"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan (QS. al-Maidah: 90)
Pintu hati Astuti (35 tahun) yang dipenuhi kenangan pahit dan penderitaan di masa lampau serasa diketuk oleh sebuah tangan yang meminta kesediaan untuk memberi maaf atas perjalanan hidup yang sudah terlewati. Mirip sebuah rumah megah yang gelap, dia sebenarnya tak ingin lagi melihat kegelapan itu terungkit kembali. Tapi kabar seseorang yang dulu pernah menjalin cinta dan hidup bersama dengannya di rumah kegelapan itu membuatnya menoleh kembali ke masa lalu. Astuti pun sadar, bahwa memendam dendam bukanlah tindakan terpuji. Akhirnya, ia mau memaafkan. Dia menengok masa lalu itu untuk menjenguk Akrom (41 tahun), mantan suaminya yang sudah di ambang ajal.
Siang itu, Astuti baru saja pulang dari Puskemas untuk memeriksakan kondisi Ridho (1 tahun), anak semata wayangnya yang sudah lama diterpa sakit. Usai membuka pintu, Astuti segera menidurkan Ridho di atas kasur. Sejurus kemudian, ia menyalakan televisi, rebahan di sofa untuk melepas letih dan lelah. Tak sampai lima menit ia duduk di depan televisi, tiba-tiba telepon di ruang tamu berdering. Rasa capek di pundak akibat menggendong Ridho berjam-jam di Puskesmas, sebenarnya masih menyisakan rasa pegal. Karena itu, Astuti merasa malas beranjak untuk menerima telepon.
Tetapi telepon di ruang tamu itu tak henti berdering. Jadi, Astuti seperti dituntut untuk bangkit. Akhirnya, dengan langkah lemas dia berjalan menuju meja tempat telepon itu bermukim. Dengan rasa malas, dia meraih gagang telepon, lalu menjawab salam dari seberang yang tak lain suara Sukri (45 tahun), mantan kakak ipar Astuti dari luar pulau Jawa.
Sesaat kemudian Astuti terkesiap. Gugup. Meskipun Astuti sempat mendengar kabar Akrom yang sakit, tapi dia tidak pernah tahu jika mantan suaminya itu sedang sakit parah tak berdaya di sebuah rumah sakit. Walau sudah bercerai dan Astuti sempat menderita akibat diperlakukan kasar oleh mantan suaminya, tapi hati Astuti tetap trenyuh tatkala mendengar kabar itu menggema di telinga. Karenanya, mendengar kabar itu dia serasa diingatkan kembali dengan masa lalunya yang kelam, penuh derita dan yang selama ini menjadi beban.
"Saya minta dengan sangat agar dik Astuti mau datang menjenguknya! Karena mantan suami dik Astuti seperti susah meninggal. Mungkin kedatangan dik Astuti, untuk memberikan maaf nanti bisa mempermudah dan menjadikan keadaan lebih baik!" minta Sukri lewat telepon memelas.
Astuti seketika dihadapkan kebimbangan untuk menjawab. Walau bagaimana pun, dia masih belum bisa menghapus luka masa lalu itu. Astuti hanya mendesah. Ia seperti berada di persimpangan jalan. Tak tahu, harus memilih jalan mana untuk menyanggupi permintaan Sukri atau menolak untuk menjenguk.
"Dia selalu memanggil-manggil nama dik Astuti. Untuk itu, saya mohon dik Astuti mau menengok dan memberi maaf!" suara Sukri kembali mendesak-desak di telinga Astuti.
Tidak tega mendengar kisah Akrom yang sedang dirundung sakit, Astuti pun akhirnya menjawab lirih, "Insyaallah, kak! Mungkin besok pagi saya berangkat"
Muka Mengelupas
Esok harinya, Astuti menepati janjinya untuk berangkat. Ditemani Tirto (29 tahun) suami Astuti yang sekarang, di sepanjang perjalanan itu hati Astuti diliputi kenangan pahit yang berkelebat-kelebat. Tak salah, perjalanan dari Jakarta ke kota Melinjo (bukan nama sebenarnya, di daerah Kalimantan) itu mirip sebuah lorong gelap yang menyisakan luka masa lalu muncul kembali. Astuti pun seperti dicabik-cabik luka yang menganga.
Setelah menyeberangi lautan, Astuti pun tiba di kota Melinjo. Ketika menginjakkan kaki di kota itu, Astuti digelayuti perasaan bergidik. Dia serasa dihantui sebuah ketakutan yang sulit dihempaskan. Tapi kaki Astuti tetap melangkah ke rumah sakit, menengok mantan suaminya yang sedang terkapar tak berdaya.
Sesampai di ruang ICU, tempat Akrom (mantan suaminya) itu terbaring tak berdaya, kembali hati Astuti diterpa rasa takut. Dingin AC di ruangan ICU itu segera menyentuh kulit Astuti ketika ia melangkah ke tempat pembaringan. Tetapi saat ia melihat Akrom terkapar di atas kasur dalam kondisi yang mengenaskan, seketika Astuti tercekat. Ia tertegun dan nyaris tak percaya dengan apa yang ia lihat, dengan apa yang ada di depan mata Astuti.
"Begitu saya datang, saya kaget bukan kepalang saat melihat keadaan mantan suami saya. Rambutnya putih, juga telah rontok. Mukanya seperti terkelupas, dan lidahnya terjulur. Ia pun sudah tak bisa ngomong lagi. Dan yang membuat saya seakan tercekat, perutnya besar sekali. Kata dokter, bahkan dua hari lagi jika ia tak meninggal maka perutnya yang membesar akibat penyakit liver itu bisa-bisa akan meletus. Juga, darah sudah keluar dari semua lubang. Bukan itu saja, sebelah badannya hitam seperti terbakar," cerita Astuti kepada Hidayah.
Seperti permintaan Sukri, kakak Akrom lewat telepon, maka Astuti membuka pintu hatinya untuk memberikan maaf, "Kalau memang semua ini ada sangkut pautnya dengan saya, saya minta maaf. Karena, tak menutup kemungkinan saya salah. Dan saya juga memaafkan mas atas semua yang telah berlalu," ucap Astuti haru, di depan mantan suaminya yang terbaring tak berdaya.
Akrom, mantan suami Astuti sudah tak bisa bicara. Hanya menjulurkan lidah. Seperti ingin angkat bicara tapi tak ada suara yang keluar dari mulut lelaki yang pernah jadi suami Astuti itu kecuali suara, "Huaaaawwwkk!!!" Sebuah suara yang seperti orang tercekik.
Hanya itu yang keluar dari mulutnyaa. Lidahnya menjulur-julur ingin mengutarakan sesuatu. Ia ingin bicara, tetapi tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Rasa iba menggerakkan tangan Astuti membuka tas dan mengambil makanan yang dibawa. Dia suapkan makanan itu ke mulut Akrom, tapi makanan itu bukan masuk ke perut melainkan dimuntahkan kembali. "Mulutnya sudah tak bisa bicara dengan jelas. Setiap dikasih makanan, selalu keluar lagi. Badannya tampak kering dan mengundang rasa iba" kisah Astuti lagi tentang mantan suaminya itu.
Tepat menjelang maghrib, Astuti pulang ke rumah orangtuanya --yang tidak jauh dari rumah Akrom. Di rumah orangtuanya, Astuti melepas lelah. Karena itu, setelah berbincang dengan orangtuanya dan gelap malam sudah mengundang kantuk, ia beranjak ke tempat tidur. Tapi di saat matanya belum sempurna tidur dengan nyenyak, tiba-tiba ia dibangunkan oleh keluarganya yang mengabarkan kalau Akrom, mantan suaminya meninggal. "Ia Meninggal jam sebelas malam. Saya sedang tidur, ada telepon yang mengabarkan kalau dia meninggal. Meski saya melihat keadaan mantan suami saya itu menyedihkan, tetapi saya tak menyangka kalau dia akan meninggal muda dan secepat itu."
Memalingkan Muka
Malam itu, jenazah Akrom segera dibawa pulang ke rumah duka. Mobil ambulans yang membawa jenazah tiba di rumah duka, tepat tengah malam. Tetapi suara mobil ambulans yang meraung-raung di tengah malam, tak sempat mengusik nyenyak tidur penduduk. Hanya satu-dua warga yang melayat. Rumah duka baru terasa ramai, pada esok paginya ketika banyak keluarga dan famili datang melayat. Ratapan dan jerit tangis keluarga pun berderai. Apalagi tatkala para pelayat itu menyaksikan kondisi jenazah yang mengenaskan.
Sekitar pukul delapan, keluarga memutuskan untuk merawat jenazah. Jenazah yang terbaring di ruang tengah segera diangkat ke tempat pemandian. Tetapi tatkala jenazah siap dimandikan dan kain penutup jenazah dibuka untuk diguyur air, seketika orang-orang dibuat tercengang dan terperanjat kaget. Sebab kondisi jenazah benar-benar memprihatinkan. Tak salah, jika orang-orang memalingkan muka. "Ya, Allah kenapa bisa jadi begini?” ucap mereka sebagaimana ditirukan Astuti.
Nyaris tidak ada yang berani menyentuh jenazah. Tapi, jenazah itu harus dimandikan sehingga ada orang yang kemudian merasa wajib bertindak. Dan proses pemandian jenazah pun berakhir dengan mengundang rasa heran, dan tak lama kemudian dilanjutkan mangkafani dan menshalati jenazah.
Siang harinya, jenazah diberangkatkan ke pemakaman umum. Tidak ada kejadian aneh atau janggal yang menyertai prosesi pemakaman itu. Kendati demikian, orang-orang mafhum dengan kondisi jenazah yang cukup memperihainkan itu. Apalagi di benak Astuti yang sempat hidup bersama lelaki itu, seorang lelaki yang dikenal pemabuk berat.
Suka Mabuk dan Menyiksa
Astuti sebenarnya tidak ingin mengingat kenangan kelam bersama mantan suaminya. Tapi pengalaman hidup berumah tangga, kenangan pahit dan juga siksaan yang dia terima itu semata-mata ingin dia ceritakan kepada pembaca dengan harapan semoga ada hikmah dan pelajaran yang bisa diambil untuk direnungkan.
Pertemuan antara Astuti dengan mantan suaminya terjadi secara kebetulan di tempat pendaftaran haji. “Saat itu, saya diajak orangtua pergi haji dengan harapan agar saya cepat mendapatkan jodoh. Dan di tempat pendaftaran haji itulah, dia (mantan suami Astuti—red) melihat saya dan kemudian berkehendak berangkat haji. Ia menjual tanah, mendaftar untuk berangkat ke tanah suci,” cerita Astuti mengenang awal pertemuannya dengan Akrom.
Di Makkah itu, benih-benih cinta Astuti mulai bersemi. Akrom selalu menumpahkan perhatian. Tapi hati Astuti sempat ciut saat ia mengetahui Akrom sudah beristri. Orangtua Astuti pun kemudian meminta Akrom untuk menceraikan istrinya, jika memang serius mau menikahi Astuti. Maka, sepulang dari tanah suci itu, Akrom serius menceraikan istrinya dan menikahi Astuti.
Tetapi kekuatan cinta Akrom setelah menikahi Astuti tak seperti waktu di tanah suci dulu. Meski sudah berhaji, bukan Akrom tahu kewajiban suami yang harus ia tunaikan kepada istri, melainkan seperti orang kalap yanmg lupa daratan. Ia bukannya semakin rajin ke masjid untuk beribadah, berhenti dari kebiasaan buruk yang dulu pernah dilakoni, melainkan malah menjadi-jadi menuruti nafsu untuk mabuk. Akibatnya, setiap pulang ke rumah Akrom selalu berbau alkohol. Lebih dari itu, ia sering mengumpati Astuti dan memaki-maki dengan umpatan yang tak enak didengar. Bahkan tidak jarang Astuti menerima tamparan dan pukulan. “Banyak hal menyakitkan yang saya terima. Sampai dipukuli babak belur. Minumnya kuat dan terakhir kabarnya juga kecanduan narkoba,” kisah Astuti tentang kebiasaan Akrom yang selalu teler.
Astuti boleh dikata jarang diberi uang belanja. Untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, Astuti disuruh Akrom berjualan. Tapi bukannya uang hasil jualan itu membawa berkah melainkan justru menjadikan ia terbebas dari tanggung jawab untuk menafkahi Astuti dan dijadikan alasan untuk berbuat sewenang-wenang.
Siang dan malam, hampir selama lima tahun sejak Astuti menjadi istri Akrom nyaris membuatnya dicekam ketakutan. Padahal, menurut cerita Astuti, Akrom itu termasuk orang terpandang di kota Melinjo. Ia seorang pegawai negeri yang berkantor di dinas perumahan. Tak jarang, Akrom juga kerap mendapatkan tender untuk membangun perumahan. Karena itu, dari segi materi sebenarnya Akrom bukan orang miskin. Tapi kekayaan itu bukan digunakan untuk hal yang bermanfaat melainkan untuk hidup foya-foya, mabuk dan kerap menghabiskan malam di diskotik. Akibatnya, Akrom sering kurang kontrol dengan emosinya dan Astuti harus menderita lahir dan batin.
Dengan diperlakukan seperti itu, Astuti hanya bertahan lima tahun membina rumah tangga dengan Akrom. Meski dia sudah bertekat bulat untuk mempertahankan rumah tangga itu, namun pada akhirnya gagal karena diperlakukan sewenang-wenang. Pernah Astuti berdoa, "Ya, Allah kalau memang ini mudharat dan tak baik bagi agama saya, mudahkan dan kalau ia sadar, tolong panjangkan dia sebagai jodoh saya!"
Tapi Akrom bukannya sembuh dari minum. Justru dia selalu pulang dalam keadaan mabuk, tak jarang melontarkan pengusiran terhadap Astuti, “Kalau tak seneng dengan saya, tinggalkan saja rumah ini! Silahkan kau pulang! Memang aku tidak bisa makan apa? Besok pun aku bisa mendapatkan sepuluh perempuan yang lebih dari kamu!”
Sampai akhirnya, bangunan rumah tangga yang dibangun Astuti dan Akrom yang sudah berlangusng lima tahun itu pun runtuh. Keduanya lalu bercerai tepat pada tahun 2003. Dan sejak bercerai, Akrom semakin menjadi-jadi. Selalu menghabiskan malam di diskotik, bermain dengan perempuan dan juga menjadi peliharaan seorang wanita kaya. Hingga ia kena serangan liver yang mengonyak perutnya dan kemudian terkapar tak berdaya di rumah sakit sebelum ajal menjemput. Lebih tragis lagi, wajahnya mengelupas, perut membuncit, separoh tubuhnya gosong seperti terbakar dan darah keluar dari semua lubang.
IN BOX
“Suka Menyiksa dan Mabuk”
Saat saya diminta datang menjenguk oleh kakak kandung mantan suami saya di rumah sakit, saya sungguh kaget melihat kondisinya. Rambutnya putih, juga sudah rontok. Mukanya seperti terkelupas, lidahnya terjulur. Ia juga sudah tak bisa ngomong lagi. Dan yang membuat saya seakan tercekat, perutnya besar sekali. Kata dokter, bahkan dua hari lagi jika ia tidak meninggal maka perutnya yang terserang liver itu bisa-bisa meletus. Darah juga sudah keluar dari semua lubang. Bukan itu saja, sebelah badannya hitam seperti terbakar.
Saya lalu memaafkannya meski dulu sempat menyiksa saya habis-habisan. Dan setelah itu, saya pulang ke rumah orangtua saya. Menjelang tengah malam, ada suara telepon yang mengabarkan bahwa dia meninggal. Saya tak mengira ia akan meninggal muda dan secepat itu.
Orang-orang tidak heran dengan kondisi almarhum jika mau menengok masa lalunya yang kurang baik. Selain saya, istri pertamanya juga saya dengar kerapkali mendapat siksaan. Saya menceritakan semua ini, semoga hal itu bisa menjadi pelajaran bagi siapa pun. (nm)
Siang itu, Astuti baru saja pulang dari Puskemas untuk memeriksakan kondisi Ridho (1 tahun), anak semata wayangnya yang sudah lama diterpa sakit. Usai membuka pintu, Astuti segera menidurkan Ridho di atas kasur. Sejurus kemudian, ia menyalakan televisi, rebahan di sofa untuk melepas letih dan lelah. Tak sampai lima menit ia duduk di depan televisi, tiba-tiba telepon di ruang tamu berdering. Rasa capek di pundak akibat menggendong Ridho berjam-jam di Puskesmas, sebenarnya masih menyisakan rasa pegal. Karena itu, Astuti merasa malas beranjak untuk menerima telepon.
Tetapi telepon di ruang tamu itu tak henti berdering. Jadi, Astuti seperti dituntut untuk bangkit. Akhirnya, dengan langkah lemas dia berjalan menuju meja tempat telepon itu bermukim. Dengan rasa malas, dia meraih gagang telepon, lalu menjawab salam dari seberang yang tak lain suara Sukri (45 tahun), mantan kakak ipar Astuti dari luar pulau Jawa.
Sesaat kemudian Astuti terkesiap. Gugup. Meskipun Astuti sempat mendengar kabar Akrom yang sakit, tapi dia tidak pernah tahu jika mantan suaminya itu sedang sakit parah tak berdaya di sebuah rumah sakit. Walau sudah bercerai dan Astuti sempat menderita akibat diperlakukan kasar oleh mantan suaminya, tapi hati Astuti tetap trenyuh tatkala mendengar kabar itu menggema di telinga. Karenanya, mendengar kabar itu dia serasa diingatkan kembali dengan masa lalunya yang kelam, penuh derita dan yang selama ini menjadi beban.
"Saya minta dengan sangat agar dik Astuti mau datang menjenguknya! Karena mantan suami dik Astuti seperti susah meninggal. Mungkin kedatangan dik Astuti, untuk memberikan maaf nanti bisa mempermudah dan menjadikan keadaan lebih baik!" minta Sukri lewat telepon memelas.
Astuti seketika dihadapkan kebimbangan untuk menjawab. Walau bagaimana pun, dia masih belum bisa menghapus luka masa lalu itu. Astuti hanya mendesah. Ia seperti berada di persimpangan jalan. Tak tahu, harus memilih jalan mana untuk menyanggupi permintaan Sukri atau menolak untuk menjenguk.
"Dia selalu memanggil-manggil nama dik Astuti. Untuk itu, saya mohon dik Astuti mau menengok dan memberi maaf!" suara Sukri kembali mendesak-desak di telinga Astuti.
Tidak tega mendengar kisah Akrom yang sedang dirundung sakit, Astuti pun akhirnya menjawab lirih, "Insyaallah, kak! Mungkin besok pagi saya berangkat"
Muka Mengelupas
Esok harinya, Astuti menepati janjinya untuk berangkat. Ditemani Tirto (29 tahun) suami Astuti yang sekarang, di sepanjang perjalanan itu hati Astuti diliputi kenangan pahit yang berkelebat-kelebat. Tak salah, perjalanan dari Jakarta ke kota Melinjo (bukan nama sebenarnya, di daerah Kalimantan) itu mirip sebuah lorong gelap yang menyisakan luka masa lalu muncul kembali. Astuti pun seperti dicabik-cabik luka yang menganga.
Setelah menyeberangi lautan, Astuti pun tiba di kota Melinjo. Ketika menginjakkan kaki di kota itu, Astuti digelayuti perasaan bergidik. Dia serasa dihantui sebuah ketakutan yang sulit dihempaskan. Tapi kaki Astuti tetap melangkah ke rumah sakit, menengok mantan suaminya yang sedang terkapar tak berdaya.
Sesampai di ruang ICU, tempat Akrom (mantan suaminya) itu terbaring tak berdaya, kembali hati Astuti diterpa rasa takut. Dingin AC di ruangan ICU itu segera menyentuh kulit Astuti ketika ia melangkah ke tempat pembaringan. Tetapi saat ia melihat Akrom terkapar di atas kasur dalam kondisi yang mengenaskan, seketika Astuti tercekat. Ia tertegun dan nyaris tak percaya dengan apa yang ia lihat, dengan apa yang ada di depan mata Astuti.
"Begitu saya datang, saya kaget bukan kepalang saat melihat keadaan mantan suami saya. Rambutnya putih, juga telah rontok. Mukanya seperti terkelupas, dan lidahnya terjulur. Ia pun sudah tak bisa ngomong lagi. Dan yang membuat saya seakan tercekat, perutnya besar sekali. Kata dokter, bahkan dua hari lagi jika ia tak meninggal maka perutnya yang membesar akibat penyakit liver itu bisa-bisa akan meletus. Juga, darah sudah keluar dari semua lubang. Bukan itu saja, sebelah badannya hitam seperti terbakar," cerita Astuti kepada Hidayah.
Seperti permintaan Sukri, kakak Akrom lewat telepon, maka Astuti membuka pintu hatinya untuk memberikan maaf, "Kalau memang semua ini ada sangkut pautnya dengan saya, saya minta maaf. Karena, tak menutup kemungkinan saya salah. Dan saya juga memaafkan mas atas semua yang telah berlalu," ucap Astuti haru, di depan mantan suaminya yang terbaring tak berdaya.
Akrom, mantan suami Astuti sudah tak bisa bicara. Hanya menjulurkan lidah. Seperti ingin angkat bicara tapi tak ada suara yang keluar dari mulut lelaki yang pernah jadi suami Astuti itu kecuali suara, "Huaaaawwwkk!!!" Sebuah suara yang seperti orang tercekik.
Hanya itu yang keluar dari mulutnyaa. Lidahnya menjulur-julur ingin mengutarakan sesuatu. Ia ingin bicara, tetapi tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Rasa iba menggerakkan tangan Astuti membuka tas dan mengambil makanan yang dibawa. Dia suapkan makanan itu ke mulut Akrom, tapi makanan itu bukan masuk ke perut melainkan dimuntahkan kembali. "Mulutnya sudah tak bisa bicara dengan jelas. Setiap dikasih makanan, selalu keluar lagi. Badannya tampak kering dan mengundang rasa iba" kisah Astuti lagi tentang mantan suaminya itu.
Tepat menjelang maghrib, Astuti pulang ke rumah orangtuanya --yang tidak jauh dari rumah Akrom. Di rumah orangtuanya, Astuti melepas lelah. Karena itu, setelah berbincang dengan orangtuanya dan gelap malam sudah mengundang kantuk, ia beranjak ke tempat tidur. Tapi di saat matanya belum sempurna tidur dengan nyenyak, tiba-tiba ia dibangunkan oleh keluarganya yang mengabarkan kalau Akrom, mantan suaminya meninggal. "Ia Meninggal jam sebelas malam. Saya sedang tidur, ada telepon yang mengabarkan kalau dia meninggal. Meski saya melihat keadaan mantan suami saya itu menyedihkan, tetapi saya tak menyangka kalau dia akan meninggal muda dan secepat itu."
Memalingkan Muka
Malam itu, jenazah Akrom segera dibawa pulang ke rumah duka. Mobil ambulans yang membawa jenazah tiba di rumah duka, tepat tengah malam. Tetapi suara mobil ambulans yang meraung-raung di tengah malam, tak sempat mengusik nyenyak tidur penduduk. Hanya satu-dua warga yang melayat. Rumah duka baru terasa ramai, pada esok paginya ketika banyak keluarga dan famili datang melayat. Ratapan dan jerit tangis keluarga pun berderai. Apalagi tatkala para pelayat itu menyaksikan kondisi jenazah yang mengenaskan.
Sekitar pukul delapan, keluarga memutuskan untuk merawat jenazah. Jenazah yang terbaring di ruang tengah segera diangkat ke tempat pemandian. Tetapi tatkala jenazah siap dimandikan dan kain penutup jenazah dibuka untuk diguyur air, seketika orang-orang dibuat tercengang dan terperanjat kaget. Sebab kondisi jenazah benar-benar memprihatinkan. Tak salah, jika orang-orang memalingkan muka. "Ya, Allah kenapa bisa jadi begini?” ucap mereka sebagaimana ditirukan Astuti.
Nyaris tidak ada yang berani menyentuh jenazah. Tapi, jenazah itu harus dimandikan sehingga ada orang yang kemudian merasa wajib bertindak. Dan proses pemandian jenazah pun berakhir dengan mengundang rasa heran, dan tak lama kemudian dilanjutkan mangkafani dan menshalati jenazah.
Siang harinya, jenazah diberangkatkan ke pemakaman umum. Tidak ada kejadian aneh atau janggal yang menyertai prosesi pemakaman itu. Kendati demikian, orang-orang mafhum dengan kondisi jenazah yang cukup memperihainkan itu. Apalagi di benak Astuti yang sempat hidup bersama lelaki itu, seorang lelaki yang dikenal pemabuk berat.
Suka Mabuk dan Menyiksa
Astuti sebenarnya tidak ingin mengingat kenangan kelam bersama mantan suaminya. Tapi pengalaman hidup berumah tangga, kenangan pahit dan juga siksaan yang dia terima itu semata-mata ingin dia ceritakan kepada pembaca dengan harapan semoga ada hikmah dan pelajaran yang bisa diambil untuk direnungkan.
Pertemuan antara Astuti dengan mantan suaminya terjadi secara kebetulan di tempat pendaftaran haji. “Saat itu, saya diajak orangtua pergi haji dengan harapan agar saya cepat mendapatkan jodoh. Dan di tempat pendaftaran haji itulah, dia (mantan suami Astuti—red) melihat saya dan kemudian berkehendak berangkat haji. Ia menjual tanah, mendaftar untuk berangkat ke tanah suci,” cerita Astuti mengenang awal pertemuannya dengan Akrom.
Di Makkah itu, benih-benih cinta Astuti mulai bersemi. Akrom selalu menumpahkan perhatian. Tapi hati Astuti sempat ciut saat ia mengetahui Akrom sudah beristri. Orangtua Astuti pun kemudian meminta Akrom untuk menceraikan istrinya, jika memang serius mau menikahi Astuti. Maka, sepulang dari tanah suci itu, Akrom serius menceraikan istrinya dan menikahi Astuti.
Tetapi kekuatan cinta Akrom setelah menikahi Astuti tak seperti waktu di tanah suci dulu. Meski sudah berhaji, bukan Akrom tahu kewajiban suami yang harus ia tunaikan kepada istri, melainkan seperti orang kalap yanmg lupa daratan. Ia bukannya semakin rajin ke masjid untuk beribadah, berhenti dari kebiasaan buruk yang dulu pernah dilakoni, melainkan malah menjadi-jadi menuruti nafsu untuk mabuk. Akibatnya, setiap pulang ke rumah Akrom selalu berbau alkohol. Lebih dari itu, ia sering mengumpati Astuti dan memaki-maki dengan umpatan yang tak enak didengar. Bahkan tidak jarang Astuti menerima tamparan dan pukulan. “Banyak hal menyakitkan yang saya terima. Sampai dipukuli babak belur. Minumnya kuat dan terakhir kabarnya juga kecanduan narkoba,” kisah Astuti tentang kebiasaan Akrom yang selalu teler.
Astuti boleh dikata jarang diberi uang belanja. Untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, Astuti disuruh Akrom berjualan. Tapi bukannya uang hasil jualan itu membawa berkah melainkan justru menjadikan ia terbebas dari tanggung jawab untuk menafkahi Astuti dan dijadikan alasan untuk berbuat sewenang-wenang.
Siang dan malam, hampir selama lima tahun sejak Astuti menjadi istri Akrom nyaris membuatnya dicekam ketakutan. Padahal, menurut cerita Astuti, Akrom itu termasuk orang terpandang di kota Melinjo. Ia seorang pegawai negeri yang berkantor di dinas perumahan. Tak jarang, Akrom juga kerap mendapatkan tender untuk membangun perumahan. Karena itu, dari segi materi sebenarnya Akrom bukan orang miskin. Tapi kekayaan itu bukan digunakan untuk hal yang bermanfaat melainkan untuk hidup foya-foya, mabuk dan kerap menghabiskan malam di diskotik. Akibatnya, Akrom sering kurang kontrol dengan emosinya dan Astuti harus menderita lahir dan batin.
Dengan diperlakukan seperti itu, Astuti hanya bertahan lima tahun membina rumah tangga dengan Akrom. Meski dia sudah bertekat bulat untuk mempertahankan rumah tangga itu, namun pada akhirnya gagal karena diperlakukan sewenang-wenang. Pernah Astuti berdoa, "Ya, Allah kalau memang ini mudharat dan tak baik bagi agama saya, mudahkan dan kalau ia sadar, tolong panjangkan dia sebagai jodoh saya!"
Tapi Akrom bukannya sembuh dari minum. Justru dia selalu pulang dalam keadaan mabuk, tak jarang melontarkan pengusiran terhadap Astuti, “Kalau tak seneng dengan saya, tinggalkan saja rumah ini! Silahkan kau pulang! Memang aku tidak bisa makan apa? Besok pun aku bisa mendapatkan sepuluh perempuan yang lebih dari kamu!”
Sampai akhirnya, bangunan rumah tangga yang dibangun Astuti dan Akrom yang sudah berlangusng lima tahun itu pun runtuh. Keduanya lalu bercerai tepat pada tahun 2003. Dan sejak bercerai, Akrom semakin menjadi-jadi. Selalu menghabiskan malam di diskotik, bermain dengan perempuan dan juga menjadi peliharaan seorang wanita kaya. Hingga ia kena serangan liver yang mengonyak perutnya dan kemudian terkapar tak berdaya di rumah sakit sebelum ajal menjemput. Lebih tragis lagi, wajahnya mengelupas, perut membuncit, separoh tubuhnya gosong seperti terbakar dan darah keluar dari semua lubang.
IN BOX
“Suka Menyiksa dan Mabuk”
Saat saya diminta datang menjenguk oleh kakak kandung mantan suami saya di rumah sakit, saya sungguh kaget melihat kondisinya. Rambutnya putih, juga sudah rontok. Mukanya seperti terkelupas, lidahnya terjulur. Ia juga sudah tak bisa ngomong lagi. Dan yang membuat saya seakan tercekat, perutnya besar sekali. Kata dokter, bahkan dua hari lagi jika ia tidak meninggal maka perutnya yang terserang liver itu bisa-bisa meletus. Darah juga sudah keluar dari semua lubang. Bukan itu saja, sebelah badannya hitam seperti terbakar.
Saya lalu memaafkannya meski dulu sempat menyiksa saya habis-habisan. Dan setelah itu, saya pulang ke rumah orangtua saya. Menjelang tengah malam, ada suara telepon yang mengabarkan bahwa dia meninggal. Saya tak mengira ia akan meninggal muda dan secepat itu.
Orang-orang tidak heran dengan kondisi almarhum jika mau menengok masa lalunya yang kurang baik. Selain saya, istri pertamanya juga saya dengar kerapkali mendapat siksaan. Saya menceritakan semua ini, semoga hal itu bisa menjadi pelajaran bagi siapa pun. (nm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar