Kelahiran sang buah hati merupakan dambaan bagi setiap pasangan suami-istri atau orangtua. Tak terkecuali kelahiran itu untuk anak pertama, kedua, ketiga atau seterusnya. Maka tak berlebihan jika kemudian bayi yang telah menghuni kandungan selama sembilan bulan lebih itu lahir ke dunia, akan disambut oleh kedua orangtua dan keluarga dengan perasaan riang gembira. Bentuk kegembiraan itu, di daerah Jawa biasa disebut dengan ritus brokohan atau barokahan
Upacara brokohan atau barokahan, sebenarnya berasal dari bahasa Arab, barakah yang mengalami “perubahan” menurut lidah orang Jawa. Upacara ini pun digelar atau dilangsungkan untuk menandai rasa sukur pada Allah karena bayi itu telah dilahirkan dengan selamat.
Tidak Rumit
Upacara ini biasanya diadakan cukup dengan mengundang tetangga kanan-kiri, tanpa dengan ritual atau acara yang rumit. Ketika bayi itu berusia lima (5) hari, biasanya digelar upacara pemberian nama atau kekahan (aqiqahan) yang berasal dari bahasa Arab aqiqah yang mengalami “perubahan” menurut lidah Jawa. Tentu, upacara ini dilakukan oleh masyarakat yang mampu.
Dalam upacara (ritual) ini, biasanya diikuti dengan prosesi bacaan shalatan atau membaca barzanji. Prosesi ini juga tak cukup rumit. Dengan kata lain, cukup sederhana dan tak bertele-tela, yang diawali dengan kata pengantar atau ijab qabul dari wakil tuan rumah yang berisi ungkapan (maksud), tujuan upacara dan ucapan “terima kasih” atas kehadiran tetangga, teman dan keluarga dekat, kemudian dilanjutkan dengan membaca surat al-Fatihah sebanyak tiga kali, surat al-Ikhlas tiga kali, surat al-Alaq dan an-Nas masing-masing sekali dan dilanjutkan dengan bacaan surat Yasin oleh suluruh peserta.
Tatkala acara itu sudah selesai, kemudian diteruskan dengan bacaan barzanjen. Pembacaan barzanjen ini diawali dengan bacaan shalatan yang dibaca secara khas dan dipimpin oleh peserta tertua. Secara bergantian, mereka membaca puja-pujian kepada silsilah dan sejarah kehidupan nabi dan di tengah acara ini, terdapat mahallul qiyam di mana seluruh peserta upacara dan setiap peserta mengoleskan air kelapa ke kepala bayi.
Tentu, ritual mengoleskan air kelapa itu hanya lambang. Tak lain, hanya sebagai syarat belaka. Bayi digendong oleh orangtua lelaki, sementara ibunya dan kerabat yang lain memandang dari dalam ruangan tengah. Selepas acara mahallul qiyam, bayi dibawa masuk kembali dan acara pun dilanjutkan dengan membaca sifat-sifat nabi, kemudian ditutup doa.
Seluruh bahan upacara, seperti bubur merah putih, bucu atau tumpeng, dan lain lagi serentak dibagikan ke seluruh peserta sebagai tambahan berkat yang disiapkan oleh “tuan rumah”. Setelah pembagian berkat, mereka pun pulang ke rumah masing-masing.
Makna di Balik Ritual
Setiap peralatan dalam ritual di atas, tentunya bukan tanpa makna. Air kelapa yang dioleskan ke kepala bayi itu dinisbahkan ari zam-zam. Air kelapa dianggap sebagai air suci sehingga usapan air kelapa itu melambangkan kesucian anak.
Selain itu, pelaksaan upacara juga akan membedakan bentuk upacara meskipun tak secara substansial. Dengan kata lain, penggolongan sosial tentu akan membedakan kegiatan atau acara brokohan dilaksanakan. Bagi orang yang kaya, kemewahan acara ini tampak kentara. Jika anak yang dilahirkan itu lelaki, maka orangtua akan menyembelih dua kambing, tapi jika yang lahir itu perempuan maka cukup satu kambing.
Kesan akan kemewahan juga tampak di dalam berkat yang dibawa pulang oleh warga yang jadi peserta. Erek (wadah nasi) terbuat dari plastik yang berkualitas bagus atau kini sudah beralih dari kardus, juga jajan atau kue dan buah-buahan yang disajikan pun berkualitas (seperti lemper, kue, bikang ambon, kacang telur, jeruk manis, pisang raja, dan sebagainya) meski itu tak mutlak dan wajib. Karena yang dianjurkan hanyalah menghormati peserta yang hadir dalam upacara yang diidentikkan sebagai tamu.
Setelah anak atau bayi itu genap berusia 36 hari, maka diadakan ucapara selapan dengan bubur merah dan tumpeng. Bubur yang dibuat biasanya berwarna warna putih untuk melambangkan warna darah yang mengalir dalam tubuh sang bayi. Sedangkan tumpeng melambangkan tingginya keinginan yang hendak dicapai bayi di kemudian hari. Lalu, saat anak mencapai usia tujuh atau delapan bulan, dilakukan bancaan bubur dan sego adem (nasi dingin). Ini menandakan tumbuhnya gigi sang anak. Juga, didapati upacara tedak siti atau medun lemah ketika anak berusia tujuh bulan ini dan saat anak itu menginjak usia setahun, diadakan upacara bancaan weton (ulang tahun) yang dilakukan bertepatan dengan hari kelahiran sang bayi.
Dengan upacara brokohan atau barokahan di atas, orang tua mengharap agar kelak bayi yang lahir itu bisa mendapatkan keberkahan. Karena jika kegembiraan dirayakan dengan rasa sukur kepada Allah yang disertai dengan doa, tidak mustahil di kemudian hari Allah akan menjawab rasa sukur orangtua sang anak itu. (n. mursidi)
Upacara brokohan atau barokahan, sebenarnya berasal dari bahasa Arab, barakah yang mengalami “perubahan” menurut lidah orang Jawa. Upacara ini pun digelar atau dilangsungkan untuk menandai rasa sukur pada Allah karena bayi itu telah dilahirkan dengan selamat.
Tidak Rumit
Upacara ini biasanya diadakan cukup dengan mengundang tetangga kanan-kiri, tanpa dengan ritual atau acara yang rumit. Ketika bayi itu berusia lima (5) hari, biasanya digelar upacara pemberian nama atau kekahan (aqiqahan) yang berasal dari bahasa Arab aqiqah yang mengalami “perubahan” menurut lidah Jawa. Tentu, upacara ini dilakukan oleh masyarakat yang mampu.
Dalam upacara (ritual) ini, biasanya diikuti dengan prosesi bacaan shalatan atau membaca barzanji. Prosesi ini juga tak cukup rumit. Dengan kata lain, cukup sederhana dan tak bertele-tela, yang diawali dengan kata pengantar atau ijab qabul dari wakil tuan rumah yang berisi ungkapan (maksud), tujuan upacara dan ucapan “terima kasih” atas kehadiran tetangga, teman dan keluarga dekat, kemudian dilanjutkan dengan membaca surat al-Fatihah sebanyak tiga kali, surat al-Ikhlas tiga kali, surat al-Alaq dan an-Nas masing-masing sekali dan dilanjutkan dengan bacaan surat Yasin oleh suluruh peserta.
Tatkala acara itu sudah selesai, kemudian diteruskan dengan bacaan barzanjen. Pembacaan barzanjen ini diawali dengan bacaan shalatan yang dibaca secara khas dan dipimpin oleh peserta tertua. Secara bergantian, mereka membaca puja-pujian kepada silsilah dan sejarah kehidupan nabi dan di tengah acara ini, terdapat mahallul qiyam di mana seluruh peserta upacara dan setiap peserta mengoleskan air kelapa ke kepala bayi.
Tentu, ritual mengoleskan air kelapa itu hanya lambang. Tak lain, hanya sebagai syarat belaka. Bayi digendong oleh orangtua lelaki, sementara ibunya dan kerabat yang lain memandang dari dalam ruangan tengah. Selepas acara mahallul qiyam, bayi dibawa masuk kembali dan acara pun dilanjutkan dengan membaca sifat-sifat nabi, kemudian ditutup doa.
Seluruh bahan upacara, seperti bubur merah putih, bucu atau tumpeng, dan lain lagi serentak dibagikan ke seluruh peserta sebagai tambahan berkat yang disiapkan oleh “tuan rumah”. Setelah pembagian berkat, mereka pun pulang ke rumah masing-masing.
Makna di Balik Ritual
Setiap peralatan dalam ritual di atas, tentunya bukan tanpa makna. Air kelapa yang dioleskan ke kepala bayi itu dinisbahkan ari zam-zam. Air kelapa dianggap sebagai air suci sehingga usapan air kelapa itu melambangkan kesucian anak.
Selain itu, pelaksaan upacara juga akan membedakan bentuk upacara meskipun tak secara substansial. Dengan kata lain, penggolongan sosial tentu akan membedakan kegiatan atau acara brokohan dilaksanakan. Bagi orang yang kaya, kemewahan acara ini tampak kentara. Jika anak yang dilahirkan itu lelaki, maka orangtua akan menyembelih dua kambing, tapi jika yang lahir itu perempuan maka cukup satu kambing.
Kesan akan kemewahan juga tampak di dalam berkat yang dibawa pulang oleh warga yang jadi peserta. Erek (wadah nasi) terbuat dari plastik yang berkualitas bagus atau kini sudah beralih dari kardus, juga jajan atau kue dan buah-buahan yang disajikan pun berkualitas (seperti lemper, kue, bikang ambon, kacang telur, jeruk manis, pisang raja, dan sebagainya) meski itu tak mutlak dan wajib. Karena yang dianjurkan hanyalah menghormati peserta yang hadir dalam upacara yang diidentikkan sebagai tamu.
Setelah anak atau bayi itu genap berusia 36 hari, maka diadakan ucapara selapan dengan bubur merah dan tumpeng. Bubur yang dibuat biasanya berwarna warna putih untuk melambangkan warna darah yang mengalir dalam tubuh sang bayi. Sedangkan tumpeng melambangkan tingginya keinginan yang hendak dicapai bayi di kemudian hari. Lalu, saat anak mencapai usia tujuh atau delapan bulan, dilakukan bancaan bubur dan sego adem (nasi dingin). Ini menandakan tumbuhnya gigi sang anak. Juga, didapati upacara tedak siti atau medun lemah ketika anak berusia tujuh bulan ini dan saat anak itu menginjak usia setahun, diadakan upacara bancaan weton (ulang tahun) yang dilakukan bertepatan dengan hari kelahiran sang bayi.
Dengan upacara brokohan atau barokahan di atas, orang tua mengharap agar kelak bayi yang lahir itu bisa mendapatkan keberkahan. Karena jika kegembiraan dirayakan dengan rasa sukur kepada Allah yang disertai dengan doa, tidak mustahil di kemudian hari Allah akan menjawab rasa sukur orangtua sang anak itu. (n. mursidi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar