Selasa, 01 Agustus 2006

doa

tulisan ini dimuat di rubrik renungan di majalah hidayah edisi 61 agustus 2006

Di tempat perantauan, keberadaan teman kerap menjadi harta berharga yang tidak ternilai. Betapa berharganya keberadaan teman itu, saya buktikan sendiri. Lulus SMU, saya ingin melanjutkan kuliah ke Yogya. Hati saya sempat ciut, bukan lantaran dihantui kesulitan untuk mengerjakan soal-soal ujian yang nanti akan saya kerjakan, namun semata-mata hanya terbayang pertanyaan, "Di mana saya akan tinggal selama ujian, sementara saya tak punya sanak famili di Yogya?"

Untung, saat saya SMU dan tinggal di pesantren, punya kakak kelas yang lebih dahulu kuliah di Yogya. Jadi, kost kakak kelas saya itu menjadi tempat tubuhku untuk tidur selama 3 hari, selama menjalani ujian. Ia bahkan memberikan semacam kunci dalam memecahkan soal-soal ujian sehingga saya lolos seleksi. Sampai kini, masih saya ingat kebaikannya itu meski sudah lama berlalu. Apalagi ia sempat membuatku sadar akan fungsi mulut untuk berdoa.

Masih saya ingat, malam pertama saat datang ke kost-nya, rasa capek membuat saya ditikam kantuk. Padahal, saat itu malam sudah memasuki waktu untuk menunaikan shalat isya`. Akhirnya, saya putuskan untuk tidur dahulu dan berencana bangun malam hari untuk shalat isya`sekaligus belajar. Meski terantuk, saya masih melihat ia shalat isya`di sebelahku. Usai salam, saya nyeletuk. "Tolong, saya didoakan agar lolos seleksi, ya!"

Tak terbayangkan di benak saya, kalau ia langsung menoleh kepadaku dan dengan nada sumbang berucap, "Hei, Tuhan itu Maha Mengetahui. Tanpa aku berdoa-pun Tuhan sudah tahu apa yang ada dalam benakku. Jadi untuk apa aku mengutarakan dengan mulut lagi meminta Tuhan agar kamu lolos seleksi?"

Saya melongo! Dalam hati kecilku, saya berpikir kalau apa yang diucapkan itu memang tidak salah. Usai shalat isya`, dia tak berdoa dengan mulutnya untuk mengutarakan kepada Tuhan akan apa yang saya minta. Ia langsung melipat sajadah, melipat sarung dan mendekap selimut. Dengkur di malam yang sunyi, lalu memecah kekelaman. "Apa ia benar telah berdoa dalam hatinya untuk diriku?" Aku tak tahu!

Usai ujian, saya pulang. Tatkala saya kembali ke Yogya, setelah dinyatakan lolos ujian, tak lagi ketemu dengannya. Dia pindah kontrakan. Jejaknya, tak bisa saya endus. Bahkan tiga tahun kemudian, setelah saya diajak seorang teman nonton film Rome & Juliet, saya kembali mencarinya ke penjuru Yogya. Tapi tak ketemu. Saya dengar ia sudah lulus. Pulang kampung.

Padahal misiku untuk mencarinya ke penjuru Yogya semata-mata ingin menceritakan tentang kisah percintaan di film Romeo & Juliet (diangkat dari novel Shakespeare), yang saya lihat itu. Dikisahkan Romeo-Juliet saling jatuh cinta dan tak mungkin bisa dipisahkan. Karena itulah, perbedaan kelas tak membuat Romeo "patah arah". Ia nekat meloncati tembok rumah Juliet untuk menjumpai sang pujaan hati. Setelah Romeo berhasil melompati tembok, ia pun ingin segera menumpahkan isi hatinya untuk mencium bibir Juliet.

Tapi apa yang dilakukan Juliet? Sungguh di luar dugaan! Dengan jari telunjuknya, dia justru menutupi bibir Romeo dan berucap, "Tuhan menciptakan mulut bukan untuk mencium, melainkan untuk berdoa."

Saya tak tahu; apa kakak kelasku sempat menonton film Romeo & Juliet atau tidak. Sebenarnya, saya mencarinya ingin bercerita tentang hal itu dan mengatakan bahwa mulut itu merupakan satu organ ciptaan Allah yang tak hanya untuk makan, minum dan bicara melainkan juga punya hak untuk mengangungkan nama Allah. Mulut pun memiliki hak untuk berdoa. Dan Allah tidak pernah ingkar janji, mengabulkan setiap doa umat-Nya, sebagaimana firman Allah, ''...Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku ....'' (QS 2: 186). (n. mursidi)

Tidak ada komentar: