Kini masyarakat Islam Jawa Tengah pantas bangga. Impian memiliki masjid megah, kini sudah terwujud. Setelah memakan waktu 4 tahun lebih (dimulai 6 September 2002), akhirnya Masjid Agung Jawa Tengah bisa berdiri dengan megah dan menawan. Apalagi, setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikannya pada 14 November 2006 lalu, praktis masjid ini pun mengundang daya tarik jamaah dan jadi tempat wisata ruhani yang meneduhkan.
Wajar kalau masyarakat Jawa Tengah bangga dengan keberadaan Masjid Agung ini. Pertama masjid ini dibangun dengan gaya arsitektur yang indah sehingga memiliki banyak kelebihan dibandingkan masjid yang lain di Indonesia, bahkan dari sisi ritual (ibadah). Kedua, dilengkapi bangunan penunjang, seperti; convention hall (auditorium), studi radio Dais (Dakwah Islam), perpustakaan, museum kebudayaan Islam dan kafe, masjid ini tak sekadar jadi tempat ibadah belaka, melainkan juga tempat wisata ruhani yang mengundang banyak pengunjung. Berikut hasil liputan wartawan Hidayah yang sempat mengunjungi Masjid Agung beberapa bulan lalu (Rabu, 23 Mei 2007)
Dari Tanah Benda Masjid Kauman
Sejarah keberadaan masjid Agung Jawa Tengah ini tidak dapat dipisahkan dari masjid Kauman (Semarang). Karena masjid Agung ini ada, berkat tanah banda Masjid Kauman. “Ceritanya, masjid Kauman itu memiliki tanah banda seluas 119,1270 Ha yang dikelola Badan Kesejahteraan Masjid dibentuk oleh Urais Depag. Dengan pertimbangan tanah itu tidak produktif, maka kemudian ditukar guling (ruislag) dengan tanah seluas 250 Ha di Demak lewat PT Sambirejo. Dari PT Sambirejo itu lalu berpindah tangan ke PT Tens Tcipta Siswojo. Tapi, proses tukar guling itu tidak berjalan mulus. Tanah tukar guling itu ternyata sudah ada yang jadi laut, sungai, kuburan dan lain-lain. Ujungnya, tanah banda masjid itu hilang” jelas Agus Fatuddin Yusuf, sekretaris Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah.
“Upaya merebut tanah banda masjid lewat jalur hukum pun, sudah berkali-kali dilakukan. Tetapi proses pengadilan sampai kasasi di Mahkamah Agung, masjid Agung selalu kalah. Dari situ, lalu dibentuk Tim Terpadu yang dimotori oleh Badan Koordinasi Stabilitas Nasional Daerah (Bakorstanada) Jawa Tengah/Kodam IV Diponegoro. Jum`at 17 Desember 1999, usai shalat Jum`at di masjid Kauman ribuan umat Islam memberikan pressure pada Tjipto Siswojo agar bersedia menyerahkan tanah banda masjid Kauman. Upaya itu berhasil, Tjipto Siswojo mau menyerahkan sertifikat tanah-tanah yang hilang kepada pihak masjid,” lanjutnya.
Tuntutan agar tanah banda masjid kembali, terus mengundang simpati. Apalagi tokoh seperti KH MA Sahal Mahfudz, H. Ali Mufiz MPA, Drs H. Noor Achmad, MA, Drs Chabib Toha dan tokoh lain cukup intens mengupayakan tanah masjid itu kembali. Maka, upaya lewat jalur politik ditempuh dengan membawa kasus tanah banda masjid ke sidang paripurna DPRD Propinsi Jatenga. Dari 119,1270 Ha tanah banda masjid yang hilang, akhirnya ditemukan 69, 2 Ha. Pada 8 Juli 2000, Tjipto Siswojo mau menyerahkan sertifikat tanah seluas 69,2 Ha ke Pangdam IV/Diponegoro atau Ketua Bakorstanasda Jateng.
Dengan kembalinya tanah banda masjid yang sempat raib itu, Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto kemudian mengusulkan untuk dibangun masjid sebagai tetenget (pertanda). Dari 69,2 Ha tanah banda itu, diambil 10 Ha tanah di Jalan Gajah Raya Kel. Sambirejo, Kec. Gayamsari Kota Semarang untuk didirikan masjid. Dari usul Gubernur itulah, Masjid Agung Jawa Tengah ini akhirnya berdiri.
Sejumlah Keistimewaan MAJT
Masjid Agung Jawa Tengah mulai dibangun 6 September 2002. Untuk menandai pebangunanan masjid, hadir KH. Said Agil Al-Munawwar, KH. Sahal Mahfudz dan Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto menanam “tiang pancang pertama”. Pada awalnya, masjid yang didesain Ir. H. Ahmad Fanani dari PT. Atelier Bandung (sebagai pemenang sayembara desain arsitektur masjid) diperkirakan menelan biaya 30 milyar. Tapi, dalam perkembangannya meningkat hingga menelan biaya 200 miliar.
Dengan biaya sebesar itu, maka tidak mustahil jika masjid ini megah. Arsitektur masjid yang dibangun di atas tanah 10 Ha dengan bangunan induk (utama) salat seluas 7.669m) ini dirancang dengan memadukan gaya arsitektur Jawa, Timur Tengah (Arab Saudi) dan Yunani. “Gaya dari Timur Tengah bisa dilihat dari bentuk kubah dan empat minaret masjid. Sedang arsitektur Jawa terlihat dari bentuk tajugan di atap, atau lebih tepatnya di bawah kubah utama. Adapun gaya Yunani tampak jelas pada 25 pilar-pilar kolasium dipandu kaligrafi Arab yang sangat indah,” jelas Fatquri Buseri S,Ag --Ketua Tata Usaha Masjid Agung Jawa Tengah.
“Bentuk rancang bangunan masjid ini pun tak dirancang asal-asalan. Ada filosofi di balik rancangan masjid yang bisa diartikan sebagai perwujudan dan kesinambungan historis perkembangan agama Islam di tanah air. Filososi tersebut diterjemahkan dalam Candrasengkala yang dirangkai dalam susunan kalimat ‘Sucining Guna Gapuraning Gusti’ yang berarti tahun Jawa 1943 atau tahun Masehi 2001 adalah tahun dimulainya realisasi dari gagasan pembangunan Masjid Agung Jateng. Candarasengkala ini menjadi ekspresi jatidiri Masjid Agung yang megah (indah) sebagai perpaduan unsur budaya universal maupun lokal dalam kebudayaan Islam,” kata Agus Fatuddin Yusuf.
Selain itu, masjid ini memiliki plasa masjid dengan banner ‘gerbang al-qanathir’ yang artinya megah dan bernilai. Tiang gerbang al-qanathir berjumlah 25 buah sebagai simbolisasi dari jumlah 25 rasul yang diutus Allah untuk membimbing umat. Di banner gerbang ini bertuliskan kaligrafi kalimat syahadat. Plasa seluas 7500 meter ini dibangun sebagai perluasan ruang shalat yang bisa menampung kurang lebih 10.000 jamaah.
“Lebih spektakuler, di plasa masjid justru dilengkapi dengan 6 payung elektrik raksasa yang dapat membuka dan menutup secara otomatis, seperti yang ada di masjid Nabawi. Jadi, keberadaan payung elektrik (tinggi tiang 20 meter sedang bentangannya 14 meter) tersebut jadi satu-satunya masjid Indonesia yang dilengkapi payung elektrik. Apalagi di dunia ini hanya terdapat 2 masjid yang dilengkapi dengan payung elektrik,” keterangan Fatquri Buseri S,Ag seraya menunjukkan bentuk payung elektrin yang saat Hidayah berjunjung tidak terbuka.
Daya tarik lain, masjid ini memiliki menara setinggi 99 m sebagai ittibak angka al-asmaul husna. Di bagian bawah, digunakan studio radio DAIS (Dakwah Islam). Lantai 2 dan 3, untuk museum kebudayaan Islam. Sedang di lantai 18 ada kafe muslim yang bisa berputar 360 derajat. Seraya menikmati hidangan, dalam kafe ini Anda bisa menikmati keindahan kota semarang. Di lantai 19 digunakan sebagai menara pandang, dilengkapi lima teropong yang bisa melihat pemandangan kota Semarang, awal Ramadhan 1472 H kemarin, di menara ini pertama kalinya dipakai rukyatul hilal dari Tim Rukyah Jawa Tengah dengan menggunakan teropong canggih dari BOSCA.
Selain keistimewaan dari segi fisik, masjid ini juga memiliki keistimewaan dalam hal ritual (ibadah). Jika Anda kebetulan berkunjung ke masjid ini dan sempat mengikuti shalat berjamaah maka jangan heran kalau mendengar adzan yang dikumandangkan muadzin (antara lain, Mohammad Rokhani, Muhammad Zen dan Muhammad Yusuf) memakai lagu adzan di Masjidil Haram. Di samping itu, imam masjid juga disyaratkan hafidz (penghafal) Qur`an. Selain hafal, dalam melantunkan ayat-ayat al-Qur`an ketika memimpin shalat pun menggunakan lagu seperti di Masjidil Haram. “Dari yang hafal Qur`an, ada tiga orang yang memiliki prestasi menghafal Qur`an tingkat internasional, di antaranya KH Ulil Abshor (dari Jepara), KH Zaenuri Ahmad (dari Salatiga) dan KH Ahmad Toha (dari Pekalongan). Dengan hafalan serta lagu yang bagus itu, diharapkan bisa menambah kekhusukan jama`ah,” ujar Fatquri Buseri, S. Ag.
Dalam urusan memakmurkan masjid, ada pengajian setelah shalat maghrib yang diampu Prof Dr Ahmad Rofiq MA, dan kajian tafsir, diampu Prof Dr H Muqoyyar HS, terus pengajian tasawuf Prof Dr. H Amin Sukur. MA. Pada ahad pagi, ada kuliah pagi dan setiap malam jum`at, ada mujahadah atau doa tengah malam, shalat malam (mulai dari jam 11 - 02 pagi dipimpin KH. Abjad Al-Hafid. Selain itu, masjid ini dimeriahkan dengan organisasi Remaja Islam Masjid Agung, pengajian ibu-ibu, lembaga amil zakat dan shadaqah yang terorganisasi dengan baik.
Tempat Wisata Ruhani
Untuk menopang atau menjalankan roda organisasi masjid, ternyata masjid ini didiukung management pengelolaan yang mumpuni. Dilengkapi dengan prasarana dan sarana yang bisa menghasilkan uang --antara lain, gedung Convention Hall (auditorium), souvenir shop, PKL, office space, guest hause, menara pandang, areal parkir dan museum kebudayaan Islam diharapkan bisa menunjang keuangan masjid sehingga masjid selalu terawat dan terpelihara dengan baik.
Tidak salah jika masjid ini selain berfungsi sebagai tempat ibadah, juga sebagai tempat wisata ruhani (religius). Maka jika Anda suatu hari sempat mengunjungi masjid ini, terlebih pada akhir pekan, pasti Anda akan heran melihat di pelataran masjid penuh dengan orang yang berdatangan dari mana. Tidak saja dari Semarang, melainkan juga dari kota-kota lain dan bahkan ada yang datang dari luar negeri segala. (n. mursidi).
Wajar kalau masyarakat Jawa Tengah bangga dengan keberadaan Masjid Agung ini. Pertama masjid ini dibangun dengan gaya arsitektur yang indah sehingga memiliki banyak kelebihan dibandingkan masjid yang lain di Indonesia, bahkan dari sisi ritual (ibadah). Kedua, dilengkapi bangunan penunjang, seperti; convention hall (auditorium), studi radio Dais (Dakwah Islam), perpustakaan, museum kebudayaan Islam dan kafe, masjid ini tak sekadar jadi tempat ibadah belaka, melainkan juga tempat wisata ruhani yang mengundang banyak pengunjung. Berikut hasil liputan wartawan Hidayah yang sempat mengunjungi Masjid Agung beberapa bulan lalu (Rabu, 23 Mei 2007)
Dari Tanah Benda Masjid Kauman
Sejarah keberadaan masjid Agung Jawa Tengah ini tidak dapat dipisahkan dari masjid Kauman (Semarang). Karena masjid Agung ini ada, berkat tanah banda Masjid Kauman. “Ceritanya, masjid Kauman itu memiliki tanah banda seluas 119,1270 Ha yang dikelola Badan Kesejahteraan Masjid dibentuk oleh Urais Depag. Dengan pertimbangan tanah itu tidak produktif, maka kemudian ditukar guling (ruislag) dengan tanah seluas 250 Ha di Demak lewat PT Sambirejo. Dari PT Sambirejo itu lalu berpindah tangan ke PT Tens Tcipta Siswojo. Tapi, proses tukar guling itu tidak berjalan mulus. Tanah tukar guling itu ternyata sudah ada yang jadi laut, sungai, kuburan dan lain-lain. Ujungnya, tanah banda masjid itu hilang” jelas Agus Fatuddin Yusuf, sekretaris Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah.
“Upaya merebut tanah banda masjid lewat jalur hukum pun, sudah berkali-kali dilakukan. Tetapi proses pengadilan sampai kasasi di Mahkamah Agung, masjid Agung selalu kalah. Dari situ, lalu dibentuk Tim Terpadu yang dimotori oleh Badan Koordinasi Stabilitas Nasional Daerah (Bakorstanada) Jawa Tengah/Kodam IV Diponegoro. Jum`at 17 Desember 1999, usai shalat Jum`at di masjid Kauman ribuan umat Islam memberikan pressure pada Tjipto Siswojo agar bersedia menyerahkan tanah banda masjid Kauman. Upaya itu berhasil, Tjipto Siswojo mau menyerahkan sertifikat tanah-tanah yang hilang kepada pihak masjid,” lanjutnya.
Tuntutan agar tanah banda masjid kembali, terus mengundang simpati. Apalagi tokoh seperti KH MA Sahal Mahfudz, H. Ali Mufiz MPA, Drs H. Noor Achmad, MA, Drs Chabib Toha dan tokoh lain cukup intens mengupayakan tanah masjid itu kembali. Maka, upaya lewat jalur politik ditempuh dengan membawa kasus tanah banda masjid ke sidang paripurna DPRD Propinsi Jatenga. Dari 119,1270 Ha tanah banda masjid yang hilang, akhirnya ditemukan 69, 2 Ha. Pada 8 Juli 2000, Tjipto Siswojo mau menyerahkan sertifikat tanah seluas 69,2 Ha ke Pangdam IV/Diponegoro atau Ketua Bakorstanasda Jateng.
Dengan kembalinya tanah banda masjid yang sempat raib itu, Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto kemudian mengusulkan untuk dibangun masjid sebagai tetenget (pertanda). Dari 69,2 Ha tanah banda itu, diambil 10 Ha tanah di Jalan Gajah Raya Kel. Sambirejo, Kec. Gayamsari Kota Semarang untuk didirikan masjid. Dari usul Gubernur itulah, Masjid Agung Jawa Tengah ini akhirnya berdiri.
Sejumlah Keistimewaan MAJT
Masjid Agung Jawa Tengah mulai dibangun 6 September 2002. Untuk menandai pebangunanan masjid, hadir KH. Said Agil Al-Munawwar, KH. Sahal Mahfudz dan Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto menanam “tiang pancang pertama”. Pada awalnya, masjid yang didesain Ir. H. Ahmad Fanani dari PT. Atelier Bandung (sebagai pemenang sayembara desain arsitektur masjid) diperkirakan menelan biaya 30 milyar. Tapi, dalam perkembangannya meningkat hingga menelan biaya 200 miliar.
Dengan biaya sebesar itu, maka tidak mustahil jika masjid ini megah. Arsitektur masjid yang dibangun di atas tanah 10 Ha dengan bangunan induk (utama) salat seluas 7.669m) ini dirancang dengan memadukan gaya arsitektur Jawa, Timur Tengah (Arab Saudi) dan Yunani. “Gaya dari Timur Tengah bisa dilihat dari bentuk kubah dan empat minaret masjid. Sedang arsitektur Jawa terlihat dari bentuk tajugan di atap, atau lebih tepatnya di bawah kubah utama. Adapun gaya Yunani tampak jelas pada 25 pilar-pilar kolasium dipandu kaligrafi Arab yang sangat indah,” jelas Fatquri Buseri S,Ag --Ketua Tata Usaha Masjid Agung Jawa Tengah.
“Bentuk rancang bangunan masjid ini pun tak dirancang asal-asalan. Ada filosofi di balik rancangan masjid yang bisa diartikan sebagai perwujudan dan kesinambungan historis perkembangan agama Islam di tanah air. Filososi tersebut diterjemahkan dalam Candrasengkala yang dirangkai dalam susunan kalimat ‘Sucining Guna Gapuraning Gusti’ yang berarti tahun Jawa 1943 atau tahun Masehi 2001 adalah tahun dimulainya realisasi dari gagasan pembangunan Masjid Agung Jateng. Candarasengkala ini menjadi ekspresi jatidiri Masjid Agung yang megah (indah) sebagai perpaduan unsur budaya universal maupun lokal dalam kebudayaan Islam,” kata Agus Fatuddin Yusuf.
Selain itu, masjid ini memiliki plasa masjid dengan banner ‘gerbang al-qanathir’ yang artinya megah dan bernilai. Tiang gerbang al-qanathir berjumlah 25 buah sebagai simbolisasi dari jumlah 25 rasul yang diutus Allah untuk membimbing umat. Di banner gerbang ini bertuliskan kaligrafi kalimat syahadat. Plasa seluas 7500 meter ini dibangun sebagai perluasan ruang shalat yang bisa menampung kurang lebih 10.000 jamaah.
“Lebih spektakuler, di plasa masjid justru dilengkapi dengan 6 payung elektrik raksasa yang dapat membuka dan menutup secara otomatis, seperti yang ada di masjid Nabawi. Jadi, keberadaan payung elektrik (tinggi tiang 20 meter sedang bentangannya 14 meter) tersebut jadi satu-satunya masjid Indonesia yang dilengkapi payung elektrik. Apalagi di dunia ini hanya terdapat 2 masjid yang dilengkapi dengan payung elektrik,” keterangan Fatquri Buseri S,Ag seraya menunjukkan bentuk payung elektrin yang saat Hidayah berjunjung tidak terbuka.
Daya tarik lain, masjid ini memiliki menara setinggi 99 m sebagai ittibak angka al-asmaul husna. Di bagian bawah, digunakan studio radio DAIS (Dakwah Islam). Lantai 2 dan 3, untuk museum kebudayaan Islam. Sedang di lantai 18 ada kafe muslim yang bisa berputar 360 derajat. Seraya menikmati hidangan, dalam kafe ini Anda bisa menikmati keindahan kota semarang. Di lantai 19 digunakan sebagai menara pandang, dilengkapi lima teropong yang bisa melihat pemandangan kota Semarang, awal Ramadhan 1472 H kemarin, di menara ini pertama kalinya dipakai rukyatul hilal dari Tim Rukyah Jawa Tengah dengan menggunakan teropong canggih dari BOSCA.
Selain keistimewaan dari segi fisik, masjid ini juga memiliki keistimewaan dalam hal ritual (ibadah). Jika Anda kebetulan berkunjung ke masjid ini dan sempat mengikuti shalat berjamaah maka jangan heran kalau mendengar adzan yang dikumandangkan muadzin (antara lain, Mohammad Rokhani, Muhammad Zen dan Muhammad Yusuf) memakai lagu adzan di Masjidil Haram. Di samping itu, imam masjid juga disyaratkan hafidz (penghafal) Qur`an. Selain hafal, dalam melantunkan ayat-ayat al-Qur`an ketika memimpin shalat pun menggunakan lagu seperti di Masjidil Haram. “Dari yang hafal Qur`an, ada tiga orang yang memiliki prestasi menghafal Qur`an tingkat internasional, di antaranya KH Ulil Abshor (dari Jepara), KH Zaenuri Ahmad (dari Salatiga) dan KH Ahmad Toha (dari Pekalongan). Dengan hafalan serta lagu yang bagus itu, diharapkan bisa menambah kekhusukan jama`ah,” ujar Fatquri Buseri, S. Ag.
Dalam urusan memakmurkan masjid, ada pengajian setelah shalat maghrib yang diampu Prof Dr Ahmad Rofiq MA, dan kajian tafsir, diampu Prof Dr H Muqoyyar HS, terus pengajian tasawuf Prof Dr. H Amin Sukur. MA. Pada ahad pagi, ada kuliah pagi dan setiap malam jum`at, ada mujahadah atau doa tengah malam, shalat malam (mulai dari jam 11 - 02 pagi dipimpin KH. Abjad Al-Hafid. Selain itu, masjid ini dimeriahkan dengan organisasi Remaja Islam Masjid Agung, pengajian ibu-ibu, lembaga amil zakat dan shadaqah yang terorganisasi dengan baik.
Tempat Wisata Ruhani
Untuk menopang atau menjalankan roda organisasi masjid, ternyata masjid ini didiukung management pengelolaan yang mumpuni. Dilengkapi dengan prasarana dan sarana yang bisa menghasilkan uang --antara lain, gedung Convention Hall (auditorium), souvenir shop, PKL, office space, guest hause, menara pandang, areal parkir dan museum kebudayaan Islam diharapkan bisa menunjang keuangan masjid sehingga masjid selalu terawat dan terpelihara dengan baik.
Tidak salah jika masjid ini selain berfungsi sebagai tempat ibadah, juga sebagai tempat wisata ruhani (religius). Maka jika Anda suatu hari sempat mengunjungi masjid ini, terlebih pada akhir pekan, pasti Anda akan heran melihat di pelataran masjid penuh dengan orang yang berdatangan dari mana. Tidak saja dari Semarang, melainkan juga dari kota-kota lain dan bahkan ada yang datang dari luar negeri segala. (n. mursidi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar