Sejak saya bekerja di majalah Hidayah, seringkali saya mendapat pertanyaan amat krusial yang membuat saya seakan-akan diadili, "Benarkah kisah-kisah yang dimuat Hidayah itu kisah nyata?"
Saya --tidak bisa tidak-- kemudian "angkat bicara" dan membeberkan sekelumit cerita peliputan yang sering mengundang "mara bahaya" dan bahkan mengancam keselamatan narasumber (cerita). Ini semua saya ceritakan agar pembaca tahu sekelumit duka peliputan yang dialami wartawan Hidayah.
Sekitar setahun yang lalu, saya melakukan liputan ke daerah Jatim dan mendapat beberapa oleh-oleh cerita. Dari sejumlah cerita itu, ada dua cerita yang menurut pemred --setelah saya ajukan-- dipandang menarik dan layak dijadikan sebagai cover. Cerita pertama naik cetak dan tak ada kendala. Tapi untuk cerita kedua, sungguh di luar dugaan, tiba-tiba narasumber (cerita) menariknya dari meja redaksi.
Alasan yang dikemukakan, "Kau itu bertindak ceroboh sebab menulis 'tokoh cerita' dengan nama asli almarhum --untuk cerita yang telah kuliput sebelumnya-- dan itu bisa membahayakanku kalau kamu harus mengangkat cerita yang kedua ini. Karena, kini aku sudah dicurigai." Mau tidak mau, saya kemudian membatalkan pemuatan cerita kedua itu. Alasan pertama, saya tidak ingin nasib narasumber saya terancam. Kedua, tanpa restu narasumber, saya juga tak memiliki kewenangan untuk mengajukan cerita agar dimuat. Cerita itu pun tidak jadi naik cetak. Batal.
Meski tak sama, peristiwa dihadang mara bahaya juga saya alami saat melakukan peliputan di daerah Jateng. Berbekal info seorang teman, saya pun berangkat ke kotanya dan rencananya akan dipertemukan dengan saksi cerita. Karena saya tiba di lokasi itu malam hari, maka rencana wawancara dengan narasumber cerita baru dapat dilaksakan esok harinya. Tetapi, apa yang terjadi esok paginya setelah saya melewatkan malam yang mencemaskan itu tidur bersebelahan dengan beberapa ekor sapi dan disesaki bau kotorannya (di kampung itu sapi jadi hewan kebanggaan yang menunjukkan kekayaan sehingga orang kampung jarang membangun kandang di belakang rumah, melainkan sapi ditempatkan di "ruang tamu") yang membuat perut saya mual? Kemarahan dan ancaman!!!
Alkisah, tatkala pagi itu tiba, saya diantar oleh temanku untuk bertemu dengan saksi cerita yang akan saya wawancari. Dengan sedikit bergetar, temanku itu mengetuk pintu rumah saksi. Tetapi, setelah pintu itu dibuka, yang muncul bukannya saksi yang akan saya wawancarai melainkan pamannya yang justru berang dan marah-marah. Ia mengancam saya, kalau sampai meneruskan peliputan, ia akan "berbuat" balik dengan hal yang sama. Saya "celingukan", karena tak tahu wajah saksi cerita. Dengan cepat, temanku menggeret tangan saya dan mengajak lari. Orang-orang kampung melihat kami berdua dengan tatapan mata nanar dan penuh curiga. Padahal, saya dan temanku itu datang dengan baik-baik dan narasumber cerita itu tak lain adalah keponakannya sendiri.
Jika di awal tulisan ini saya bercerita sering mendapat pertanyaan yang seakan mengadili, kini saya balik bertanya, "Masih adakah secuil keraguan di benak pembaca setelah mengetahui peliputan yang dilakukan wartawan Hidayah itu ternyata berhadapan dengan mara bahaya?" Jawaban dari pertanyaan ini, tentunya ada di benak pembaca sendiri! (n. mursidi)
Alasan yang dikemukakan, "Kau itu bertindak ceroboh sebab menulis 'tokoh cerita' dengan nama asli almarhum --untuk cerita yang telah kuliput sebelumnya-- dan itu bisa membahayakanku kalau kamu harus mengangkat cerita yang kedua ini. Karena, kini aku sudah dicurigai." Mau tidak mau, saya kemudian membatalkan pemuatan cerita kedua itu. Alasan pertama, saya tidak ingin nasib narasumber saya terancam. Kedua, tanpa restu narasumber, saya juga tak memiliki kewenangan untuk mengajukan cerita agar dimuat. Cerita itu pun tidak jadi naik cetak. Batal.
Meski tak sama, peristiwa dihadang mara bahaya juga saya alami saat melakukan peliputan di daerah Jateng. Berbekal info seorang teman, saya pun berangkat ke kotanya dan rencananya akan dipertemukan dengan saksi cerita. Karena saya tiba di lokasi itu malam hari, maka rencana wawancara dengan narasumber cerita baru dapat dilaksakan esok harinya. Tetapi, apa yang terjadi esok paginya setelah saya melewatkan malam yang mencemaskan itu tidur bersebelahan dengan beberapa ekor sapi dan disesaki bau kotorannya (di kampung itu sapi jadi hewan kebanggaan yang menunjukkan kekayaan sehingga orang kampung jarang membangun kandang di belakang rumah, melainkan sapi ditempatkan di "ruang tamu") yang membuat perut saya mual? Kemarahan dan ancaman!!!
Alkisah, tatkala pagi itu tiba, saya diantar oleh temanku untuk bertemu dengan saksi cerita yang akan saya wawancari. Dengan sedikit bergetar, temanku itu mengetuk pintu rumah saksi. Tetapi, setelah pintu itu dibuka, yang muncul bukannya saksi yang akan saya wawancarai melainkan pamannya yang justru berang dan marah-marah. Ia mengancam saya, kalau sampai meneruskan peliputan, ia akan "berbuat" balik dengan hal yang sama. Saya "celingukan", karena tak tahu wajah saksi cerita. Dengan cepat, temanku menggeret tangan saya dan mengajak lari. Orang-orang kampung melihat kami berdua dengan tatapan mata nanar dan penuh curiga. Padahal, saya dan temanku itu datang dengan baik-baik dan narasumber cerita itu tak lain adalah keponakannya sendiri.
Jika di awal tulisan ini saya bercerita sering mendapat pertanyaan yang seakan mengadili, kini saya balik bertanya, "Masih adakah secuil keraguan di benak pembaca setelah mengetahui peliputan yang dilakukan wartawan Hidayah itu ternyata berhadapan dengan mara bahaya?" Jawaban dari pertanyaan ini, tentunya ada di benak pembaca sendiri! (n. mursidi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar