Tak pernah terbayangkan dalam hidupnya jika ia akhirnya bisa dikenal luas seperti sekarang ini. Sosoknya muncul di media cetak dan juga layar kaca. Ia pun mendapat undangan mengisi tausiyah ke mana-mana, bahkan sampai ke luar pulau Jawa. Padahal, ia hanya kiai kampung yang tinggal di desa terpencil. Tetapi, berkat empatinya menolong orang tersingkir, tertindas dan terbuang, akhirnya mengangkatnya ke tempat yang mulia.
"Saya sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa saya bisa tampil di televisi dan kampung saya jadi terkenal. Ini semua semata-mata karena anugerah dari Allah," ujar laki-laki kelahiran Bungkanel, 19 Juli 1953 yang bernama lengkap H. Supono Mustajab.
Awal popularitas laki-laki satu ini, tak dimungkiri berkat keberpihakannya pada Sumanto, sang pemakan jenazah yang sempat menghebohkan negara ini –lantaran pada tahun 2003 silam membongkar, mencuri dan memakan mayat Mbah Rinah. Di saat semua warga tempat kelahiran sang kanibal itu (dan bahkan keluarga Sumanto sendiri) dengan mentah-mentah tak mau menerima kehadiran Sumanto kembali ke kampung halaman (di Plumutan, Kemangkon, Purbalingga, Jawa Tengah), sekeluar dari penjara justru dengan tangan terbuka H Supono Mustajab menampung dan merawat Sumanto. Dengan “nurani yang tersentuh” itulah, ia dikenal luas apalagi setelah hampir setahun ternyata Sumanto benar-benar taubat dan sembuh.
Tak Tega
Sosok satu ini, memang layak disebut langka. Di era seperti sekarang ini, susah menemukan orang seperti H Supono. Sosok langka dengan keikhlasan dan ketulusan, yang mau bersusah payah membantu Sumanto di kala banyak orang justru mencemooh. Tapi, dilandasi jiwa kemanusiaan, ia berani menerima resiko dan ternyata perjuangan itu berhasil.
Ceritanya, di hari-hari terakhir Sumanto mau dibebaskan dari penjara, kabar itu santer beredar bahwa warga nyaris dihantui takut, terutama warga Plumutan. Dengan berat hati warga tempat kelahiran Sumanto pun protes dan tak mau menerima kembali Sumanto untuk pulang ke kampung.
Kabar itu rupanya membuat Supono Mustajab, mantan kepala desa Bungkanel tersentuh. Setelah membaca koran lokal, ia langsung pergi ke kampung Plumutan guna menemui kepala desa dan keluarga Sumanto untuk mencari tahu. "Setelah bertemu dengan kepala desa, saya langsung menemui orangtua Sumanto (keluarganya). Di sana saya baru tahu, bahwa ibu Sumanto sendiri “mencak-mencak” tidak mau menerima Sumanto, dan mempersilahkan saya membawa Sumanto kalau berniat mau menolong. Saya tahu kenapa Sumanto ditolak? Sumanto dianggap menakutkan. Warga tak berani menerima dia kembali ke kampung halaman," cerita suami dari Hj. Siti Sofiyatun.
Dengan berbekal izin kepala desa dan keluarga Sumanto itulah, maka H Supono kemudian pergi ke lapas Purwokerto. "Saat pertama kali datang, memang penjaga tidak mengizinkan saya masuk. Saya mencari akal, mengatakan bahwa saya ini menjenguk Sumanto sebagai Ketua RMI Robitoh Maqhad Islamiah Purbalingga, dan Ketua Pemuda Pancasila Purbalingga. Akhirnya, penjaga mengizinkan. Dalam kesempatan itulah, saya bilang warga dan keluarga Sumanto tak menerimanya. Saya kasihan. Kedatangan saya ke sini ingin merawat Sumanto di rumah sakit Jiwa saya."
Ketulusan Supono untuk merawat Sumanto itu, ternyata masih belum mendapat jawaban. Tetapi, saat mau lebaran, akhirnya kabar dari lapas itu datang lewat telepon, "Saya diberitahu bahwa pihak keluarga Sumanto dan seluruh wartawan media cetak akan berkunjung ke rumah saya untuk melihat persiapan saya menerima Sumanto. Karena Sumanto itu orang luar biasa. Jadi butuh persiapan ekstra hati-hati."
Setelah semua datang ke Bungkanel untuk melihat persiapan Wisma Rehabilitasi Sosial Mental dan Narkoba di Desa Bungkanel, Kecamatan Karanganyar, Purbalingga, milik Supono, ternyata semua orang setuju jika Sumanto tinggal di sana. "Maka, dalam waktu seminggu saya kerja keras mempersiapkan tempat khusus buat Sumanto, kamar yang berpintu besi yang ditambah keamanan rangkap tiga, karena orang di desa saya pun takut akan kehadiran Sumanto," ujar ayah dari Retno Sulistianingsih ini tegas.
Anehnya, saat sudah ada kepastian bahwa Sumanto akan menghuni rumah sakit jiwa milik Supono, warga Bungkanel yang sebelumnya setuju Supono mendadak ragu. Padahal, sebelumnya Supono sudah memberikan penyadaran di acara pengajian dan pertemua desa dan bahkan telah meminta tanda tangan dari semua pejabat desa. Nyaris semua orang setuju. Tetapi, tiba-tiba ada pejabat desa yang menolak. Akhirnya, warga yang sadar tiba-tiba goyah.
"Akhirnya, saya berjuang keras memberikan penjelasan bahwa saya menerima Sumanto atas dasar hadits dari rasulullah bahwa surga itu merindukan empat golongan. Pertama, golongan orang yang membaca al-Qur`an. Kedua, adalah golongan orang yang menjaga lisan. Ketiga, golongan orang yang memberi makan orang yang lapar, memberi arahan, mengentaskan orang teraniya tertindas dan tersiksa. Keempat, adalah golongan orang yang puasa di bulan suci ramadhan. Saya ini mengambil golongan yang ketiga, menolong orang teraniaya dan tersiksa."
Rupanya, dalil itu meruntuhkan hati warga dan menerima kehadiran Sumanto untuk tinggal di Wisma Rehabilitasi Sosial Mental dan Narkoba di Desa Bungkanel.
Dulu Menanggung Biaya Warga
Rasa kemanusiaan Supono untuk menampung Sumanto adalah sebagian kecil dari kiprahnya. Karena, H Supono sudah lama berkecimpung di bidang pembangunan mental. Tak berlebihan, kalau Wisma Rehabilitasi Sosial Mental dan Narkoba yang dulu ada di sebelah rumah Supono, kini sudah dibangun megah, mentereng dan siap untuk menampung 200 pasien. Padahal, rumah sakit jiwa yang kini berdiri megah itu tak akan terbangun jika dulu H Supono Mustajab tergerak hati. Ia prihatin terhadap orang-orang sakit yang tak mampu untuk berobat.
Jadi ceritanya, sekitar tahun 70-an, H Supono Mestajab menjabat sebagai lurah kampung Bungkanel. Dengan jabatan itu, tentu ia dituntut dedikasi yang tinggi untuk menolong warganya yang ditimpa musibah. Dia pun memiliki tanggung jawab untuk mengantarkan seorang warga di kampungnya ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) untuk berobat. Anehnya, orang yang sakit itu adalah orang yang tak mampu. Makanya, setelah keluar dari rumah sakit, terpaksa H Supono yang menanggung biaya pengobatan.
Dengan pengalaman pahit itu, H Supono berpikir, "Saya berpikir panjang, jika begini terus, dan negara tak mau memberi tanggung jawab, terus bagaimana keadaan warga? Pemerintah lebih membangun pembangunan fisik, dan siapa yang membangun mental masyarakat? Akhirnya, dari situlah saya berniat membangun mental masyarakat dengan mendirikan rumah sakit jiwa. Padahal saat saya menjabat sebagai kepala desa, waktu itu saya belum memiliki rumah. Maka, jika ada orang sakit, masih saya titipkan,” kenang mantan kepala desa Bungkanel ini.
Kini, rumah sakit jiwa itu sudah berdiri dengan megah dan sudah didedikasikan H Supono sebagai rumah sakit jiwa “termurah”. Selain itu, kini juga sudah dibangun sekitar 200 kamar dan bahkan dengan ikhlas, H Supono Mustajab pun berjanji memberi jaminan bagi mereka yang tidak mampu (miskin) agar tidak dikenai biaya, alias gratis. Bahkan selama ini pun, keberadaan Sumanto tinggal di rumah sakit jiwa milik Supono pun semata-mata atas biaya pribadi dari H Supono.
Derajat Terangkat
Tetapi, niat baik dari H Supono merawat dan menyembuhkan orang yang sakit itu ternyata tidak sia-sia. Ada balasan dari Allah. "Tuhan mengatakan, siapa saja yang menduduki angka satu dari empat golongan itu (hadits yang menjadi alasan H Supono menerima Sumanto di atas –red), Allah akan mengangkat derajat mereka. Dan ternyata benar, akhirnya derajat saya diangkat oleh Allah. Saya masuk tv, koran juga diundang ceramah ke mana-mana. Padahal, saya sama sekali tak pernah berpikir jika akhirnya bisa masuk tv berkat Sumanto. Ini karena Allah."
Itulah janji Allah yang diyakini H Supono berkat menolong orang yang tersisih. Apalagi, dengan program dan misi yang diterapkan dalam merawat dan membimbing pasien di wismanya –yang kerap pula dijuluki pondok An-Nur itu—berbeda dengan Rumah Sakit Jiwa pada umumnya. Di wisma milik H Supono itu pasiennya dikenalkan dengan agama. Bahkan program khusus untuk Sumanto, kiai kampung ini pun ternyata membimbing dengan baik. “Saya punya program mendidik Sumanto dengan 3 progam. Pertama, wasis yakini mendidik agar menjadikanya pintar. Kedua, menjadikannya waras (sehat) secara jasmani maupun pikiran dan yang ketiga adalah warek (kenyang) agar dia sekeluar dari sini nanti bisa mencari uang untuk dirinya sendiri dan keluarganya”.
Tidak mencengangkan, ternyata 3 program itu mujarab. Kini, Sumanto sudah taubat dan bisa mengisi ceramah mendampingi H Supono. (n. mursidi)
Sekilas Sosok H Supono
Nama : H Supono Mustajab
Lahir : Bungkanel, 19 Juli 1953
Istri : Hj. Siti Sofiyatun S Sos
Anak :
1. Rukhman Bashori, MA
2. Imam Fauzi Wahyudiana
3. Retno Sulistianingsih
4. Muliasari
Pendidikan :
- SR 6 tahun di SR Bungkanel
- MTsN 3 tahun di Karanganyar
- Sekolah Persiapan Ilmu Agama Negeri Purbalingga 3 tahun dan kini masih kuliah
"Saya sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa saya bisa tampil di televisi dan kampung saya jadi terkenal. Ini semua semata-mata karena anugerah dari Allah," ujar laki-laki kelahiran Bungkanel, 19 Juli 1953 yang bernama lengkap H. Supono Mustajab.
Awal popularitas laki-laki satu ini, tak dimungkiri berkat keberpihakannya pada Sumanto, sang pemakan jenazah yang sempat menghebohkan negara ini –lantaran pada tahun 2003 silam membongkar, mencuri dan memakan mayat Mbah Rinah. Di saat semua warga tempat kelahiran sang kanibal itu (dan bahkan keluarga Sumanto sendiri) dengan mentah-mentah tak mau menerima kehadiran Sumanto kembali ke kampung halaman (di Plumutan, Kemangkon, Purbalingga, Jawa Tengah), sekeluar dari penjara justru dengan tangan terbuka H Supono Mustajab menampung dan merawat Sumanto. Dengan “nurani yang tersentuh” itulah, ia dikenal luas apalagi setelah hampir setahun ternyata Sumanto benar-benar taubat dan sembuh.
Tak Tega
Sosok satu ini, memang layak disebut langka. Di era seperti sekarang ini, susah menemukan orang seperti H Supono. Sosok langka dengan keikhlasan dan ketulusan, yang mau bersusah payah membantu Sumanto di kala banyak orang justru mencemooh. Tapi, dilandasi jiwa kemanusiaan, ia berani menerima resiko dan ternyata perjuangan itu berhasil.
Ceritanya, di hari-hari terakhir Sumanto mau dibebaskan dari penjara, kabar itu santer beredar bahwa warga nyaris dihantui takut, terutama warga Plumutan. Dengan berat hati warga tempat kelahiran Sumanto pun protes dan tak mau menerima kembali Sumanto untuk pulang ke kampung.
Kabar itu rupanya membuat Supono Mustajab, mantan kepala desa Bungkanel tersentuh. Setelah membaca koran lokal, ia langsung pergi ke kampung Plumutan guna menemui kepala desa dan keluarga Sumanto untuk mencari tahu. "Setelah bertemu dengan kepala desa, saya langsung menemui orangtua Sumanto (keluarganya). Di sana saya baru tahu, bahwa ibu Sumanto sendiri “mencak-mencak” tidak mau menerima Sumanto, dan mempersilahkan saya membawa Sumanto kalau berniat mau menolong. Saya tahu kenapa Sumanto ditolak? Sumanto dianggap menakutkan. Warga tak berani menerima dia kembali ke kampung halaman," cerita suami dari Hj. Siti Sofiyatun.
Dengan berbekal izin kepala desa dan keluarga Sumanto itulah, maka H Supono kemudian pergi ke lapas Purwokerto. "Saat pertama kali datang, memang penjaga tidak mengizinkan saya masuk. Saya mencari akal, mengatakan bahwa saya ini menjenguk Sumanto sebagai Ketua RMI Robitoh Maqhad Islamiah Purbalingga, dan Ketua Pemuda Pancasila Purbalingga. Akhirnya, penjaga mengizinkan. Dalam kesempatan itulah, saya bilang warga dan keluarga Sumanto tak menerimanya. Saya kasihan. Kedatangan saya ke sini ingin merawat Sumanto di rumah sakit Jiwa saya."
Ketulusan Supono untuk merawat Sumanto itu, ternyata masih belum mendapat jawaban. Tetapi, saat mau lebaran, akhirnya kabar dari lapas itu datang lewat telepon, "Saya diberitahu bahwa pihak keluarga Sumanto dan seluruh wartawan media cetak akan berkunjung ke rumah saya untuk melihat persiapan saya menerima Sumanto. Karena Sumanto itu orang luar biasa. Jadi butuh persiapan ekstra hati-hati."
Setelah semua datang ke Bungkanel untuk melihat persiapan Wisma Rehabilitasi Sosial Mental dan Narkoba di Desa Bungkanel, Kecamatan Karanganyar, Purbalingga, milik Supono, ternyata semua orang setuju jika Sumanto tinggal di sana. "Maka, dalam waktu seminggu saya kerja keras mempersiapkan tempat khusus buat Sumanto, kamar yang berpintu besi yang ditambah keamanan rangkap tiga, karena orang di desa saya pun takut akan kehadiran Sumanto," ujar ayah dari Retno Sulistianingsih ini tegas.
Anehnya, saat sudah ada kepastian bahwa Sumanto akan menghuni rumah sakit jiwa milik Supono, warga Bungkanel yang sebelumnya setuju Supono mendadak ragu. Padahal, sebelumnya Supono sudah memberikan penyadaran di acara pengajian dan pertemua desa dan bahkan telah meminta tanda tangan dari semua pejabat desa. Nyaris semua orang setuju. Tetapi, tiba-tiba ada pejabat desa yang menolak. Akhirnya, warga yang sadar tiba-tiba goyah.
"Akhirnya, saya berjuang keras memberikan penjelasan bahwa saya menerima Sumanto atas dasar hadits dari rasulullah bahwa surga itu merindukan empat golongan. Pertama, golongan orang yang membaca al-Qur`an. Kedua, adalah golongan orang yang menjaga lisan. Ketiga, golongan orang yang memberi makan orang yang lapar, memberi arahan, mengentaskan orang teraniya tertindas dan tersiksa. Keempat, adalah golongan orang yang puasa di bulan suci ramadhan. Saya ini mengambil golongan yang ketiga, menolong orang teraniaya dan tersiksa."
Rupanya, dalil itu meruntuhkan hati warga dan menerima kehadiran Sumanto untuk tinggal di Wisma Rehabilitasi Sosial Mental dan Narkoba di Desa Bungkanel.
Dulu Menanggung Biaya Warga
Rasa kemanusiaan Supono untuk menampung Sumanto adalah sebagian kecil dari kiprahnya. Karena, H Supono sudah lama berkecimpung di bidang pembangunan mental. Tak berlebihan, kalau Wisma Rehabilitasi Sosial Mental dan Narkoba yang dulu ada di sebelah rumah Supono, kini sudah dibangun megah, mentereng dan siap untuk menampung 200 pasien. Padahal, rumah sakit jiwa yang kini berdiri megah itu tak akan terbangun jika dulu H Supono Mustajab tergerak hati. Ia prihatin terhadap orang-orang sakit yang tak mampu untuk berobat.
Jadi ceritanya, sekitar tahun 70-an, H Supono Mestajab menjabat sebagai lurah kampung Bungkanel. Dengan jabatan itu, tentu ia dituntut dedikasi yang tinggi untuk menolong warganya yang ditimpa musibah. Dia pun memiliki tanggung jawab untuk mengantarkan seorang warga di kampungnya ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) untuk berobat. Anehnya, orang yang sakit itu adalah orang yang tak mampu. Makanya, setelah keluar dari rumah sakit, terpaksa H Supono yang menanggung biaya pengobatan.
Dengan pengalaman pahit itu, H Supono berpikir, "Saya berpikir panjang, jika begini terus, dan negara tak mau memberi tanggung jawab, terus bagaimana keadaan warga? Pemerintah lebih membangun pembangunan fisik, dan siapa yang membangun mental masyarakat? Akhirnya, dari situlah saya berniat membangun mental masyarakat dengan mendirikan rumah sakit jiwa. Padahal saat saya menjabat sebagai kepala desa, waktu itu saya belum memiliki rumah. Maka, jika ada orang sakit, masih saya titipkan,” kenang mantan kepala desa Bungkanel ini.
Kini, rumah sakit jiwa itu sudah berdiri dengan megah dan sudah didedikasikan H Supono sebagai rumah sakit jiwa “termurah”. Selain itu, kini juga sudah dibangun sekitar 200 kamar dan bahkan dengan ikhlas, H Supono Mustajab pun berjanji memberi jaminan bagi mereka yang tidak mampu (miskin) agar tidak dikenai biaya, alias gratis. Bahkan selama ini pun, keberadaan Sumanto tinggal di rumah sakit jiwa milik Supono pun semata-mata atas biaya pribadi dari H Supono.
Derajat Terangkat
Tetapi, niat baik dari H Supono merawat dan menyembuhkan orang yang sakit itu ternyata tidak sia-sia. Ada balasan dari Allah. "Tuhan mengatakan, siapa saja yang menduduki angka satu dari empat golongan itu (hadits yang menjadi alasan H Supono menerima Sumanto di atas –red), Allah akan mengangkat derajat mereka. Dan ternyata benar, akhirnya derajat saya diangkat oleh Allah. Saya masuk tv, koran juga diundang ceramah ke mana-mana. Padahal, saya sama sekali tak pernah berpikir jika akhirnya bisa masuk tv berkat Sumanto. Ini karena Allah."
Itulah janji Allah yang diyakini H Supono berkat menolong orang yang tersisih. Apalagi, dengan program dan misi yang diterapkan dalam merawat dan membimbing pasien di wismanya –yang kerap pula dijuluki pondok An-Nur itu—berbeda dengan Rumah Sakit Jiwa pada umumnya. Di wisma milik H Supono itu pasiennya dikenalkan dengan agama. Bahkan program khusus untuk Sumanto, kiai kampung ini pun ternyata membimbing dengan baik. “Saya punya program mendidik Sumanto dengan 3 progam. Pertama, wasis yakini mendidik agar menjadikanya pintar. Kedua, menjadikannya waras (sehat) secara jasmani maupun pikiran dan yang ketiga adalah warek (kenyang) agar dia sekeluar dari sini nanti bisa mencari uang untuk dirinya sendiri dan keluarganya”.
Tidak mencengangkan, ternyata 3 program itu mujarab. Kini, Sumanto sudah taubat dan bisa mengisi ceramah mendampingi H Supono. (n. mursidi)
Sekilas Sosok H Supono
Nama : H Supono Mustajab
Lahir : Bungkanel, 19 Juli 1953
Istri : Hj. Siti Sofiyatun S Sos
Anak :
1. Rukhman Bashori, MA
2. Imam Fauzi Wahyudiana
3. Retno Sulistianingsih
4. Muliasari
Pendidikan :
- SR 6 tahun di SR Bungkanel
- MTsN 3 tahun di Karanganyar
- Sekolah Persiapan Ilmu Agama Negeri Purbalingga 3 tahun dan kini masih kuliah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar