Rabu, 01 November 2006

islam dan hukuman mati

majalah hidayah edisi 64 november 2006

Supremasi (penegakan) hukum di negeri ini untuk melaksanakan “eksekusi” terhadap terpidana hukuman mati seperti dihadapkan pada tembok tebal. Dua kasus besar saat ini yang lagi heboh, Tibo dkk dan Amrozi dkk yang sudah divonis dengan hukuman mati dan rencana dieksekusi bulan Agustus, ternyata sampai kini masih menggantung.

Padahal, terpidana mati kasus kerusuhan Poso, Fabianus Tibo (60 tahun), Dominggus da Silva (42 tahun) dan Marinus Riwu, oleh Pengadilan Negeri Palu telah dijatuhi hukuman mati, 5 April 2005. Ketiganya dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan pembunuhan berencana, sengaja telah menimbulkan kebakaran serta penganiayaan bersama-sama secara berlanjut. Rencana, eksekusi terhadap Tibo cs akan dilaksanakan Maret 2006. Tapi, eksekusi itu batal dan diundur 12 Agustus 2006. Tapi tanggal 12 Agustus, eksekusi itu ternyata batal dan diputuskan tiga hari setelah HUT kemerdekaan Republik Indonesia. Anehnya, sampai kini –setelah tiga hari itu berlalu— pemerintah masih belum memberikan kepastian akan eksekusi tersebut.

Memang, hukuman mati terhadap Tibo cs itu mendapat gugatan keras dari berbagai kalangan. Sejumlah lembaga dan elite agama (Kristen), seperti Komite Pembaruan Peradilan Indonesia (KPPI), Koalisi Masyarakat Anti Kekerasan, Forum Masyarakat Anti Hukuman Mati, Forum Keadilan Rakyat (Foler) Nusa Tenggara Timur dan sejumlah kelompok HAM, dengan keras menolak hukuman mati terhadap Tibo cs. Bahkan ditundanya pelaksanaan eksekusi tiga terpidana asal Flores yang beragama Kristen itu tidak bisa dimungkiri juga karena ada surat dari sejumlah uskup Gereja dan Paus Benediktus XVI.

Anehnya, di tengah segegap gempita aksi solidaritas dan juga penentangan terhadap pelaksanaan hukuman mati Tibo sc, justru tidak terdengar pernyataan protes secara nasional terhadap ancaman dan keputusan hukuman mati terhadap terpidana mati kasus terorisme; Amrozi, Imam Samudra dan Ali Ghufron. Meski ada juga segelintir orang dan juga kelompok yang menentang hukuman mati itu, Kejaksaan Negeri Denpasar Bali hanya menunda eksekusi kasus Bom Bali I (2002) ini, yang sebenarnya sudah dijadwalkan pada 22 Agustus. Penundaan itu dilakukan guna memberi kesempatan proses peninjauan kembali (PK) yang tengah diajukan pengacara terpidana. Lebih dari itu, ternyata mereka belum mengajukan permohonan grasi ke presiden.

Selain terpidana mati Amrozi cs, di Ambon juga ada dua orang aktivis militan Muslim, Ongen Pattimura dan Fatur Datu Armen yang juga dituntut hukuman mati karena melakukan penyerangan tempat karaoke Villa di desa Hati Besar, 14 Februari 2005 dan menembak mati dua orang pengunjung. Juga, ada lagi seorang aktivis muslim lain, Asep Jaya yang diancam hukuman mati karena terlibat dalam penyerangan ke desa Wamsisi dan desa Lokki, yang telah mengakibatkan kematian enam orang, termasuk lima anggota Brimob. Tapi, ketiga terpidana mati itu -–Ongen, Fatur dan Asep-- akhirnya hanya divonis hukuman penjara seumur hidup.

Mungkin membandingkan hukuman mati terhadap Tibo cs dan Amrozi cs akan menjadi dilema jika dikaitkan dengan sentimen agama. Apalagi, kedua kelompok terpidana itu berlatar agama yang berbeda. Tapi sampai saat ini pelaksanaan hukuman mati terhadap Tibo cs dan Amrozi cs seakan-akan mengambang dan tidak jelas kapan akan dilaksanakan.

Karena itu, wajar kalau kemudian muncul beberapa pertanyaan; ada apa di balik kasus penentangan terhadap hukuman mati Tibo cs yang mendapat solidaritas cukup kuat dari kaum Kristen sementara dukungan terhadap Amrozi tak segegap gempita Tibo cs? Apakah Gereja tidak mengenal hukuman mati? Bagaimana pula dengan konsep dalam Islam tentang hukuman mati? Karena itu, kalau kasus ini terus mengambang bisa-bisa akan berdampak negatif bagi upaya penegakan hukum dan HAM di Indonesia, jika tujuan dari penentangan itu hanya untuk membebaskan Tibo cs semata.

Tak Manusiawi dan Kejam?
Dalam keputusan dan pelaksanaan hukuman mati, masalah yang kerap menjadi dilema adalah benturan antara saksi terhadap kebringasan pembunuhan dan juga rasa kemanusian. Karena itu, salah satu persoalan serius yang dihadapi pelasanaan hukuman mati adalah sebuah anggapan bahwa hukuman mati itu dianggap kejam (tak manusiawi). Tak salah, kalau kemudian terjadi perbedaan pemahaman terhadap makna dan hakikat hukuman, terutama dari para ahli hukum dan praktisi hak asasi manusia (HAM). Karena itu, ada yang getol mau menghapuskan hukuman mati itu dengan alasan demi kemanusiaan.

Karena menurut penentang hukuman mati, konsep hukuman mati sering digambarkan sanksi kejam, tidak manusiawi, dan sadis. Padahal, jika mau dicermati dengan cermat hal itu semata-mata hanya dilihat dari satu aspek, yakni kemanusiaan dengan standar modern, tanpa melihat adanya alasan, maksud, tujuan, dan keefektifan penegakan hukum.

Alasan yang kerap dikemukakan setidaknya ada empat hal. Pertama, hukuman mati itu dianggap kejam, sadis dan mengerikan, yang menurut mereka tidak beda jauh dengan hukum rimba. Kedua, hukuman mati itu juga tidak akan mampu memberantas tindak pidana atau tidak akan mencegah orang untuk melakukan pembunuhan.

Ketiga, eksekusi hukuman mati itu dinilai bersifat abadi, tidak dapat diubah lagi jika kelak ternyata tak memiliki dasar yang kuat karena yang terhukum telah meninggal. Keempat, hukuman mati itu juga berlawanan dengan kebebasan seseorang, karena hidup manusia adalah milik pribadi orang tersebut sehingga kebebasan itu tidak bisa diganggu oleh orang lain.

Sebaliknya, yang mendukung hukuman mati membantah bahwa pada dasarnya setiap hukuman itu dinilai mengandung kekejaman. Karena itu, bagaimana pun, hukuman kurungan dan hukuman seumur hidup pada dasarnya juga bersifat kejam dan tidak manusiawi. Kenapa tetap ada? Jika yang dijadikan alasan itu kemanusiasn, bisa-bisa nanti semua hukuman akan dihapus karena hukum itu memang kejam, sadis dan tak manusiawi. Karena ringan dan beratnya sanksi sebuah hukuman itu memang implikasi dari tindak dan prilaku seseorang.

Tidak lepas dari kasus Tibo dkk, mungkin menarik jika mengamati sikap Paus dan KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) dalam kasus hukuman mati. Karena pihak Gereja sempat melayangkan sepucuk surat kepada presiden RI meminta ditundanya hukuman mati terhadap siapa pun dan juga berharap hukuman mati di Indonesia dihapuskan untuk selamanya. Tidak salah, jika solidaritas terhadap Tibo cs dari kalangan Kristian pun bergulir kencang. Kenapa?

Pasalnya, pandangan Gereja tentang hukuman mati sudah mengalami perubahan. Meski dalam sejarahnya, Gereja tidak bisa dilepaskan dari masalah hukuman mati karena di dalam Bibel sendiri bertebaran ayat dengan perintah menjalankan hukuman mati itu. Dalam hal ini, pezina, penyembah berhala, dan sebagainya, harus dijatuhi hukuman mati. (Ulangan 17:2-5, 20-22, dsb). Akan tetapi, sejalan dengan perubahan zaman, Gereja sudah mengalami banyak perubahan penting. Selama ratusan tahun, Gereja menganut prinsip extra ecclesiam nulla salus (di luar gereja tidak ada keselamatan). Konsili Vatikan II mengubah konsep eksklusif tersebut menjadi inklusif untuk membendung arus besar pluralisme agama di dalam Kristen. Bisa dipahami, ketika kasus Tibo dkk menjadi dilemma hukum nasional, dengan tegas KWI meminta hukuman mati dihapuskan.

Konsep Islam
Lantas bagaimana dengan konsep Islam tentang hukuman mati? Dalam syari`at Islam dikenal ada hukum qishash, yakni perbuatan yang sama dengan perbuatan dalam menjatuhkan sanksi seperti pembunuhan dengan pembunuhan atau luka dengan luka serupa. Karena itu, jika orang telah melakukan pembunuhan maka dia pun akan dikenai sanksi sama berupa hukuman mati. Hal ini dapat dilihat dalam ayat al-Qur`an, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 178).

Dalam ayat lain disebutkan, ”Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qhishahnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qhishash)-nya, maka melepaskan hal itu (menjadi) penebus dosa baginya.” (QS. Al-Maa`idah: 45).

Kendati dalam al-Qur`an sudah jelas, sebagian kaum Muslim toh ada yang berusaha mengikuti perubahan zaman dengan mengubah hukum Islam secara totalitas, tanpa pandang bulu akan aspek yang tetap (tsawabit) dan yang berubah (mutaghayyirat). Berbagai metode modern digunakan untuk mengubah hukum-hukum Islam, salah satu hukum itu adalah hukuman mati yang dilihat tidak manusiawi.

Bagi kalangan yang melihat Islam memiliki kebenaran bersifat final, maka tidak akan menganut perubahan hukum yang mengikuti kondisi zaman dan tempat, kecuali hukum yang berubah (mutaghayyirat). Karena itulah, hukum absolut --seperti-- perjudian dan hukuman mati sampai kapan pun, dinilai tidak berubah. Juga, seperti babi itu diharamkan al-Qur`an sehingga di mana pun dan kapan pun, karena `teks'-nya jelas dan tidak berubah, maka babi itu haram selamanya. Demikian juga dengan hukuman mati (qhishash), tidak berubah di dalam Islam.

Demi Tuntutan Korban
Persoalan yang kini dihadapi terkait dengan kasus eksekusi Tibo cs dan Amrozi cs adalah karena Indonesia bukanlah negara yang berlandaskan hukum Islam. Kendati demikian, tak dapat dimungkiri bahwa Indonesia mengakui hukuman mati. Apalagi eksekusi terhadap pidana mati merupakan keputusan yang telah diambil melalui mekanisme hukum, sehingga --mau tidak mau-- demi tegaknya keadilan, eksekusi itu haruslah dilaksanakan. Maka wajar, jika mayoritas kaum muslim Poso menuntut pelaksanakan eksekusi Tibo cs segera dilaksanakan.

Dalam kaitan ini, Ketua MPR Hidayat Nurwahid juga mengingatkan pada pemerintah untuk mengedepankan pendekatan hukum dalam menyelesaikan eksekusi mati Tibo cs. Sebab jika eksekusi itu ditunda lagi, pemerintah akan dinilai tidak mentaati hukum. Apalagi, korban kerusuhan Poso itu mayoritas Muslim yang jelas-jelas menuntut segera dilaksanakan eksekusi sehingga supremasi hukum di Indonesia tidak lagi membentur tembok. (n. mursidi)


Tidak ada komentar: