Kota Yogyakarta di masa lampau tak hanya jadi pusat peradaban Hindu-Budha, tetapi juga peradaban Islam yang berkembang kemudian. Adapun keberadaan warisan peradaban Islam itu tak lepas kejayaan Kasultanan Mataram, sebagai kerajaan Islam di pulau Jawa.
HJ. de Graf, ahli sejarah asal Belanda, menulis Islam hadir di Asia tenggara (termasuk Indonesia) melalui tiga cara; pertama, dakwah para pedagang muslim dalam alur perdagangan yang damai. Kedua, melalui dakwah para dai dan orang-orang suci yang datang dari India dan Arab yang menyebarkan Islam dan ketiga melalui kekuasaan atau perang. Berbeda dengan daerah lain Jawa pesisir, Islam datang ke kota Yogyakarta tak lain melalui kekuasan. Kekuasaan itu tentu dimulai sejak keberadaan kasultanan Mataram.
Jejak Mataram Islam
Mataram itu kerajaan Islam di Jawa yang didirikan Sutawijaya --keturunan dari Ki Ageng Pemanahan. Cikal bakal Mataram semula, adalah hutan Mentaok yang diberikan raja Pajang, Sultan Hadiwijaya (1550-1582) pada Pemanahan atas jasanya menaklukan Aryo Penangsang. Tapi, hutan Mentaok (kira-kira di timur kota Yogyakarta, dan selatan Bandar Udara Adisucipto) seiring waktu jadi “desa yang makmur" bahkan jadi kerajaan kecil yang mampu bersaing dengan Pajang.
Setelah Pemanahan mangkat (1575) kekuasaan dipegang putranya, Danang Sutawijaya. Di bawah Sutawijaya, Pajang berhasil ditaklukkan, dan ia mengangkat diri sebagai raja Mataram (gelar Panembahan Senapati). Lokasi keraton, dipindah ke Kotagede. Sepeninggalnya, kekuasaan dipegang Mas Jolang (bergelar Prabu Haryokwati) tapi hanya 12 tahun karena meninggal saat berburu di hutan Krapyak (sehingga dijuluki Penembahan Seda Krapyak). Tahta dipegang Adipati Martopuro lalu digantikan Mas Rangsang (putra sulung Mas Jolang bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo).
Pada masa pemerintahannya (1613-1645) Mataram mengalami kejayaan, mencakup Jawa dan Madura. Sultan Agung pun mengakomodasi Islam dan jejak itu bisa ditelusuri dari keberadaan masjid Kotagede yang dibangun pada 1640-an, masa pemerintahan Sultan Agung. Karena kecilnya masjid itu, maka dulu disebut Langgar. Lalu, masjid ini dibangun kembali oleh raja Kasunanan Surakarta, Paku Buwono X.
Tak dimungkiri, dakwah Islam pada masa itupun digemakan dari masjid ini. Masjid yang usianya ratusan tahun itu, hingga kini masih terlihat hidup. Warga setempat masih menggunakan sebagai tempat melaksanakan kegiatan keagamaan.
Sultan Agung lalu memindahkan lokasi keraton ke Kerta. Akibat perebutan area dagang, Mataram berhadapan dengan Belanda VOC. Sultan Agung wafat 1645, diganti Amangkurat I. Tetapi sayang Amangkurat I (memerintah 1645-1676) tidak mewarisi sifat ayahnya, pemerintahannya diwarnai ketidakpuasan sehingga tahun 1674 pecahlah Perang Trunajaya.
Ibukota Kerta pun jatuh dan Amangkurat I melarikan diri meminta bantuan VOC. Akan tetapi Amangkurat I jatuh sakit dan meninggal di Tegalarum (dekat Tegal), diganti putra mahkota yang bergelar Amangkurat II (bertahta 1677-1703), atau dikenal dengan sebutan Sunan Amral. Ia tunduk VOC demi mempertahankan tahtanya. Pada akhirnya Trunajaya berhasil dibunuh Amangkurat II dibantu VOC.
Karena Kraton Kerta rusak, dia memindahkan kraton ke Kartasura (1681). Kekacauan terus terjadi, baru terselesaikan setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua, Kasultanan (Nga)yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pada 1755, tertuang dalam perjanjian Giyanti.
Jejak Islam Kasultanan
Kasultanan Yogyakarta hingga kini pun masih meninggalkan warisan jejak Islam, bisa dilihat di Kauman. Sejarah mencatat, zaman kerajaan dahulu Kauman jadi tempat bagi 9 ketib atau penghulu yang ditugaskan Kraton untuk membawahi urusan agama. Tak salah sejak ratusan tahun lalu, Kauman memiliki peran besar dalam gerakan keagamaan Islam.
Di masa perjuangan kemerdekaan, kampung ini menjadi tempat berdirinya gerakan Muhammadyah. K.H Ahmad Dahlan yang jadi pendiri gerakan itu merasa prihatin karena banyak warga terjebak dalam hal-hal mistik, khurafat dan tahayul. Di luar itu, K.H. Ahmad Dahlan juga menyempurnakan kiblat sholat 24 derajat ke arah barat laut (arah Masjid al Haram di Mekkah) serta menghilangkan kebiasaan selamatan untuk orang meninggal.
Bangunan paling dikenal yang termasuk salah satu jejak Islam di kompleks Kauman adalah Masjid Agung. Masjid ini jadi pusat dakwah Islam sejak berdiri 16 tahun setelah berdiri Kraton Yogyakarta. Arsitektur masjid ini -yang sepenuhnya bercorak Jawa- dirancang Tumenggung Wiryakusuma.
Selain kampung Kauman, ada lagi kampung religius Islami di Yogyakarta, yakni dusun Mlangi. Nama Mlangi tidak lepas dari sosok Kyai Nur Iman yang sebenarnya kerabat Hamengku Buwono I, bernama Pangeran Hangabehi Sandiyo. Kisahnya, dulu Kyia Nur Iman sudah lama membina pesantren di daerah Jawa Timur sehingga diberi hadiah oleh Hamengku Buwono I berupa tanah. Tanah itu kemudian dinamai 'mlangi', dari kata bahasa Jawa 'mulangi' berarti mengajar. Dinamai demikian karena daerah itu kemudian digunakan mengajar agama Islam. Tak salah jika kini, kampung Mlangi penuh dengan pesantren.
Di daerah Kotagede, Mlangi dan Kauman itulah jejak warisan dari kejayaan Islam Mataram itu hingga kini masih menyimpan pesona religius.
Selamat berkunjung!!!
HJ. de Graf, ahli sejarah asal Belanda, menulis Islam hadir di Asia tenggara (termasuk Indonesia) melalui tiga cara; pertama, dakwah para pedagang muslim dalam alur perdagangan yang damai. Kedua, melalui dakwah para dai dan orang-orang suci yang datang dari India dan Arab yang menyebarkan Islam dan ketiga melalui kekuasaan atau perang. Berbeda dengan daerah lain Jawa pesisir, Islam datang ke kota Yogyakarta tak lain melalui kekuasan. Kekuasaan itu tentu dimulai sejak keberadaan kasultanan Mataram.
Jejak Mataram Islam
Mataram itu kerajaan Islam di Jawa yang didirikan Sutawijaya --keturunan dari Ki Ageng Pemanahan. Cikal bakal Mataram semula, adalah hutan Mentaok yang diberikan raja Pajang, Sultan Hadiwijaya (1550-1582) pada Pemanahan atas jasanya menaklukan Aryo Penangsang. Tapi, hutan Mentaok (kira-kira di timur kota Yogyakarta, dan selatan Bandar Udara Adisucipto) seiring waktu jadi “desa yang makmur" bahkan jadi kerajaan kecil yang mampu bersaing dengan Pajang.
Setelah Pemanahan mangkat (1575) kekuasaan dipegang putranya, Danang Sutawijaya. Di bawah Sutawijaya, Pajang berhasil ditaklukkan, dan ia mengangkat diri sebagai raja Mataram (gelar Panembahan Senapati). Lokasi keraton, dipindah ke Kotagede. Sepeninggalnya, kekuasaan dipegang Mas Jolang (bergelar Prabu Haryokwati) tapi hanya 12 tahun karena meninggal saat berburu di hutan Krapyak (sehingga dijuluki Penembahan Seda Krapyak). Tahta dipegang Adipati Martopuro lalu digantikan Mas Rangsang (putra sulung Mas Jolang bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo).
Pada masa pemerintahannya (1613-1645) Mataram mengalami kejayaan, mencakup Jawa dan Madura. Sultan Agung pun mengakomodasi Islam dan jejak itu bisa ditelusuri dari keberadaan masjid Kotagede yang dibangun pada 1640-an, masa pemerintahan Sultan Agung. Karena kecilnya masjid itu, maka dulu disebut Langgar. Lalu, masjid ini dibangun kembali oleh raja Kasunanan Surakarta, Paku Buwono X.
Tak dimungkiri, dakwah Islam pada masa itupun digemakan dari masjid ini. Masjid yang usianya ratusan tahun itu, hingga kini masih terlihat hidup. Warga setempat masih menggunakan sebagai tempat melaksanakan kegiatan keagamaan.
Sultan Agung lalu memindahkan lokasi keraton ke Kerta. Akibat perebutan area dagang, Mataram berhadapan dengan Belanda VOC. Sultan Agung wafat 1645, diganti Amangkurat I. Tetapi sayang Amangkurat I (memerintah 1645-1676) tidak mewarisi sifat ayahnya, pemerintahannya diwarnai ketidakpuasan sehingga tahun 1674 pecahlah Perang Trunajaya.
Ibukota Kerta pun jatuh dan Amangkurat I melarikan diri meminta bantuan VOC. Akan tetapi Amangkurat I jatuh sakit dan meninggal di Tegalarum (dekat Tegal), diganti putra mahkota yang bergelar Amangkurat II (bertahta 1677-1703), atau dikenal dengan sebutan Sunan Amral. Ia tunduk VOC demi mempertahankan tahtanya. Pada akhirnya Trunajaya berhasil dibunuh Amangkurat II dibantu VOC.
Karena Kraton Kerta rusak, dia memindahkan kraton ke Kartasura (1681). Kekacauan terus terjadi, baru terselesaikan setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua, Kasultanan (Nga)yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pada 1755, tertuang dalam perjanjian Giyanti.
Jejak Islam Kasultanan
Kasultanan Yogyakarta hingga kini pun masih meninggalkan warisan jejak Islam, bisa dilihat di Kauman. Sejarah mencatat, zaman kerajaan dahulu Kauman jadi tempat bagi 9 ketib atau penghulu yang ditugaskan Kraton untuk membawahi urusan agama. Tak salah sejak ratusan tahun lalu, Kauman memiliki peran besar dalam gerakan keagamaan Islam.
Di masa perjuangan kemerdekaan, kampung ini menjadi tempat berdirinya gerakan Muhammadyah. K.H Ahmad Dahlan yang jadi pendiri gerakan itu merasa prihatin karena banyak warga terjebak dalam hal-hal mistik, khurafat dan tahayul. Di luar itu, K.H. Ahmad Dahlan juga menyempurnakan kiblat sholat 24 derajat ke arah barat laut (arah Masjid al Haram di Mekkah) serta menghilangkan kebiasaan selamatan untuk orang meninggal.
Bangunan paling dikenal yang termasuk salah satu jejak Islam di kompleks Kauman adalah Masjid Agung. Masjid ini jadi pusat dakwah Islam sejak berdiri 16 tahun setelah berdiri Kraton Yogyakarta. Arsitektur masjid ini -yang sepenuhnya bercorak Jawa- dirancang Tumenggung Wiryakusuma.
Selain kampung Kauman, ada lagi kampung religius Islami di Yogyakarta, yakni dusun Mlangi. Nama Mlangi tidak lepas dari sosok Kyai Nur Iman yang sebenarnya kerabat Hamengku Buwono I, bernama Pangeran Hangabehi Sandiyo. Kisahnya, dulu Kyia Nur Iman sudah lama membina pesantren di daerah Jawa Timur sehingga diberi hadiah oleh Hamengku Buwono I berupa tanah. Tanah itu kemudian dinamai 'mlangi', dari kata bahasa Jawa 'mulangi' berarti mengajar. Dinamai demikian karena daerah itu kemudian digunakan mengajar agama Islam. Tak salah jika kini, kampung Mlangi penuh dengan pesantren.
Di daerah Kotagede, Mlangi dan Kauman itulah jejak warisan dari kejayaan Islam Mataram itu hingga kini masih menyimpan pesona religius.
Selamat berkunjung!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar