Kehadiran jabang bayi di tengah-tengah kehidupan rumah tangga adalah sebuah dambaan bagi setiap orang tua. Apalagi kalau kelahiran sang jabang bayi itu merupakan anak pertama yang sudah lama dinanti-nantikan kehadirannya di dunia ini untuk melengkapi sebuah bangunan keluarga. Tidak salah, kalau wujud dari rasa syukur dan kebahagiaan menantikan kelahiran bayi itu, ketika usai kandungan sang ibu menginjak tujuh bulan, biasanya orang tua akan mengadakan upacara tingkepan.
Tingkepan atau upacara kehamilan tujuh bulan, memang bukan hal asing yang ditemui, terutama di daerah Jawa. Bahkan karena sudah menjadi tradisi, kadang orang tua yang tidak melakukan upacara tingkepan biasanya jadi bahan gunjingan. Apalagi jika kehamilan itu adalah kehamilan yang pertama, sudah bukan hal yang aneh kalau kemudian diadakan sebuah upacara tingkepan secara besar-besaran. Tetapi bila kehamilan itu merupakan kehamilan yang kedua, ketiga dan seterusnya, biasanya hanya diadakan brokohan saja atau upacara sederhana.
Baik upacara itu diadakan secara sederhana ataupun besar-besaran, yang jelas dalam upacara tingkepan itu orangtua bayi itu akan mengadakan walimatul hamli dengan mengundang tetangga terdekat, famili, sanak keluarga dan teman-teman dekat untuk memberi doa.
Dalam upacara tingkepan, hal yang lazim dan penting adalah membaca al-Qur`an surat Maryam dan surat Yusuf. Jika mau disingkap, pembacaan al-Qur`an surat Maryam itu mengandung makna sebuah permintaan kalau nanti anak yang akan dilahirkan itu adalah anak perempuan, maka diharapkan anak itu akan memiliki kesucian seperti halnya kesucian Maryam. Sedangkan bacaan surat Yusuf dimaksudkan kalau kelak bayi yang lahir itu lelaki, maka akan menjadi manusia seperti Yusuf. Selain membaca al-Qur`an, dalam upacara tingkepen juga dibacakan Barzanji dengan sebhuah harapan bayi yang akan lahir kelak memiliki sifat luhur sebagaimana isi kandungan kitab Barzanji, yaitu sebuah pujian terhadap akhlakul karimah Nabi Muhammad SAW.
Jika kehamilan itu adalah kehamilan yang pertama, dalam upacara tingkepan itu akan dihidangkan menu rujak yang terdiri dari sabut kelapa muda dicampur gula merah, jeruk dan ditempatkan di dalam takir yang terbuat dari daun pisang yang dililiti dengan janur atau daun kelapa muda, biasanya terdiri dua takir. Dua takir lainnya berisi nasi uduk yang di atasnya diberi bahan-bahan masakan seperti terasi, terong dua iris, lombok plumpung merah dua biji, tauge secukupnya, mentimun dua iris, brambang dan bawang secukupnya, dua biji ikan asin (gereh), daging masak beberapa iris dan dua buah udel-udelan. Kemudian ditambah dengan tujuh telur, bucu pitu, dalam posisi yang di tengah terbesar dan dikelilingi enam buah bucu lainnya kecil-kecil. Dua tampah punar, polo pendem (ubi gembili, suwek tales, ganyong, telo).
Selain itu, juga terdapat lagi dua wadah terbuat dari bungkusan daun pisang yang terdiri dari kembang tujuh macam, mawar dan matahari. Bunga-bunga ini disebut juga sebagai kembang setaman. Ditambah lagi dengan bubur merah putih dan dua kelapa muda.
Dalam upacara tingkerpan itu, jika diamati memang didominasi oleh jumlah angka dua dan tujuh. Angka dua bisa dikatakan melambangkan jenis kelamin, lelaki dan perempuan, yang salah satunya akan dilahirkan sedangkan angka tujuh melambangkan usia kandungan si jabang bayi. Punar dan polo pendem melambangkan hasil bumi, bucu atau buceng melambangkan cita-cita yang digantungkan dan kembang setaman itu melambangkan akan suka cita, bubur merah putih melambangakan darah perempuan dan sperma laki-laki yang telah menyatu dan kelapa muda melambangkan cengkir (kencengi piker) atau keteguhan cita-cita.
Itu jika upacara tingkepan diadakan secara sederhana. Lain lagi jika diadakan secara besar-besaran. Upacara tingkepan bisa jadi akan lebih kompleks (rumit), ada juga sungkeman, mandi kembang tujuh rupa, prosesi si perempuan yang hamil berjualan dawet segala dengan uang kereweng (pecahan genteng) dan lain sebagainya. Tetapi yang jelas, seluruh rangkaian upacara tingkepan, baik yang diadakan secara sederhana maupun yang besar-besaran terkait dengan masa krusial yang dihadapi si bayi, yaitu di saat usia kandungan memasuki usia tujuh bulan sehingga kedua orang tua si bayi mengharap keberkahan dengan meminta yang hadir dalam upacara itu untuk mendoakan agar kelak sang jabang bayi yang akan lahir bisa menjadi manusia yang baik, dilimpahi rezeki dan memperoleh kebahagiaan.
Memang sulit diperoleh data secara pasti, sejak kapan tradisi tingkepan itu diadakan dan dari manakah asal usulnya. Yang jelas, tradisi tingkepan itu di daerah Jawa sudah seperti mendarah daging. Karena sudah dianggap mendarah daging, sehingga jika ditinggalkan seakan ada sesuatu yang kurang. Bahkan bisa jadi, tetangga dekat akan menggunjing jika sepasang suami-istri yang mengharap kehadiran jabang bayi di usia tujuh bulan itu tidak melakukan upacara tingkepan.
Padahal, tingkepan itu sendiri, jika mau dilacak, sebenarnya tidaklah diajarkan dalam syariat Islam, sehingga tidak mungkin hukumnya menjadi wajib atau sunnah. Sekedar catatan, lantas bagaimana hukum tingkepan? Selama dalam upacara itu tidak melanggar syari`ah dan masih dalam koridor tak membawa ke arah kemusyrikan, prosesi upacara dengan serangkaian doa untuk sebuah keberkahan agar jabang bayi nanti lahir menjadi manusia yang baik dengan cara mengundang orang untuk memanjatkan doa dengan dihidangi menu makanan yang sudah disebutkan di atas mungkin tak ada sesuatu yang salah. Dengan catatan, selama hal itu tak melenceng atau bertentangan dengan larangan-larangan yang telah ditetapkan dalam ajaran Islam. (n. mursidi/foto: dewi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar