Selasa, 03 Juli 2007

leher membengkak sebelum ajal menjemput

tulisan ini dimuat di majalah hidayah edisi 72 juli 2007

Barangsiapa mendatangi dukun dan percaya kepada ucapannya, maka dia telah mengkufuri apa yang diturunkan Allah SWT kepada Muhammad SAW (HR. Abu Daud)

Dahulu, dia dikenal warga kampung Salak (bukan nama sebenarnya) sebagai orang yang cukup terhormat. Tapi kehormatan yang ia bangun itu bukan bertumpu pada ilmu, melainkan berlandas materi (harta). Maka tatkala dia tidak lagi memiliki semua itu (kekayaan) dan jatuh dalam lubang kemiskinan, fondasi yang dia banggakan itu dalam sekejam pupus di mata warga kampung Salak. Ia tidak saja jadi miskin, tak lagi memiliki wibawa tetapi juga kemudian dipandang sebelah mata.

Maklum, rumah megah dan besar yang sempat ia miliki tak lagi ada. Ia tinggal di rumah jelek. Ia juga tak lagi memiliki tambak sebagai sumber mata pencaharian, melainkan bekerja dengan menjual pisau. Tak lagi hidup makmur, tidak lagi punya istri muda cantik. Lebih tragis, saat ajal menjemput, ia mengalami kesakitan yang cukup pedih. Lehernya bengkak.

Perjalanan hidup Waluyo (60 tahun, bukan nama sebenarnya) yang sempat menjadi kaya lantas jatuh miskin itulah yang akan kami ceritakan dalam edisi kali ini. Demi menjaga muru`ah (nama baik) keluarga, terpaksa nama tokoh dan tempat kejadian kami samarkan.

Penderitaan Waluyo
Lima tahun yang lalu, penderitaan Waluyo bisa dibilang lengkap. Sudah jatuh, masih tertimpa tangga. Ia jatuh miskin dan harus menerima kenyataan pahit. Ketika ia di ujung senja, 60 tahun, tidak lagi hidup mewah dan tak memiliki kekayaan melimpah, penyakit aneh tiba-tiba menyerang. Awalnya, ia merasa perutnya mules atau hanya sebah biasa. Karena itu, ia yang terbaring di ranjang dan memegangi perutnya yang melilit-lilit segera menyuruh sang istri, Saliyem (52 tahun, bukan nama sebenarnya) untuk beranjak pergi membeli obat sakit perut.

Tak tega melihat derita yang harus ditanggung sang suami, Saliyem cepat-cepat beranjak dari sisi ranjang. Ia membeli obat sakit perut dan tak lama kemudian pulang dengan membawa satu harapan agar suaminya sembuh. Maka, dengan segera ia menyuapi sang suami beberapa suapan nasi dan setelah itu memberi obat yang baru dibeli tersebut untuk diminum Waluyo. Dalam hatinya, Saliyem berdoa agar suaminya cepat pulih dan sehat kembali.

Tapi, setelah meminum obat itu bukannya Waluyo sembuh dan bisa berdiri dari ranjang, justru esok harinya, Waluyo merasakan perutnya kian didera rasa sakit yang tidak karuan. Mules-muleh, mual, melilit-lilit bahkan sebentar-sebentar muntah dan buang air besar. Kepala Waluyo bahkan merasa pening dan pusing. Juga, badan terasa tidak lagi memiliki daya. Waluyo lemas dan nyaris tidak bertenaga.

Saat melihat sang suami tidak juga kunjung sembuh dan tambah runyam didera sakit, Saliyem bingung tujuh keliling. Maka, dia menyuruh Prapto --18 tahun, bukan nama asli--, anak keduanya untuk memanggil pak mantri di kampung Salak. Hari itu juga (tepatnya sore hari), pak mantri menyempatkan datang ke rumah Waluyo setelah dia berdinas dari puskesmas. Pak mantri pun segera memeriksa perut Waluyo. Dari pemerikasaan itu, ia menyimpulkan Waluyo sakit diare. Waluyo pun diberi obat.

Obat dari pak mantri itu jelas menjadi satu harapan bagi Waluyo untuk bisa sembuh. Maklum, Waluyo hanya mengandalkan obat dari pak mantri karena untuk berobat ke rumah sakit, ia takut dengan biaya yang harus dikeluarkan, apalagi ia sudah tak lagi memiliki apa-apa. Karena itu, dia meminum obat tersebut siang itu juga dan ketika malam tiba, ia meminumnya lagi.

Malam berambat pelan, dan Waluyo merasakan sakit perut yang ia derita itu mulai berkurang. Meski masih mual, mules dan melilit, tetapi sudah agak mending. Waluyo sudah tak lagi buang air besar dan tak lagi muntah. Esoknya, Waluyo merasa sakit perutnya tak lagi parah. Waluyo bisa bernapas lega. Ia menarik napas panjang. Saliyem bisa kembali bekerja menjual jamu keliling. Tapi, kepulihan Waluyo itu ternyata cuma sebentar.

Seminggu kemudian, Waluyo kembali merasakan perutnya mules, mual dan melilit. Seiring itu, tiba-tiba perutnya jadi besar. Pak mantri kembali dipanggil tapi tak lagi bisa membantu banyak. Seiring dengan bertambahnya hari, perut Waluyo kian membengkak. Lebih tragis, siang sampai malam, Waluyo mengerang kesakitan minta tolong. Istri Waluyo dan anak-anaknya panik. Tapi, apa yang bisa diperbuat keluarga Waluyo kalau uang tidak lagi ada dan rumah sakit menjadi seperti hantu yang menakutkan jika harus mengingat biaya yang akan dikeluarkan seandainya membawa Waluyo ke rumah sakit?

Sakit Parah
Jika Waluyo menderita sakit parah sekitar tiga puluh tahun yang lalu jelas persoalan akan lain. Keluarga Waluyo pasti dengan cepat, juga tanpa pikir panjang, akan membawa Waluyo ke rumah sakit. Maklum, tiga puluh tahun yang lampau, Waluyo dikenal warga kampung sebagai orang kaya. Ia memiliki tambak luas, rumah megah dan tak kurang materi. Bahkan, ia memiliki istri muda.

Tapi itu sudah lewat. Bahkan sebelum ia dikenal sebagai orang kaya dan memiliki tambak luas, ia juga bukan siapa-siapa. Ia hanya seorang petani tambak udang, yang hanya memiliki 3 tambak yang tak seberapa luas. Bahkan tiga lahan tambak itu pun merupakan warisan dari orangtua Waluyo. Dengan tekun, ia menggarap tiga tambak yang ia miliki namun seiring perjalanan waktu bukan panen melimpah yang ia dapat melainkan tumpukan utang. Karena untuk menanam benih itu ia harus utang dan jika hasil panen tak menggemberikan, maka bukan keuntungan yang ia dapat, melainkan beban utang.

Bertahun-tahun mengelola tambak, Waluyo tidak juga kunjung kaya. Padahal, sebagian warga ada yang sudah berhasil mengelola tambak dan mendapat hasil panen yang melimpah sehingga memiliki tambak luas, rumah megah dan hidup sejahtera. Tak kuat menderita dengan beban utang dan juga rasa iri melihat keberhasilan orang, Waluyo mencari jalan pintas. Dia datang ke dukun mengambil pesugihan.

Setelah datang ke dukun, pelan-pelan Waluyo bisa melunasi utang. Seiring itu --sebagaimana diceritakan oleh Ngali (24 tahun, bukan nama asli)-- Waluyo mulai menuai hasil dari panen tambak. Dari keuntungan yang ia dapat, ia lalu membelikan tambak. Akhirnya, ia memiliki tambak yang luas dan dari tambak yang luas itu, Waluyo bisa membangun rumah yang megah.

Tidak itu saja! Seiring dengan melimpahnya materi, uang yang ia punya dan kekayaan, dia pun menikah lagi. Tidak salah, jika Waluyo pada masa itu hidup dengan kemewahan, memiliki rumah megah dan dapat memilih pulang ke rumah istri kedua jika rasa capek melanda sehabis pulang dari tambak.

Tetapi, masa kejayaan itu sudah berlalu. Ia lalu miskin, sakit dan tak bisa berbuat apa-apa!

Tipis Harapan
Kembali, pak mantri dipanggil, meski harapan itu tipis, karena pak mantri sudah menyarankan keluarga Waluyo untuk membawa ke rumah sakit. Tetapi apa daya keluarga Waluyo jika sudah tidak ada uang lagi. Maka, hanya berharap pada pak mantri. Bukan mustahil, kedatangan pak mantri pun sekedar memeriksa dan kembali memberi obat yang tak berbeda dengan yang ia berikan pada saat sebelumnya. Karena pak mantri tahu, dia sudah tidak sanggup menangani Waluyo yang dia ketahui seperti terserang penyakit aneh.

Tidak ada perkembangan dengan penyakit yang diderita Waluyo, pihak keluarga memilih jalan lain --mendatangi orang pintar. Entah diberi ramuan apa, setelah keluarga mendatangi orang pintar itu, perut Waluyo berangsur-angsur kecil. Tetapi, ada hal aneh. Setelah perut Waluyo itu mengecil, tiba-tiba dadanya membengkak. Dengan bengkak itu, Waluyo semakin menderita dan sebentar-sebantar meminta tolong. Siang dan malam, Waluyo menjerit-jerit. Keluarga kembali tidak punya pilihan lain, mendatangi orang pintar kembali.

Akhirnya, lambat laun dada Waluyo kempes. Tetapi, lagi-lagi hal aneh harus membuat Waluyo tidak bisa bersuara kecuali menjerit kesakitan karena setelah dadanya mengecil, berganti lehernya yang membengkak. Rasa sakit pun mendera Waluyo. Bahkan karena tak kuat menanggung sakit itu, terbersit permintaan putus asa dari mulut Waluyo akibat dirundung kesakitan. Dia meminta pihak keluarga untuk membunuhnya. "Setelah perutnya mengecil, berganti dadanya membesar dan saat dadanya itu mengecil, kemudian disusul lehernya yang membesar, dia meringis kesakitan, bahkan meminta dibunuh saja oleh salah satu keluarganya agar segera meninggalkan dunia," cerita Ngali kepada hidayah.

Tidak ada pihak keluarga yang tega melakukan keinginan Waluyo itu, dan kembali orang pintar dimintai bantuan. Tapi leher Waluyo masih membesar dan sakit yang diderita Waluyo tak juga kunjung sembuh, meski sudah berkali-kali keluarga datang ke orang pintas bahkan tak cuma satu orang pintar.

Setelah tak ada perkembangan, sejak delapan bulan Waluyo diserang penyakit aneh, dan hanya terbaring di ranjang, akhirnya pihak keluarga memanggil kiai. Akhirnya pak kiai itu datang (setiap hari) ke rumah Waluyo membaca ayat suci al-Qur`an. Seminggu kemudian, ia menghembuskan nafas terakhir pada suatu malam yang menyedihkan, lima tahun lalu. Ia pergi meninggalkan istrinya (Saliyem) dan lima anak.

Pesugihan
Sudah menjadi rahasia umum warga kampung bahwa Waluyo kaya dari hasil pesugihan. Bukan mustahil kalau dulu ia miskin, artinya biasa-biasa saja dan bahkan menanggung banyak utang, lantas ia menjadi kaya dalam waktu yang singkat, maka warga menjadi tahu. Alasannya, ia diketahui oleh warga kerap datang ke dukun. Tapi, sebagaimana datangnya kekayaan Waluyo yang cepat, dalam waktu yang singkat pula ia tiba-tiba jatuh miskin. Warga pun tidak heran!

Dari cerita-cerita yang beredar di kampung Salak, Waluyo diketahui takut dengan akibat yang bisa didapatkan dari pesugihan itu. "Setelah Waluyo takut, akhirnya ia meninggalkan pesugihan itu dan tidak lagi pergi ke dukun", ujar Ngali. "Beberapa tahun kemudian, ia akhirnya jatuh miskin. Tambaknya yang luas mulai susut serta berangsur-angsur ludes. Lebih mengenaskan, rumahnya yang megah terjual dan dia mendiami rumah yang jelek. Istri mudanya pada akhirnya minggat meninggalkannya," lanjutnya ketika menceritakan perihal riwayat hidup Waluyo saat jatuh miskin.

Hingga akhirnya, karena Waluyo tak lagi memiliki mata pencaharian dan tambak sebagai lahan mencari uang, ia bekerja menjual pisau. Karena hasil yang ia dapat tak seberapa banyak, maka istrinya jualan jamu keliling. Tahun berlalu, usia Waluyo kian bertambah, hingga akhirnya dia diserang penyakit aneh. Mula-mula perutnya bengkak. Lalu dadanya membesar. Setelah dadanya mengecil kemudian ganti lehernya yang membesar hingga kemudian kematian menjemput Waluyo setelah ia meradang kesakitan, dan bahkan sempat minta untuk dibunuh karena tak kuat menangggung rasa sakit.

Leher Bengkak
Setelah jenazah Waluyo dirawat --dimandikan, dikafani dan dishalati--, esok harinya, jenazah diberangkatkan ke pemakaman umum kampung. Iring-iringan pengantar membawa jenazah orang yang dulu sempat kaya tapi kemudian jatuh miskin itu dengan iba. Maklum, warga tahu saat jenazah diantar ke tempat peristirahatan, tak ada yang dibawa sebagai bekal, kecuali amal dan perbuatan baik.

Setelah memasuki pintu pemakaman dan tak lama kemudian sampai di lubang kubur, keranda yang membawa jenazah Waluyo itu pun diletakkan. Jenazah Waluyo kemudian diambil dari keranda oleh empat orang pelayat dan dimasukkan ke dalam liang lahat. Saat jenazah dimasukkan ke dalam liang itu, masih terlihat dengan jelas leher Waluyo bengkak. Tapi, apa mau dikata? Leher itu tidak bisa mengecil. Maka saat jenazah Waluyo dikuburkan, dan lehernya masih besar, meninggalkan perguncingan, bahkan hingga beberapa hari setelah orang-orang pulang dari pemakaman.

Semoga kisah ini bisa menjadi "pelajaran berharga" bagi kita semua untuk tak terlena dengan keinginan untuk jadi kaya, karena kekayaan itu hanya sarana hidup. Lebih penting dari itu, adalah amal dan perbuatan baik. Apalagi, kalau keinginan untuk kaya itu harus melupakan ajaran agama, datang ke dukun mengambil pesugihan. Padahal dukun itu manusia biasa dan rezeki hanya Allah yang punya bukan milik siapa pun. Juga, Allah Maha Kuasa. Jika Allah sudah menghinakan orang, maka tidak ada yang bisa menolak, termasuk Waluyo.

Ibarat pepatah, sudah jatuh masih tertimpa tangga. Itulah perjalanan hidup Waluyo karena dia dahulu kaya, lantas jatuh miskin kemudian masih ditambah lagi meninggal dengan cukup mengenaskan. Leher Waluyo membengkak saat ajal menjemput.

BOX
Ngali (24 tahun), tetangga almarhum
"Sudah Jatuh Miskin, Mati pun Susah"

Dulu, di kampung kami dia itu dikenal sebagai orang yang kaya. Dia memiliki tambak yang luas dan hidup makmur. Bahkan sempat memiliki dua istri. Tapi sayang, kekayaan yang ia miliki itu ternyata hasil dari pesugihan. Orang=orang di kampung, semua nyaris tahu kalau ia itu mengambil pesugihan dan sering ke dukun.

Akhirnya, ia merasa takut dengan apa yang diperbuat. Ia tak lagi ke dukun serta meninggalkan pesugihan. Lambat laun, kekayaan yang dia miliki akhirnya habis. Ia jatuh miskin. Karena jatuh miskin, istri muda meninggalkannya. Ia menjalani hidup penuh dengan kesengsaraan. Ia tak lagi punya tambak, rumahnya yang dulu megah berubah jadi jelak.

Untuk menyambung hidup, dia kemudian kerja menjual pisau dan istrinya jualan jamu. Hingga tahun berlalu, ia akhirnya menderita sakit aneh. Perutnya mendadak besar. Setelah perutnya mengecil, tiba-tiba dadanya jadi membesar. Setelah dadanya kempes, lalu disusul lehernya yang membesar.

Tak kuat menahan sakit yang diderita, ia merengek-rengek kesakitan. Bahkan karena cukup sakit, dia sempat meminta untuk "dibunuh" saja agar bisa terbebas dari derita. Dia lebih memilih meninggal dibunuh daripada menanggung kesakitan.

Tetapi tak ada yang tega. Keluarga lalu memanggil seorang kiai. Alhamdulillah, setelah kiai itu mendoakan, tidak berapa lama kemudian ia meninggal. Tapi leher almarhum masih meninggalkan bekas derita yang ia tanggung. Leher almarhum tetap membesar, bahkan saat dikebumikan. (nm)

Tidak ada komentar: