Rabu, 01 Agustus 2007

putus asa dari sudut pandang sosiologi dan psikologi

tulisan ini awalnya diajukan untuk rubrik litsus di majalah hidayah edisi 73 agustus 2007 tetapi tidak jadi dimuat.

Peliknya persoalan hidup tak jarang membuat orang kemudian merasa tertekan. Apalagi, kalau persoalan hidup itu ternyata tak kunjung selesai dan tidak ada jalan keluar. Maka, dia pun merasa hidup yang dia dijalani selama ini sudah tidak lagi berguna. Harapan akan 'sebuah masa depan yang lebih baik' pun seakan sirna dan ia pada akhirnya ditikam rasa putus asa. Akibat keputusasan itulah, tragisnya tak sedikit orang kemudian memilih jalan pintas untuk mengakhiri hidup dengan "bunuh diri"; menggantung diri, minum racun atau bisa juga membakar diri.

Beberapa kasus bunuh diri yang terjadi belakangan ini di Indonesia, bisa dikategorikan sebagai bentuk keputusasaan dari sejuta persoalan yang melingkupi hidup. Padahal kasus-kasus bunuh diri tidak jarang dipicu persoalan yang cukup sepele, akibat pertengkaran dengan suami (atau istri), malu (takut jika ketahuan orang lain), tak naik kelas, putus cinta atau juga penyakit kronis. Maka, ironis jika bunuh diri kemudian jadi pilihan dalam untuk bebas dari beban hidup.

Tapi faktor atau alasan kenapa orang melakukan bunuh diri bisa beragam alasan. Dengan kata lain, tak semata akibat keputusasan belaka. Dari sundung pandang sosiologi, Emile Durkheim --sosilog Prancis-- melihat kenapa orang memiliki kecenderungan yang definif untuk bunuh diri. Pertama, faktor egoistic. Orang bisa bunuh diri karena faktor diri orang tersebut semisal ia tak lagi memiliki ikatan kuat dengan kelompok sosial di mana dia hidup, semisal merasa dikucilkan atau disisihkan. Kedua, altruistic. Dalam kasus bunuh diri altruistic, alasan orang bunuh diri untuk menunjukkan loyalitas atau pengabdian pada kelompok tertentu. Tindakan mengakhiri hidup dengan harakiri yang terjdai di Jepang, merupakan bentuk bunuh diri jenis altruistic ini.

Ketiga, adalah anomic. Orang memilih untuk bunuh diri, karena tidak lagi mampu menghadapi perubahan hidup tentang standart hidup atau nilai di tengah masyarakat. Semisal, seseorang bunuh diri akibat kehilangan pekerjaan atau krisis ekonomi yang membuat orang itu tertekan.

Berbeda dengan Emile Durkheim, Sigmund Freud melihat kenapa orang berani untuk bunuh diri sebagai tampilan agresi yang diarahkan ke diri dalam melawan suatu introyeksi, ambivalensi kehilangan obyek cinta. Ia berani melakukan bunuh diri sebab sebelumnya ia merepresi keinginan untuk membunuh seseorang. Semisal, karena ia tak berani membunuh si bos yang telah mengeluarkannya dari perusahaan maka ia merepresikan tindakan membunuh itu ke dirinya dengan jalan bunuh diri. Karena itu, Menniger berpendapat bahwa bunuh diri tidak lebih sebagai tindakan pembunuhan terbalik akibat dari kemarahan seseorang, dan kemudian diarahkan ke diri seseorang itu sendiri.

Meski demikian, tidak semua kasus bunuh diri bisa dijelaskan dengan sudut pandang sosiologi Emile Durkheim dan psikologi Freud. Karena dalam pandangan biologisk, bunuh diri bisa jadi dipicu dari faktor genetik akibat penurunan kadar serotonin di otak. Keluarga Ernest Hemingway sekan mencuarkan fenomena tentang bunuh diri faktor biologik ini. Faktanya, bukan hanya Hemingway saja yang bertindak memilih mengakhiri hidup dengan bunuh diri, karena jika dirunut dalam riwayat keluarganya, ternyata kakek dan paman Hemingway pun mati dengan jalan bunuh diri.

Meski beragam alasan orang berani bunuh diri ditinjau dari sudut pandang sosiologi, psikologi atau biologik tapi kasus bunuh diri di sejumlah negara masih juga tak bisa dijelaskan dengan gamblang. Dengan kata lain, penjelasan itu hanya sebatas teori dan kadang kasus bunuh diri di suatu tempat punya latar belakang tersendiri yang berbebda dengan negara atau tempat lain. Karena sampai detik ini, bunuh diri tetap merupakan satu misteri dan untuk menjelaskannya dibutuhkan kasus per kasus.

Di daerah Gunung Kidul yang dikenal cukup tinggi tingkat kematian dalam bunuh diri jelas akan berbeda dengan tempat lain. Darmaningtyas dalam bukunya Pulung Gantung; Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunung Kidul menyingkap bahwa apa yang terjadi di lingkungan pemukiman padat dan kumuh itu adalah reproduksi kemiskinan dan sosial. Masyarakat terisolasi dari informasi dan termajinalkan secara ekonomi dan sosial. Ironisnya lagi, sudah terhimpit seperti itu mereka harus memikul beban sendiri di tengah ketidakpedulian lingkungan dan ketakpekaan negara. Jadi bukan karena mitos yang sudah cukup kuat di tengah masyarakat Gunung Kidul bahwa orang bunuh diri itu karena "ketiban" pulung gantung.

Karena itu, Darmaningtyas meminta negara memfasilitasi hubungan (relasi) sosial yang lebih sehat dalam masyarakat. Relasi itu, seperti terpenuhinya kebutuhan dasar (pendidikan dan kesehatan), serta lingkungan fisik yang sehat dengan ruang publik yang membuat orang dapat berinteraksi secara normal.

Tidak ada komentar: