Rabu, 01 November 2006

mulut mengeluarkan kotoran menjelang ajal

cerita ini dimuat di majalah hidayah edisi 64 november 2006

"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun." (QS. An-Nisaa`: 36)

Malang nian nasib Narso (55 tahun, bukan nama sebenarnya). Di saat masih belum cukup tua, ia memang gagah perkasa. Apalagi, dia memiliki kekuasaan. Tetapi siapa sangka di ujung senja, semua itu ternyata tiada arti dan bahkan nyaris membuat dia dirundung duka cukup pedih. Perutnya diserang penyakit aneh, melilit-lilit dan lama-lama tubuhnya jadi kurus. Juga ditambah dengan derita lain; dia bisu dan dari mulutnya keluar darah, nanah dan -–maaf—tahi yang membuat orang di dekatnya harus menutup hidung rapat-rapat.

Selama sebulan sebelum ajal tiba, wajah lelaki beranak tiga itu tak lagi menampakkan rona keceriaan. Sepasang matanya perlahan mulai meredup, bak lampu minyak di ujung jalan yang nyaris padam. Tubuhnya pun yang gemuk berisi secara drastis jadi kurus tak berdaging. Bahkan ia lumpuh dan hanya terbaring di atas tempat tidur di rumah sakit setelah ditemukan tersungkur karena sakit perut. Anak-anak dan istrinya bingung, tak tahu harus berbuat apa.

Kisah yang terjadi di kampung Semangka (bukan nama sebenarnya), tepatnya di luar pulau Jawa ini semoga jadi pelajaran yang berharga bagi pembaca. Tapi, untuk menjaga nama baik, nama tokoh, narasumber dan tempat yang ada dalam cerita ini sengaja kami disamarkan!

Perut Melilit-lilit
Siang itu adalah hari yang seharusnya membuat Narso dan keluarga bahagia, bukan harus ditikam bingung. Karena Narso sedang mengadakan syukuran walimatul 'urusy bagi anak ketiganya, Anton (25 thn). Apalagi mengingat Narso adalah orang terpandang di kampung itu. Tak salah, kalau banyak orang yang diundang. Sejumlah acara disiapkan, mulai orgen tunggal sampai tontonan lain untuk memberikan hiburan pada tamu undangan sampai larut malam.

Tetapi belum sempat acara puncak pernikahan yang membahagiankan bagi Anton itu berlangsung, keadaan yang tidak terduga terjadi dan membuat semua jadi kalang kabut. Saat itu, tamu undangan sedang datang berbondong-bondong memberikan ucapan selamat kepada mempelai, dan Narso bersama Atun (45 tahun, bukan nama sebenarnya) yang sudah berada di depan rumah tampak asyik, tersenyum manis menyambut tamu. Satu demi satu para undangan itu disambung hangat.

Di saat para tamu undangan berdatangan itu, entah kenapa tiba-tiba sesuatu menimpa Narso tanpa diduga. Ia sekonyong-konyong meninggalkan tempat, tanpa memberitahukan istri tercinta dan orang di sekitar. Ia ngeloyor ke belakang. Istri Narso, mengira suaminya hanya membuang hajat. Karena itu, ia tetap menerima tamu tanpa sedikitpun punya firasat apa pun.

Tetapi, waktu yang terus berjalan, para undangan yang datang semakin banyak. Atun merasa kewalahan menyalami mereka. Lima menit berlalu, sepuluh menit lewat dan dua puluh menit lebih, Narso tak juga kembali ke tempat penerimaan tamu. Perasaan Atun pun ditikam resah. Gelisah. Ia diam-diam menyusul suaminya ke belakang. Tetapi, setelah Atun berada di belakang, betapa terkejutnya saat melihat suaminya tertunduk seraya memegang perutnya persis di depan kamar mandi.

"Tolong, tolooooooong," teriak Atun spontan, memecah keramaian pesta. Orang-orang kemudian berdatangan dan melihat Atun sedang memeluk Narso dengan wajah cemas. Orang-orang kemudian mengangkat tubuh Narso untuk dibawa ke dalam rumah dan Narso pun segera dibaringkan di sebuah dipan.

Orang-orang yang semula menampakkan wajah ceria seketika jadi muram. Juga kalang kabut atas kejadian itu. Lalu, anaknya yang lain, Imron (30 tahun) segera menelepon dokter. Untung rumah dokter itu tidak cukupjauh, sehingga sebentar kemudian sudah sampai di rumah Narso. Ia segera memeriksa kondisi Narso dan berusaha mengobatinya. Namun, Narso ternyata tidak sanggup dibuat pulih. Justru, dokter itu menyarankan kepada keluarga agar Narso segera di bawa ke rumah sakit.

Bisu dan Mulut Penuh Kotoran
Setelah berembuk, keluarga tidak bisa berbuat banyak, kecuali harus menuruti saran dokter. Akhirnya, mereka membawa Narso ke rumah sakit dan Narso ditangani, mendapatkan perawatan memadai. Akan tetapi, hasil diagnosa dokter di rumah sakit tidak bisa memberikan keterangan yang pasti tentang penyakit yang dialami Narso. Dokter pihak rumah sakit hanya memberikan keterangan bahwa Narso harus menginap. Sejak saat itulah, penderitaan Narso dimulai.

Satu hari menginap di rumah sakit, tak ada tanda-tanda Narso akan pulih. Seminggu berlalu, Narso masih terbaring di rumah sakit. Yang membuat aneh keluarga, justru tenaga Narso kian lemah. Selanjutnya, entah kenapa tiba-tiba ia tak bisa buang air besar. Akibatnya, ia harus membuang kotoran (tahi) itu di atas tempat tidur, mengotori sprei. Sesekali, bau tak sedap itu menyesakkan dada, membuat hidung terasa tersengat seperti bau WC yang bocor.

Lebih memprihatinkan, Narso selalu merintih kesakitan karena perutnya dirasa perih. Seperti ada hewan-hewan melata yang bersarang dalam perutnya menggerogoti sel-sel tubuh. Akibatnya, ia kerap kelimpungan. Kadang-kadang, dia berguling-guling karena rasa nyeri di ulu hati serasa mencubit usus. “Auhhh. Aauhhhhh!” rintihan Narso di hari-hari yang menyedihkan itu, selama ia tinggal di rumah sakit.

Sudah pedih dililit perih yang serasa melilit-lilit, tidak selang lama kemudian –sekitar tiga minggu setelah menginap di rumah sakit-- entah kenapa tiba-tiba lelaki yang menjabat lurah di kampung Semangka itu menjadi bisu. Semula, ia sering merintih, tiba-tiba semua jadi serasa senyap dan sepi. Tak lagi terdengar rintihan Narso yang kerap membuat perawat iba dan juga prihatin.

Jelas, keluarga kian bingung. Apalagi setelah Narso bisu, lalu ditambah dengan derita lain yang sungguh menyiksa orang yang berada di sekitar Narso. Sebab dari mulutnya yang tak bisa mengeluarkan rintihan, kemudian muncul pemandangan yang membuat hidung harus tersiksa. Dari mulutnya, keluar cairan darah segar berwarna kemerahan. Selain darah, juga nanah yang berwarnah putih kecoklatan yang baunya amat menyengat. Amis dan basin. Darah dan nanah itu sebenarnya tak seberapa parah. Justru yang membuat orang-orang harus tutup hidung lantaran leleran darah dan nanah itu bercampur dengan tahi Narso sendiri yang tidak bisa keluar dari anus

Akibatnya, dia dipindah di kamar terpisah yang jauh dari pasien lain. Meski demikian, istri dan anak-anaknya yang dulu sering besuk, sudah tak betah untuk mendekat. Keluarga satu per satu pun mulai jarang membesuk dan mereka akhirnya meninggalkan Narso sendirian, karena tak kuat mencium bau kotoran (tahi) yang keluar dari mulut Narso.

Hari berlalu. Sakit yang diderita Narso pun kian parah. Akhirnya, setelah sebulan tinggal di rumah sakit, Narso menghembuskan nafas terakhir tanpa ada keluarga yang berada di dekatnya karena tak tahan bau tak sedap dari leleran darah, nanah dan tahi yang keluar dari mulutnya. "Mungkin itu lebih baik baginya daripada ia harus menderita sepanjang hayat," demikian ungkap Atun di hari berkabung itu.

Anehnya, tatkala jenazah Narso dibawa pulang kemudian segera dimandikan, kotoran yang keluar dari mulutnya tak juga kunjung henti. Berkali-kali dibersihkan, kotoran itu tetap keluar terus. Kotoran di mulut almarhum baru berhenti setelah sekian kali disumbat.

Keanehan lain, saat jenazah diberangkat ke tempat pemakaman, ternyata orang-orang yang memanggul keranda merasa tubuh almarhum berat sekali. Padahal saat ajal menjemput, semua warga kampung tahu kalau tubuh Narso sudah tak lagi diliputi dengan balutan lemak. Ia sudah menjadi kurus. Tetapi, kenapa keranda itu bisa terasa berat sekali?

Melanggar Larangan Allah
Sebagaimana dituturkan Sobri, narasumber Hidayah, Narso itu dikenal sebagai orang yang tidak banyak tingkah. Awalnya, bahkan perilakunya yang dikenal baik di mata warga itu, membuat ia dipercaya warga untuk menjadi lurah. Meski dari segi agama, Narso boleh dikata orang yang terbilang tidak alim. Memang dia dikenal baik, tetapi jika ditelusuri, kebaikannya itu ternyata tak lebih hanya kedok untuk memikat warga, terlebih menjelang pemilihan lurah, agar ia dipilih oleh warga.

Setelah ia menjabat sebagai lurah, muncullah tabiat Narso. Apalagi merasa memiliki kekuasaan untuk melakukan apa saja, termasuk melakukan hal yang dilarang oleh Allah SWT. Satu kebiasaan buruk Narso yang termasuk perbuatan syirik, yaitu ia selalu mengubur kepala kambing di setiap perempatan jalan. Dalam melakukan ritual itu, Narso memotong kambing dengan tangannya sendiri, lalu daging dari kambing itu dia bagi-bagikan kepada warga. Tetapi, kepala kambing itu ia bawa ke perempatan untuk dipendam seraya mengucapkan sesuatu, semacam mantra. Alasan yang dikemukan jika ada warga yang bertanya adalah untuk tujuan meminta keamanan kampung Semangka dari gangguan makhluk-makhluk gaib. Karena ia orang nomor 1 di kampung itu, maka warga yang semula bertanya-tanya akhirnya tak peduli lagi.

Selain itu, Narso juga gemar mencaci maki orang yang menjalankan kebenaran ajaran agama. Pernah suatu ketika, sebagaimana dituturkan narasumber Hidayah, ada orang yang sedang berpuasa di bulan Ramadhan. Tetapi, Narso dengan arogan mencaci orang itu dengan perkataan, “Buat apa kamu susah-susah berpuasa?” Orang yang dicacinya menjawab, "Bapak, kalau tidak mau berpuasa, ya, sudah. Tolong jangan ganggu kami…."

Ulah buruk Narso ternyata tak cuma berhenti di situ. Pernah, suatu ketika Narso bahkan mengecap PKI terhadap warganya sendiri, hanya lantaran beda pandangan. Padahal, asal usul klaim itu cukup sepele. Ada sebuah keluarga yang karena memegang teguh ajaran yang diyakini, keluarga itu tidak melaksanakan tahlilan yang biasa dilakukan warga kampung. Karena keluarga itu tak mau mengadakan tahlilan yang sudah dianggap tradisi, maka Narso menuduh kepala keluarga itu antek PKI. Bahkan, ia menuduh kepala keluarga itu membawa agama baru, aliran sesat, PKI dan lain-lain. Belum puas dengan tuduhan itu, Narso masih juga mendatangkan seorang dari Koramil untuk mengintrogasi kepala keluarga yang dianggap PKI itu. Tetapi karena tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, maka kepala keluarga itu pun tak sempat diseret ke penjara.

Mungkin Narso jenis tipe pemimpin yang tak tahu diuntung. Bagaimana tidak? Warga sudah memilihnya untuk jadi lurah, tapi bukan kebaikan yang dicontohkan kepada masyarakat. Malah sebaliknya, ia sering mengadu domba. Karena itu, saat Narso meninggal mengerikan dan jenazahnya terasa berat, warga pun tak heran. Sebagian dari mereka merasa mafhum, bahwa semua itu bisa jadi adalah karena balasan yang sudah layak ia terima.

Hikmah di balik Kisah
Hikmah penting yang bisa dipetik dari kisah ini, setidaknya nanti membuat kita sadar. Pertama, Narso adalah seorang pemimpin dan sudah selayaknya ia memberi contoh yang baik. Eh, bukan teladan yang ditunjukkan justru ia tidak berbuat adil. Padahal, al-Qur`an tegas memperingatkan, "Hai orang-orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi yang adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa." (al-Maidah: 8).

Kedua, Narso kerap menuduh orang yang tidak-tidak, menfitnah dan mengadu domba. Jika saja Narso sadar dan tahu bahwa fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan, mungkin ia akan menjaga mulutnya dengan baik. Bukankah seseorang kerap tergelincir karena tidak bisa menjaga runcingnya lidah?

Ketiga, hal yang lebih parah adalah Narso tidak percaya kepada Allah sehingga dia merasa perlu memotong kambing dan kepala kambing itu ia pendam di perempatan. Padahal, itu adalah tindakan syirik. Allah SWT berfirman, "Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun" (QS an-Nisaa`: 36).

Semoga kita semua bisa mengambil hikmah dari kisah hidup Narso ini!

In Box
Sobri, (25 tahun), warga kampung Semangka
“Ia Pemimpin yang Kurang Baik”

Entah penyakit apa yang diderita oleh Narso. Ia tiba-tiba tersungkur di saat resepsi pernikahan anaknya, karena sakit perut yang melilit-lilit. Sang dokter tak bisa menangani, akhirnya dia menginap di rumah sakit. Di rumah sakit itu pun, ia bukannya sembuh malah kian parah. Ia bisu, lumpuh dan sebelum ajal tiba, dari mulutnya keluar darah, nanah dan tahi yang membuat siapa pun harus menutup hidup. Sebulan dirawat, ia meninggal dengan mengenaskan, karena tak ada keluarga yang mendampingi detik-detik terakhir kematiannya.

Tidak ada warga yang heran, kenapa ia bisa sakit separah itu. Sebab di mata warga, dia bukanlah pemimpin yang baik. Demi melanggengkan kekuasaan, ia melakukan ritual potong kambing dan kepala kambing itu dikuburkan di peremptan jalan dengan alasan demi keamanan kampung. Lebih dari itu, dia kerap mencemooh orang yang menjalankan syariat agama Islam, menuduh yang bukan-bukan dan mengadu domba warga.

Semoga kisah ini, bisa menjadi iktibar bagi kita semua agar ketika menjadi pemimpin nanti tak berbuat semena-mena dan menganggap bahwa kekuasaan itu amanah dari Allah yang perlu diemban dengan baik. (nm)


Tidak ada komentar: