Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu, kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. At-Tahrim [66]: 1-2)
Perjanjian Hudaibiyah tidak dapat disangkal merupakan satu kemenangan umat Islam yang tidak disadari oleh kaum Musyrikin. Sebab lewat perjanjian damai itu, Islam kemudian mampu menyebar luas hingga keluar kota Makkah dan Madinah, bahkan sampai ke pelosok negeri lain. Perjanjian perdamaian itu juga menjadi satu bukti bahwa penyebarluasan agama Islam bukan akibat dari sebilah pedang atau peperangan. Sebaliknya, Islam menyebar dengan jiwa kasih sayang, rasa damai dan yang lebih penting lagi; teladan dari kehidupan nabi yang menebarkan pesona dan ketakjuban bagi siapa pun. Tidak salah, jika dalam waktu singkat -–pada masa perjanjian Hudaibiyah itu—Islam diam-diam merambah ke berbagai wilayah dan pengikut Muhammad menjadi bertambah.
Kenyataan itu menegaskan bahwa Islam adalah agama untuk semua umat manusia yang menghuni bumi ini dan bukan hanya bagi penduduk Madinah dan Makkah. Karena itu, setelah berjuang dengan penuh penderitaan di Makkah dan Madinah, nabi Muhammad menyeru Islam ke beberapa negara tetangga. Sepulang dari Hudaibiyah, rasul segera mengumpulkan semua pengikutnya dan mengumumkan bahwa pada saat itu adalah moment yang tepat menyebarkan pesan-pesan Islam hingga ke mancanegara. Dan para sahabat menerima misi itu dengan suka cita. Maka, mulailah nabi Muhammad mengirimkan utusan untuk menyampaikan surat ajakan kepada beberapa raja negara tetangga.
Dari sekian raja di negeri tetangga, salah satu penguasa yang mendapatkan surat dari nabi itu adalah Raja al-Muqauqis, penguasa kaum Koptik di Mesir. Dan yang membawa surat nabi itu adalah Khatib bin Abi Balta`ah. Raja menyambut Khatib serta menerima pesan nabi itu dengan penuh penghargaan. Raja al-Muqauqis juga mau membaca surat nabi, dan setelah membaca dengan seksama, sang raja meletakkan surat itu kemudian meminta kepada Khatib untuk menjelaskan sifat dan perangai rasulullah.
Khatib lalu bercerita tentang diri nabi. Dan ternyata perangai nabi yang diceritakan Khatib itu tidak melenceng dari sifat seorang nabi yang akan datang yang sudah raja ketahui dari kitab suci terdahulu. Seketika itu, raja tidak ragu untuk mengakui kenabian Muhammad. Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah, raja takut kalau bangsa Koptik Mesir tidak mau menerima pesan tersebut. Di samping itu, juga ada kekhawatiran mengenai posisinya kalau rakyat kemudian melakukan pemberontakan. Akhirnya, raja menerima pesan nabi itu secara pribadi dan saat Khatib pulang, raja menitipkan pesan lewat surat kepada nabi, juga mengirim hadiah buat nabi. Di antara hadiah itu adalah seekor keledai putih dan dua budak perempuan, Mariyah al-Qibthiyah dan saudara perempuannya bernama Sirin. Rasulullah memilih Mariyah dan memberikan Sirin kepada Hasan bin Tsabit.
Mariyah memang seorang budak, tetapi ia sebenarnya memiliki kedudukan yang tinggi di kalangan orang Koptik. Ia adalah putri dari Syam`un. Setelah dijadikan sebagai hadiah buat nabi, Mariyah pun memeluk Islam. Rasul kemudian menempatkan Mariyah di Al-Aliyah (sebuah kebun yang kemudian dikenal dengan sebutan Masyrabah Ummu Ibrahim) dan rasulullah kerap mondar-mandir di kebun tersebut menemui Mariyah.
***
Pada suatu hari, Hafshah (seorang istri nabi) pergi keluar rumah. Padahal di hari itu, adalah jadwal rasulullah mendatangi rumah Hafshah. Entah kenapa, Hafshah justru pergi ke rumah ayahnya, Umar bin Khattab dan bercengkrama dengan sang ayah. Di saat Hafshah sedang pergi itulah, rasul mendatangi budak wanita beliau, Mariyah dan kemudian mengajak pergi ke rumah Hafshah.
Tak lama kemudian Hafshah pulang ke rumah. Betapa terkejutnya Hafshah mendapati budak wanita itu dan rasulullah berada di rumahnya. Ia kaget. Tapi ia menunggu budak wanita itu keluar, meski dengan rasa cemburu yang meledak-ledak. Mengetahui jika Hafshah datang, rasulullah pun menyuruh budak wanita itu keluar dan masuklah Hafshah ke dalam. Seketika itu juga, Hafshah langsung berkata pada Rasulullah, “Sungguh aku tahu orang yang ada di sampingmu tadi. Demi Allah, sungguh engkau telah menyakitiku.”
Rasul menjawab, “Demi Allah, aku pasti meminta keridhaanmu. Aku akan merahasiakan sebuah rahasia kepadamu, oleh karena itu, jagalah rahasia tersebut.”
Hafshah sedikit tenang, dan penasaran sehingga bertanya, “Rahasia apa itu?”
Rasul berkata, “Aku bersaksi kepadamu bahwa budak wanitaku (Mariyah) ini haram bagiku demi mendapatkan keridhaanku.”
Dari raut muka Hafshah, Rasul mendapatkan kesan tertentu dari perkataan Hafshah yang tersakiti. Karenanya, rasul ingin menghibur sehingga secara rahasia beliau membisikkan kepada Hafsah bahwa Mariyah haram bagi beliau, seraya meminta Hafshah menyembunyikan rahasia itu untuk tidak memberitahukan kepada seorang pun dari istri-istri beliau yang lain.
Tetapi Hafshah ternyata tidak menyembunyikan rahasia itu. Di hari esok, Hafshah bahkan mendatangi rumah Aisyah dan menceritakan rahasia tersebut, “Berbahagialah engkau, sesungguhnya rasulullah telah mengharamkan budak wanita beliau bagi beliau.”
Rahasia yang semula hanya diketahui oleh Hafshah itupun terkuak dan Aisyah jadi tahu sehingga berita (rahasia) itu tersebar kepada istri-istri beliau yang lain pula. Lebih dari itu, Aisyah minta pula agar Mariyah tidak tinggal sekota dengan Rasulullah. Jelas, peristiwa itu membuat rasulullah marah dan bersumpah tidak akan mendekati istri-istrinya selama satu bulan.
Kemarahan Rasul itu, karena Rasul diberitahu oleh Allah jika rahasia itu sudah tak lagi menjadi rahasia lagi. Ketika Hafshah menceritakan rahasia itu pada Aisyah, Allah telah memperlihatkan kejadian itu kepada Rasulullah lewat wahyu dengan turunnya ayat suci, yakni ayat-ayat pertama surat al-Tahrim. “Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Tahrim 1-2).
Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, para ulama berbeda pendapat menyangkut ucapan nabi yang dikemukakan dalam sebab turun surat ini. Ada yang menilainya kalau ucapan nabi itu sebagai sumpah karena komitmen nabi kepada Hafshah itu dinilai serupa sumpah. Ada juga yang tidak menilainya sebagai sumpah. Yang menilainya sumpah, berbeda pendapat; apakah beliau membatalkan sumpahnya atau tidak. Alasan yang berpendapat bahwa beliau tidak membatalkan adalah ayat di atas yang menyatakan bahwa Allah Maha Pengampun, yakni Allah telah mengampuni beliau sehingga tidak perlu membatalkannya dengan kaffarat.
Ada juga yang berpendapat bahwa beliau menebus sumpah itu dengan memerdekakan hamba, berdasar QS. al-Maidah [5]: 89 yang menegaskan bahwa, “Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluarga kamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kffarat-nya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpah kamu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar).
Dalam ayat berikutnya, al-Quran menjelaskan asal mula peristiwa yang mengundang turunnya teguran itu, “Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah), dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafshah dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitahukan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafshah).
Maka tatkala (Muhammmad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah bertanya, ‘Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?’ Nabi menjawab, ‘Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.’ Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan) dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mu’min yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan (QS. At-Tahrim [66]: 3-5).
Lebih lanjut, Quraish Shihab menjelaskan bahwa setelah turunnya ayat-ayat di atas, hati nabi kembali menjadi tenang. Meski demikian, ayat-ayat di atas secara tidak langsung menggambarkan satu sisi dari kehidupan nabi Muhammad, seorang nabi yang memiliki tugas suci dalam menyampaikan risalah Ilahi dan pada saat yang sama juga tidak bisa keluar dari sifat kemanusaannya. Di sana digambarkan satu upaya nabi merayu dan membujuk pasangan, ada rahasia pribadi yang dibisikkan, diminta untuk merahasiakan, ada dorongan seksual, ada rasa marah, ada juga perasaan cemburu dan bersamaan dengan itu semua ada bimbingan dan pengarahan Allah, karena tuntunan risalah Islamiyah bukannya mencabut potensi dan bawaan manusia tetapi ia adalah ajaran yang sesuai dengan fitrah sehingga ia mengukuhkan dan mengarahkannya ke arah yang benar.
***
Setelah Rasulullah tahu, Hafshah merasa bersalah atas apa yang diperbuatnya, yakni menyebarkan rahasia Rasulullah berkenaan dengan Mariyah itu kepada Aisyah. Hafshah pun kemudian memberitakan bahwa nabi Muhammad telah menceraikannya. Umar mengetahui hal itu. Ia lalu menaburkan tanah di atas kepada putrinya, Hafshah sebagai tanda penyesalan, seraya berkata, “Allah tidak peduli dengan Umar dan putrinya”.
Pada hari esoknya, malaikat Jibril datang kepada Nabi, dan berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu untuk kembali kepada Hafshah sebagai rahmat bagi Umar.”
Ketika itu, Rasul sedang berada di masjid untuk menjauhkan diri dari istri-istrinya. Sebagian orang berkata bahwa Rasulullah telah menceraikan istri-istrinya. Umar berusaha menemui Nabi dan ia berkata kepada salah seorang budak, bernama Rabah untuk memintakan izin kepada rasulullah baginya untuk bertemu.
“Hai Rabah, mintakan izin bagiku untuk bertemu Rasulullah. Sesungguhnya aku datang karena Hafshah. Demi Allah, apabila beliau menyuruhku mendera batang leher Hafshah, niscaya akan aku dera.”
Rasulullah mendengar hal itu dan beliau memberikan izin kepada Umar untuk masuk. Betapa sedihnya hati Umar ketika melihat keadaan Rasulullah ketika itu, sehingga membuat Umar kemudian berkata, ““Ya, Rasulullah, apakah yang menyusahkan Anda tentang hal wanita? Jika Anda menceraikan mereka, maka sesungguhnya Allah bersamamu, begitu pula malaikat-Nya dan Jibril; sedang aku, Abu Bakar dan kaum mu`minin, bersama Anda.”
Lalu Rasulullah memberitahukan kepada Umar bin Khattab bahwa beliau sesungguhnya tidak menceraikan mereka, tetapi sedang menjauhkan diri selama sebulan sebagai pelajaran bagi mereka. Maka, keluarlah Umar dari tempat Rasulullah untuk menerangkan kepada kaum muslimin bahwa nabi tidak menceraikan istri-istrinya dan terjadinya peristiwa itu, tidak ada maksud lain, kecuali sebagai pelajaran bagi istri-istri nabi.
***
Hari-hari berlalu dengan beberapa peristiwa yang terjadi bersamanya, di antaranya kelahiran Ibrahim dari kandungan Mariyah. Allah memberikan anugrah kepada Rasul dengan kelahiran seorang anak lelaki dari Mariyah, Ibrahim, yang kelahirannya menjadi kebanggaan tersendiri. Madinah al-Munawwarah beserta seluruh kaum muslimin merasa beruntung dengan lahirnya Ibrahim, sehingga Mariyah sendiri semakin mendapatkan tempat di hati rasulullah yang mulia.
Tapi setelah mencapai usia dua tahun, Ibrahim menderita sakit. Dengan penuh kasih, Mariyah (ibunya) merawat anak itu dibantu oleh bibinya, Sirin yang juga saudara perempuan ibunya. Melihat putranya yang masih kecil itu merintih dengan pedih karena sakitnya yang keras, Rasulullah menyandarkan diri dan berkata, “Sesungguhnya kami, wahai Ibrahim, tidak kuasa melepaskan kamu sidikit pun dari (takdir) Allah.“
Akhirnya, beliau mengucapkan salam bagi ruh Ibrahim, membungkuk dan menciumnya. Dengan air mata yang mengalir dari kelopak mata dan hati yang sedih, beliau berkata, “Namun kami tidak berkata selain apa yang direlai Allah. Dan sesungguhnya kami, wahai Ibrahim, sedih berpisah denganmu. Sesungguhnya kita adalah makhluk Allah dan kepada-Nya kita semua akan kembali…”
Jenazah Ibrahim putra Rasulullah, dipersiapkan untuk dimakamkan. Rasul bersama kaum muslimin kemudian pergi mengantarkannya. Rasulullah yang mulai melakukan shalat atas jenazah putranya dan memasukkannya ke dalam makamnya, kemudian bersama orang-orang yang mengantarkan, kembali pulang dengan perasaan teramat sedih. Akan tetapi, sewaktu dalam perjalanan pulang itu, orang-orang melihat gerhana matahari. Entah kenapa, beberapa orang berkata, “Gerhana itu terjadi karena wafatnya Ibrahim.”
Tatkala mendengar apa yang diucapkan orang-orang, Rasul bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana itu bukan karena mati atau hidupnya seseorang.”
Mariyah al-Qibtiyah sendiri, ibu Ibrahim akhirnya wafat pada bulan Muharram pada tahun 16 H. Meski demikian, sebutan wanita ini tetap hidup di dalam al-Qur`an (surat at-Tahrim). Ia disebut-sebut orang sebagai putri Mesir yang lahir di tepi sungai Nil, sebelah timur Negeri Shiffin, di daratan tinggi Mesir. (n. mursidi)
-----------------
Referensi:
1. Jabir asy-Syal, Profil di Balik Cadar; Kisah Wanita dalam Al-Qur`an, terj. Alwi AM, Penerbit Grafiti Pers, Jakarta; 1986
2. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Penerbit Lentera Hati, Jakarta; 2000
3. Ahmad Khalil Jam`ah Syaikh Muhammad bin yusuf Ad-Dimasyqi, Istri-istri Para Nabi, terj. Fadhli Bahri, Lc., Darul Falah, Jakarta 2001
Kenyataan itu menegaskan bahwa Islam adalah agama untuk semua umat manusia yang menghuni bumi ini dan bukan hanya bagi penduduk Madinah dan Makkah. Karena itu, setelah berjuang dengan penuh penderitaan di Makkah dan Madinah, nabi Muhammad menyeru Islam ke beberapa negara tetangga. Sepulang dari Hudaibiyah, rasul segera mengumpulkan semua pengikutnya dan mengumumkan bahwa pada saat itu adalah moment yang tepat menyebarkan pesan-pesan Islam hingga ke mancanegara. Dan para sahabat menerima misi itu dengan suka cita. Maka, mulailah nabi Muhammad mengirimkan utusan untuk menyampaikan surat ajakan kepada beberapa raja negara tetangga.
Dari sekian raja di negeri tetangga, salah satu penguasa yang mendapatkan surat dari nabi itu adalah Raja al-Muqauqis, penguasa kaum Koptik di Mesir. Dan yang membawa surat nabi itu adalah Khatib bin Abi Balta`ah. Raja menyambut Khatib serta menerima pesan nabi itu dengan penuh penghargaan. Raja al-Muqauqis juga mau membaca surat nabi, dan setelah membaca dengan seksama, sang raja meletakkan surat itu kemudian meminta kepada Khatib untuk menjelaskan sifat dan perangai rasulullah.
Khatib lalu bercerita tentang diri nabi. Dan ternyata perangai nabi yang diceritakan Khatib itu tidak melenceng dari sifat seorang nabi yang akan datang yang sudah raja ketahui dari kitab suci terdahulu. Seketika itu, raja tidak ragu untuk mengakui kenabian Muhammad. Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah, raja takut kalau bangsa Koptik Mesir tidak mau menerima pesan tersebut. Di samping itu, juga ada kekhawatiran mengenai posisinya kalau rakyat kemudian melakukan pemberontakan. Akhirnya, raja menerima pesan nabi itu secara pribadi dan saat Khatib pulang, raja menitipkan pesan lewat surat kepada nabi, juga mengirim hadiah buat nabi. Di antara hadiah itu adalah seekor keledai putih dan dua budak perempuan, Mariyah al-Qibthiyah dan saudara perempuannya bernama Sirin. Rasulullah memilih Mariyah dan memberikan Sirin kepada Hasan bin Tsabit.
Mariyah memang seorang budak, tetapi ia sebenarnya memiliki kedudukan yang tinggi di kalangan orang Koptik. Ia adalah putri dari Syam`un. Setelah dijadikan sebagai hadiah buat nabi, Mariyah pun memeluk Islam. Rasul kemudian menempatkan Mariyah di Al-Aliyah (sebuah kebun yang kemudian dikenal dengan sebutan Masyrabah Ummu Ibrahim) dan rasulullah kerap mondar-mandir di kebun tersebut menemui Mariyah.
***
Pada suatu hari, Hafshah (seorang istri nabi) pergi keluar rumah. Padahal di hari itu, adalah jadwal rasulullah mendatangi rumah Hafshah. Entah kenapa, Hafshah justru pergi ke rumah ayahnya, Umar bin Khattab dan bercengkrama dengan sang ayah. Di saat Hafshah sedang pergi itulah, rasul mendatangi budak wanita beliau, Mariyah dan kemudian mengajak pergi ke rumah Hafshah.
Tak lama kemudian Hafshah pulang ke rumah. Betapa terkejutnya Hafshah mendapati budak wanita itu dan rasulullah berada di rumahnya. Ia kaget. Tapi ia menunggu budak wanita itu keluar, meski dengan rasa cemburu yang meledak-ledak. Mengetahui jika Hafshah datang, rasulullah pun menyuruh budak wanita itu keluar dan masuklah Hafshah ke dalam. Seketika itu juga, Hafshah langsung berkata pada Rasulullah, “Sungguh aku tahu orang yang ada di sampingmu tadi. Demi Allah, sungguh engkau telah menyakitiku.”
Rasul menjawab, “Demi Allah, aku pasti meminta keridhaanmu. Aku akan merahasiakan sebuah rahasia kepadamu, oleh karena itu, jagalah rahasia tersebut.”
Hafshah sedikit tenang, dan penasaran sehingga bertanya, “Rahasia apa itu?”
Rasul berkata, “Aku bersaksi kepadamu bahwa budak wanitaku (Mariyah) ini haram bagiku demi mendapatkan keridhaanku.”
Dari raut muka Hafshah, Rasul mendapatkan kesan tertentu dari perkataan Hafshah yang tersakiti. Karenanya, rasul ingin menghibur sehingga secara rahasia beliau membisikkan kepada Hafsah bahwa Mariyah haram bagi beliau, seraya meminta Hafshah menyembunyikan rahasia itu untuk tidak memberitahukan kepada seorang pun dari istri-istri beliau yang lain.
Tetapi Hafshah ternyata tidak menyembunyikan rahasia itu. Di hari esok, Hafshah bahkan mendatangi rumah Aisyah dan menceritakan rahasia tersebut, “Berbahagialah engkau, sesungguhnya rasulullah telah mengharamkan budak wanita beliau bagi beliau.”
Rahasia yang semula hanya diketahui oleh Hafshah itupun terkuak dan Aisyah jadi tahu sehingga berita (rahasia) itu tersebar kepada istri-istri beliau yang lain pula. Lebih dari itu, Aisyah minta pula agar Mariyah tidak tinggal sekota dengan Rasulullah. Jelas, peristiwa itu membuat rasulullah marah dan bersumpah tidak akan mendekati istri-istrinya selama satu bulan.
Kemarahan Rasul itu, karena Rasul diberitahu oleh Allah jika rahasia itu sudah tak lagi menjadi rahasia lagi. Ketika Hafshah menceritakan rahasia itu pada Aisyah, Allah telah memperlihatkan kejadian itu kepada Rasulullah lewat wahyu dengan turunnya ayat suci, yakni ayat-ayat pertama surat al-Tahrim. “Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Tahrim 1-2).
Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, para ulama berbeda pendapat menyangkut ucapan nabi yang dikemukakan dalam sebab turun surat ini. Ada yang menilainya kalau ucapan nabi itu sebagai sumpah karena komitmen nabi kepada Hafshah itu dinilai serupa sumpah. Ada juga yang tidak menilainya sebagai sumpah. Yang menilainya sumpah, berbeda pendapat; apakah beliau membatalkan sumpahnya atau tidak. Alasan yang berpendapat bahwa beliau tidak membatalkan adalah ayat di atas yang menyatakan bahwa Allah Maha Pengampun, yakni Allah telah mengampuni beliau sehingga tidak perlu membatalkannya dengan kaffarat.
Ada juga yang berpendapat bahwa beliau menebus sumpah itu dengan memerdekakan hamba, berdasar QS. al-Maidah [5]: 89 yang menegaskan bahwa, “Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluarga kamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kffarat-nya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpah kamu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar).
Dalam ayat berikutnya, al-Quran menjelaskan asal mula peristiwa yang mengundang turunnya teguran itu, “Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah), dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafshah dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitahukan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafshah).
Maka tatkala (Muhammmad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah bertanya, ‘Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?’ Nabi menjawab, ‘Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.’ Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan) dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mu’min yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan (QS. At-Tahrim [66]: 3-5).
Lebih lanjut, Quraish Shihab menjelaskan bahwa setelah turunnya ayat-ayat di atas, hati nabi kembali menjadi tenang. Meski demikian, ayat-ayat di atas secara tidak langsung menggambarkan satu sisi dari kehidupan nabi Muhammad, seorang nabi yang memiliki tugas suci dalam menyampaikan risalah Ilahi dan pada saat yang sama juga tidak bisa keluar dari sifat kemanusaannya. Di sana digambarkan satu upaya nabi merayu dan membujuk pasangan, ada rahasia pribadi yang dibisikkan, diminta untuk merahasiakan, ada dorongan seksual, ada rasa marah, ada juga perasaan cemburu dan bersamaan dengan itu semua ada bimbingan dan pengarahan Allah, karena tuntunan risalah Islamiyah bukannya mencabut potensi dan bawaan manusia tetapi ia adalah ajaran yang sesuai dengan fitrah sehingga ia mengukuhkan dan mengarahkannya ke arah yang benar.
***
Setelah Rasulullah tahu, Hafshah merasa bersalah atas apa yang diperbuatnya, yakni menyebarkan rahasia Rasulullah berkenaan dengan Mariyah itu kepada Aisyah. Hafshah pun kemudian memberitakan bahwa nabi Muhammad telah menceraikannya. Umar mengetahui hal itu. Ia lalu menaburkan tanah di atas kepada putrinya, Hafshah sebagai tanda penyesalan, seraya berkata, “Allah tidak peduli dengan Umar dan putrinya”.
Pada hari esoknya, malaikat Jibril datang kepada Nabi, dan berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu untuk kembali kepada Hafshah sebagai rahmat bagi Umar.”
Ketika itu, Rasul sedang berada di masjid untuk menjauhkan diri dari istri-istrinya. Sebagian orang berkata bahwa Rasulullah telah menceraikan istri-istrinya. Umar berusaha menemui Nabi dan ia berkata kepada salah seorang budak, bernama Rabah untuk memintakan izin kepada rasulullah baginya untuk bertemu.
“Hai Rabah, mintakan izin bagiku untuk bertemu Rasulullah. Sesungguhnya aku datang karena Hafshah. Demi Allah, apabila beliau menyuruhku mendera batang leher Hafshah, niscaya akan aku dera.”
Rasulullah mendengar hal itu dan beliau memberikan izin kepada Umar untuk masuk. Betapa sedihnya hati Umar ketika melihat keadaan Rasulullah ketika itu, sehingga membuat Umar kemudian berkata, ““Ya, Rasulullah, apakah yang menyusahkan Anda tentang hal wanita? Jika Anda menceraikan mereka, maka sesungguhnya Allah bersamamu, begitu pula malaikat-Nya dan Jibril; sedang aku, Abu Bakar dan kaum mu`minin, bersama Anda.”
Lalu Rasulullah memberitahukan kepada Umar bin Khattab bahwa beliau sesungguhnya tidak menceraikan mereka, tetapi sedang menjauhkan diri selama sebulan sebagai pelajaran bagi mereka. Maka, keluarlah Umar dari tempat Rasulullah untuk menerangkan kepada kaum muslimin bahwa nabi tidak menceraikan istri-istrinya dan terjadinya peristiwa itu, tidak ada maksud lain, kecuali sebagai pelajaran bagi istri-istri nabi.
***
Hari-hari berlalu dengan beberapa peristiwa yang terjadi bersamanya, di antaranya kelahiran Ibrahim dari kandungan Mariyah. Allah memberikan anugrah kepada Rasul dengan kelahiran seorang anak lelaki dari Mariyah, Ibrahim, yang kelahirannya menjadi kebanggaan tersendiri. Madinah al-Munawwarah beserta seluruh kaum muslimin merasa beruntung dengan lahirnya Ibrahim, sehingga Mariyah sendiri semakin mendapatkan tempat di hati rasulullah yang mulia.
Tapi setelah mencapai usia dua tahun, Ibrahim menderita sakit. Dengan penuh kasih, Mariyah (ibunya) merawat anak itu dibantu oleh bibinya, Sirin yang juga saudara perempuan ibunya. Melihat putranya yang masih kecil itu merintih dengan pedih karena sakitnya yang keras, Rasulullah menyandarkan diri dan berkata, “Sesungguhnya kami, wahai Ibrahim, tidak kuasa melepaskan kamu sidikit pun dari (takdir) Allah.“
Akhirnya, beliau mengucapkan salam bagi ruh Ibrahim, membungkuk dan menciumnya. Dengan air mata yang mengalir dari kelopak mata dan hati yang sedih, beliau berkata, “Namun kami tidak berkata selain apa yang direlai Allah. Dan sesungguhnya kami, wahai Ibrahim, sedih berpisah denganmu. Sesungguhnya kita adalah makhluk Allah dan kepada-Nya kita semua akan kembali…”
Jenazah Ibrahim putra Rasulullah, dipersiapkan untuk dimakamkan. Rasul bersama kaum muslimin kemudian pergi mengantarkannya. Rasulullah yang mulai melakukan shalat atas jenazah putranya dan memasukkannya ke dalam makamnya, kemudian bersama orang-orang yang mengantarkan, kembali pulang dengan perasaan teramat sedih. Akan tetapi, sewaktu dalam perjalanan pulang itu, orang-orang melihat gerhana matahari. Entah kenapa, beberapa orang berkata, “Gerhana itu terjadi karena wafatnya Ibrahim.”
Tatkala mendengar apa yang diucapkan orang-orang, Rasul bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana itu bukan karena mati atau hidupnya seseorang.”
Mariyah al-Qibtiyah sendiri, ibu Ibrahim akhirnya wafat pada bulan Muharram pada tahun 16 H. Meski demikian, sebutan wanita ini tetap hidup di dalam al-Qur`an (surat at-Tahrim). Ia disebut-sebut orang sebagai putri Mesir yang lahir di tepi sungai Nil, sebelah timur Negeri Shiffin, di daratan tinggi Mesir. (n. mursidi)
-----------------
Referensi:
1. Jabir asy-Syal, Profil di Balik Cadar; Kisah Wanita dalam Al-Qur`an, terj. Alwi AM, Penerbit Grafiti Pers, Jakarta; 1986
2. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Penerbit Lentera Hati, Jakarta; 2000
3. Ahmad Khalil Jam`ah Syaikh Muhammad bin yusuf Ad-Dimasyqi, Istri-istri Para Nabi, terj. Fadhli Bahri, Lc., Darul Falah, Jakarta 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar