Garim itu adalah orang yang berutang dan ia belum mampu membayarnya. Kewajiban untuk membayar utang itu, tak bisa ditolak, karena utang adalah hak orang lain yang harus dikembalikan. Dengan tegas disebutkan dalam ajaran Islam, bahwa utang itu harus dibayar dan bahkan karena kuatnya kewajiban ini, sampai-sampai rasulullah tidak bersedia menyalatkan jenazah seseorang yang berhutang sebelum ada orang yang bersedia menjamin untuk membayar utangnya.
Ada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir, “Telah wafat seorang dari kami, lalu kami memandikan, kami kapasi, dan kami kafani, kemudian kami bawa kepada rasulullah SAW lalu kami bertanya: ‘Apakah Anda bersedia menyalatkan jenazahnya? Lalu, Nabi Muhammad melangkah beberapa langkah kemudian ia bertanya, ‘Adakah utang atasnya?’ Kami menjawab, ‘Dua dinar’. Lalu nabi SAW berpaling. Maka Abu Qatadah menanggung pembayaran dua dinar itu dan kemudian kami datang lagi kepadanya dan Abu Qatadah berkata, ‘Dua dinar itu menjadi tanggungan saya’. Nabi SAW kemudian berkata, ‘Apakah betul Anda akan menanggung pembayaran utang itu sehingga mayit terlepas dari tanggungan itu? Abu Qatadah berkata, ‘Betul’. Setelah itu nabi SAW menyalatkan jenazahnya (HR Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud dan an-Nasa`i).
Selain hadits di atas, nabi juga seringkali berbicara tentang masalah utang. Sebab utang di mata rasulullah bisa mendatangkan kebingungan, kehinaan bahkan kemungkaran. Tak salah jika Rasulullah mengajarkan kepada umat Islam sebisa mungkin meninggalkan utang lantaran “utang itu mendatangkan kebingungan pada waktu malam dan kehinaan pada waktu siang”. (HR. Abu Dawud).
Karena utang bisa mendatangkan kebingungan dan bahkan kehinaan, maka Rasulullah sendiri berlindung dari utang melalui permohonannya pada Allah SWT, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari belenggu utang, belenggu musuh, dan cercaan musuh.” (HR an-Nasa`i).
Selain itu, utang juga dapat mendatangkan suatu kemungkaran. Nabi SAW bersabda, “Apabila seseorang banyak utangnya, maka ia suka berbicara bohong dan suka tidak menepati janji. (HR al-Bukhari)
Sejalan dengan akibat buruk yang ditimbulkan “utang” itu, maka Nabi SAW menganjurkan umatnya supaya menolong orang yang mempunyai utang. Setelah Islam mendapat kemenangan, bahkan Nabi bersabda, “Aku lebih utama mengurusi orang-orang mukmin daripada dirinya sendiri, maka barangsiapa yang meninggal dunia dan mempunyai utang, maka akulah yang akan membayarnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan hadits di atas itu, ulama fiqh sepakat mengatakan persoalan utang umat Islam yang tak mampu membayarnya jadi tanggung jawab penguasa, yang diambil dari baitulmal (kas negara).
Karena itu, garim merupakan satu dari delapan kelompok (asnaf) manusia yang berhak menerima zakat. Al-Qur`an dengan jelas menyebut, “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanya untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang dalam sedang dalam perjalanan sebagai satu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah [9]: 60).
Menurut Imam Abu Hanifah, garim adalah orang yang mempunyai utang dan tak memiliki bagian harta yang lebih untuk membayar utang itu. Pengertian garim berbeda dengan dan tidak selalu termasuk dalam pengertian miskin. Karena orang miskin adalah orang yang penghasilannya tidak memadai untuk menutupi kebutuhan hidupnya, sedang garim adalah orang yang berutang yang kadangkala berpenghasilan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tapi penghasilannya itu tidak berlebih sehingga tidak mampu membayar atau melunasi utangnya.
Imam Malik, Imam Syafi`i dan juga Imam Ahmad membagi garim dalam dua golongan. Pertama, orang yang mempunyai utang untuk kemaslahatan diri sendiri. Ulama fiqh berbeda pendapat tentang golongan ini, yakni apa ia berhak menerima zakat atau tidak. Abu Hanifah, Imam Syafi`i dan Imam Ahmad menyatakan orang yang berutang berhak menerima zakat tanpa syarat. Adapun besarnya zakat yang boleh diberikan orang yang berutang itu sebesar utang yang harus dibayarnya. Tetapi, Imam Malik menentukan syarat-syarat tertentu yang menyebabkan garim (orang yang berutang) berhak menerima zakat.
Kedua, orang yang punya utang untuk kemaslahatan masyarakat, semisal berutang untuk tujuan mendamaikan dua golongan yang lagi bersengketa dalam memperebutkan harta benda dan dia bersedia berutang untuk mengganti harta yang diperebutkan itu. Orang ini dapat dikategorikan sebagai garim, salah satu golongan dari orang yang berhak menerima zakat (untuk membayar utangnya itu) meski orang itu kaya.
Sedang Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Hisni al-Husaini ad-Dimasyqi (w 729) ulama fiqh mazhab Syafi`i sepakat dengan dua golongan di atas, tetapi dia menambahkan satu golongan lagi, yakni utang yang berasal dari tanggungan utang orang lain (daman).
Karena konteks utang itu, maka Islam dengan tegas mengajurkan umatnya untuk menjauhi utang, dan memilih menjalani hidup sederhana, dan tidak boros. Maka, sejalan dengan anjuran itu Nabi menganjurkan umat Islam untuk menolong orang yang berutang agar dapat keluar dari belenggu agar tak lagi dilanda kebingungan dan kehinaan. Allah menegaskan, “Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui (QS. 2: 280) [n. mursidi/foto: Dewi)
Ada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir, “Telah wafat seorang dari kami, lalu kami memandikan, kami kapasi, dan kami kafani, kemudian kami bawa kepada rasulullah SAW lalu kami bertanya: ‘Apakah Anda bersedia menyalatkan jenazahnya? Lalu, Nabi Muhammad melangkah beberapa langkah kemudian ia bertanya, ‘Adakah utang atasnya?’ Kami menjawab, ‘Dua dinar’. Lalu nabi SAW berpaling. Maka Abu Qatadah menanggung pembayaran dua dinar itu dan kemudian kami datang lagi kepadanya dan Abu Qatadah berkata, ‘Dua dinar itu menjadi tanggungan saya’. Nabi SAW kemudian berkata, ‘Apakah betul Anda akan menanggung pembayaran utang itu sehingga mayit terlepas dari tanggungan itu? Abu Qatadah berkata, ‘Betul’. Setelah itu nabi SAW menyalatkan jenazahnya (HR Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud dan an-Nasa`i).
Selain hadits di atas, nabi juga seringkali berbicara tentang masalah utang. Sebab utang di mata rasulullah bisa mendatangkan kebingungan, kehinaan bahkan kemungkaran. Tak salah jika Rasulullah mengajarkan kepada umat Islam sebisa mungkin meninggalkan utang lantaran “utang itu mendatangkan kebingungan pada waktu malam dan kehinaan pada waktu siang”. (HR. Abu Dawud).
Karena utang bisa mendatangkan kebingungan dan bahkan kehinaan, maka Rasulullah sendiri berlindung dari utang melalui permohonannya pada Allah SWT, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari belenggu utang, belenggu musuh, dan cercaan musuh.” (HR an-Nasa`i).
Selain itu, utang juga dapat mendatangkan suatu kemungkaran. Nabi SAW bersabda, “Apabila seseorang banyak utangnya, maka ia suka berbicara bohong dan suka tidak menepati janji. (HR al-Bukhari)
Sejalan dengan akibat buruk yang ditimbulkan “utang” itu, maka Nabi SAW menganjurkan umatnya supaya menolong orang yang mempunyai utang. Setelah Islam mendapat kemenangan, bahkan Nabi bersabda, “Aku lebih utama mengurusi orang-orang mukmin daripada dirinya sendiri, maka barangsiapa yang meninggal dunia dan mempunyai utang, maka akulah yang akan membayarnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan hadits di atas itu, ulama fiqh sepakat mengatakan persoalan utang umat Islam yang tak mampu membayarnya jadi tanggung jawab penguasa, yang diambil dari baitulmal (kas negara).
Karena itu, garim merupakan satu dari delapan kelompok (asnaf) manusia yang berhak menerima zakat. Al-Qur`an dengan jelas menyebut, “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanya untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang dalam sedang dalam perjalanan sebagai satu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah [9]: 60).
Menurut Imam Abu Hanifah, garim adalah orang yang mempunyai utang dan tak memiliki bagian harta yang lebih untuk membayar utang itu. Pengertian garim berbeda dengan dan tidak selalu termasuk dalam pengertian miskin. Karena orang miskin adalah orang yang penghasilannya tidak memadai untuk menutupi kebutuhan hidupnya, sedang garim adalah orang yang berutang yang kadangkala berpenghasilan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tapi penghasilannya itu tidak berlebih sehingga tidak mampu membayar atau melunasi utangnya.
Imam Malik, Imam Syafi`i dan juga Imam Ahmad membagi garim dalam dua golongan. Pertama, orang yang mempunyai utang untuk kemaslahatan diri sendiri. Ulama fiqh berbeda pendapat tentang golongan ini, yakni apa ia berhak menerima zakat atau tidak. Abu Hanifah, Imam Syafi`i dan Imam Ahmad menyatakan orang yang berutang berhak menerima zakat tanpa syarat. Adapun besarnya zakat yang boleh diberikan orang yang berutang itu sebesar utang yang harus dibayarnya. Tetapi, Imam Malik menentukan syarat-syarat tertentu yang menyebabkan garim (orang yang berutang) berhak menerima zakat.
Kedua, orang yang punya utang untuk kemaslahatan masyarakat, semisal berutang untuk tujuan mendamaikan dua golongan yang lagi bersengketa dalam memperebutkan harta benda dan dia bersedia berutang untuk mengganti harta yang diperebutkan itu. Orang ini dapat dikategorikan sebagai garim, salah satu golongan dari orang yang berhak menerima zakat (untuk membayar utangnya itu) meski orang itu kaya.
Sedang Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Hisni al-Husaini ad-Dimasyqi (w 729) ulama fiqh mazhab Syafi`i sepakat dengan dua golongan di atas, tetapi dia menambahkan satu golongan lagi, yakni utang yang berasal dari tanggungan utang orang lain (daman).
Karena konteks utang itu, maka Islam dengan tegas mengajurkan umatnya untuk menjauhi utang, dan memilih menjalani hidup sederhana, dan tidak boros. Maka, sejalan dengan anjuran itu Nabi menganjurkan umat Islam untuk menolong orang yang berutang agar dapat keluar dari belenggu agar tak lagi dilanda kebingungan dan kehinaan. Allah menegaskan, “Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui (QS. 2: 280) [n. mursidi/foto: Dewi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar