Al-Qur`an adalah kitab suci yang tidak hanya memuat aspek tauhid, etika dan ibadah belaka, melainkan –sebagaimana dikemukakan Al-Suyuthi (w. 991 H)- juga mencakup segala macam ilmu, bahkan tak ada satu pasal pun kecuali ada dasarnya dalam al-Qur`an. Karenanya, jika ada suatu masalah yang dihadapi umat, Allah menganjurkan merujuk al-Qur`an.
Lebih dari itu, Al-Qur`an juga bukan sembarang kitab. Hal itu bisa dibuktikan dengan bahasa yang digunakan al-Qur`an (tak ada seorang pun yang bisa menandinginya). Jika dilihat dari segi bahasa, al-Qur`an memuat berbagai ilmu. Al-Ghazali berkata bahwa al-Qur`an merangkumi 77.200 ilmu.
Salah satu aspeks ilmu dalam al-Qur`an yang bisa digali dengan berpijak dari bahasa yang digunakan dalam al-Qur`an adalah kata kunci yang mengacu pada kata manusia. Dari kata kunci itu, setidaknya bisa dikuak misteri manusia yang selama ini menjadi perdebatan. Apalagi manusia dikenal makhluk yang menyimpan sejuta misteri. Ia makhluk individual, tetapi di sisi lain juga sebagai makhluk sosial. Juga, manusia itu makhluk materi (tubuh) namun pada sisi yang lain memiliki jiwa, akal dan hati (perasaan).
Manusia dalam Pandangan Al-Qur`an
Dalam al-Qur`an –seperti dikatakan Jalaluddin Rakhmat dalam artikelnya Konsep-Konsep Antropologis-- terdapat tiga istilah kata kunci yang mengacu pada manusia, basyara, insan dan al-nas. Basyar (disebut 27 kali) memberi rujukan biologis. Dalam Q.S. Ali Imran: 47; Al-Kahfi: 110; Fushshilat: 6; Al-Furqan: 7, 20 dan Yusuf: 31, konsep basyar selalu dihubungkan sifat biologis manusia, seperti; makan, minum, seks dan berjalan di pasar.
Kata insan (disebut 65 kali), dikelompokkan tiga kategori. Pertama, insan dihubungkan sebagai khalifah atau pemikul amanah. Karena itu, manusia dilengkapi akal --makhluk yang diberi ilmu (Q.S. Al-Alaq: 4-5), kemampuan mengembangkan ilmu dan daya nalar untuk merenung, berpikir dan menganalisis (lihat QS. al-Nazi`at: 35).
Sebagai pemikul amanah (Q.S. al-Ahzab: 72), insan dihubungkan konsep tanggung jawab (Q.S. al-Qiyamah: 3, 36 dan QS. Qaf: 16). Insan diharuskan berbuat baik (Q.S. al-Ankabut: 8), amalnya dicatat dengan cermat dan diberi balasan sesuai dengan kerjanya (Q.S. al-Najm: 39). Oleh karena itulah, insan dimusuhi setan (Q.S. al-Isra: 53).
Dalam kategori yang kedua, insan dihubungkan dengan predisposisi negatif. Manusia cenderung zalim dan kafir (Q.S. Ibrahim: 34), tergesa-gesa (Q.S. al-Isra: 67), bakhil (Q.S. al-Isra: 100), bodoh (Q.S. al-Ahzab: 72) banyak mendebat (Q.S. al-Kahfi: 54), gelisah dan enggan membantu (Q.S. al-Ma`arif: 19), ditakdirkan bersusah payah dan menderita (Q.S. al-Insyiqaq: 6), tak berterima kasih (Q.S. al-`Adiyat: 6), berbuat dosa (Q.S. al-`Alaq: 6) dan meragukan hari kiamat (QS. Maryam: 66).
Apabila dihubungkan dengan kategori pertama, sebagai makhluk spiritual, insan jadi makhluk yang sungguh paradoks yang berjuang mengatasi konflik dua kekuatan yang saling betentangan: mengikuti fitrah (memikul amanah) dan mengikuti prediposisi negatif.
Dari kedua kekuatan ini lalu digambarkan dalam kategori ketiga, insan dihubungkan dengan proses penciptaan. Manusia diciptakan dari tanah liat, saripati tanah dan tanah (QS. al-Hijr: 26, al-Rahman: 14, al-Mu`minun: 12, al-Sajdah: 7). Demikian juga basyar berasal dari tanah liat, tanah (QS. al-Hijr: 28; Shad: 71 dan al-Rum: 20) dan air (QS. al-Furqan: 54). Proses penciptaan manusia secara simbolik menggambarkan karakteristik basyari dan insani. Yang pertama, unsur material dan yang kedua unsur ruhani.
Adapun kata manusia ketiga adalah al-nas, yang mengacu pada aspeks sosial (disebut 240 kali). Sebagai makhluk sosial, al-nas dapat dilihat dalam tiga hal. Pertama, tak sedikit ayat yang menunjuk manusia sebagai kelompok sosial dengan ungkapan wa min al-nas. Dari ungkapan itu, ditemukan kelompok manusia yang menyatakan beriman tetapi sebetulnya tidak beriman (QS. al-Baqarah: 8), mengambil sekutu terhadap Allah (QS. al-Baqarah: 165), hanya memikirkan kehidupan dunia (QS. al-Baqarah: 200), mempesonakan orang dalam pembicaraan tentang kehidupan dunia, tapi memusuhi kebenaran (QS. al-Baqarah: 204), menyembah Allah dengan iman yang lemah (QS. al-Hajj: 11 dan al-Ankabut: 10) dan menjual pembicaraan yang menyesatkan (QS. Luqman: 6), meski ada juga sebagian orang yang rela mengorbankan dirinya untuk mencari keridhaan Allah.
Kedua, dengan memperhatikan ungkapan nas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar manusia punya kualitas rendah, dari segi ilmu maupun iman. Al-Qur`an menerangkan sebagian manusia tak berilmu (QS. al-A`raf: 187; Yusuf: 21 dan al-Qashash: 68), tak bersyukur (QS. al-Mu`min: 61), tak beriman (QS. Hud: 17), fasiq (QS. al-Maidah: 49), melalaikan ayat-ayat Allah (QS. Yunus: 92), kafir (QS. al-Isra`: 89) dan kebanyakan menanggung azab (QS. al-Hajj: 18). Ayat-ayat itu dipertegas dengan ayat-ayat yang menunjukkan sedikitnya kelompok manusia yang beriman (QS. al-Nisa`: 66), berilmu atau dapat mengambil pelajaran (QS. al-Kahfi: 22), yang bersyukur (QS. Saba`: 13), yang selamat dari siksa Allah (QS. Hud: 116) dan tidak diperdayakan setan (QS. al-Nisa`: 83).
Ketiga, petunjuk al-Qur`an bukan dimaksudkan kepada manusia secara perorangan, tapi juga sosial. Al-nas sering dihubungkan dengan petunjuk atau al-kitab (QS. al-Hadid: 25).
Makhluk Paling Mulia
Akhirnya dapat disimpulkan, manusia (basyar) berkaitan dengan unsur material. Dia sepadan dengan matahari, hewan dan tumbuhan. Ia tunduk pada takdir Allah. Sedang manusia insan dan al-nas bertalian unsur hembusan Ilahi. Ia dikenai aturan tapi diberi kekuatan untuk tunduk dan melepaskan diri. Karena itu, ada manusia yang beriman dan ingkar.
Tapi, yang membedakan manusia dan hewan adalah keberadaan iman dan akal. Usaha untuk mengembangkan keduanya berujung pada amal shaleh. Iman dan akal itu adalah dasar urgent yang membedakan manusia dari makhluk yang lain. Meski dalam al-Qur`an diterangkan jumlah manusia yang berhasil mengembangkan iman dan akal (sekaligus) sangat sedikit.
Upaya memahami manusia dari segi bahasa al-Qur`an bisa dijelaskan bahwa manusia itu makhluk individu, sekaligus makhluk sosial, makhluk biologis sekaligus makhluk psikologis (spiritual). Juga, manusia gabungan antara unsur material dan unsur ruhani. Sebagai makhluk spiritual, dia hamba Allah (makhluk). Dari segi ini --dalam konteks makhluk Tuhan-- ia adalah makhluk yang terbaik (QS. al-Tin: 4). (n. mursidi)
Salah satu aspeks ilmu dalam al-Qur`an yang bisa digali dengan berpijak dari bahasa yang digunakan dalam al-Qur`an adalah kata kunci yang mengacu pada kata manusia. Dari kata kunci itu, setidaknya bisa dikuak misteri manusia yang selama ini menjadi perdebatan. Apalagi manusia dikenal makhluk yang menyimpan sejuta misteri. Ia makhluk individual, tetapi di sisi lain juga sebagai makhluk sosial. Juga, manusia itu makhluk materi (tubuh) namun pada sisi yang lain memiliki jiwa, akal dan hati (perasaan).
Manusia dalam Pandangan Al-Qur`an
Dalam al-Qur`an –seperti dikatakan Jalaluddin Rakhmat dalam artikelnya Konsep-Konsep Antropologis-- terdapat tiga istilah kata kunci yang mengacu pada manusia, basyara, insan dan al-nas. Basyar (disebut 27 kali) memberi rujukan biologis. Dalam Q.S. Ali Imran: 47; Al-Kahfi: 110; Fushshilat: 6; Al-Furqan: 7, 20 dan Yusuf: 31, konsep basyar selalu dihubungkan sifat biologis manusia, seperti; makan, minum, seks dan berjalan di pasar.
Kata insan (disebut 65 kali), dikelompokkan tiga kategori. Pertama, insan dihubungkan sebagai khalifah atau pemikul amanah. Karena itu, manusia dilengkapi akal --makhluk yang diberi ilmu (Q.S. Al-Alaq: 4-5), kemampuan mengembangkan ilmu dan daya nalar untuk merenung, berpikir dan menganalisis (lihat QS. al-Nazi`at: 35).
Sebagai pemikul amanah (Q.S. al-Ahzab: 72), insan dihubungkan konsep tanggung jawab (Q.S. al-Qiyamah: 3, 36 dan QS. Qaf: 16). Insan diharuskan berbuat baik (Q.S. al-Ankabut: 8), amalnya dicatat dengan cermat dan diberi balasan sesuai dengan kerjanya (Q.S. al-Najm: 39). Oleh karena itulah, insan dimusuhi setan (Q.S. al-Isra: 53).
Dalam kategori yang kedua, insan dihubungkan dengan predisposisi negatif. Manusia cenderung zalim dan kafir (Q.S. Ibrahim: 34), tergesa-gesa (Q.S. al-Isra: 67), bakhil (Q.S. al-Isra: 100), bodoh (Q.S. al-Ahzab: 72) banyak mendebat (Q.S. al-Kahfi: 54), gelisah dan enggan membantu (Q.S. al-Ma`arif: 19), ditakdirkan bersusah payah dan menderita (Q.S. al-Insyiqaq: 6), tak berterima kasih (Q.S. al-`Adiyat: 6), berbuat dosa (Q.S. al-`Alaq: 6) dan meragukan hari kiamat (QS. Maryam: 66).
Apabila dihubungkan dengan kategori pertama, sebagai makhluk spiritual, insan jadi makhluk yang sungguh paradoks yang berjuang mengatasi konflik dua kekuatan yang saling betentangan: mengikuti fitrah (memikul amanah) dan mengikuti prediposisi negatif.
Dari kedua kekuatan ini lalu digambarkan dalam kategori ketiga, insan dihubungkan dengan proses penciptaan. Manusia diciptakan dari tanah liat, saripati tanah dan tanah (QS. al-Hijr: 26, al-Rahman: 14, al-Mu`minun: 12, al-Sajdah: 7). Demikian juga basyar berasal dari tanah liat, tanah (QS. al-Hijr: 28; Shad: 71 dan al-Rum: 20) dan air (QS. al-Furqan: 54). Proses penciptaan manusia secara simbolik menggambarkan karakteristik basyari dan insani. Yang pertama, unsur material dan yang kedua unsur ruhani.
Adapun kata manusia ketiga adalah al-nas, yang mengacu pada aspeks sosial (disebut 240 kali). Sebagai makhluk sosial, al-nas dapat dilihat dalam tiga hal. Pertama, tak sedikit ayat yang menunjuk manusia sebagai kelompok sosial dengan ungkapan wa min al-nas. Dari ungkapan itu, ditemukan kelompok manusia yang menyatakan beriman tetapi sebetulnya tidak beriman (QS. al-Baqarah: 8), mengambil sekutu terhadap Allah (QS. al-Baqarah: 165), hanya memikirkan kehidupan dunia (QS. al-Baqarah: 200), mempesonakan orang dalam pembicaraan tentang kehidupan dunia, tapi memusuhi kebenaran (QS. al-Baqarah: 204), menyembah Allah dengan iman yang lemah (QS. al-Hajj: 11 dan al-Ankabut: 10) dan menjual pembicaraan yang menyesatkan (QS. Luqman: 6), meski ada juga sebagian orang yang rela mengorbankan dirinya untuk mencari keridhaan Allah.
Kedua, dengan memperhatikan ungkapan nas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar manusia punya kualitas rendah, dari segi ilmu maupun iman. Al-Qur`an menerangkan sebagian manusia tak berilmu (QS. al-A`raf: 187; Yusuf: 21 dan al-Qashash: 68), tak bersyukur (QS. al-Mu`min: 61), tak beriman (QS. Hud: 17), fasiq (QS. al-Maidah: 49), melalaikan ayat-ayat Allah (QS. Yunus: 92), kafir (QS. al-Isra`: 89) dan kebanyakan menanggung azab (QS. al-Hajj: 18). Ayat-ayat itu dipertegas dengan ayat-ayat yang menunjukkan sedikitnya kelompok manusia yang beriman (QS. al-Nisa`: 66), berilmu atau dapat mengambil pelajaran (QS. al-Kahfi: 22), yang bersyukur (QS. Saba`: 13), yang selamat dari siksa Allah (QS. Hud: 116) dan tidak diperdayakan setan (QS. al-Nisa`: 83).
Ketiga, petunjuk al-Qur`an bukan dimaksudkan kepada manusia secara perorangan, tapi juga sosial. Al-nas sering dihubungkan dengan petunjuk atau al-kitab (QS. al-Hadid: 25).
Makhluk Paling Mulia
Akhirnya dapat disimpulkan, manusia (basyar) berkaitan dengan unsur material. Dia sepadan dengan matahari, hewan dan tumbuhan. Ia tunduk pada takdir Allah. Sedang manusia insan dan al-nas bertalian unsur hembusan Ilahi. Ia dikenai aturan tapi diberi kekuatan untuk tunduk dan melepaskan diri. Karena itu, ada manusia yang beriman dan ingkar.
Tapi, yang membedakan manusia dan hewan adalah keberadaan iman dan akal. Usaha untuk mengembangkan keduanya berujung pada amal shaleh. Iman dan akal itu adalah dasar urgent yang membedakan manusia dari makhluk yang lain. Meski dalam al-Qur`an diterangkan jumlah manusia yang berhasil mengembangkan iman dan akal (sekaligus) sangat sedikit.
Upaya memahami manusia dari segi bahasa al-Qur`an bisa dijelaskan bahwa manusia itu makhluk individu, sekaligus makhluk sosial, makhluk biologis sekaligus makhluk psikologis (spiritual). Juga, manusia gabungan antara unsur material dan unsur ruhani. Sebagai makhluk spiritual, dia hamba Allah (makhluk). Dari segi ini --dalam konteks makhluk Tuhan-- ia adalah makhluk yang terbaik (QS. al-Tin: 4). (n. mursidi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar