau istrinya sudah meninggal, Andar segera memberi tahu tetangga terdekat dan setelah itu menelepon Asti.
Asti tiba di rumah ibunya sekitar isya`. Sejak remaja Asti memang sudah tidak lagi berkumpul dengan kedua orangtuanya karena ia diadopsi oleh pamannya. Saat Asti datang, seluruh keluarga sudah berkumpul. Setelah diadakan rapat keluarga, almarhum ibu Asti yang meninggal sehabis maghrib itu rencana dimakamkan besok siang, sekitar jam 14.00 WIB.
Tanah Kubur Penuh Batu
Pagi sekitar jam enam, empat orang penggali kubur berangkat ke tempat pemakaman keluarga Andar. Tanah kubur Asmah sudah tersedia, dan empat penggali kubur dengan sigap mengayunkan cangkul. Pagi cepat beranjak dan empat penggali itu dikejar waktu untuk segera menggali tanah dan sebelum jam dua siang harus sudah siap. Karena itu, secara bergantian keempat penggali kubur itu menganyunkan cangkul.
Tetapi ketika tanah itu tergali sekitar duapuluh lima centimeter, keempat penggali kubur itu dibuat tercengang. Tanah kubur almarhum yang berada di pemakaman keluarga itu, ternyata dipenuhi batu-batu yang besar. Batu-batu itu seakan menghalangi penggali untuk meneruskan penggalian. Sebab jika diteruskan bukannya mereka itu menggali tanah melainkan akan memecah batu-batu besar.
"Penggalian ini jelas tidak mungkin kita teruskan," ucap salah seorang penggali kubur kepada penggali yang lain, "Sebab ini berarti memecah batu bukannya menggali tanah!"
"Gimana jika kita pindah ke tempat sebelah?" usul yang lain
"Mungkin itu lebih baik," jawab penggali tadi, segera ia mengajak penggali kubur yang lain pindah ke tanah sebelahnya.
Keempat penggali kubur itu, lagi-lagi secara bergantian menggali kubur. Tetapi, saat tanah kubur sebelah digali mencapai sekitar duapuluh lima centimeter, ternyata peristiwa yang sama terjadi kembali. Jelas, keempat penggali kubur itu seperti dibuat bingung dan mau tidak mau memutuskan untuk pindah ke tanah sebelah lagi.
Keempat penggali kubur itu menganyunkan cangkul lagi bergulat dengan keringat dan mengerahkan tenaga untuk menggali tanah. Tetapi, kejadian "aneh" dengan batu-batu besar yang ada di tanah kubur kembali dijumpai keempat penggali kubur tersebut. Padahal selama keempat penggali kubur itu menggali tanah kubur di keluarga Andar, tidak pernah menemukan batu-batu besar di pemakaman itu. Karenanya, keempat penggali kubur saling berpandangan, mencari-cari tanah kosong untuk digali, tetapi tanah kosong di pemakaman keluarga itu sudah tak ada lagi yang tersisa. Semua tanah di pemakaman kelurga sudah penuh dengan kuburan --dari keluarga Andar.
Mau tidak mau, akhirnya keempat penggali kubur itu tidak punya pilihan lain, kecuali meneruskan penggalian yang dipenuhi batu-batu besar, meski mereka tidak menggali tanah, melainkan memecah batu-batu. Karenanya, salah satu penggali kubur itu segera bergegas ke rumah almarhum untuk memberitahukan rencana penundaan pemakaman.
"Rencananya, ibu dimakamkan jam dua siang, tetapi sebelum dhuhur tiba-tiba seorang penggali kubur datang ke rumah memberi tahu pemberangkatan almarhum ditunda karena harus menungu tanah kubur yang penuh batu," kisah Asti.
Siang merambat dan keluarga menunggu cemas. Akhirnya, setelah keempat penggali kubur menyisingkan lengan, penggalian pun selesai jam empat sore. "Penggalian itu memakan waktu total sepuluh jam," kisah Asti.
Setengah jam selanjutnya, iring-iringan pelayat tiba di pemakaman. Jenazah Asmah yang dimakamkan dengan peti kayu itu pun siap diturunkan. Tapi saat peti itu dimasukkan ke dalam kubur, ternyata tidak muat. Dipaksa berkali-kali, peti itu masih belum bisa masuk. Lalu, peti itu dipangkas. Akibatnya, tutup peti menjadi rusak.
“Aku sampai tidak tega melihatnya,” kenang Asti saat melihat pemakaman Asmah.
Seluruh pelayat seakan dibuat heran. Tetapi, sebagian yang lain –terutama keluarga almarhum—memaklumi kondisi pemakaman yang sedikit janggal itu. Ingatan mereka seketika terkenang dengan masa lalu alhmarhum.
Keras dan Takut Miskin
Sebetulnya, Asmah itu orangnya ramah dan supel. Hanya saja, Asmah itu orangnya keras. Kepada Hidayah, Asti bercerita, “Ibu orangnya keras. Karena itu, sampai saya sempat berpikiran; apa Allah menunjukkan batu-batu yang ada di tanah makam itu menandakan kalau beliau selama hidupnya begitu keras? Sebab semua keluarga sempat bermasalah dengan ibu dan semua pernah dikecewakan. Bukan hanya sekedar dimarahi tetapi sampai menyangkut ke urusan tanah warisan pun pada akhirnya ibu sempat bermusuhan.”
Sebagai PNS (Pemda), Asmah boleh dibilang tidak hidup kekurangan. Apalagi, Andar juga seorang PNS. Tetapi anehnya, Andar dan Asmah tidak bisa mengelola uang dengan baik. Bahkan setelah Asmah memiliki dua anak lelaki dan memanjakan keduanya dengan setengah mati, kondisi keuangan menjadi berantakan dan keluarga Asmah pun dililit utang. Akibatnya, Asmah dan Andar pontang-panting mengatur uang. Padahal, keduanya sama-sama PNS.
Karena itu, ketika Asmah hamil anak yang ketiga (yang tidak lain adalah Asti), Asmah takut sekali. Asmah merasa nanti tidak akan mampu untuk menghidupi keluarga dan memilih menggugurkan kandungannya. “Namun karena Allah menghendaki lain, saya tetap lahir meski pada akhirnya saya diadopsi oleh paman,” cerita Asti.
Padahal, kalau mau berpikir jernih dan ikhlas sebenarnya tak ada alasan takut miskin hanya gara-gara kelahiran seorang jabang bayi. Hal ini dengan tegas telah difirmankan Allah, “…janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kami yang akan memberi rizki kamu dan mereka”. (Al An'am:152)
Meskipun Asti diambil anak angkat oleh pamannya, tetap saja kehidupan keluarga Asmah dan Andar tidak semakin membaik. Asmah dan Andar selalu kekurangan dan terlebih setelah Asmah melahirkan anak yang keempat. Tidak jarang, karena kekurangan akibat dililit utang, Asmah dan Andar sering cekcok. Tetapi, karena Asmah keras, Andar –meski sebagai kepala keluarga-- pun kerap mengalah.
Sampai Asmah sakit saat menjelang ajal, ia merasa hidup kekurangan secara ekonomi. Itu yang menjadi alasan Asmah tidak mau pergi ke dokter. Sampai ajal menjemput, keluarga juga tidak tahu menahu apa sebenarnya penyakit yang dideritanya. Akhirnya, Asmah seakan meninggalkan misteri dan sekaligus hikmah yang bisa diambil pelajaran. Sebab di saat Asmah meninggal, tanah kuburnya dipenuhi dengan batu. Padahal di tanah kubur keluarga Andar itu sepanjang sejarah tidak pernah ditemukan batu sebagaimana yang dijumpai pada tanah kubur Asmah.
In Box
Asti, (29 tahun), anak almarhum
“Menunjukkan Karakter Almarhum”
Habis maghrib itu saya mendapat telpon kalau ibu meninggal. Padahal, kondisi sehari sebelumnya saat saya menjenguk, ibu sehat dan bisa jalan-jalan. Ia meninggal ditunggui ayah. Setelah mendapat telepon, saya segera pulang. Tetapi karena malam, maka jenazah almarhum dimakamkan esok siangnya.
Esoknya, saat tanah kubur digali, keluarga sempat dibuat kaget. Sebab tanah kubur almarhum dipenuhi dengan batu. Pindah ke tempat lain, ternyata juga mengalami hal sama dan akhirnya tidak ada pilihan lain kecuali penggali kubur itu terpaksa memecah batu, bukannya menggali tanah. Karena ini soal makam keluarga, sudah dikasih patok, ditembok dan jatahnya sudah di situ, maka tidak ada ada alternatif lain untuk pindah.
Setelah pemakaman itu, dalam hati saya berpikir, “Apa Allah menunjukkan batu-batu yang ada di tanah makam itu sebagai pertanda kalau beliau selama hidupnya begitu keras?” (nm/maaf narasumber tidak mau diambil fotonya)
Yayuk, (24 tahun), teman dekat Asti
“Dihantui Kemiskinan”
Tidak banyak yang tahu apa kesalahan yang dilakukan almarhum sampai tanah kubur almarhum dipenuhi dengan batu-batu besar. Apalagi, almarhum itu orangnya ramah dan supel. Kendati demikian, di mata keluarga, almarhum dikenal keras. Yang lebih aneh, almarhum takut miskin padahal jika dihitung secara materi tidak kekurangan. Meskipun kisah ini tidak cukup mencengangkan dan menghebohkan, semoga bisa diambil hikmahnya bagi siapa pun. (nm)
Tetapi belum sempat langkah kaki Asti menginjak batas pintu, baru beberapa langkah di depan pintu kamar mandi, tiba-tiba telepon di rumah Asti berdering. Asti bimbang. Dering telepon itu seakan mencegah langkah Asti. Ia tak jadi mengambil air wudhu dan memutuskan untuk menerima telepon.
Asti segera melangkah ke ruang tengah dan diraihnya gagang telepon. Setelah Asti menjawab salam, terdengar suara sang ayah dari seberang.
"Asti, segeralah pulang ke rumah!"
Ia tertegun, "Memang ada apa, yah?"
"Ibumu meninggal," suara ayah Asti mendesah, terdengar seperti menangis.
Mendengar kabar itu, Asti seperti tersekap dalam ruang yang sempit. Ia mematung, suara ayahnya dari seberang bergema, serupa guntur yang menyentak. Lalu, Asti hanya bisa berucap, "Asti akan segera pulang, yah."
Setelah sang ayah menutup gagang telepon, Asti masih berdiri mematung. Asti masih merasa berat melangkah. Sejurus kemudian, dia duduk di kursi dan merasa tubuhnya lemas. Bagimana tidak? Sehari sebelumnya, Asti menjenguk ibunya dalam keadaan sehat. Karena itu, kabar dari ayahnya itu seketika membuat Asti tak percaya, membuat Asti tak mengerti dan Takdir Tuhan memang tidak bisa ditolak. "Sebulan lalu ayah saya yang sakit. Ibu baru sakit sekitar seminggu lalu dan sehari sebelum ibu meninggal, saya sempat menengok dan kondisi ibu sehat. Karena itu, saat ayah mengabarkan ibu meninggal, saya kaget," cerita Asti.
Sehabis shalat maghrib, Asti pulang ke rumah. Di depan jenazah ibunya, ia menitikkan air mata. Sang ayah menenangkan Asti dan bercerita detik-detik terakhir kematian ibunya.
Meninggal Mendadak
Seminggu sebelum ibu Asti, Asmah (50 tahun) meninggal, memang kerap mengeluh tidak enak badan. Tubuh Asmah terasa panas dan seringkali buang air kecil. Tetapi, Asmah tidak mau pergi ke dokter. Ia memilih pengobatan alternatif sebagai pilihan. Apalagi, Asmah memiliki adik sepupu yang dikenal sebagai ahli pengobatan alternatif. Makanya, Asmah meminta bantuan adik sepupunya itu untuk menangani sakit yang dideritanya.
Setelah datang ke tempat adiknya, Asmah dipijat dan diberi jamu (tradisional). Ada dua alasan yang membuat Asmah memilih tidak ke dokter dan pergi ke tempat pengobatan alternatif. Pertama, alasan ekonomi --karena keuangan tidak memungkinkan. Kedua, Asmah takut dengan vonis dokter. Sebab, sewaktu muda, Asmah pernah mengidap radang ginjal dan itu membuatnya bergidik seandainya dokter menvonis penyakitnya kambuh.
Sepulang dari tempat adik sepupunya, Asmah memang sehat. Asmah tidak merasakan ada gangguan di saat buang air kecil, bisa berjalan dengan normal dan merasa tubuhnya tidak kurang suatu apapun. Tapi seminggu berselang, sehari setelah Asti menengok, Asmah merasa tubuhnya lemas dan dia lebih banyak menghabiskan waktu di atas tempat tidur. Karena itu, seluruh anak-anak Asmah tak memiliki firasat jika hari itu adalah hari terakhir Asmah bisa bercerita dan berbagi kisah kepada Andar (55 tahun), sang suami tercinta.
Sore itu, Asmah menghabiskan waktu di atas tempat tidur. Tubuhnya lemas, membuat ia tak banyak bergerak. Sang suami menunggu di samping pembaringan mendengarkan kisah Asmah yang bercerita tentang masa awal pernikahan sampai kedua pasangan itu mempunyai anak. "Ibu bercerita pada ayah tentang awal berkeluarga sampai memiliki anak," cerita Asti sebagaimana diceritakan ayahnya sebelum Asmah meninggal.
Mendengarkan cerita Asmah yang tidak seperti biasa itu, Andar lalu bertanya, "Ada apa kamu bercerita seperti ini? Apa kau merasa punya salah?"
Asmah diam, tak menjawab. Asmah tak mau mengaku salah apa. Asmah hanya menatap jendela. Sekitar satu jam Asmah bercerita kepada suaminya, tiba-tiba Asmah merasa haus. Lalu, meminta suaminya mengambilkan air minum.
Andar beranjak, mengambil segelas air putih. Asmah segera meneguknya, dan setelah itu duduk di atas pembaringan. "Aku mau tidur," ucap Asmah kepada suaminya, memelas.
Andar membantu Asmah berbaring menyelimutinya dengan selimut tebal agar tidur dengan pulas. Andar masih di samping tempat tidur, menunggu Asmah yang seakan sulit tidur. Tapi tak lama kemudian, Asmah benar-benar tidak tertidur. Napas Asmah justru tersengal. Asmah seperti merasakan kalau napasnya sesak seperti ada semacam tarikan gaib yang tak dipahaminya. Andar berusaha menenangkan Asmah, tapi itu tak membantu. Sekitar 15 menit kemudian, Asmah meregang nyawa. Ia sudah tidak lagi merasakan sesak napas dan ia terbujur kaku sudah tak bernyawa.
Tahu kalau istrinya sudah meninggal, Andar segera memberi tahu tetangga terdekat dan setelah itu menelepon Asti.
Asti tiba di rumah ibunya sekitar isya`. Sejak remaja Asti memang sudah tidak lagi berkumpul dengan kedua orangtuanya karena ia diadopsi oleh pamannya. Saat Asti datang, seluruh keluarga sudah berkumpul. Setelah diadakan rapat keluarga, almarhum ibu Asti yang meninggal sehabis maghrib itu rencana dimakamkan besok siang, sekitar jam 14.00 WIB.
Tanah Kubur Penuh Batu
Pagi sekitar jam enam, empat orang penggali kubur berangkat ke tempat pemakaman keluarga Andar. Tanah kubur Asmah sudah tersedia, dan empat penggali kubur dengan sigap mengayunkan cangkul. Pagi cepat beranjak dan empat penggali itu dikejar waktu untuk segera menggali tanah dan sebelum jam dua siang harus sudah siap. Karena itu, secara bergantian keempat penggali kubur itu menganyunkan cangkul.
Tetapi ketika tanah itu tergali sekitar duapuluh lima centimeter, keempat penggali kubur itu dibuat tercengang. Tanah kubur almarhum yang berada di pemakaman keluarga itu, ternyata dipenuhi batu-batu yang besar. Batu-batu itu seakan menghalangi penggali untuk meneruskan penggalian. Sebab jika diteruskan bukannya mereka itu menggali tanah melainkan akan memecah batu-batu besar.
"Penggalian ini jelas tidak mungkin kita teruskan," ucap salah seorang penggali kubur kepada penggali yang lain, "Sebab ini berarti memecah batu bukannya menggali tanah!"
"Gimana jika kita pindah ke tempat sebelah?" usul yang lain
"Mungkin itu lebih baik," jawab penggali tadi, segera ia mengajak penggali kubur yang lain pindah ke tanah sebelahnya.
Keempat penggali kubur itu, lagi-lagi secara bergantian menggali kubur. Tetapi, saat tanah kubur sebelah digali mencapai sekitar duapuluh lima centimeter, ternyata peristiwa yang sama terjadi kembali. Jelas, keempat penggali kubur itu seperti dibuat bingung dan mau tidak mau memutuskan untuk pindah ke tanah sebelah lagi.
Keempat penggali kubur itu menganyunkan cangkul lagi bergulat dengan keringat dan mengerahkan tenaga untuk menggali tanah. Tetapi, kejadian "aneh" dengan batu-batu besar yang ada di tanah kubur kembali dijumpai keempat penggali kubur tersebut. Padahal selama keempat penggali kubur itu menggali tanah kubur di keluarga Andar, tidak pernah menemukan batu-batu besar di pemakaman itu. Karenanya, keempat penggali kubur saling berpandangan, mencari-cari tanah kosong untuk digali, tetapi tanah kosong di pemakaman keluarga itu sudah tak ada lagi yang tersisa. Semua tanah di pemakaman kelurga sudah penuh dengan kuburan --dari keluarga Andar.
Mau tidak mau, akhirnya keempat penggali kubur itu tidak punya pilihan lain, kecuali meneruskan penggalian yang dipenuhi batu-batu besar, meski mereka tidak menggali tanah, melainkan memecah batu-batu. Karenanya, salah satu penggali kubur itu segera bergegas ke rumah almarhum untuk memberitahukan rencana penundaan pemakaman.
"Rencananya, ibu dimakamkan jam dua siang, tetapi sebelum dhuhur tiba-tiba seorang penggali kubur datang ke rumah memberi tahu pemberangkatan almarhum ditunda karena harus menungu tanah kubur yang penuh batu," kisah Asti.
Siang merambat dan keluarga menunggu cemas. Akhirnya, setelah keempat penggali kubur menyisingkan lengan, penggalian pun selesai jam empat sore. "Penggalian itu memakan waktu total sepuluh jam," kisah Asti.
Setengah jam selanjutnya, iring-iringan pelayat tiba di pemakaman. Jenazah Asmah yang dimakamkan dengan peti kayu itu pun siap diturunkan. Tapi saat peti itu dimasukkan ke dalam kubur, ternyata tidak muat. Dipaksa berkali-kali, peti itu masih belum bisa masuk. Lalu, peti itu dipangkas. Akibatnya, tutup peti menjadi rusak.
“Aku sampai tidak tega melihatnya,” kenang Asti saat melihat pemakaman Asmah.
Seluruh pelayat seakan dibuat heran. Tetapi, sebagian yang lain –terutama keluarga almarhum—memaklumi kondisi pemakaman yang sedikit janggal itu. Ingatan mereka seketika terkenang dengan masa lalu alhmarhum.
Keras dan Takut Miskin
Sebetulnya, Asmah itu orangnya ramah dan supel. Hanya saja, Asmah itu orangnya keras. Kepada Hidayah, Asti bercerita, “Ibu orangnya keras. Karena itu, sampai saya sempat berpikiran; apa Allah menunjukkan batu-batu yang ada di tanah makam itu menandakan kalau beliau selama hidupnya begitu keras? Sebab semua keluarga sempat bermasalah dengan ibu dan semua pernah dikecewakan. Bukan hanya sekedar dimarahi tetapi sampai menyangkut ke urusan tanah warisan pun pada akhirnya ibu sempat bermusuhan.”
Sebagai PNS (Pemda), Asmah boleh dibilang tidak hidup kekurangan. Apalagi, Andar juga seorang PNS. Tetapi anehnya, Andar dan Asmah tidak bisa mengelola uang dengan baik. Bahkan setelah Asmah memiliki dua anak lelaki dan memanjakan keduanya dengan setengah mati, kondisi keuangan menjadi berantakan dan keluarga Asmah pun dililit utang. Akibatnya, Asmah dan Andar pontang-panting mengatur uang. Padahal, keduanya sama-sama PNS.
Karena itu, ketika Asmah hamil anak yang ketiga (yang tidak lain adalah Asti), Asmah takut sekali. Asmah merasa nanti tidak akan mampu untuk menghidupi keluarga dan memilih menggugurkan kandungannya. “Namun karena Allah menghendaki lain, saya tetap lahir meski pada akhirnya saya diadopsi oleh paman,” cerita Asti.
Padahal, kalau mau berpikir jernih dan ikhlas sebenarnya tak ada alasan takut miskin hanya gara-gara kelahiran seorang jabang bayi. Hal ini dengan tegas telah difirmankan Allah, “…janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kami yang akan memberi rizki kamu dan mereka”. (Al An'am:152)
Meskipun Asti diambil anak angkat oleh pamannya, tetap saja kehidupan keluarga Asmah dan Andar tidak semakin membaik. Asmah dan Andar selalu kekurangan dan terlebih setelah Asmah melahirkan anak yang keempat. Tidak jarang, karena kekurangan akibat dililit utang, Asmah dan Andar sering cekcok. Tetapi, karena Asmah keras, Andar –meski sebagai kepala keluarga-- pun kerap mengalah.
Sampai Asmah sakit saat menjelang ajal, ia merasa hidup kekurangan secara ekonomi. Itu yang menjadi alasan Asmah tidak mau pergi ke dokter. Sampai ajal menjemput, keluarga juga tidak tahu menahu apa sebenarnya penyakit yang dideritanya. Akhirnya, Asmah seakan meninggalkan misteri dan sekaligus hikmah yang bisa diambil pelajaran. Sebab di saat Asmah meninggal, tanah kuburnya dipenuhi dengan batu. Padahal di tanah kubur keluarga Andar itu sepanjang sejarah tidak pernah ditemukan batu sebagaimana yang dijumpai pada tanah kubur Asmah.
In Box
Asti, (29 tahun), anak almarhum
“Menunjukkan Karakter Almarhum”
Habis maghrib itu saya mendapat telpon kalau ibu meninggal. Padahal, kondisi sehari sebelumnya saat saya menjenguk, ibu sehat dan bisa jalan-jalan. Ia meninggal ditunggui ayah. Setelah mendapat telepon, saya segera pulang. Tetapi karena malam, maka jenazah almarhum dimakamkan esok siangnya.
Esoknya, saat tanah kubur digali, keluarga sempat dibuat kaget. Sebab tanah kubur almarhum dipenuhi dengan batu. Pindah ke tempat lain, ternyata juga mengalami hal sama dan akhirnya tidak ada pilihan lain kecuali penggali kubur itu terpaksa memecah batu, bukannya menggali tanah. Karena ini soal makam keluarga, sudah dikasih patok, ditembok dan jatahnya sudah di situ, maka tidak ada ada alternatif lain untuk pindah.
Setelah pemakaman itu, dalam hati saya berpikir, “Apa Allah menunjukkan batu-batu yang ada di tanah makam itu sebagai pertanda kalau beliau selama hidupnya begitu keras?” (nm/maaf narasumber tidak mau diambil fotonya)
Yayuk, (24 tahun), teman dekat Asti
“Dihantui Kemiskinan”
Tidak banyak yang tahu apa kesalahan yang dilakukan almarhum sampai tanah kubur almarhum dipenuhi dengan batu-batu besar. Apalagi, almarhum itu orangnya ramah dan supel. Kendati demikian, di mata keluarga, almarhum dikenal keras. Yang lebih aneh, almarhum takut miskin padahal jika dihitung secara materi tidak kekurangan. Meskipun kisah ini tidak cukup mencengangkan dan menghebohkan, semoga bisa diambil hikmahnya bagi siapa pun. (nm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar