Lelaki yang bernama lengkap Toto Tasmara ini boleh dikatakan sosok yang dikelilingi dengan banyak predikat. Selain dikenal sebagai kiai, sekaligus da’i yang kerap memberikan ceramah keagamaan di mana-mana, ternyata ia juga dikenal sebagai penulis kenamaan. Tidak lebih dari lima buku telah dihasilkan dari buah pikiran tokoh satu ini. Lebih dari itu, malah sebelum dia memilih untuk membaktikan hidup dengan mendirikan pesantren al-Maghfirah --yang khusus menangani para pecandu narkoba-- justru sempat malang melintang sebagai eksekutif handal dan konsultan yang piawai di berbagai perusahaan.
Tak ayal lagi, dari petualangan hidup dan pengalaman lelaki kelahiran Ciamis ini kalau menjumpai pahit getirnya kehidupan dunia dan aneka karakter manusia. Salah satu karakter manusia yang sempat membuat sosok satu ini prihatin adalah tatkala ia menjumpai kenakalan remaja dan para eksekutif muda yang terjebak obat terlarang, bernama narkoba. Dari keprihatinan itulah, kiai satu ini kemudian merasa tergugah untuk membimbing mereka dengan mendirikan pesantren al-Maghfirah yang terletak di kaki Gunung Geulis, Bogor.
Bagaimana kisah awal keterlibatan KH. Toto Tasmara bisa menjadi pembimbing bagi para pecandu narkoba? Metode apa yang diterapkan kiai kharismatik ini dalam menangani para pecandu narkoba? Bagaimana suka-duka kiai ini selama menangani korban narkoba? Kepada Nur Mursidi, reporter majalah Hidayah yang berkesempatan menemuinya di pondok pesantren Al-Maghfirah, di sela-sela kesibukan sang kiai ketika menjadi pemandu dan pemateri dalam pelatihan Manajemen Spiritualitas dan Etos Kerja bagi pegawai Bank BNI Syariah di pesantren al-Maghfirah, salah seorang pendiri Badan Kontak Remaja Masjid Indonesia (BKRMI) ini menuturkan kisah manis-getirnya selama kurang lebih 6 tahun dalam menangani para pecandu narkoba.
Sepenggal Kisah dari Lapangan Golf
Sebelum KH. Toto Tamara mendirikan sekaligus menjadi pengasuh pesantren al-Maghfirah yang menangani pecandu narkoba, lelaki kelahiran Ciamis, 10 November 1948 ini dikenal sebagai eksekutif kenamaan. Kendati ia juga dikenal sebagai kiai dan da’i, toh aktivitas olah raga bergengsi yang biasa dilakukan teman-teman eksekutif tidak dijauhinya. Tak salah, jika KH Toto Tasmara pun sempat turut lapangan untuk bermain golf.
Tapi, pada suatu hari di saat sang kiai itu ikut bermain golf, ternyata menjumpai salah seorang bawahannya ada yang berbicara ngelantur dan bahkan berjalan dengan sempongan di tengah lapangan.
Merasa ada yang aneh dengan semua itu, akhirnya sang kiai perlu mengusut. Setelah usut punya usut, ternyata bawahannya itu sedang sedang teller saat bermain golf, nenggak sabu-sabu. “Selama beberapa tahun, saya menjadi eksekutif. Dari situ saya sering main golf bersama para eksekutif muda dan suatu hari di saat main golf, saya melihat para eksutif muda itu ngomongnya ngelantur, juga jalannya sempoyongan. Tapi PD (percaya diri –red) banget. Eh, rupanya hal itu akibat nenggak sabu-sabu,“ tutur kiai satu ini saat bercerita awal mula bagaimana kisah perjalanan yang membawanya menjadi pembimbing para pecandu narkoba.
“Dari situ, saya kemudian ingin mendalami narkoba. Saya bertanya kepadanya, ‘kenapa kamu bisa begini?’ Memang kasihan juga, tapi walaupun dia itu bawahan dan sekaligus teman saya, toh akhirnya saya pecat juga, “ kisah sang kiai lebih lanjut.
Sepenggal kisah dari lapangan golf itulah yang rupanya pada akhirnya dapat mendorong pendiri Yayasan Labmend (Lembaga Bina Menejemen dan Da`wah/ Laboratory for Management and Development) ini kemudian membaca buku dan belajar seputar masalah yang berkaitan dengan narkoba, “Jadi, selesai bekerja sebagai eksekutif (saat itu saya sebagai asisten operasi di Bank Duta dan salah satu asisten sekretaris di PT Humpus), saya menenggelamkan diri membaca buku-buku yang berkaitan dengan masalah narkoba.”
Rupa-rupanya, dari proses belajar dan limpahan pengetahuan setelah membaca buku itu, kiai satu ini punya gagasan untuk menangani dan membimbing para pecandu narkoba. Dengan cara apa? Tentu dengan mendirikan ponpes yang khusus untuk para pecandu narkoba.
“Tepat pada tahun 1997, akhirnya saya keluar. Dari situ, lalu saya membuka jasa konsultan, sambil tetap mendalami masalah narkoba. Baru pada tahun 1999, saya mendirikan pesantren narkoba al-Maghfirah dengan metode saya sendiri,” ceritanya lebih lanjut mengenai sejarah berdirinya pesantren al-Maghfirah yang memang khusus untuk menggembleng para pecandu narkoba.
Metode Motivasi dan Ornaba
Uniknya, dalam memberikan bimbingan dan motivasi bagi pecandu narkoba, Abi –panggilan akrab bagi para santri di pesantren Al-Maghfirah kepadanya—justru menggunakan metodenya sendiri. Tak ayal, jika metode yang diterapkan tentunya lain dengan cara dokter selama ini dalam menangani para pecandu narkoba.
Apa metode yang dipakai? Dalam menangani pecandu narkoba, sebagaimana dijelaskannya adalah dengan metode terapi atau metode motivasi. Dengan metode ini, sang kiai berusaha memotivasi supaya pecandu narkoba meninggalkan benda haram itu. “Metode ini memanggil hati nurani dengan tidak ada unsur pemaksaan. Pokoknya mereka disadarkan saja, karena yang menyembuhkan itu, ya... dirinya sendiri. Narkoba itu tak ada obatnya, yang menyebuhkan itu dirinya sendiri. Jadi…, kalau dirinya tidak dipanggil, ya tak akan sembuh,” katanya menjabarkan metode motivasi yang dipakai.
Tak berlebihan, jika kiai ini tidak memaksa santri untuk shalat. Sang kiai hanya memberikan motivasi dan ternyata saat tumbuh kesadaran, ternyata mereka melakukan juga shalat dengan penuh kesadaran, tanpa harus disuruh atau dibangunkan segala.
Selain dengan metode motivasi, pendiri pesantren al-Maghfirah ini ternyata juga menerapkan metode lain berupa meditasi ornaba (olah rasa nafas batin). “Jadi, setelah 2 bulan, mereka dilatih olah rasa. Sehingga jika dia melawan suges, saat datang keinginan untuk memakai, pikirannya sudah jernih. Ia bisa melawan keinginannya itu. Melawan dari dirinya sendirinya. Jadi, yang dibangun adalah pemberdayaan nilai-nilai spiritual yang ada di dalam diri. Namanya spiritual empowerment, bagaimana nilai-nilai spiritual yang ada dalam dirinya dibangkitkan, diangkat kembali. Lalu, ditumbuhkan optimisme, ‘aku bisa! aku bisa!’.” tutur kiai satu ini lebih lanjut.
Kendati demikian, tetap diselipi materi agama. Meski bagi KH Toto jelas itu tak mungkin mereka akan menjadi ahli agama. “Itu tak mungkin! Apalagi dalam waktu singkat sekitar 6 bulan, jelas bohong” tuturnya mantap. Yang jelas, mereka dimotivasi supaya hatinya sadar, bahwa mengkonsumsi narkoba itu dosa. Sebab, di mata KH Toto Tasmara, pemakai putaw itu tidak ubahnya budaknya putaw. Jadi, tuhannya itu putaw. Tak salah, jika sang kiai berpandangan bahwa perilaku itu termasuk syirik.
Juga, narkoba itu di mata kiai satu ini adalah penyakit yang disebarkan kaum Dajjalis, sehingga beliau sering menanamkan kesadaran bahwa mengkonsumsi narkoba itu mengkonsumsi Dajjal. Dengan kata lain, mengkonsumsi narkoba itu berarti hamba Dajjal, hambanya Yahudi, karena benda itu berasal dari mereka untuk menghancurkan genarasi supaya kalah. “Nah, dengan cara berpikir seperti itu anak menjadi takut sebab narkoba itu sama dengan seribu kali congor babi. Haramnya itu satu babi saja sudah neraka, apalagi seribu congor babi. Dibangun rasa takutnya, dan alhamdulillah dengan metode seperti itu, banyak yang berhasil.”
Pernah Dicaci-maki
Kendati boleh dikata tidak kurang dari 90% pecandu narkoba yang sukses di bawah bimbingnya, namun tak disangkal kalau selama kurang lebih 6 tahun kiprah sang kiai dalam menangani para pecandu narkoba, pernah juga menuai kegagalan. Dari pengalaman kegagalan itu, KH Toto harus menerima perlakuan buruk dari orangtua si korban. Perlakuan buruk itu, salah satunya berupa cacian dari orang tua santri. Karena setelah sang anak dibimbing dan sudah sewaktunya pulang, ternyata di rumah kambuh kembali.
“Orang tua banyak yang tidak mengerti. Dengan banyak duit, mereka maunya cepat sembuh, maunya nyalahin saja. Kalau sudah begitu, saya akhirnya tegas. Anak ibu tak cocok di pesantren kami. Ya, karena orangtuanya begitu, ya mending saya rehab yang lain yang bisa diajak kerjasama. Ada satu dua, dan tidak banyak memang. Sebab bagi saya itu tetap cukup pahit. Saya juga heran, kok ada juga orangtua yang datang ke sini, ‘Pak ini uangnya, pak ini anaknya dan anak saya gak usah pulang ke rumah, biar tinggal saja di sini. Itulah pengalaman pahit yang pernah saya terima,“ kenangnya atas perlakuan buruk dari salah satu orangtua si pecandu.
Jadi dalam mengasuh para korban narkoba kiai satu ini juga mengajak orangtua untuk terlibat. Harapannya, tatkala nanti anak keluar dari pesantren, orangtua sudah siap menerima dan siap untuk mendampingi.
“Sayang, kebanyakan orangtua tidak paham, sebab dikira jika masuk pesantren dikira saat keluar sudah sembuh total. Jadi orang tua juga harus saya sengat, sebab di sini itu soal kasih sayang bukanlah soal uang. Soal perhatian, jadi setelah keluar dari pesantren orangtua sudah siap, kamar anaknya dibersihkan, dijauhkan dari telpon dan lain-lain. Pendeknya, harus hidup baru. Jadi, tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada saya. Sebab, saya membimbing mereka sebagai wujud pengabdian sosial. Sebab, kalau dibandingkan dengan makan mereka, jelas biaya itu tidak cukup. Bahkan, di sini ada yang disumsidi,“ kata penulis buku Menjadi Muslim Kaffah; Menggali Potensi Diri ini.
Tidak berlebihan, kalau kiprah yang telah diukir sosok ini patut diajungi jempol dalam memberikan bimbingan dan motivasi bagi pecandu narkoba. Sebab dari sekitar 600 santri yang pernah diasuhnya, 90 % sukses. “Ada yang jadi pengusaha, insinyur dan pilot. Saya pernah naik pesawatnya dan ketemu. Melihatnya, saya sudah cukup bangga. Sebab bagi seorang pembimbing (guru), akan cukup bangga jika melihat murid yang dibimbingnya itu sukses dan berhasil,” cerita kiai karismatik ini dengan bangga tatkala mengenang kesuksesan santri-santri yang dibimbingnya (n. mursidi).
Tak ayal lagi, dari petualangan hidup dan pengalaman lelaki kelahiran Ciamis ini kalau menjumpai pahit getirnya kehidupan dunia dan aneka karakter manusia. Salah satu karakter manusia yang sempat membuat sosok satu ini prihatin adalah tatkala ia menjumpai kenakalan remaja dan para eksekutif muda yang terjebak obat terlarang, bernama narkoba. Dari keprihatinan itulah, kiai satu ini kemudian merasa tergugah untuk membimbing mereka dengan mendirikan pesantren al-Maghfirah yang terletak di kaki Gunung Geulis, Bogor.
Bagaimana kisah awal keterlibatan KH. Toto Tasmara bisa menjadi pembimbing bagi para pecandu narkoba? Metode apa yang diterapkan kiai kharismatik ini dalam menangani para pecandu narkoba? Bagaimana suka-duka kiai ini selama menangani korban narkoba? Kepada Nur Mursidi, reporter majalah Hidayah yang berkesempatan menemuinya di pondok pesantren Al-Maghfirah, di sela-sela kesibukan sang kiai ketika menjadi pemandu dan pemateri dalam pelatihan Manajemen Spiritualitas dan Etos Kerja bagi pegawai Bank BNI Syariah di pesantren al-Maghfirah, salah seorang pendiri Badan Kontak Remaja Masjid Indonesia (BKRMI) ini menuturkan kisah manis-getirnya selama kurang lebih 6 tahun dalam menangani para pecandu narkoba.
Sepenggal Kisah dari Lapangan Golf
Sebelum KH. Toto Tamara mendirikan sekaligus menjadi pengasuh pesantren al-Maghfirah yang menangani pecandu narkoba, lelaki kelahiran Ciamis, 10 November 1948 ini dikenal sebagai eksekutif kenamaan. Kendati ia juga dikenal sebagai kiai dan da’i, toh aktivitas olah raga bergengsi yang biasa dilakukan teman-teman eksekutif tidak dijauhinya. Tak salah, jika KH Toto Tasmara pun sempat turut lapangan untuk bermain golf.
Tapi, pada suatu hari di saat sang kiai itu ikut bermain golf, ternyata menjumpai salah seorang bawahannya ada yang berbicara ngelantur dan bahkan berjalan dengan sempongan di tengah lapangan.
Merasa ada yang aneh dengan semua itu, akhirnya sang kiai perlu mengusut. Setelah usut punya usut, ternyata bawahannya itu sedang sedang teller saat bermain golf, nenggak sabu-sabu. “Selama beberapa tahun, saya menjadi eksekutif. Dari situ saya sering main golf bersama para eksekutif muda dan suatu hari di saat main golf, saya melihat para eksutif muda itu ngomongnya ngelantur, juga jalannya sempoyongan. Tapi PD (percaya diri –red) banget. Eh, rupanya hal itu akibat nenggak sabu-sabu,“ tutur kiai satu ini saat bercerita awal mula bagaimana kisah perjalanan yang membawanya menjadi pembimbing para pecandu narkoba.
“Dari situ, saya kemudian ingin mendalami narkoba. Saya bertanya kepadanya, ‘kenapa kamu bisa begini?’ Memang kasihan juga, tapi walaupun dia itu bawahan dan sekaligus teman saya, toh akhirnya saya pecat juga, “ kisah sang kiai lebih lanjut.
Sepenggal kisah dari lapangan golf itulah yang rupanya pada akhirnya dapat mendorong pendiri Yayasan Labmend (Lembaga Bina Menejemen dan Da`wah/ Laboratory for Management and Development) ini kemudian membaca buku dan belajar seputar masalah yang berkaitan dengan narkoba, “Jadi, selesai bekerja sebagai eksekutif (saat itu saya sebagai asisten operasi di Bank Duta dan salah satu asisten sekretaris di PT Humpus), saya menenggelamkan diri membaca buku-buku yang berkaitan dengan masalah narkoba.”
Rupa-rupanya, dari proses belajar dan limpahan pengetahuan setelah membaca buku itu, kiai satu ini punya gagasan untuk menangani dan membimbing para pecandu narkoba. Dengan cara apa? Tentu dengan mendirikan ponpes yang khusus untuk para pecandu narkoba.
“Tepat pada tahun 1997, akhirnya saya keluar. Dari situ, lalu saya membuka jasa konsultan, sambil tetap mendalami masalah narkoba. Baru pada tahun 1999, saya mendirikan pesantren narkoba al-Maghfirah dengan metode saya sendiri,” ceritanya lebih lanjut mengenai sejarah berdirinya pesantren al-Maghfirah yang memang khusus untuk menggembleng para pecandu narkoba.
Metode Motivasi dan Ornaba
Uniknya, dalam memberikan bimbingan dan motivasi bagi pecandu narkoba, Abi –panggilan akrab bagi para santri di pesantren Al-Maghfirah kepadanya—justru menggunakan metodenya sendiri. Tak ayal, jika metode yang diterapkan tentunya lain dengan cara dokter selama ini dalam menangani para pecandu narkoba.
Apa metode yang dipakai? Dalam menangani pecandu narkoba, sebagaimana dijelaskannya adalah dengan metode terapi atau metode motivasi. Dengan metode ini, sang kiai berusaha memotivasi supaya pecandu narkoba meninggalkan benda haram itu. “Metode ini memanggil hati nurani dengan tidak ada unsur pemaksaan. Pokoknya mereka disadarkan saja, karena yang menyembuhkan itu, ya... dirinya sendiri. Narkoba itu tak ada obatnya, yang menyebuhkan itu dirinya sendiri. Jadi…, kalau dirinya tidak dipanggil, ya tak akan sembuh,” katanya menjabarkan metode motivasi yang dipakai.
Tak berlebihan, jika kiai ini tidak memaksa santri untuk shalat. Sang kiai hanya memberikan motivasi dan ternyata saat tumbuh kesadaran, ternyata mereka melakukan juga shalat dengan penuh kesadaran, tanpa harus disuruh atau dibangunkan segala.
Selain dengan metode motivasi, pendiri pesantren al-Maghfirah ini ternyata juga menerapkan metode lain berupa meditasi ornaba (olah rasa nafas batin). “Jadi, setelah 2 bulan, mereka dilatih olah rasa. Sehingga jika dia melawan suges, saat datang keinginan untuk memakai, pikirannya sudah jernih. Ia bisa melawan keinginannya itu. Melawan dari dirinya sendirinya. Jadi, yang dibangun adalah pemberdayaan nilai-nilai spiritual yang ada di dalam diri. Namanya spiritual empowerment, bagaimana nilai-nilai spiritual yang ada dalam dirinya dibangkitkan, diangkat kembali. Lalu, ditumbuhkan optimisme, ‘aku bisa! aku bisa!’.” tutur kiai satu ini lebih lanjut.
Kendati demikian, tetap diselipi materi agama. Meski bagi KH Toto jelas itu tak mungkin mereka akan menjadi ahli agama. “Itu tak mungkin! Apalagi dalam waktu singkat sekitar 6 bulan, jelas bohong” tuturnya mantap. Yang jelas, mereka dimotivasi supaya hatinya sadar, bahwa mengkonsumsi narkoba itu dosa. Sebab, di mata KH Toto Tasmara, pemakai putaw itu tidak ubahnya budaknya putaw. Jadi, tuhannya itu putaw. Tak salah, jika sang kiai berpandangan bahwa perilaku itu termasuk syirik.
Juga, narkoba itu di mata kiai satu ini adalah penyakit yang disebarkan kaum Dajjalis, sehingga beliau sering menanamkan kesadaran bahwa mengkonsumsi narkoba itu mengkonsumsi Dajjal. Dengan kata lain, mengkonsumsi narkoba itu berarti hamba Dajjal, hambanya Yahudi, karena benda itu berasal dari mereka untuk menghancurkan genarasi supaya kalah. “Nah, dengan cara berpikir seperti itu anak menjadi takut sebab narkoba itu sama dengan seribu kali congor babi. Haramnya itu satu babi saja sudah neraka, apalagi seribu congor babi. Dibangun rasa takutnya, dan alhamdulillah dengan metode seperti itu, banyak yang berhasil.”
Pernah Dicaci-maki
Kendati boleh dikata tidak kurang dari 90% pecandu narkoba yang sukses di bawah bimbingnya, namun tak disangkal kalau selama kurang lebih 6 tahun kiprah sang kiai dalam menangani para pecandu narkoba, pernah juga menuai kegagalan. Dari pengalaman kegagalan itu, KH Toto harus menerima perlakuan buruk dari orangtua si korban. Perlakuan buruk itu, salah satunya berupa cacian dari orang tua santri. Karena setelah sang anak dibimbing dan sudah sewaktunya pulang, ternyata di rumah kambuh kembali.
“Orang tua banyak yang tidak mengerti. Dengan banyak duit, mereka maunya cepat sembuh, maunya nyalahin saja. Kalau sudah begitu, saya akhirnya tegas. Anak ibu tak cocok di pesantren kami. Ya, karena orangtuanya begitu, ya mending saya rehab yang lain yang bisa diajak kerjasama. Ada satu dua, dan tidak banyak memang. Sebab bagi saya itu tetap cukup pahit. Saya juga heran, kok ada juga orangtua yang datang ke sini, ‘Pak ini uangnya, pak ini anaknya dan anak saya gak usah pulang ke rumah, biar tinggal saja di sini. Itulah pengalaman pahit yang pernah saya terima,“ kenangnya atas perlakuan buruk dari salah satu orangtua si pecandu.
Jadi dalam mengasuh para korban narkoba kiai satu ini juga mengajak orangtua untuk terlibat. Harapannya, tatkala nanti anak keluar dari pesantren, orangtua sudah siap menerima dan siap untuk mendampingi.
“Sayang, kebanyakan orangtua tidak paham, sebab dikira jika masuk pesantren dikira saat keluar sudah sembuh total. Jadi orang tua juga harus saya sengat, sebab di sini itu soal kasih sayang bukanlah soal uang. Soal perhatian, jadi setelah keluar dari pesantren orangtua sudah siap, kamar anaknya dibersihkan, dijauhkan dari telpon dan lain-lain. Pendeknya, harus hidup baru. Jadi, tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada saya. Sebab, saya membimbing mereka sebagai wujud pengabdian sosial. Sebab, kalau dibandingkan dengan makan mereka, jelas biaya itu tidak cukup. Bahkan, di sini ada yang disumsidi,“ kata penulis buku Menjadi Muslim Kaffah; Menggali Potensi Diri ini.
Tidak berlebihan, kalau kiprah yang telah diukir sosok ini patut diajungi jempol dalam memberikan bimbingan dan motivasi bagi pecandu narkoba. Sebab dari sekitar 600 santri yang pernah diasuhnya, 90 % sukses. “Ada yang jadi pengusaha, insinyur dan pilot. Saya pernah naik pesawatnya dan ketemu. Melihatnya, saya sudah cukup bangga. Sebab bagi seorang pembimbing (guru), akan cukup bangga jika melihat murid yang dibimbingnya itu sukses dan berhasil,” cerita kiai karismatik ini dengan bangga tatkala mengenang kesuksesan santri-santri yang dibimbingnya (n. mursidi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar