Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepada kamu perempuan-perempuan mukminah yang berhijrah, maka ujilah mereka --Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui mereka bahwa mereka wanita-wanita mukminah, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir … (al-Mumtahanah: 10)
Alkisah, setahun setelah Perang Ahzab, nabi Muhammad bermimpi. Dalam mimpinya itu, rasul dan para pengikutnya melaksanakan ibadah haji di Ka`bah. Saat bangun dari tidur, nabi berpikir. Meski bangsa Quraisy sangat membenci Islam, tapi bukan berarti itu menjadi halangan. Apalagi, kekuatan Islam ketika itu sudah semakin kuat sehingga kemungkinan kaum Quraisy akan membiarkan kedatangan umat Islam untuk berhaji. Lebih dari itu, ibadah haji juga merupakan hak yang tidak pernah ditentang oleh musuh mana pun.
Akhirnya, pada tahun ke-6 Hijriyah, nabi bersama kurang lebih 1000 pengikutnya melakukan perjalanan ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Untuk menghindari kesan buruk, maka tidak seorang pun dari kaum muslimin yang membawa senjata. Mereka datang ke Makkah pun dengan memakai pakaian ihram.
Setelah sampai di tempat bernama Hudaibiyah, nabi bersama pengikutnya berhenti. Saat itu kaum Quraisy sudah bersiap untuk perang begitu melihat umat Islam akan memasuki pintu gerbang Makkah. Karena datang bukan untuk berperang, melainkan untuk beribadah, maka rasul mengutus Ustman bin Affan bertemu dengan kaum Quraisy agar menjelaskan kepada mereka bahwa kepergian Muhammad dan pengikutnya kali ini ke Makkah adalah untuk melaksanakan ibadah haji, bukan untuk tujuan menyerang atau berperang.
Sungguh di luar dugaan, ternyata kaum Quraisy tidak menyambut kedatangan kaum muslimin dengan peperangan. Sebaliknya, mereka bersikap lunak. Kaum Quraisy menawarkan perdamaian dengan umat Islam. Utusan dari pihak kaum Quraisy bernama Suhail bin `Amr menemui rasul untuk berunding.
Dalam perundingan itu –-yang dikenal dengan nama Perdamaian Hudaibiyah-- akhirnya disepakati kata damai. Isi dari perjanjian Hudaibiyah ini, antara lain; rencana umat Islam melakukan ibadah haji batal untuk tahun itu namun diperbolehkan mengunjungi Makkah tahun berikutnya dengan tidak lebih tiga hari menetap di Makkah. Juga, bila ada penduduk Makkah datang ke kota Madinah –walau muslim—harus dikembalikan oleh Nabi ke Makkah, sedangkan penduduk Madinah –walau seorang muslim pula— yang akan bergabung ke Makkah, tidak harus dikembalikan oleh kaum musyrik ke Madinah.
Isi perjanjian ini sebenarnya sempat menyulut kemarahan umat Islam, namun mereka bersikap diam karena menghormati ketulusan hati nabi. Tetapi dari perjanjian itu, ada hal penting yang menguji kejujuran umat muslimin, yakni mematuhi perjanjian. Suatu hari, datang Abu Jandal, putra Suhail yang telah mengaku sebagai muslim. Akibat dari pengakuannya itu, menyebabkan dia disiksa habis-habisan oleh orang Quraisy. Beruntung, Abu Jandal berhasil melarikan diri dari para penyiksanya dan kemudian mendatangi perkemahan kaum muslimin di Makkah. Dia memperlihatkan bekas luka akibat siksaan kepada saudaranya sesama muslim. Hati Rasulullah merasa sedih tatkala mendengar cerita Abu Jandal.
Tetapi isi dari perjanjian itu melarang Rasulullah menerima pengikutnya yang berasal dari Makkah. Mereka pun tidak tega bila harus mengembalikan Abu Jandal ke tangan bangsa Quraisy sementara ia tak boleh ikut mereka kembali ke Madinah. Dengan kata lain, Rasulullah dan pengikutnya tidak dapat berbuat apa pun untuk menolong Abu Jandal. Akhirnya, rasul menghibur Abu Jandal dengan berkata, Allah-lah yang akan memberikan petunjuk baginya.
Setelah rasul kembali ke Madinah, Allah kemudian menurunkan wahyu, "Tentu Kami telah memberimu kemenangan yang nyata." Maksud dari kemenangan itu adalah kemenangan besar bagi umat muslim dalam perjanjian tersebut, dengan meningkatkan pamor umat muslim yang menyebabkan nabi sanggup membawa 10.000 pengikutnya pada tahun berikutnya untuk melakukan perjalanan haji ke Makkah.
Bagaimana bisa pengikut nabi bertambah banyak, sementara Perjanjian Hudaibiyah membuat seseorang semakin takut mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya? Logikanya, sulit diterima akal jika Islam bisa berkembang pada masa setelah perjanjian Hidaibiyah. Karena isi perjanjian itu menyebabkan umat Islam dari Makkah tidak dapat diterima di Madinah atau mereka harus mengalami penyiksaan di Makkah. Dari Perjanjian Hudaibiyah pula, akhirnya mempersempit jurang pemisah antara umat muslim dan umat non-muslim yang selama ini saling berseberangan.
Tetapi setelah perjanjian itu, bangsa Arab yang non-muslim dapat mempelajari cara dan moral yang sesuai dengan ajaran Islam. Mereka akhirnya menyadari betapa luhur dan mulia budi pekerti dan perilaku Rasulullah.
***
Salah satunya adalah Ummu Katsum binti Uqbah. Ia benar-benar menyadari betapa Islam adalah agama yang benar dan nabi memiliki keluhuran budi yang patut diteladani. Tapi persoalannya adalah tentang perjanjian Hudaibiyah yang telah disepakati antara rasul dan kaum musyrikin yang menjadikan dia bisa mengalami kesulitan jika hendak berhijrah untuk hidup bersama nabi dan kaum muslim di Madinah.
Apalagi, saat itu ia mendengar saudara laki-lakinya, Amarah bercerita tentang akhir perundingan dengan Rasulullah dalam perdamaian Hudaibiyah, yang membuat kaum musyrikin seperti telah berhasil melaksanakan syarat-syarat yang zalim atas kaum muslimin, antara lain dalam butir yang menyatakan, "Barangsiapa di antara kaum musyrikin yang datang kepada kaum muslimin hendak menjadi seorang muslim, maka kaum muslimin harus mengembalikannya kepada kaum musyrikin dan barangsiapa di antara kaum muslimn yang datang kepada kaum musyrikin hendak ingkar kepada ajarannya, kaum musyrikin tidak harus mengembalikan kepada kaum muslimin."
Mendengar cerita Amarah, Ummu Kaltsum binti Uqbah sempat berkecil hati. Hal itu berkaitan dengan hubungan antara dia dan keluarganya. Tak seorang pun mengetahui kecuali Allah bahwa secara diam-diam dia telah masuk Islam dengan bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Ia bertekat untuk berkumpul dengan kaum muslimin di Madinah dan hidup bersama mereka dalam suatu masyarakat yang beriman. Sebab itulah, Ummu Kultsum sedih. Harapannya untuk hidup bersama kaum muslimin itu, kini menjadi sirna dengan adanya syarat zalim yang membuatnya semakin tak mungkin untuk mewujudkan perjalanan hijrah itu.
Ummu Kultsum lalu memasuki kamar, menutup pintu untuk mengurung diri. Ia duduk tercenung, mengeluarkan sehelai kertas yang berisi sebagian ayat-ayat yang disembunyikan, yang didengarkannya dari salah seorang muslimin. Dari secarik kertas itu, ia membaca sebuah firman Allah yang berbunyi, "Karena sesungguhnya sesudah kesukaran itu ada keringanan." (QS. Alam Nasyrah: 5).
Usai membaca firman Allah, Ummu Kultsum memiliki semangat baru yang menghujani lubuk hatinya. Ia tidak lagi putus asa. Ia tak lagi patah harapan dari rahmat Allah. Ia merasa yakin, suatu saat nanti Allah pasti akan memberikan kemudahan dan jalan keluar.
Hari-hari yang menggelisahkan itu seakan lama berlalu. Tak ada hal yang dibicarakan di Makkah selain syarat-syarat perdamaian Hidaibiyah dan juga keberhasilan mereka (kaum musyrikin) dalam mencegah kaum muslimin berhaji pada tahun itu. Tetapi dalam benak Ummu Kaltsum selalu terpikir untuk hijrah. Karena terpikir selalu, akhirnya ia melontarkan sebuah pertanyaan kepada dirinya sendiri, "Apakah dapat dibenarkan apabila ia menjadikan syarat-syarat yang zalim itu sebagai penyebab yang menghalangi antara dia dan hijrah ke Madinah? Tetapi bagamana ia bisa berhijrah sementara ia seorang perempuan? Adakah cara yang aman untuk menempuh perjalanan yang jauh dari Mekkah ke Madinah itu?"
Tekat Ummu Kultsum bulat. Semakin hari berlalu, keteguhan itu kian bertambah kuat. Karenanya, ia berjanji akan mempergunakan berbagai kesempatan untuk dapat berhijrah ke Madinah. Ummu Kultsum pun sudah mulai bersiap untuk berangkat. Tetapi pada suatu hari, ketika orang-orang sedang tidur di rumah mereka pada tengah hari yang panas di Makkah, mereka terbangun karena mendengar jeritan. Ummu Kultsum melihat kejadian itu dari atas rumah. Ia mendapati seorang laki-laki dari suku Haza`ah ditusuk oleh kaum musyrikin ketika ia sedang shalat. Lalu, mereka menariknya ke tengah jalan di Mekkah. Mereka menderanya dengan cemeti, menyepaknya dengan kaki mereka serta memakinya dengan berbagai makian dan kecaman.
Ia sedih melihat siksaan yang ditimpakan kepada seorang Muslim itu, tapi terheran-heran pula melihat kepasrahan orang tersebut dalam menghadapi siksaan. Orang itu berkata kepada mereka, "Ahad.... Ahad.... Ahad...," padahal cemeti terus mendera tubuhnya.
***
Hari berlalu dan terus berjalan. Pada suatu hari, Ummu Kaltsum pergi ke pasar. Ia tak sengaja melihat orang dari suku Haza`ah itu berjalan sendirian. Ia lalu mendekati Haza`i itu dan berkata kepadanya, "Mengapa Anda tetap bertahan dengan penindasan itu? Mengapa Anda tak hijrah untuk hidup bersama dengan kaum muslimin di Madinah?"
Laki-laki itu balik bertanya, "Apakah Anda seorang muslimah?"
"Benar dan nanti aku akan memberi Anda seekor unta untuk menemaniku berhijrah ke Madinah”, jawab Ummu Kultsum.
Lelaki itu tersenyum penuh kegirangan ketika mendengar jawaban Ummu Kultsum dan kegembiraannya itu bertambah saat Ummu Kultsum berkata kepadanya bahwa Ummu Kultsum akan menunggu dekat Tana`im setelah matahari tenggelam. Kemudian Ummu Kultsum segera pulang. Sepanjang malam, Ummu Kultsum tidak bisa tidur. Ia tidak sabar menunggu saat yang ditunggu-tunggu itu; berhijrah ke Madinah.
Pagi yang dinantikan pun tiba, Ummu Kultsum mulai mempersiapkan bekal dan makanan tanpa diketahui siapa pun. Lalu, dia memilih dua ekor untanya yang telah ia beli. Dan tatkala petang menjelang, saudaranya Amarah, Wahin dan Walid sedang berada di Dar an-Nadwah di dekat Makkah, dia segera meletakkan makanan dan air di atas kedua untunya itu dan pergi menyusuri jalanan Makkah yang diliputi kegelapan hingga sampai di Tana`im. Di sana, lelaki Hazai itu telah menunggu. Ia tidak ingkar janji!
Ummu Kultsum memberikan unta yang akan dikendarai orang itu dan berangkatlah lak-laki itu lebih dulu. Ummu Kultsum berjalan di belakangnya. Kedua orang itu, akhirnya tiba di Madinah dan bertemu dengan kaum muslimin. Tapi di belakang Ummu Kultsum itu, ternyata juga ada kendaraan lain menyusuri padang pasir dari Makkah menuju kota Madinah dengan semangat terburu-buru. Orang itu Amarah dan Walid yang bermaksud mau membawa pulang Ummu Kultsum ke Makkah.
Saat mengetahui kedatangan dua saudaranya itu, Ummu Kultsum benar-benar gelisah. Dalam hati, dia bertanya-tanya, apakah keduanya akan membawanya kembali ke Makkah dan menyiksa Ummu Kultsum setelah mereka mengetahui keislamannya karena dianggap telah lari dari agama nenek moyang kaum Quraisy?
Tiba di kota Madinah, Amarah dan Walid segera menjumpai rasul dan meminta rasul agar mengembalikan saudara perempuannya itu sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui beliau dalam perjanjian Hudaibiyah, bahwa kaum muslimin akan mengembalikan penduduk Makkah yang datang kepada mereka hendak menjadi muslim.
Tetapi, Ummu Kultsum sudah bertekat bulan untuk hidup di Madinah. Karena itu, ia berkata kepada rasul, "Ya, Rasulullah, aku adalah seorang perempuan. Keadaan perempuan itu lemah, maka aku khawatir mereka berbuat fitnah kepadaku karena agamaku dan takut kalau-kalau aku nanti tidak sanggup menanggung semua itu."
"Ya, Muhammad, bagaimanapun Anda harus menepati janji,” ucap saudara lelaki Ummu Kultsum kepada rasul.
Sebelum itu rasul memang telah mengembalikan beberapa orang laki-laki yang datang sebagai orang-orang yang berserah diri karena kaum musyrikin menuntut kepulangan mereka sehingga nabi berkata kepada mereka, "Nanti Allah akan memberi jalan keluar kepadamu dari segala yang mencemaskan dirimu."
Tetapi Ummu Kultsum itu seorang wanita dan kaum wanita itu lemah. Karena itu, Allah kemudian memberikan jawaban atas masalah itu. Allah menurunkan ayat, "Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepada kamu perempuan-perempuan mukminah yang berhijrah, maka ujilah mereka –Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi mereka dan mereka tidak halal (juga) bagi mereka. Dan berikanlah kepada mereka apa yang telah mereka bayar; dan tiada dosa atas kamu mengawini mereka –apabila kamu bayar kepada mereka mahar-mahar mereka. Janganlah kamu tetap berpegang teguh pada tali (perkawinan) perempuan-perempuan kafir dan mintalah apa yang telah kamu bayar dan hendaklah mereka pun meminta apa yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Mumtahanah: 10)
Dengan turunnya ayat itu, Allah telah menetapkan hukum tentangnya. Maka, wanita mukminah yang hijrah ke Madinah tidak boleh dikembalikan kepada orang-orang kafir. Akan tetapi rasul akan menguji keimanannya sebagaimana diperintahkan Allah dan beliau bertanya pada Ummu Kultsum, "Tidakkah engkau keluar melainkan karena cinta kepada Allah, rasul-Nya dan Islam, tidak karena cinta kepada suami dan harta?"
Ummu Kultsum menjawab, "Aku tidak keluar, melainkan (karena) cinta kepada Allah, rasul dan Islam, bukan karena cinta kepada harta dan suami."
Setelah mendengar ucapan itu, nabi kemudian menolak mengembalikan Ummu Kultsum. Allah telah menetapkan Ummu Kultsum untuk tetap tinggal. Maka, jadilah dia seorang wanita yang mula-mula membuka jalan kepada kaum mukminat berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya ke Madinah. (n. mursidi/ sumber: Profil di Balik Cadar; Kisah Wanita dalam Al-Qur`an, Jabir asy-Syal, terj. Alwi AM, Penerbit Grafiti Pers, Jakarta; 1986 dan Tafsir al-Mishbah, M. Quraish Shihab, Penerbit Lentera Hati, Jakarta; 2000)
Akhirnya, pada tahun ke-6 Hijriyah, nabi bersama kurang lebih 1000 pengikutnya melakukan perjalanan ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Untuk menghindari kesan buruk, maka tidak seorang pun dari kaum muslimin yang membawa senjata. Mereka datang ke Makkah pun dengan memakai pakaian ihram.
Setelah sampai di tempat bernama Hudaibiyah, nabi bersama pengikutnya berhenti. Saat itu kaum Quraisy sudah bersiap untuk perang begitu melihat umat Islam akan memasuki pintu gerbang Makkah. Karena datang bukan untuk berperang, melainkan untuk beribadah, maka rasul mengutus Ustman bin Affan bertemu dengan kaum Quraisy agar menjelaskan kepada mereka bahwa kepergian Muhammad dan pengikutnya kali ini ke Makkah adalah untuk melaksanakan ibadah haji, bukan untuk tujuan menyerang atau berperang.
Sungguh di luar dugaan, ternyata kaum Quraisy tidak menyambut kedatangan kaum muslimin dengan peperangan. Sebaliknya, mereka bersikap lunak. Kaum Quraisy menawarkan perdamaian dengan umat Islam. Utusan dari pihak kaum Quraisy bernama Suhail bin `Amr menemui rasul untuk berunding.
Dalam perundingan itu –-yang dikenal dengan nama Perdamaian Hudaibiyah-- akhirnya disepakati kata damai. Isi dari perjanjian Hudaibiyah ini, antara lain; rencana umat Islam melakukan ibadah haji batal untuk tahun itu namun diperbolehkan mengunjungi Makkah tahun berikutnya dengan tidak lebih tiga hari menetap di Makkah. Juga, bila ada penduduk Makkah datang ke kota Madinah –walau muslim—harus dikembalikan oleh Nabi ke Makkah, sedangkan penduduk Madinah –walau seorang muslim pula— yang akan bergabung ke Makkah, tidak harus dikembalikan oleh kaum musyrik ke Madinah.
Isi perjanjian ini sebenarnya sempat menyulut kemarahan umat Islam, namun mereka bersikap diam karena menghormati ketulusan hati nabi. Tetapi dari perjanjian itu, ada hal penting yang menguji kejujuran umat muslimin, yakni mematuhi perjanjian. Suatu hari, datang Abu Jandal, putra Suhail yang telah mengaku sebagai muslim. Akibat dari pengakuannya itu, menyebabkan dia disiksa habis-habisan oleh orang Quraisy. Beruntung, Abu Jandal berhasil melarikan diri dari para penyiksanya dan kemudian mendatangi perkemahan kaum muslimin di Makkah. Dia memperlihatkan bekas luka akibat siksaan kepada saudaranya sesama muslim. Hati Rasulullah merasa sedih tatkala mendengar cerita Abu Jandal.
Tetapi isi dari perjanjian itu melarang Rasulullah menerima pengikutnya yang berasal dari Makkah. Mereka pun tidak tega bila harus mengembalikan Abu Jandal ke tangan bangsa Quraisy sementara ia tak boleh ikut mereka kembali ke Madinah. Dengan kata lain, Rasulullah dan pengikutnya tidak dapat berbuat apa pun untuk menolong Abu Jandal. Akhirnya, rasul menghibur Abu Jandal dengan berkata, Allah-lah yang akan memberikan petunjuk baginya.
Setelah rasul kembali ke Madinah, Allah kemudian menurunkan wahyu, "Tentu Kami telah memberimu kemenangan yang nyata." Maksud dari kemenangan itu adalah kemenangan besar bagi umat muslim dalam perjanjian tersebut, dengan meningkatkan pamor umat muslim yang menyebabkan nabi sanggup membawa 10.000 pengikutnya pada tahun berikutnya untuk melakukan perjalanan haji ke Makkah.
Bagaimana bisa pengikut nabi bertambah banyak, sementara Perjanjian Hudaibiyah membuat seseorang semakin takut mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya? Logikanya, sulit diterima akal jika Islam bisa berkembang pada masa setelah perjanjian Hidaibiyah. Karena isi perjanjian itu menyebabkan umat Islam dari Makkah tidak dapat diterima di Madinah atau mereka harus mengalami penyiksaan di Makkah. Dari Perjanjian Hudaibiyah pula, akhirnya mempersempit jurang pemisah antara umat muslim dan umat non-muslim yang selama ini saling berseberangan.
Tetapi setelah perjanjian itu, bangsa Arab yang non-muslim dapat mempelajari cara dan moral yang sesuai dengan ajaran Islam. Mereka akhirnya menyadari betapa luhur dan mulia budi pekerti dan perilaku Rasulullah.
***
Salah satunya adalah Ummu Katsum binti Uqbah. Ia benar-benar menyadari betapa Islam adalah agama yang benar dan nabi memiliki keluhuran budi yang patut diteladani. Tapi persoalannya adalah tentang perjanjian Hudaibiyah yang telah disepakati antara rasul dan kaum musyrikin yang menjadikan dia bisa mengalami kesulitan jika hendak berhijrah untuk hidup bersama nabi dan kaum muslim di Madinah.
Apalagi, saat itu ia mendengar saudara laki-lakinya, Amarah bercerita tentang akhir perundingan dengan Rasulullah dalam perdamaian Hudaibiyah, yang membuat kaum musyrikin seperti telah berhasil melaksanakan syarat-syarat yang zalim atas kaum muslimin, antara lain dalam butir yang menyatakan, "Barangsiapa di antara kaum musyrikin yang datang kepada kaum muslimin hendak menjadi seorang muslim, maka kaum muslimin harus mengembalikannya kepada kaum musyrikin dan barangsiapa di antara kaum muslimn yang datang kepada kaum musyrikin hendak ingkar kepada ajarannya, kaum musyrikin tidak harus mengembalikan kepada kaum muslimin."
Mendengar cerita Amarah, Ummu Kaltsum binti Uqbah sempat berkecil hati. Hal itu berkaitan dengan hubungan antara dia dan keluarganya. Tak seorang pun mengetahui kecuali Allah bahwa secara diam-diam dia telah masuk Islam dengan bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Ia bertekat untuk berkumpul dengan kaum muslimin di Madinah dan hidup bersama mereka dalam suatu masyarakat yang beriman. Sebab itulah, Ummu Kultsum sedih. Harapannya untuk hidup bersama kaum muslimin itu, kini menjadi sirna dengan adanya syarat zalim yang membuatnya semakin tak mungkin untuk mewujudkan perjalanan hijrah itu.
Ummu Kultsum lalu memasuki kamar, menutup pintu untuk mengurung diri. Ia duduk tercenung, mengeluarkan sehelai kertas yang berisi sebagian ayat-ayat yang disembunyikan, yang didengarkannya dari salah seorang muslimin. Dari secarik kertas itu, ia membaca sebuah firman Allah yang berbunyi, "Karena sesungguhnya sesudah kesukaran itu ada keringanan." (QS. Alam Nasyrah: 5).
Usai membaca firman Allah, Ummu Kultsum memiliki semangat baru yang menghujani lubuk hatinya. Ia tidak lagi putus asa. Ia tak lagi patah harapan dari rahmat Allah. Ia merasa yakin, suatu saat nanti Allah pasti akan memberikan kemudahan dan jalan keluar.
Hari-hari yang menggelisahkan itu seakan lama berlalu. Tak ada hal yang dibicarakan di Makkah selain syarat-syarat perdamaian Hidaibiyah dan juga keberhasilan mereka (kaum musyrikin) dalam mencegah kaum muslimin berhaji pada tahun itu. Tetapi dalam benak Ummu Kaltsum selalu terpikir untuk hijrah. Karena terpikir selalu, akhirnya ia melontarkan sebuah pertanyaan kepada dirinya sendiri, "Apakah dapat dibenarkan apabila ia menjadikan syarat-syarat yang zalim itu sebagai penyebab yang menghalangi antara dia dan hijrah ke Madinah? Tetapi bagamana ia bisa berhijrah sementara ia seorang perempuan? Adakah cara yang aman untuk menempuh perjalanan yang jauh dari Mekkah ke Madinah itu?"
Tekat Ummu Kultsum bulat. Semakin hari berlalu, keteguhan itu kian bertambah kuat. Karenanya, ia berjanji akan mempergunakan berbagai kesempatan untuk dapat berhijrah ke Madinah. Ummu Kultsum pun sudah mulai bersiap untuk berangkat. Tetapi pada suatu hari, ketika orang-orang sedang tidur di rumah mereka pada tengah hari yang panas di Makkah, mereka terbangun karena mendengar jeritan. Ummu Kultsum melihat kejadian itu dari atas rumah. Ia mendapati seorang laki-laki dari suku Haza`ah ditusuk oleh kaum musyrikin ketika ia sedang shalat. Lalu, mereka menariknya ke tengah jalan di Mekkah. Mereka menderanya dengan cemeti, menyepaknya dengan kaki mereka serta memakinya dengan berbagai makian dan kecaman.
Ia sedih melihat siksaan yang ditimpakan kepada seorang Muslim itu, tapi terheran-heran pula melihat kepasrahan orang tersebut dalam menghadapi siksaan. Orang itu berkata kepada mereka, "Ahad.... Ahad.... Ahad...," padahal cemeti terus mendera tubuhnya.
***
Hari berlalu dan terus berjalan. Pada suatu hari, Ummu Kaltsum pergi ke pasar. Ia tak sengaja melihat orang dari suku Haza`ah itu berjalan sendirian. Ia lalu mendekati Haza`i itu dan berkata kepadanya, "Mengapa Anda tetap bertahan dengan penindasan itu? Mengapa Anda tak hijrah untuk hidup bersama dengan kaum muslimin di Madinah?"
Laki-laki itu balik bertanya, "Apakah Anda seorang muslimah?"
"Benar dan nanti aku akan memberi Anda seekor unta untuk menemaniku berhijrah ke Madinah”, jawab Ummu Kultsum.
Lelaki itu tersenyum penuh kegirangan ketika mendengar jawaban Ummu Kultsum dan kegembiraannya itu bertambah saat Ummu Kultsum berkata kepadanya bahwa Ummu Kultsum akan menunggu dekat Tana`im setelah matahari tenggelam. Kemudian Ummu Kultsum segera pulang. Sepanjang malam, Ummu Kultsum tidak bisa tidur. Ia tidak sabar menunggu saat yang ditunggu-tunggu itu; berhijrah ke Madinah.
Pagi yang dinantikan pun tiba, Ummu Kultsum mulai mempersiapkan bekal dan makanan tanpa diketahui siapa pun. Lalu, dia memilih dua ekor untanya yang telah ia beli. Dan tatkala petang menjelang, saudaranya Amarah, Wahin dan Walid sedang berada di Dar an-Nadwah di dekat Makkah, dia segera meletakkan makanan dan air di atas kedua untunya itu dan pergi menyusuri jalanan Makkah yang diliputi kegelapan hingga sampai di Tana`im. Di sana, lelaki Hazai itu telah menunggu. Ia tidak ingkar janji!
Ummu Kultsum memberikan unta yang akan dikendarai orang itu dan berangkatlah lak-laki itu lebih dulu. Ummu Kultsum berjalan di belakangnya. Kedua orang itu, akhirnya tiba di Madinah dan bertemu dengan kaum muslimin. Tapi di belakang Ummu Kultsum itu, ternyata juga ada kendaraan lain menyusuri padang pasir dari Makkah menuju kota Madinah dengan semangat terburu-buru. Orang itu Amarah dan Walid yang bermaksud mau membawa pulang Ummu Kultsum ke Makkah.
Saat mengetahui kedatangan dua saudaranya itu, Ummu Kultsum benar-benar gelisah. Dalam hati, dia bertanya-tanya, apakah keduanya akan membawanya kembali ke Makkah dan menyiksa Ummu Kultsum setelah mereka mengetahui keislamannya karena dianggap telah lari dari agama nenek moyang kaum Quraisy?
Tiba di kota Madinah, Amarah dan Walid segera menjumpai rasul dan meminta rasul agar mengembalikan saudara perempuannya itu sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui beliau dalam perjanjian Hudaibiyah, bahwa kaum muslimin akan mengembalikan penduduk Makkah yang datang kepada mereka hendak menjadi muslim.
Tetapi, Ummu Kultsum sudah bertekat bulan untuk hidup di Madinah. Karena itu, ia berkata kepada rasul, "Ya, Rasulullah, aku adalah seorang perempuan. Keadaan perempuan itu lemah, maka aku khawatir mereka berbuat fitnah kepadaku karena agamaku dan takut kalau-kalau aku nanti tidak sanggup menanggung semua itu."
"Ya, Muhammad, bagaimanapun Anda harus menepati janji,” ucap saudara lelaki Ummu Kultsum kepada rasul.
Sebelum itu rasul memang telah mengembalikan beberapa orang laki-laki yang datang sebagai orang-orang yang berserah diri karena kaum musyrikin menuntut kepulangan mereka sehingga nabi berkata kepada mereka, "Nanti Allah akan memberi jalan keluar kepadamu dari segala yang mencemaskan dirimu."
Tetapi Ummu Kultsum itu seorang wanita dan kaum wanita itu lemah. Karena itu, Allah kemudian memberikan jawaban atas masalah itu. Allah menurunkan ayat, "Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepada kamu perempuan-perempuan mukminah yang berhijrah, maka ujilah mereka –Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi mereka dan mereka tidak halal (juga) bagi mereka. Dan berikanlah kepada mereka apa yang telah mereka bayar; dan tiada dosa atas kamu mengawini mereka –apabila kamu bayar kepada mereka mahar-mahar mereka. Janganlah kamu tetap berpegang teguh pada tali (perkawinan) perempuan-perempuan kafir dan mintalah apa yang telah kamu bayar dan hendaklah mereka pun meminta apa yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Mumtahanah: 10)
Dengan turunnya ayat itu, Allah telah menetapkan hukum tentangnya. Maka, wanita mukminah yang hijrah ke Madinah tidak boleh dikembalikan kepada orang-orang kafir. Akan tetapi rasul akan menguji keimanannya sebagaimana diperintahkan Allah dan beliau bertanya pada Ummu Kultsum, "Tidakkah engkau keluar melainkan karena cinta kepada Allah, rasul-Nya dan Islam, tidak karena cinta kepada suami dan harta?"
Ummu Kultsum menjawab, "Aku tidak keluar, melainkan (karena) cinta kepada Allah, rasul dan Islam, bukan karena cinta kepada harta dan suami."
Setelah mendengar ucapan itu, nabi kemudian menolak mengembalikan Ummu Kultsum. Allah telah menetapkan Ummu Kultsum untuk tetap tinggal. Maka, jadilah dia seorang wanita yang mula-mula membuka jalan kepada kaum mukminat berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya ke Madinah. (n. mursidi/ sumber: Profil di Balik Cadar; Kisah Wanita dalam Al-Qur`an, Jabir asy-Syal, terj. Alwi AM, Penerbit Grafiti Pers, Jakarta; 1986 dan Tafsir al-Mishbah, M. Quraish Shihab, Penerbit Lentera Hati, Jakarta; 2000)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar