Rabu, 01 Agustus 2007

akhir kisah nabi yusuf

tulisan ini dimuat di majalah hidayah edisi 73 agustus 2007

Setelah Mesir dilimpahi dengan panen melimpah, musim kemarau –sebagaimana yang ditakwil nabi Yusuf-- pun tiba. Tak hujan. Sungai kering. Daun kuning dan ladang kerontang. Untung, nabi Yusuf sudah memenuhi lumbung kerajaan dengan gandum berlimpah. Maka, saat daerah sekitar merana diterpa paceklik, Mesir dapat melewati musim kemarau itu sehingga berduyun-duyun kafilah dari berbagai pelosok datang ke Mesir untuk membeli gandum.

Kafilah dari Palestina
Suatu hari, kafilah dari Palestina pun tiba ke Mesir. Kafilah itu terdiri dari sepuluh bersaudara, yang tak lain saudara nabi Yusuf. Karena nabi Yusuf mengawasi juga pembagian gandum, maka ia mengenal mereka. Tapi sepuluh bersaudara itu tak mengenali Yusuf. Maklum, dia berumur 13 tahun ketika mereka membuang Yusuf ke dalam sumur.

Sekarang, nabi Yusuf sudah dewasa dan tak lagi bisa dikenali. Ia memiliki kekuasaan, memakai baju kebesaran dan dikelilingi para pengawal. Kendati demikian, Yusuf tak mau balas dendam. Justru ia mau mengajarkan tentang kebaikan, juga membimbing kepada mereka agar beriman. Karena itu, nabi Yusuf tak mengusir tapi menerima dengan hangat, juga menanyakan soal keluarga mereka. Sepuluh bersaudara itu pun akhirnya menceritakan tentang asal negeri mereka, ayah mereka dan saudara Yusuf yang tak ikut dalam rombongan.

“Jika kembali lagi, bawalah saudaramu yang seayah dengan kamu (Benyamin), tidakkah kamu melihat bahwa aku menyempurnakan sukatan dan aku adalah sebaik-baik penerima tamu?” pesan Yusuf sebelum mereka pulang, “Jika kamu tidak membawanya kepadaku, maka kamu tidak akan mendapat sukatan lagi dariku dan janganlah kamu mendekatiku.” (lihat QS. Yusuf [12]: 58-59).

Selain berpesan agar mengajak Benyamin, nabi Yusuf juga memerintahkan pekerjanya memasukkan barang yang mereka tukarkan (sebagai alat tukar) dengan gandum dalam wadah kesepuluh bersaudara itu (lihat QS. Yusuf [12]: 62) dengan harapan agar mereka nanti bisa kembali ke Mesir.

Harapan nabi Yusuf tak meleset. Setiba di rumah, sepuluh saudara itu menyampaikan pesan Yusuf, “Wahai ayah kami, kami tak akan mendapat (sukatan) lagi, (jika tidak membawa saudara kami), karena itu biarkanlah saudara kami pergi bersama kami supaya kami mendapat sukatan dan sesungguhnya kami akan benar-benar menjaganya.” (lihat QS. Yusuf [12]: 63).

“Bagaimana aku akan mempercayakannya kepadamu, kecuali seperti aku telah mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepada kamu dahulu?” (QS. Yusuf [12]: 64), tanya nabi Ya`qub, dengan air mata menitik, karena ia tiba-tiba teringat Yusuf.

Karena tidak mendapat ijin, sepuluh bersaudara itu lantas membuka karung mereka, dan tercengang saat menemukan barang mereka dikembalikan. Seketika itu, mereka gembira, “Wahai ayah kami, apa lagi yang kita inginkan? Ini barang-barang kita dikembalikan kepada kita dan kami akan dapat memberi makan keluarga kami dan kami akan dapat memelihara saudara kami dan kami akan mendapat tambahan sukatan gandum seberat beban seekor unta…” (QS. Yusuf [12]: 65).

“Aku sekali-kali tidak akan melepasnya (pergi) bersama-sama kamu, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kembali, kecuali jika kamu dikepung musuh.” (QS. Yusuf [12]: 66).

Sepuluh bersaudara itu akhirnya memenuhi permintaan nabi Ya`qub, bersumpah atas nama Allah.

Masuk Pintu Berlain-lain
Setelah tiba hari yang ditentukan, kesepuluh bersaudara dan Benyamin akhirnya ke Mesir. Tapi, hati nabi Ya`qub masih diliputi kecemasan. Karena itu, saat nabi Ya`qub melepas kepergian anak-anak mereka, ia berpesan, “Hai anak-anakku, janganlah kamu masuk dari satu pintu gerbang dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain...” (QS Yusuf [12]: 67). Alasan nabi Ya`qub menyuruh masuk pintu berlainan, menurut sebagian besar ulama untuk menghindari pandangan mata yang mengundang kekaguman, kecemburuan atau kedengkian. Maka tatkala memasuki kota Mesir, kesebelas bersaudara itu mematuhi perintah nabi Ya`qub –masuk melalui empat pintu gerbang.

Setelah itu, mereka ke tempat nabi Yusuf. Nabi Yusuf menyambut hangat, bahkan menempatkan setia dua orang di kamar tersendiri. Selanjutnya, nabi Yusuf membawa saudara kandungnya itu ke kamar nabi Yusuf. Sampai di kamar, nabi Yusuf memeluk Benyamin dengan erat, “Sesungguhnya aku adalah saudaramu, maka janganlah engkau berdua cita terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Yusuf [12]: 69).

Skenario Menjebak Bunyamin
Nabi Yusuf bersyukur, bisa bertemu kembali dengan Bunyamin dan berpesan agar tak menceritakan pertemuan itu kepada saudara-saudaranya.

Tidak lama kemudian, nabi Yusuf memerintahkan pengawalnya untuk mempersiapkan kepulangan mereka dan memerintahkan pula memasukkan piala (tempat minum) ke karung Benyamin. Kesebelas bersaudara itu akhirnya pamit pulang. Tapi setelah mereka melangkah pulang, tiba-tiba dikagetkan oleh suara dari belakang “Hai kafilah, sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang mencuri.”

“Barang apakah yang hilang dari kamu?” jawab mereka.

“Kami kehilangan piala raja dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin terhadapnya.”

Kesepuluh saudara itu seperti disambar halilintar mendengar tuduhan tersebut. Maka mereka pun menjawab, “Demi Allah, sesungguhnya kamu mengetahui bahwa kami datang bukan untuk membuat kerusakan di negeri ini dan kami bukan para pencuri.”

“Tetapi, apa balasannya jikalau kamu betul-betul pendusta?”

“Siapa diketemukan (barang yang hilang) dalam karungnya, maka dia sendirilah balasannya (tebusannya). (lihat QS. Yusuf [12]: 70-75)

Para pengawal lalu menggeledah karung mereka. Karena merasa tidak mencuri, maka saudara-saudara Yusuf itu tidak menampakkan wajah cemas. Apalagi setelah karung-karung mereka ternyata tak ditemukan piala. Tapi pengawal melanjutkan penggeledahan ke karung Bunyamin. Ketika di karung Bunyamin ditemukan piala (cangkir perak) yang digunakan sebagai takaran gandum, maka terperanjat saudara-saudara Yusuf.

“Jika ia mencuri, maka sesungguhnya telah pernah mencuri pula saudaranya sebelum itu,” bela saudara-saudara Yusuf menutupi malu dengan menuding ke arah Bunyamin.

Yusuf serasa bagai ditusuk pisau. Tapi ia bisa menyembunyikan kejengkelan yang ada di hatinya itu. “Kamu lebih buruk kedudukanmu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu terangkan itu,” kata nabi Yusuf dalam hati (lihat QS. Yusuf [12]: 77).

Setelah tertangkap basah, sepuluh saudara Yusuf pun tak bisa berkutik karena tahu Bunyamin dalam bahaya, maka mereka ingat janji mereka dengan sang ayah, “Wahai al-Aziz, sesungguhnya dia mempunyai ayah yang sudah lanjut usianya, lantaran itu ambillah salah seorang di antara kami sebagai gantinya..” (QS. Yusuf [12]: 78).

Tetapi nabi Yusuf menolak, “Aku mohon perlindungan kepada Allah daripada menahan seorang, kecuali orang yang kami ketemukan harta benda kami padanya. Jika kami berbuat demikian, maka benar-benar-lah kami orang-orang yang zalim.” (QS. Yusuf [12]: 79).

Tidak ada lagi jalan pembelaan bagi Bunyamin, maka kesepuluh bersaudara itu putus asa dan kemudian berunding. Saudara tertua angkat bicara, “Tidakkah kamu ketahui bahwa sesungguhnya ayahmu telah mengambil janji dari kamu atas nama Allah dan sebelum itu kamu telah menyia-nyiakan Yusuf? Sebab itu, aku tidak akan meninggalkan negeri Mesir sampai ayahku mengizinkan padaku atau Allah memberi keputusan terhadapku. Dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya. Kembalilah kepada ayah dan katakanlah, wahai ayah kami, sesungguhnya anakmu telah mencuri dan kami hanya menyaksikan apa yang kami ketahui… (lihat QS Yusuf [12]: 80-81)

Akhirnya, sembilan bersaudara itu pun pulang ke Palestina untuk mengabarkan soal Bunyamin. Saat tiba di Palestina dan kesembilan anak nabi Ya`qub mengadu, maka ayah yang sudah tua itu pun kian sedih. “Hanya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu. Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku; sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,” jawab Ya`qub, seraya berpaling, “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf”. (lihat QS. Yusuf [12]: 83-84) dan kedua mata nabi Ya`qub terlihat memutih karena sedih.

“Demi Allah, senantiasa engkau mengingat Yusuf sehingga engkau mengidap penyakit yang berat atau termasuk orang-orang yang binasa,” balas keluarganya, karena merasa dongkol.

“Sesungguhnya hanya pada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tidak ketahui,” jawab nabi Ya`qub, “Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. (QS. Yusuf [12]: 85-87), ucapnya lebih lanjut.

Anak-anak Ya`qub menuruti perintahnya. Tetapi kepergian mereka itu bukanlah untuk mencari Yusuf karena mereka tahu Yusuf tak mungkin ditemukan. Karena itu, --bagi mereka-- tidak ada pilihan lain kecuali pergi ke Mesir untuk mencari gandum karena keadaan waktu itu sedang krisis.

Sesampai di Mesir, mereka menemui penguasa Mesir yang berwenang membagi jatah makanan yang tidak lain adalah nabi Yusuf. “Hai al-Aziz, kami dan keluarga kami telah ditimpa kesengsaraan dan kami datang membawa barang-barang yang tidak berharga, maka sempurnakanlah sukatan kami dan bersedekahlah kepada kami, sesungguhnya Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bersedekah.”

Hati nabi Yusuf tersentuh. Seketika itu, dia berkata, “Apakah kamu mengetahui apa yang telah kamu lakukan terhadap Yusuf dan saudaranya ketika kamu tak mengetahui (akibat) perbuatanmu itu?”

Saudara-saudara Yusuf teringat peristiwa di masa lalu yang terjadi tiga puluh tahun silam, dan teringat ayahnya yang tak pernah putus asa mengharap Yusuf kembali. Akhirnya, dengan perasaan campur aduk, mereka bertanya, “Apakah kamu ini benar-benar Yusuf?”

“Aku Yusuf dan ini saudaraku. Allah telah melimpahkan karunia-Nya kepada kami. “

“Demi Allah, sesungguhnya Allah telah melebihkan kamu atas kami, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa),” jawab saudara-saudara Yusuf (lihat QS Yusuf [12]: 89-91)

“Tak ada cercaan terhadap kamu pada hari ini, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu). Dia adalah Maha Penyanyang di antara para penyanyang,” ucap nabi Yusuf memaafkan mereka, “Pergilah kamu membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah dia ke wajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku.” (lihat QS Yusuf [12]: 92-93)

Pertemuan dengan nabi Ya`qub
Seraya menundukkan kepala, mereka pulang ke Palestina untuk menemui ayah mereka. Setelah melewati perbatasann, meskipun belum tiba di rumah (baru memasuki Palestina), nabi Ya`qub sudah mencium bau Yusuf, “Sesungguhnya aku mencium bau Yusuf, sekiranya kamu tak menuduhku lemah akal (tentu kamu membenarkanku).” Tetapi menantu dan anak cucunya tak yakin, ”Demi Allah, sesungguhnya kamu masih dalam kekeliruanmu yang dahulu.”

Akhirnya, anak-anaknya pun tiba. Kejadian yang menakjubkan pun terjadi. Wajah nabi Ya`qub diliputi cahaya, lalu bisa melihat lagi setelah sekian tahun hanya melihat kegelapan, dan ditimpa kesedihan. “Bukankah aku telah mengatakan kepada kalian bahwa aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kalian ketahui?”

“Wahai ayah kami, mohonkanlah ampunan bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa).” (QS. Yusuf [12]: 94-97)

Nabi Ya`qub lalu memohon ampunan pada mereka. Setelah itu, ia merasa mendapat kekuatan, sehingga mempersiapkan seluruh keluarga untuk ke Mesir.

Akhirnya, nabi Yusuf bisa bertemu dengan ayahnya setelah 30 tahun berpisah dan ia tak lupa dengan mimpinya waktu masih kecil, “Wahai ayahku, inilah ta`bir mimpiku yang dulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan. Dan sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaku, ketika Dia membebaskan aku dari rumah penjara dan ketika membawamu dari dusun padang pasir, setelah setan merusak (hubungan) antara aku dan saudara-saudaraku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Lembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Yusuf [12]: 100)

Itulah akhir kisah nabi Yusuf. Penderitaan hidup, tak membuat nabi Yusuf lupa Allah dan selalu bersabar. Karena itu, Allah membalas kebaikan dan keagungan di akhir kisahnya. Ia memiliki kedudukan dan kemuliaan. Semoga kita dapat meneladani kesabaran nabi Yusuf! (n. mursidi/disarikan dari Kisah-kisah Terbaik Al-Qur`an, Kamal as-Sayyid, Pustaka Zahra, Jakarta, 2005 dan Tafsir Al-Mishbah, Quraish Shihab, Lentera Hati Jakarta 2002).

Tidak ada komentar: