Pergulatan nabi Ibrahim menemukan kebenaran hakiki tak dapat disangkal adalah sebuah pergumulan spiritual sekaligus rasional yang tak sekadar dilatarbelakangi dari kegelisahan hidup ketika melihat realitas yang terjadi di tengah masyarakat waktu itu dipenuhi dengan kejanggalan, melainkan juga lebih dari itu adalah satu pencarian kebenaran yang hakiki dan sejati untuk mengenal Sang Pencipta.
Seiring dengan usia pertumbuhan Ibrahim yang mulai menginjak dewasa, ia pun diliputi gelisah. Apalagi, di tempat kelahiran nabi Ibrahim, penduduk Kaldan waktu itu menyembah berhala-berhala, bintang-bintang, termasuk venus, bulan, dan matahari yang di mata nabi Ibrahim tidak memberikan manfaat dan tak lebih mulia daripada manusia.
Pantas, kalau nabi Ibrahim kemudian diselimuti sejuta pertanyaan tentang sesembahan-sesembahan itu. Ibrahim gelisah dan resah, lalu mencari kebenaran sejati yang hakiki. Tak salah, saat malam tiba dan kegelapan malam menyeliputi bumi, dan di atas langit tampak bintang-bintang yang bersinar terang, Ibrahim (remaja) sempat bertanya-tanya dan mengakui jika bintang-bintang itu mungkin tuhan, lantaran bisa memberikan sinar terang di tengah kegelapan.
Tapi, kala bintang itu tenggelam seiring datangnya siang, Ibrahim berpikir ulang. Sebab di hari lain, Ibrahim melihat bulan, dan dia pun menganggap bulan itu sebagai tuhan. Tetapi kala bulan menghilang seiring malam berganti dengan pagi, dan kemudian muncul matahari, Ibrahim mengakui matahari sebagai tuhan. Namun karena matahari dan semua ciptaan Allah itu tidak abadi, Ibrahim pun sadar (lihat QS. Al-An`am: 77-79).
Setelah Ibrahim diberi pengetahuan oleh Allah, pikiran Ibrahim pun lantas diarahkan untuk mengetahui kebenaran maka tahu bahwa seluruh wujud dari alam semesta ini bersumber dari Allah dan juga dalam genggaman-Nya. Ibrahim tahu Allah-lah yang menciptakan alam semesta dan yang mengatur. Maka, Ibrahim pun menjadi orang yang diberi keyakinan jika yang layak untuk disembah itu hanya Allah dan bukan berhala, bukan pula bintang-bintang, bulan atau matahari, venus dan yang lain lagi.
Nabi Ibrahim as. kemudian berikrar, bahwa tiada sesuatu pun di dunia ini yang patut dan layak untuk disembah, selain Allah. Karena Allah adalah Pencipta semesta alam, dan wajar jika semesta alam itu pun tidak lebih mulai dari manusia. Kala nabi Ibrahim sudah mendapat pengetahuan akan kebenaran itu, nabi Ibrahim pun lantas mengajak Azar, orangtua nabi Ibrahim –sebuah makna yang netral yang dipahami Quraish Shihab-- untuk meninggalkan berhala dan mengajaknya untuk menyembah hanya kepada Allah swt.
Mengajak Azar Meninggalkan Berhala
Suatu hari nabi Ibrahim membuat berhala hanya untuk membuktikan bahwa berhala itu tidak lebih mulia dari pada manusia. Kebetulan, kala itu Azar melihat nabi Ibrahim sedang membuat berhala dengan tekun. Karena Azar dikenal sebagai ahli pembuat patung, maka ia heran dan takjub tatkala melihat berhala yang dibuat oleh nabi Ibrahim itu ternyata lebih indah, dan lebih bagus dari hasil buatan Azar.
Tak berlebihan jika Azar girang, bangga dan senang dengan jasil karya nabi Ibrahim itu. Dalam hati pun, Azar mengira jika nabi Ibrahim membuat patung itu untuk tujuan akan dijadikan sebagai sesembahan sehingga nanti berhala itu akan ditaruh Ibrahim di dalam kuil pemujaan.
Tapi kebahagiaan Azar itu tiba-tiba berbalik arah. Ia harus ditikam kecewa dan sedih lantaran nabi Ibrahim menghancurkan berhala itu menjadi berkeping-keping, hancur dan remuk redam. Azar pun tidak habis pikir, kenapa nabi Ibrahim harus menghancurkan berhala itu sehingga dia menjadi murka dan marah karena berhala itu sudah dia anggap sebagai tuhan tapi nabi Ibrahim justru merusak dan menghancurkannya menjadi berkeping-keping.
Dengan berang, Azar kemudian bertanya, “Wahai Ibrahim mengapa engkau menghancurkan tuhan itu? Tidakkah engkau takut akan kemarahannya?
Nabi Ibrahim adalah nabi yang sudah diberi pengetahuan Allah –waktu itu Ibrahim sudah diangkat menjadi rasul-- sehingga tidak kehabisan akal bertanya balik kepada Azar atau membantas. Kendati demikian, Ibrahim tak lantas bermuka kecut, melainkan tetap bertanya balik dengan wajah lembut dan santun, “Wahai bapakku mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak menolongmu sedikitpun? (lihat QS. Maryam [19]: 42)”
Pertanyaan balik dari nabi Ibrahim itu berusaha menyakinkan orangtuanya, dan bahkan mengingatkan bahwa berhala itu tak mampu berbuat apa-apa bahkan lebih lemah daripada manusia, karena siapa pun tahu berhala tidak dapat melihat, atau mendengar. Tapi Azar tak pernah berpikir tentang itu. Tidak salah kalau nabi Ibrahim mengatakan tentang kebenaran itu dengan melanjutkan, “Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tak datang kepadamu, maka ikutilah aku niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus,” (lihat QS. Maryam [19]: 43).
Nabi Ibrahim kembali meneguhkan bahwa ajakan yang ditawarkan itu tidak semata-mata sebuah ajakan tanpa ditunjang pengetahuan, karena saat itu Ibrahim sudah diberi pengetahuan oleh Allah dan dari pengetahun itu, ia jadi sadar bahwa berhala itu tidak layak untuk disembah, dan yang layak untuk disembah hanyalah Allah -Sang Pencipta dan Penguasa alam semesta. Pengetahuan yang datang dari Allah itu, di sisi lain ternyata tidak dimiliki oleh Azar.
Maka, nabi Ibrahim mengajak Azar agar mengikutinya, tak lain karena nabi Ibrahim sangat mencintai Azar dan tidak ingin Azar hidup dalam kesesatan. Nabi Ibrahim pun kemudian melanjutkan, “Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah.” (QS. Maryam [19]: 44)
Maklum, kalau nabi Ibrahim mengajak Azar lantaran kecintaannya terhadap Azar membuat ia tak rela seandainya Azar terlelap dalam bujuk rayu setan. Maka nabi Ibrahim meminta Azar untuk bertaubat dan tak lagi menyembah setan karena kekhawatiran akan datangnya azab dari Allah, “Wahai bapakku sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan.” (QS. Maryam [19]: 45)
Tetapi, tawaran atau ajakan nabi Ibrahim itu ternyata tidak membuat Azar tersentuh, apalagi sadar akan kesesatan yang telah dipilih selama itu. Justru, Azar merasa tersinggung, dan tercabik-cabik. Padahal nabi Ibrahim sudah merengek-rengek pada Azar untuk meninggalkan menyembah berhala dan menyembah Allah semata. Dengan suara lembut, sopan dan disertai rengekan, ternyata, ajakan nabi Ibrahim itu tak mampu membuka pintu hati Azar untuk tersentuh kebenaran.
Hati Azar sudah seperti tertutup rapat, dan karatan, karena itu Azar malah tersulut emosi, dilanda murka sehingga berucap dengan keras pada nabi Ibrahim. “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, niscaya kamu akan kurajam dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama.” (QS. Maryam [19]: 46)
Tetap Mendoakan
Meski Azar murka dan mengancam akan merajam nabi Ibrahim, tetap saja nabi Ibrahim tak benci atau pun dendam pada Azar. Dengan kata lain, sekali pun Azar menolak kebenaran yang dibawanya, menolak mentah-mentah ajakan untuk memeluk ajaran lurus yang dibawanya, nabi Ibrahim tetap tak dicekam kebencian kepada Azar. Kenapa? Karena nabi Ibrahim sangat mencintai Azar dan wajar tak membalas ancaman Azar itu dengan ancaman serupa.
Sebaliknya, nabi Ibrahim tetap sabar dan membalas dengan kebaikan. Maka sebelum pergi meninggalkan Azar, nabi Ibrahim pun tetap berbuat baik dengan mengucapkan salam perpisahan, lalu mendoakan Azar agar mendapatkan hidayah dari Allah.
“Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku. (QS. Maryam [19]: 47-48)
Akhirnya nabi Ibrahim meninggalkan Azar. Kendati demikian, jalan panjang dakwah nabi Ibrahim as itu belum berakhir, karena dialog dengan Azar itu barulah awal dari dakwah nabi Ibrahim.
Nabi Ibrahim --menurut Thahir Ibn `Asyur- diperkirakan lahir tahun 2893 sebelum Hijrah (nabi Muhammad ke Madinah) dan meninggal tahun 2818 sebelum Hijrah. Nabi Ibrahim dimakamkan di kota al-Khalil, Palestina.
Nabi Ibrahim digelari “Bapak Para Nabi” lantaran nabi Ibrahim melahirkan keturunan nabi-nabi, bahkan nabi Ibrahim termasuk leluhur nabi Muhammad saw. Selain itu, nabi Ibrahim juga dijuluki Pengumandang Tauhid, karena pengalaman ruhani dan dari pengembaraan akliahnya itu akhirnya ia bisa merengkuh, menemukan dan mengumandangkan bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Esa, Tuhan seru sekalian alam. Sebelumnya para nabi memperkenalkan Tuhan –pada kaumnya sebagai Tuhan mereka saja, tanpa memperluasnya menjadi seru sekalian alam.
Tak salah, dengan julukan sebagai pengumandang tauhid itu nabi Ibrahim selalu dijadikan rujukan sebagai cikal bakal tiga agama besar, yakni Islam, Yahudi dan Kristen. ((n. mursidi/disarikan dari buku Kisah-kisah Terbaik Al-Qur`an, Kamal as-Sayyid, Pustaka Zahra, Jakarta, 2005).
BOX
Silang Pendapat tentang Siapa Azar
Dalam al-Qur`an, Azar disebutkan sebagai bapak dengan perkataan “abi”. Pertanyaannya, siapa Azar sebenarnya? Apakah dia itu adalah ayah kandung nabi Ibrahim ataukah paman nabi Ibrahim? Atau justru kakeknya (dari jalur ibu)?
Ulama berbeda pendapat tentang siapakah Azar; juga berbeda pula dalam memahami kata itu (“abi”) sebagai gelar atau nama.
Makna abi, memang bapak. Tapi, sebagian besar ulama berpendapat bahwa Azar itu paman dari nabi Ibrahim, bukannya ayah kandungnya. Sedang, Kamal as-Sayyid dalam buku Kisah-Kisah Terbaik Al-Qur`an, berpendapat lain bahwa Azar adalah kakek dari nabi Ibrahim (dari jalur ibu).
Alasan penolokan kenapa abi dipahami sebagai sebagai paman, bukan ayah kandung didasarkan pada satu argumen bahwa jika Azar itu adalah ayah kandung nabi Ibrahim, maka berarti ada dari leluhur nabi Muhammad saw yang musyrik, karena jika diruntut nabi Muhammad itu keturunan dari nabi Ibrahim.
Jelas, itu bertentangan atau bertolak belakang dengan riwayat yang pernah disabdakan nabi Muhammad, tentang satu riwayat yang mengatakan atas kesucian dan kebersihan dari leluhur nabi Muhammad didasarkan riwayat yang disabdakan rasulllah, “Aku dilahirkan melalui pernikahan bukan perzinahan sejak Adam hingga aku dilahirkan oleh bapak dan ibuku. Aku tidak disentuh sedikit pun oleh kekotoran Jahiliyah” (HR. Ibn `Adi dan ath-Thabarani melui `Ali bin `Abi Thalib).
Dari riwayat itu, jelas tidak “ada seorang pun” dari leluhur rasulullah yang mempersekutukan Allah. Dengan demikian, jika memang Azar yang membuat dan menyembah patung itu adalah ayah kandung Ibrahim (sedangkan nabi Ibrahim itu leluhur nabi Muhammad saw ) maka itu berarti ada leluhur rasulullah yang pernah mempersekutukan Allah. Maka, sejumlah ulama berpendapat Azar itu paman nabi Ibrahim.
Thabathaba`i dalam kasus ini berpendapat bahwa al-Qur`an menggunakan kata “walid” sebagai ayah kandung, sedang kata “abi” digunakan al-Qur`an untuk makna kakek atau paman (dan lain-lain).
Sementara As-Sya`rawi dalam kasus ini justru mengemukan dengan bukti lain. Setelah membuktikan bahwa kata abi digunakan untuk merujuk ayah kandung atau paman, dia mengemukakan bahwa bila kata “abi” itu dirangkai dengan nama-nya, maka yang dimaksud adalah selain ayah kandung. Ia berargumen, kalau ada orang yang bertanya kepada ayah kandung seseorang, maka sudah cukup jika ia bertanya; ke mana ayahmu (tanpa menyebut namanya). Tapi jika yang ditanyakan itu selain ayah kandung, maka pertanyaannya harus disertakan dengan nama yang bersangkutan.
Jadi jelas, bahwa kata “abi” yang disebutkan oleh nabi Ibrahim as di dalam al-Qur`an dengan disertai nama Azar, dengan demikian tak meninggalkan lagi sebuah tanda tanya besar bahwa yang bersangkutan itu bukan ayah kandung dari nabi Ibrahim as. Sementara untuk menjaga netralitas, M. Quraish Shihab memilih memahami kata “abi” dengan orangtua. (nm/dari berbagai sumber)
Seiring dengan usia pertumbuhan Ibrahim yang mulai menginjak dewasa, ia pun diliputi gelisah. Apalagi, di tempat kelahiran nabi Ibrahim, penduduk Kaldan waktu itu menyembah berhala-berhala, bintang-bintang, termasuk venus, bulan, dan matahari yang di mata nabi Ibrahim tidak memberikan manfaat dan tak lebih mulia daripada manusia.
Pantas, kalau nabi Ibrahim kemudian diselimuti sejuta pertanyaan tentang sesembahan-sesembahan itu. Ibrahim gelisah dan resah, lalu mencari kebenaran sejati yang hakiki. Tak salah, saat malam tiba dan kegelapan malam menyeliputi bumi, dan di atas langit tampak bintang-bintang yang bersinar terang, Ibrahim (remaja) sempat bertanya-tanya dan mengakui jika bintang-bintang itu mungkin tuhan, lantaran bisa memberikan sinar terang di tengah kegelapan.
Tapi, kala bintang itu tenggelam seiring datangnya siang, Ibrahim berpikir ulang. Sebab di hari lain, Ibrahim melihat bulan, dan dia pun menganggap bulan itu sebagai tuhan. Tetapi kala bulan menghilang seiring malam berganti dengan pagi, dan kemudian muncul matahari, Ibrahim mengakui matahari sebagai tuhan. Namun karena matahari dan semua ciptaan Allah itu tidak abadi, Ibrahim pun sadar (lihat QS. Al-An`am: 77-79).
Setelah Ibrahim diberi pengetahuan oleh Allah, pikiran Ibrahim pun lantas diarahkan untuk mengetahui kebenaran maka tahu bahwa seluruh wujud dari alam semesta ini bersumber dari Allah dan juga dalam genggaman-Nya. Ibrahim tahu Allah-lah yang menciptakan alam semesta dan yang mengatur. Maka, Ibrahim pun menjadi orang yang diberi keyakinan jika yang layak untuk disembah itu hanya Allah dan bukan berhala, bukan pula bintang-bintang, bulan atau matahari, venus dan yang lain lagi.
Nabi Ibrahim as. kemudian berikrar, bahwa tiada sesuatu pun di dunia ini yang patut dan layak untuk disembah, selain Allah. Karena Allah adalah Pencipta semesta alam, dan wajar jika semesta alam itu pun tidak lebih mulai dari manusia. Kala nabi Ibrahim sudah mendapat pengetahuan akan kebenaran itu, nabi Ibrahim pun lantas mengajak Azar, orangtua nabi Ibrahim –sebuah makna yang netral yang dipahami Quraish Shihab-- untuk meninggalkan berhala dan mengajaknya untuk menyembah hanya kepada Allah swt.
Mengajak Azar Meninggalkan Berhala
Suatu hari nabi Ibrahim membuat berhala hanya untuk membuktikan bahwa berhala itu tidak lebih mulia dari pada manusia. Kebetulan, kala itu Azar melihat nabi Ibrahim sedang membuat berhala dengan tekun. Karena Azar dikenal sebagai ahli pembuat patung, maka ia heran dan takjub tatkala melihat berhala yang dibuat oleh nabi Ibrahim itu ternyata lebih indah, dan lebih bagus dari hasil buatan Azar.
Tak berlebihan jika Azar girang, bangga dan senang dengan jasil karya nabi Ibrahim itu. Dalam hati pun, Azar mengira jika nabi Ibrahim membuat patung itu untuk tujuan akan dijadikan sebagai sesembahan sehingga nanti berhala itu akan ditaruh Ibrahim di dalam kuil pemujaan.
Tapi kebahagiaan Azar itu tiba-tiba berbalik arah. Ia harus ditikam kecewa dan sedih lantaran nabi Ibrahim menghancurkan berhala itu menjadi berkeping-keping, hancur dan remuk redam. Azar pun tidak habis pikir, kenapa nabi Ibrahim harus menghancurkan berhala itu sehingga dia menjadi murka dan marah karena berhala itu sudah dia anggap sebagai tuhan tapi nabi Ibrahim justru merusak dan menghancurkannya menjadi berkeping-keping.
Dengan berang, Azar kemudian bertanya, “Wahai Ibrahim mengapa engkau menghancurkan tuhan itu? Tidakkah engkau takut akan kemarahannya?
Nabi Ibrahim adalah nabi yang sudah diberi pengetahuan Allah –waktu itu Ibrahim sudah diangkat menjadi rasul-- sehingga tidak kehabisan akal bertanya balik kepada Azar atau membantas. Kendati demikian, Ibrahim tak lantas bermuka kecut, melainkan tetap bertanya balik dengan wajah lembut dan santun, “Wahai bapakku mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak menolongmu sedikitpun? (lihat QS. Maryam [19]: 42)”
Pertanyaan balik dari nabi Ibrahim itu berusaha menyakinkan orangtuanya, dan bahkan mengingatkan bahwa berhala itu tak mampu berbuat apa-apa bahkan lebih lemah daripada manusia, karena siapa pun tahu berhala tidak dapat melihat, atau mendengar. Tapi Azar tak pernah berpikir tentang itu. Tidak salah kalau nabi Ibrahim mengatakan tentang kebenaran itu dengan melanjutkan, “Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tak datang kepadamu, maka ikutilah aku niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus,” (lihat QS. Maryam [19]: 43).
Nabi Ibrahim kembali meneguhkan bahwa ajakan yang ditawarkan itu tidak semata-mata sebuah ajakan tanpa ditunjang pengetahuan, karena saat itu Ibrahim sudah diberi pengetahuan oleh Allah dan dari pengetahun itu, ia jadi sadar bahwa berhala itu tidak layak untuk disembah, dan yang layak untuk disembah hanyalah Allah -Sang Pencipta dan Penguasa alam semesta. Pengetahuan yang datang dari Allah itu, di sisi lain ternyata tidak dimiliki oleh Azar.
Maka, nabi Ibrahim mengajak Azar agar mengikutinya, tak lain karena nabi Ibrahim sangat mencintai Azar dan tidak ingin Azar hidup dalam kesesatan. Nabi Ibrahim pun kemudian melanjutkan, “Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah.” (QS. Maryam [19]: 44)
Maklum, kalau nabi Ibrahim mengajak Azar lantaran kecintaannya terhadap Azar membuat ia tak rela seandainya Azar terlelap dalam bujuk rayu setan. Maka nabi Ibrahim meminta Azar untuk bertaubat dan tak lagi menyembah setan karena kekhawatiran akan datangnya azab dari Allah, “Wahai bapakku sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan.” (QS. Maryam [19]: 45)
Tetapi, tawaran atau ajakan nabi Ibrahim itu ternyata tidak membuat Azar tersentuh, apalagi sadar akan kesesatan yang telah dipilih selama itu. Justru, Azar merasa tersinggung, dan tercabik-cabik. Padahal nabi Ibrahim sudah merengek-rengek pada Azar untuk meninggalkan menyembah berhala dan menyembah Allah semata. Dengan suara lembut, sopan dan disertai rengekan, ternyata, ajakan nabi Ibrahim itu tak mampu membuka pintu hati Azar untuk tersentuh kebenaran.
Hati Azar sudah seperti tertutup rapat, dan karatan, karena itu Azar malah tersulut emosi, dilanda murka sehingga berucap dengan keras pada nabi Ibrahim. “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, niscaya kamu akan kurajam dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama.” (QS. Maryam [19]: 46)
Tetap Mendoakan
Meski Azar murka dan mengancam akan merajam nabi Ibrahim, tetap saja nabi Ibrahim tak benci atau pun dendam pada Azar. Dengan kata lain, sekali pun Azar menolak kebenaran yang dibawanya, menolak mentah-mentah ajakan untuk memeluk ajaran lurus yang dibawanya, nabi Ibrahim tetap tak dicekam kebencian kepada Azar. Kenapa? Karena nabi Ibrahim sangat mencintai Azar dan wajar tak membalas ancaman Azar itu dengan ancaman serupa.
Sebaliknya, nabi Ibrahim tetap sabar dan membalas dengan kebaikan. Maka sebelum pergi meninggalkan Azar, nabi Ibrahim pun tetap berbuat baik dengan mengucapkan salam perpisahan, lalu mendoakan Azar agar mendapatkan hidayah dari Allah.
“Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku. (QS. Maryam [19]: 47-48)
Akhirnya nabi Ibrahim meninggalkan Azar. Kendati demikian, jalan panjang dakwah nabi Ibrahim as itu belum berakhir, karena dialog dengan Azar itu barulah awal dari dakwah nabi Ibrahim.
Nabi Ibrahim --menurut Thahir Ibn `Asyur- diperkirakan lahir tahun 2893 sebelum Hijrah (nabi Muhammad ke Madinah) dan meninggal tahun 2818 sebelum Hijrah. Nabi Ibrahim dimakamkan di kota al-Khalil, Palestina.
Nabi Ibrahim digelari “Bapak Para Nabi” lantaran nabi Ibrahim melahirkan keturunan nabi-nabi, bahkan nabi Ibrahim termasuk leluhur nabi Muhammad saw. Selain itu, nabi Ibrahim juga dijuluki Pengumandang Tauhid, karena pengalaman ruhani dan dari pengembaraan akliahnya itu akhirnya ia bisa merengkuh, menemukan dan mengumandangkan bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Esa, Tuhan seru sekalian alam. Sebelumnya para nabi memperkenalkan Tuhan –pada kaumnya sebagai Tuhan mereka saja, tanpa memperluasnya menjadi seru sekalian alam.
Tak salah, dengan julukan sebagai pengumandang tauhid itu nabi Ibrahim selalu dijadikan rujukan sebagai cikal bakal tiga agama besar, yakni Islam, Yahudi dan Kristen. ((n. mursidi/disarikan dari buku Kisah-kisah Terbaik Al-Qur`an, Kamal as-Sayyid, Pustaka Zahra, Jakarta, 2005).
BOX
Silang Pendapat tentang Siapa Azar
Dalam al-Qur`an, Azar disebutkan sebagai bapak dengan perkataan “abi”. Pertanyaannya, siapa Azar sebenarnya? Apakah dia itu adalah ayah kandung nabi Ibrahim ataukah paman nabi Ibrahim? Atau justru kakeknya (dari jalur ibu)?
Ulama berbeda pendapat tentang siapakah Azar; juga berbeda pula dalam memahami kata itu (“abi”) sebagai gelar atau nama.
Makna abi, memang bapak. Tapi, sebagian besar ulama berpendapat bahwa Azar itu paman dari nabi Ibrahim, bukannya ayah kandungnya. Sedang, Kamal as-Sayyid dalam buku Kisah-Kisah Terbaik Al-Qur`an, berpendapat lain bahwa Azar adalah kakek dari nabi Ibrahim (dari jalur ibu).
Alasan penolokan kenapa abi dipahami sebagai sebagai paman, bukan ayah kandung didasarkan pada satu argumen bahwa jika Azar itu adalah ayah kandung nabi Ibrahim, maka berarti ada dari leluhur nabi Muhammad saw yang musyrik, karena jika diruntut nabi Muhammad itu keturunan dari nabi Ibrahim.
Jelas, itu bertentangan atau bertolak belakang dengan riwayat yang pernah disabdakan nabi Muhammad, tentang satu riwayat yang mengatakan atas kesucian dan kebersihan dari leluhur nabi Muhammad didasarkan riwayat yang disabdakan rasulllah, “Aku dilahirkan melalui pernikahan bukan perzinahan sejak Adam hingga aku dilahirkan oleh bapak dan ibuku. Aku tidak disentuh sedikit pun oleh kekotoran Jahiliyah” (HR. Ibn `Adi dan ath-Thabarani melui `Ali bin `Abi Thalib).
Dari riwayat itu, jelas tidak “ada seorang pun” dari leluhur rasulullah yang mempersekutukan Allah. Dengan demikian, jika memang Azar yang membuat dan menyembah patung itu adalah ayah kandung Ibrahim (sedangkan nabi Ibrahim itu leluhur nabi Muhammad saw ) maka itu berarti ada leluhur rasulullah yang pernah mempersekutukan Allah. Maka, sejumlah ulama berpendapat Azar itu paman nabi Ibrahim.
Thabathaba`i dalam kasus ini berpendapat bahwa al-Qur`an menggunakan kata “walid” sebagai ayah kandung, sedang kata “abi” digunakan al-Qur`an untuk makna kakek atau paman (dan lain-lain).
Sementara As-Sya`rawi dalam kasus ini justru mengemukan dengan bukti lain. Setelah membuktikan bahwa kata abi digunakan untuk merujuk ayah kandung atau paman, dia mengemukakan bahwa bila kata “abi” itu dirangkai dengan nama-nya, maka yang dimaksud adalah selain ayah kandung. Ia berargumen, kalau ada orang yang bertanya kepada ayah kandung seseorang, maka sudah cukup jika ia bertanya; ke mana ayahmu (tanpa menyebut namanya). Tapi jika yang ditanyakan itu selain ayah kandung, maka pertanyaannya harus disertakan dengan nama yang bersangkutan.
Jadi jelas, bahwa kata “abi” yang disebutkan oleh nabi Ibrahim as di dalam al-Qur`an dengan disertai nama Azar, dengan demikian tak meninggalkan lagi sebuah tanda tanya besar bahwa yang bersangkutan itu bukan ayah kandung dari nabi Ibrahim as. Sementara untuk menjaga netralitas, M. Quraish Shihab memilih memahami kata “abi” dengan orangtua. (nm/dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar