Selasa, 01 Agustus 2006

wanita yang dilempari sepotong pakaian

tulisan ini dimuat di majalah hidayah edisi 61 agustus 2006

"Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. An-Nisaa` 19)

Dahulu, sebelum jalan-jalan setapak di seluruh penjuru kota Makkah dilalui tapak kaki Rasul yang tanpa lelah mengajak umat manusia ke jalan kebaikan, juga sebelum terdengar adzan menggema (memanggil) orang muslim melaksanakan shalat di subuh yang kelabu dan bahkan jauh hari sebelum gigil malam membuat orang rela meninggalkan tebal selimut, lalu menunaikan shalat tahajut, nenek moyang penduduk kota Makkah dikenal memiliki tradisi turun temurun yang kurang baik dalam memperlakukan kaum perempuan. Tangis seorang bayi perempuan yang "pecah" dari bilik rumah, akan digunjing, dicerca dan dibicarakan sebagai aib. Seolah-olah, melahirkan seorang bayi yang berjenis kelamin perempuan itu ibarat mendapat kutukan. Maka sehabis si ibu mengejan mengeluarkan bayi perempuan, tidak jarang sang ayah segera mengubur dalam keadaan hidup-hidup.

Perempuan yang di hidup zaman itu serupa luka. Dipandang dengan sisi nyinyir. Mirip genting rumah yang retak. Nyaris tak punya harga. Ia ibarat sebuah serpihan kertas. Ketiak perempuan itu sebagai istri dan kemudian suaminya meninggal dunia, tak ada secuil pun harta pusaka digenggaman tangannya. Ia dianggap tak dapat menunggang kuda untuk berperang, ia dianggap hidup tergantung keberadaan suami, maka “guna apa perlu ada semacam warisan segala?”

Perempuan selalu dicibir, seakan tubuhnya adalah selembar kain yang dapat dipangkas kemudian dibagi-bagikan. Tradisi jahiliah menyeret perempuan semakin nista, secara turun-menurun kaum perempuan itu dibaratkan sebuah piala. Karena itu, ketika ada seseorang lelaki meninggal dunia dan dia meninggalkan seorang istri, maka salah seorang dari keluarga suami itu biasanya datang ke rumah almarhum lalu melemparkan sepotong pakaian ke tubuh si istri yang menjanda itu. Jika sudah melempari dengan pakaian, maka yang bersangkutan merasa lebih berhak memperistri dan sejak itu pula, janda tersebut tak lagi memiliki kebebasan atas tubuhnya.

Jika yang bersangkutan itu ingin mengawini wanita tersebut, maka dia tak perlu lagi membayar mahar (mas kawin) lagi. Alasannya, karena mahar yang dulu dibayar oleh mendiang suaminya sudah dirasa cukup untuk wanita tersebut. Tetapi, kalau wanita itu tak jadi dinikahi, maka ia akan dibiarkan dan bahkan dipersulit. Untuk mendapatkan kebebasannya, janda itu terpaksa membayar dengan warisan yang diperoleh.

Perempuan manakah yang tidak merasakan tercabik-cabik hatinya dan ingin menjerit histeris, ketika ditinggal wafat oleh suami tercinta justru sekonyong-konyong datang pihak keluarga dari suami yang tidak menghibur atau memberi nasehat yang menentramkan, tetapi menjatuhkan "hukuman" yang teramat kejam dengan melemparkan sepotong pakaian seperti itu?
***
Perasaan kesal campur aduk itulah yang dialami oleh Kabisyah binti Ma`an saat sang suami tercinta, Ashim bin Al-Aslat wafat. Ketika itu, Kabisyah lagi dirundung duka. Wajar, ia merasa sedih, karena setelah itu ia tak akan lagi bisa hidup bersama suami tercinta, Ashim. Dalam keadaan sedih itu, salah seorang keluarga Ashim datang ke rumah almarhum. Uniknya, kedatangan seorang keluarga Ashim itu tidak untuk melayat atau bertakziyah. Kedatangan keluarga Ashim itu bukan pula untuk menghibur Kabisyah yang dirundung duka agar sabar, tawakkal dan ikhlas setelah kehilangan suaminya, melainkan melemparkan sepotong pakaian kepada Kabisyah.

Hati Kabisyah seketika seperti tersayat sembilu. Pilu. Ia ingin menangis kencang dan keras-keras. Ia ingin menjerit. Ia ingin berontak. Tetapi, semua itu ia biarkan berlalu. Ia biarkan keluarga suaminya itu "melemparkan" sepotong pakaian kepadanya. Ia tahu kalau hal itu merupakan kematian kecil baginya. Sebab Kabisyah tahu, tradisi dan adat yang berlaku telah berurat dan berakar kuat. Kini, jika ia harus mengikuti adat tersebut, maka ia menjadi wanita yang diwariskan. Ia dilarang menikah dengan orang lain dan mulai saat itu ia mengalami semacam tahanan rumah. Sebab, keluarga Ashim telah mengeluarkan maklumat "pelarangan". Padahal, kalau dipikir-pikir Kabisyah secara baik Kabisyah tidak telah berbuat keji secara terang-terangan.

Lantas, kenapa Kabisyah harus diperlakukan tidak adil seperti itu dengan dilempari sepotong pakaian yang membawa implikasi ia tidak memiliki kebebasan atas tubuhnya? Apa sebenarnya salah Kabisyah? Ataukah tradisi itu yang sebenarnya salah?

***

Sebagai istri Ashim bin Al-Aslat, Kabisyah binti Ma`an tidak salah. Ia tidak pernah berbuat keji secara terang-terangan. Ia istri yang baik dan penurut kepada sang suami. Juga ia seorang istri yang patuh. Ia nurut. Ia berbudi baik bak pualam, yang selalu menyinarkan simpati karena Kabisyah selalu membasuh pekerti dengan hati-hati.

Bahkan sebelum Ashim meninggal dunia, Kabisyah dan Ashim hidup seperti layaknya suami istri pada umumnya; penuh romantika hidup, dalam suka dan duka. Hari-hari bahagia itu dilalui dengan rasa sukur dan penuh kesabaran. Mungkin kalau ada satu hal yang dirasa kurang bagi Kabisyah, itu adalah karena ia tak dikarunia seorang anak yang lahir dari rahim Kabisyah sendiri.

Kabisyah memang bukan istri pertama bagi Ashim. Karena sebelumnya, Ashim telah menikah beberapa kali, tetapi dengan Kabisah itu Ashim tidak memperoleh anak (kecuali dari istri sebelumnya). Oleh karena itu, Kabisyah ingin dan berharap sekali mendapatkan seorang anak dari Ashim, seorang laki-laki yang baik. Hari berlalu, minggu terlewati dan tahun-tahun pun terlampaui. Harapan Kabisyah itu, ternyata tinggal sebuah harapan.

Untuk menuruti keinginan Kabisyah yang belum terpenuhi menimang anak itulah, maka suatu hari, saat Ashim mendengar mantan istrinya --sebelum Kabisyah yang memiliki seorang anak-- itu meninggal, Ashim buru-buru pergi untuk menemui keluarga dari bekas istrinya itu. Ia dengan amat sangat meminta kepada keluarga tersebut agar anak itu diasuh oleh Ashim dan dibiarkan untuk tinggal bersamanya.

Keluarga besar istrinya itu, sebenarnya bermaksud pula memelihara anak tersebut, karena ibunya dulu juga sempat tinggal bersama mereka. Karena itu, keluarga tersebut berat sekali melepas anak itu untuk ikut hidup bersama Ashim. Apalagi, istri Ashim --Kabisyah-- itu tak lain adalah ibu tiri bagi anak tersebut. Akibatnya, keluarga bekas istri Ashim itu sejenak berpikir ulang saat mendengar permintaan Ashim. Mereka takut kalau anak tersebut akan diperlakukan tidak baik oleh istri Ashim, Kabisyah.

Ashim tahu kalau keluarga mantan istrinya itu berat melepas. Karena itu, Ashim bin Al-Aslat berterus terang kepada keluarga tersebut dengan mengemukakan satu alasan, "Istri saya sekarang ini sangat menginginkan anak dari saya, tetapi hal itu tidak terlaksana. Karena itulah, ia nanti akan menganggap anak itu seperti anaknya sendiri."

Alasan yang dikemukakan Ashim itu rupanya mampu meruntuhkan hati keluarga bekas istrinya itu. Mereka tak keberatan kalau anak itu hidup bersama Ashim, setelah mengetahu Kabisyah tidak memiliki anak padahal sangat berharap bisa menimang anak. Tetapi, mereka mengajukan syarat, yaitu Ashim haruslah menjamin bahwa anak itu nanti akan diperlakukan dengan baik oleh Kabisyah, istrinya yang sekarang. Ashim menyanggupi permintaan mereka. Ashim berjanji di depan mereka untuk menjamin hak anak itu.

Setelah keluarga itu menyerahkan kepengurusan anak, Ashim bin Al-Aslat sangat gembira. Ia dengan bangga dan senang segera membawa anak itu pulang ke rumah untuk diasuh istrinya yang sekarang, Kabisyah. Kesenangan itu juga disambut oleh istrinya. Dengan kata lain, ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Sebab Kabisyah sendiri memperlakukan anak itu layaknya anaknya sendiri. Juga, tatkala Ashim melihat istrinya mengasihi anaknya yang masih kecil itu, ia merasa perlu menghemat hartanya supaya dapat memberikan makanan yang disukai anak itu dan ia juga memberikan apa yang dikehendaki anak itu. Dan keberadaan anak itu, semakin membuat hidup Kabisyah dan Ashim lebih berwarna, lebih bahagia dan juga lebih menentramkan.

Tetapi kebahagian itu ternyata tidak samoai berlangsung lama. Suatu ketika, Ashim jatuh sakit. Dengan sabar dan telaten, Kabisyah setia menunggu suaminya. Ia merawat, menunggu dan mengobati penyakit suaminya dengan penuh curahan kasih sayang. Akan tetapi, sakit suaminya kian hari kian tambah parah dan selama itu, sebelum Ashim menghembuskan nafas terakhir, tik ada yang dibicarakan oleh Ashim kepada Kabisyah. Ashim hanya berpesan satu hal agar Kabisyah berbuat baik kepada anaknya yang masih kecil. Kabisyah menyakinkan kepada suaminya bahwa ia akan selalu memelihara anaknya itu --dengan kedudukan-- seperti anak kandungnya.

Setelah mendengar pesan itu, terangkatlah ruh Ashim kepada Sang Pencipta dengan tenang di hadapan anaknya yang mash kecil dan istrinya, Kabisyah yang telah berjanji akan merawat selalu dan memelihara anak kecil itu seperti anak kandungnya. Kedukaan segera tiba atau melingkupi rumah Ashim. Berita duka itu pun tersiar sampai ke telinga keluarga Ashim.

Setelah mengetahui Ashim meninggal, keluarga Ashim pun datang. Tetapi, kedatangan mereka itu bukan bermaksud untuk menghibur kesedihan Kabisyah yang sedang dirundung duka, melainkan untuk --menjalankan tradisi jahiliah-- untuk melemparkan sepotong pakaian kepada Kabisyah. Dalam tradisi yang berlaku itu, apabila seorang suami meninggal dunia, keluarganya akan datang melemparkan sepotong pakaian kepada istrinya. Dengan tindakan itu, Kabisyah semacam menjadi wanita yang dijadikan waris, juga tidak dibolehkan kawin lagi kepada orang lain kecuali yang bersangkutan. Mengikuti adat tersebut, berarti pula Kabisyah (sejak saat itu) mengalami semacam tahanan rumah. Sebab keluarga Ashim telah mengeluarkan maklumat pelarangan bagi Kabisyah (yang bersifat simbolis) lewat pelemparan sepotong pakaian.

***

Sudah jatuh masih ditimpa tangga pula. Mungkin peribahasa itu sangatlah pas untuk menggambarkan keadaan hati pilu Kabisyah saat itu. Karena itu, Kabisyah kemudian berpikir bahwa perilaku itu tidak saja telah membuat dirinya tak berkuasa terhadap dirinya sendiri, melainkan juga perlakuan yang tak adil. Akibatnya, Kabisyah mulai berpikir tentang kezaliman yang menimpa dirinya.

Apalagi, dia tahu sepenuhnya kalau sesungguhnya, Islam datang untuk menyelamatkan kaum perempuan dari tindak kezaliman yang mengelilingi dan menekan kaum hawa berabad-abad (dalam catatan sejarah) selalu diperlakukan tidak adil. Dulu misalnya, adat jahiliah telah memperlakukan anak perempuan yang lahir langsung dikuburkan hidup-hidup. Islam datang, mengharamkan hal itu. Rasulullah memberikan kabar gembira bagi kaum muslimin bahwa tak ada perbedaan antara kaum lelaki yang shaleh dan perempuan yang shaleh di sisi Allah.

Juga, dahulu kala, kaum wanita tak mendapatkan warisan. Islam datang, mengangkat derajat kaum perempuan dengan memberikan bagian tertentu secara adil. Dalam kesendirian, Kabisyah lalu berpikir tentang semua hal itu. Ia yakin bahwa Allah akan memberi jalan keluar kepadanya dari kezaliman yang mengepungnya. Islam merevolusi adat dan tradisi jahiliah soal kedudukan kaum wanita yang di zaman jahiliah telah dizalimi dengan perbuatan sewenang-wenang. Oleh karena itu, Kabisyah berpikir apa yang akan ia lakukan?

Akhirnya, ditemukan sebuah jawaban yang membuatnya lega. Tidak ada jalan lain lagi, kecuali ia pergi menemui Rasulullah dan ia akan mengadukan permasalahan yang kini sedang dihadapi itu. Di hadapan Rasulullah, Kabisyah bercerita panjang lebar tentang masalah yang menimpa dirinya.

Allah mendengar pengaduan Kabisyah kepada Rasulullah itu dan kemudian menurunkan hukum tentang hal tersebut dengan firmannya, "Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. An-Nisaa` 19)

Setelah mendengar turunnya ayat di atas yang didalamnya berisi hukum Allah yang tidak menghalalkan bagi orang beriman mempusakai wanita, ia seketika ceria. Sebab setelah turunnya ayat tersebut, Kabisyah menjadi bebas dari jeratan sepotong pakaian yang telah membelit leher Kabisyah. Ia bebas untuk menikah lagi dan tidak menjadi wanita yang bisa diwariskan kepada keluarga Ashim. Dalam hati, Kabisyah bergumam, Allah Maha Besar dan Maha Agung!!! (n. mursidi/ sumber: Profil di Balik Cadar; Kisah Wanita dalam Al-Qur`an, Jabir asy-Syal, terj. Alwi AM, Penerbit Grafiti Pers, Jakarta; 1986 dan Tafsir al-Mishbah, M. Quraish Shihab, Penerbit Lentera Hati, Jakarta; 2000)




Tidak ada komentar: