Ibrahim berkata, “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia (Isma`il) menjawab: “Hai bapakku, laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk para penyabar.” (QS. Ash-Shaffat [37]: 102)
Tak ada ujian berat bagi seseorang, terlebih jika telah dipilih Allah sebagai nabi, kecuali datang perintah Allah untuk melepaskan apa yang dicintai. Tapi jika dia ringan tangan tak dibelit keraguan, merelakan apa yang dicintai itu dan melepas hanya semata-mata demi meraih ridha Allah, maka tak ada balasan dari Allah kecuali sesuatu yang lebih dari yang dicintai itu, kemuliaan dunia dan jaminan di akhirat kelak.
Ujian berat itulah yang dialami nabi Ibrahim, ketika perintah Allah datang untuk mengorbankan nabi Ismail. Padahal, nabi Ismail adalah anak dari nabi Ibrahim as. yang teramat dicintai setelah seratus tahun dilanda kesepian dan nyaris tak memiliki harapan untuk bisa mempunyai anak. Di sinilah keimanan nabi Ibrahim diuji oleh Allah, setelah Allah memberi “kabar gembira” dengan kehadiran seorang anak yang lama ditunggu dan dinantikan tetapi justru kemudian jadi batu ujian berat.
Kelahiran Nabi Ismail
Tahun-tahun perjuangan nabi Ibrahim telah berlalu. Sudah seabad, dia berjuang menumbangkan kejahiliyahan nenek moyang, fanatisme kaumnya (yang menyembah berhala), melawan kekuasaan sang penindasan Namrud yang angkuh dan akhirnya dia selamat dari kobaran api yang panas. Misi agung nabi Ibrahim nyaris telah tertunaikan. Dia telah menyerukan risalah tauhid (moneteisme) di tengah sistem sosial yang dzalim dengan gemilang.
Tetapi di ujung usia Ibrahim yang sudah mulai menua itu, ternyata belum diberi anugerah keturunan. Maka, dia dilingkupi gelisah. Padahal misi agung kenabian perlu penerus dan harapan itu nyaris jauh dari kenyataan, karena istrinya (Sarah) mandul (tak subur) dan Ibrahim sudah udzur. Sementara, nabi Ibrahim tak menemukan seorang pun yang dapat diandalkan sebagai penerus kecuali nabi Luth. Karena itulah, nabi Ibrahim gelisah. Cemas dan resah.
Tak bisa diingkari, sebagai manusia, dia ingin memiliki anak untuk membuatnya bahagia. Maka, dia pun berharap bisa mendapatkan keturunan dan hanya pada Allah dia berharap besar dan tak sedikit pun diliputi putus asa. Maka, ia dengan khusuk berdoa agar diberi anak, "Tuhanku, anugerahkan kepadaku anak yang termasuk orang-orang yang shahih." (QS. Ash-Shaaffat: 100).
Allah Maha Mendengar dan mendengar doa Ibrahim. Allah memberi “ganjaran” pada orang tua tersebut untuk waktu yang telah ia gunakan dan juga penderitaan yang dialami selama bertahun-tahun dalam menyampaikan pesan Allah, dengan sebuah janji "Maka Kami memberinya kabar gembira dengan seorang anak yang amat penyantun (QS. Ash-Shaaffat: 101).
Janji Allah itu pun jadi kenyataan. Tidak lama kemudian, Ibrahim mendapatkan keturunan, karena lahir seorang anak lelaki dari Hajar, hamba sahaya perempuannya, seorang perempuan kulit hitam yang tidak cukup terhormat untuk menimbulkan rasa cemburu di hati sarah, istri pertama nabi Ibrahim. Jelas, kelahiran Isma`il itu membuat nabi Ibrahim gembira. Karena Ismail itu tak hanya anak, melainkan juga buah hati yang menghibur penderitaan Ibrahim selama seratus tahun berjuang melawan kemungkaran. Ismail itu lambang kemenangan (imbalan) bagi kehidupan nabi Ibrahim yang penuh perjuangan. Karena itu, nabi Ibrahim sangat mencintai Isma`il. Apalagi, dia adalah anak lelaki yang sudah bertahun-tahun didambakan kelahirannya oleh nabi Ibrahim.
Seiring dengan pertumbuhan waktu, Ismail pun tumbuh menjadi seorang remaja yang santun. Maka, nabi Ibrahim semakin sayang dan bahkan cinta setengah mati pada Ismail. Nabi Ibrahim mencurahkan segenap jiwa dalam merawat Ismail karena dia anak yang dirindukan dan kelahiranya itu nyaris tidak diduga. Dia juga sebuah harapan bagi nabi Ibrahim untuk “meneruskan” risalah tauhid, sebongkah cinta dan juga tumpuan akan kelanjutan bagi masa depan kehidupan anak turun nabi Ibrahim.
Mimpi untuk Menyembelih Ismail
Tetapi, di tengah kebahagiaan yang melingkupi hati Ibrahim dengan kehadiran Ismail yang seiring waktu tumbuh menjadi remaja tiba-tiba turun wahyu yang dijumpai oleh nabi Ibrahim dalam sebuah mimpi yang nyaris membuatnya terguncang, "Wahai Ibrahim, taruhlah sebilah pisau di leher anakmu dan sembelihkan dia dengan tanganmu sendiri."
Saat bangun dari tidur, Ibrahim, hamba Allah yang paling setia bahkan seorang pemberontak terkemuka dalam sejarah umat manusia itu mulai goyah. Seakan hendak roboh. Tokoh besar yang tak terkalahkan dalam sejarah itu pun serasa pecah berkeping-keping. Setelah seratus tahun diangkat menjadi nabi, hidup sebagai pemimpin, berjuang melawan kaumnya yang fanatik menyembah berhala (jahiliyah), melawan penindas dan penguasa lalim, tapi mampu meraih kemenangan dan juga berhasil melakukan segala tanggung jawab, tetapi kini justru dilanda ragu. Apakah dia harus mengikuti jeritan hati dan menyelamatkan Isma`il atau mengikuti perintah Allah dan harus mengorbankan Isma`il?
Dua pilihan itu (antara cinta terhadap anak yang sudah lama dirindukan dan kebenaran di sisi Allah) berkecamuk di dada Ibrahim. Seandainya, Allah memintanya untuk mengorbankan dirinya sendiri, bukan Ismail, tentunya akan mudah menentukan sebuah pilihan. Tetapi, Allah memerintahkan nabi Ibrahim untuk mengorbankan Ismail, bukan dirinya sendiri. Itu yang membuat nabi Ibrahim ditingkupi perasaan berat dalam menentukan pilihan.
Tetapi, keraguan di dada yang tak lain akibat godaan setan itu akhirnya mampu dilampaui oleh nabi Ibrahim. Ia tidak ragu, bahwa mimpi itu perintah dari Allah yang bertujuan untuk mengingatkan nabi Ibrahim bahwa kecintaan terhadap seorang anak tak ada artinya di sisi Allah. Dengan perintah itu, dia harus melepas segala kepentingan yang menguasai pikiran dalam berkomunikasi dengan Allah, dengan ujian berat Allah memerintahkan nabi Ibrahim untuk mengorbankan Isma`il agar dia bisa berserah total terhadap apa yang perintahkan Allah. Dalam al-Qur`an Allah SWT berfirman, "Dan kehatuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah cobaan (QS al-Anfal: 28).
Dialog Antara Bapak dan Anak
Setalah merenung bahwa mimpi itu adalah pesan Allah, maka nabi Ibrahim pun pasrah pada Allah. Dengan kepasrahan itu, ia akhirnya mengambil keputusan dilandasi kemerdekaan yang mutlak dengan menaati perintah Allah, dan sudah bulat tekat untuk memberitahukan perintah tersebut kepada Ismail.
Hari yang mendebarkan itu pun tiba. Di sebuah sudut Mina yang sepi, Ibrahim akhirnya angkat bicara. Sang ayah yang memiliki rambut dan janggut sudah memutih dan sudah menjalani hidup selama seabad, sedang Isma`il, seorang anak yang baru saja tumbuh remaja (sementara ulama memperkirakan umur Ismail pada saat itu 13 tahun). Langit Semenanjung Arabia seakan berselimut dengan kabut pilu. Ibrahim merasa berat untuk menyampaikan pesan Allah tersebut.
Tapi akhirnya nabi Ibrahim memasrahkan diri pada Allah, lalu berkata, "Isma`il, anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!”
Seketika sepi. Ibrahim diam, diliputi perasaan takut. Wajahnya pucat, tak kuasa menatap mata Isma`il, anak kesayangannya. Sementara Isma`il menyadari apa yang berkecamuk dalam hati bapaknya. Ia coba menenangkan hati nabi Ibrahim, lalu berkata, "Bapakku, patuhilah dan jangan ragu-ragu untuk memenuhi perintah Allah Yang Maha Kuasa. Engkau akan mendapatiku sebagai orang yang patuh dan dengan pertolongan Allah aku dapat menanggungnya" (lihat QS. Ash-Shaaffat: 102).
Ibrahim sudah memutuskan untuk memasrahkan diri kepada Allah, tetapi rasa takut masih juga berkecamuk di dalam hati. Kendati demikian, ia sudah memasrahkan segalanya hanya kepada Allah semata. Setelah itu, nabi Ibrahim mengambil pisau dan mengasahnya dengan sebilah batu hingga tajam kemudian membawa Ismail ke tempat pengorbanan dan menyuruhnya berbaring di tanah, tentu sebelum memegangi kakinya, menggenggam rambutnya dan mendongakkan kepalanya ke belakang supaya dapat melihat urat lehernya.
Detik-detik yang mendebarkan itu pun tiba. Nabi Ibrahim berserah diri. Dengan menyebut asma Allah, lalu menempelkan pisau ke leher Ismail, berusaha memotongnya dengan cepat. Orang tua itu pun berusaha menyelesaikan prosesi penyembelihan dalam sekejap. Tapi, pisau itu ternyata tidak sanggup untuk melukai leher Isma`il. "Pisau itu menyakitiku, karena aku merasa tersiksa," erang Ismail.
Dengan diliputi amarah, nabi Ibrahim akhirnya melemparkan pisau tersebut. Dengan penuh rasa takut, ia bertanya, "Apakah aku bukan bapaknya?"
Ibrahim berdiri, mengambil pisau dan kemudian mencoba melakukan perintah Allah untuk menyembelih Isma`il. Ismail tidak diliputi rasa takut, tetap bersikap tenang, tetapi sebelum Ibrahim menyentuhnya, tiba-tiba datang seekor domba. Rupanya, Allah telah mengganti korban yang akan dilaksanakan nabi Ibrahim itu dengan seekor domba, Allah tak menghendaki Isma`il dikorbankan. Ibrahim pun tidak perlu lagi membunuh Ismail, karena Allah tak butuh apa-apa!
Akhirnya yang dikorbankan waktu itu adalah domba, bukan manusia, bukan Isma`il. Awalnya, memang Allah memerintahkan Ibrahim mengorbankan Ismail, tetapi sebelum selesai penyembelihan, perintah itu dibatalkan oleh Allah. Dengan pembatalan itu, ada bentuk penyangkalan berupa larangan untuk mengorbankan manusia kepada Tuhan. Karena waktu itu, hampir di seluruh dunia telah dikenal adanya “ritual suci” keagamaan untuk mengorbankan manusia sebagai sesaji kepada tuhan yang disembah.
Di Mesir, misalnya, ada ritual persembahan seorang gadis cantik kepada dewa sungai Nil. Beda tempat, berbeda lagi sesembahan yang dikorbankan. Di Kan`an, Irak, bukan gadis cantik yang dipersembahkan pada sesembahan mereka (dewa Baal) tetapi seorang bayi, yang berbeda dengan suku Astec --di Meksiko-- yang mempersembahkan kepada dewa matahari, berupa jantung dan darah manusia. Sementara di Eropa Timur, orang-orang Viking yang menyembah dewa perang (Odion) justru mempersembahkan pemuka agama mereka. Jadi, pembatalan Ismail untuk dikorbankan lalu diganti Allah dengan "domba" itu adalah sebuah simbul bahwa manusia memang tidak layak untuk dikorbankan karena manusia terlalu mahal untuk tindakan yang sepele itu. (n mursidi/ disarikan dari buku, Makna Haji, Ali Syariati Penerbit Zahra, Jakarta [cetakan 8], 2007)
BOX
SIAPAKAH YANG DIKORBANKAN?
Anak remaja yang dikorbankan dalam cerita ini disebutkan jelas bahwa anak itu bernama Ismail. Itu pendapat umum sebagian besar umat Islam. Tapi ada riwayat yang dinisbahkan pada beberapa sahabat Nabi yang mengatakan bahwa yang dikorbankan itu bukan Ismail, melainkan Ishaq. Al-Qurthubi --sebagaimana dikutip Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah-- menyebut tujuh nama sahabat (di antaranya adalah Umar Ibn al-Khaththab dan putra beliau Abdullah Ibnu Umar, Ali Ibn Abi Thalib, al-Abbas dan putra beliau Abdullah Ibn Abbas, Ibn Mas`ud dan juga Jabir Ibn Abdillah) yang menyatakan bahwa mereka berpendapat anak itu bukanlah Ismail, melainkan Ishaq.
Ulama yang mendukung pendapat ini berdalil, doa nabi Ibrahim itu dipanjatkan sebelum nabi Ibrahim berhijrah meninggalkan kaumnya dan Allah menegaskan dalam al-Qur`an “Maka, setelah ia (Nabi Ibrahim) menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishaq dan Ya`qub. Dan masing-masing Kami angkat menjadi Nabi (QS. Maryam [19]: 49). Selain itu, dalam surah ini dinyatakan anak itu ditebus dengan seekor sembelihan yang besar. Maka, anak yang digembirakan itu adalah Ishaq.
Thabathaba`i dan Ibn `Asyur secara tegas menolak pendapat di atas yang menyatakan bahwa yang disembelih adalah Ishaq. Ibn `Asyur mengemukakan bahwa berita yang dimaksud dalam ayat itu adalah tentang kelahiran Ismail, anak pertama. Berita itu jelas berbeda dengan “berita” yang disampaikan para malaikat sebelum mereka membinasakan kaum Luth. Di sana anak itu disifati dengan alim sedang di sini (QS. Ash-Shaaffat: 101) disifati dengan halim.
Thabathaba`i berpendapat bahwa dari redaksi ayat-ayat QS. Ash-Shaaffat tidak dapat ditepis bahwa kabar gembira tentang kehadiran anak itu adalah anak yang akan disembelih sedang berita gembira kedua secara jelas dalam teksnya menyatakan bahwa dia adalah Ishaq.
Ulama yang berpendapat bahwa yang dikorbankan Ismail, berdalih penyifatan Ismail dengan penyabar (QS. Al-Anbiya` [21]: 85). Kesabaharan dan ketepatan janji itu tercermin dalam kesediaannya disembelih dan juga kesabarannya menghadapi cobaan tersebut. Di sisi lain, Allah telah menjanjikan nabi Ibrahim bahwa Ishaq akan menjadi nabi dan dia akan dianugerahi cucu, yaitu Ya`qub (QS. Hud [11]: 71).
Lantas siapakah yang disembelih? Apakah Ismail atau Ishaq? Menurut Quraish Shihab, siapa pun anak yang dikorbankan, tetap saja “kedua anak” itu adalah orang suci dan yang lebih penting bahwa cerita tentang penyembelihan ini bertujuan menunjukkan keutamaan nabi Ibrahim; bersedia mengorbankan apa yang dicintai. Itulah yang jadi teladan (panutan) bagi umat Nabi Muhammad yang kemudian menjalankan perintah Allah untuk berqurban yang didasari dari peristiwa yang dialami oleh nabi Ibrahim ini. (n. mursidi/ M Quraish Shihab Tafsir al-Mishbah, Penerbit Lentera Hati, Jakarta; 2000)
Ujian berat itulah yang dialami nabi Ibrahim, ketika perintah Allah datang untuk mengorbankan nabi Ismail. Padahal, nabi Ismail adalah anak dari nabi Ibrahim as. yang teramat dicintai setelah seratus tahun dilanda kesepian dan nyaris tak memiliki harapan untuk bisa mempunyai anak. Di sinilah keimanan nabi Ibrahim diuji oleh Allah, setelah Allah memberi “kabar gembira” dengan kehadiran seorang anak yang lama ditunggu dan dinantikan tetapi justru kemudian jadi batu ujian berat.
Kelahiran Nabi Ismail
Tahun-tahun perjuangan nabi Ibrahim telah berlalu. Sudah seabad, dia berjuang menumbangkan kejahiliyahan nenek moyang, fanatisme kaumnya (yang menyembah berhala), melawan kekuasaan sang penindasan Namrud yang angkuh dan akhirnya dia selamat dari kobaran api yang panas. Misi agung nabi Ibrahim nyaris telah tertunaikan. Dia telah menyerukan risalah tauhid (moneteisme) di tengah sistem sosial yang dzalim dengan gemilang.
Tetapi di ujung usia Ibrahim yang sudah mulai menua itu, ternyata belum diberi anugerah keturunan. Maka, dia dilingkupi gelisah. Padahal misi agung kenabian perlu penerus dan harapan itu nyaris jauh dari kenyataan, karena istrinya (Sarah) mandul (tak subur) dan Ibrahim sudah udzur. Sementara, nabi Ibrahim tak menemukan seorang pun yang dapat diandalkan sebagai penerus kecuali nabi Luth. Karena itulah, nabi Ibrahim gelisah. Cemas dan resah.
Tak bisa diingkari, sebagai manusia, dia ingin memiliki anak untuk membuatnya bahagia. Maka, dia pun berharap bisa mendapatkan keturunan dan hanya pada Allah dia berharap besar dan tak sedikit pun diliputi putus asa. Maka, ia dengan khusuk berdoa agar diberi anak, "Tuhanku, anugerahkan kepadaku anak yang termasuk orang-orang yang shahih." (QS. Ash-Shaaffat: 100).
Allah Maha Mendengar dan mendengar doa Ibrahim. Allah memberi “ganjaran” pada orang tua tersebut untuk waktu yang telah ia gunakan dan juga penderitaan yang dialami selama bertahun-tahun dalam menyampaikan pesan Allah, dengan sebuah janji "Maka Kami memberinya kabar gembira dengan seorang anak yang amat penyantun (QS. Ash-Shaaffat: 101).
Janji Allah itu pun jadi kenyataan. Tidak lama kemudian, Ibrahim mendapatkan keturunan, karena lahir seorang anak lelaki dari Hajar, hamba sahaya perempuannya, seorang perempuan kulit hitam yang tidak cukup terhormat untuk menimbulkan rasa cemburu di hati sarah, istri pertama nabi Ibrahim. Jelas, kelahiran Isma`il itu membuat nabi Ibrahim gembira. Karena Ismail itu tak hanya anak, melainkan juga buah hati yang menghibur penderitaan Ibrahim selama seratus tahun berjuang melawan kemungkaran. Ismail itu lambang kemenangan (imbalan) bagi kehidupan nabi Ibrahim yang penuh perjuangan. Karena itu, nabi Ibrahim sangat mencintai Isma`il. Apalagi, dia adalah anak lelaki yang sudah bertahun-tahun didambakan kelahirannya oleh nabi Ibrahim.
Seiring dengan pertumbuhan waktu, Ismail pun tumbuh menjadi seorang remaja yang santun. Maka, nabi Ibrahim semakin sayang dan bahkan cinta setengah mati pada Ismail. Nabi Ibrahim mencurahkan segenap jiwa dalam merawat Ismail karena dia anak yang dirindukan dan kelahiranya itu nyaris tidak diduga. Dia juga sebuah harapan bagi nabi Ibrahim untuk “meneruskan” risalah tauhid, sebongkah cinta dan juga tumpuan akan kelanjutan bagi masa depan kehidupan anak turun nabi Ibrahim.
Mimpi untuk Menyembelih Ismail
Tetapi, di tengah kebahagiaan yang melingkupi hati Ibrahim dengan kehadiran Ismail yang seiring waktu tumbuh menjadi remaja tiba-tiba turun wahyu yang dijumpai oleh nabi Ibrahim dalam sebuah mimpi yang nyaris membuatnya terguncang, "Wahai Ibrahim, taruhlah sebilah pisau di leher anakmu dan sembelihkan dia dengan tanganmu sendiri."
Saat bangun dari tidur, Ibrahim, hamba Allah yang paling setia bahkan seorang pemberontak terkemuka dalam sejarah umat manusia itu mulai goyah. Seakan hendak roboh. Tokoh besar yang tak terkalahkan dalam sejarah itu pun serasa pecah berkeping-keping. Setelah seratus tahun diangkat menjadi nabi, hidup sebagai pemimpin, berjuang melawan kaumnya yang fanatik menyembah berhala (jahiliyah), melawan penindas dan penguasa lalim, tapi mampu meraih kemenangan dan juga berhasil melakukan segala tanggung jawab, tetapi kini justru dilanda ragu. Apakah dia harus mengikuti jeritan hati dan menyelamatkan Isma`il atau mengikuti perintah Allah dan harus mengorbankan Isma`il?
Dua pilihan itu (antara cinta terhadap anak yang sudah lama dirindukan dan kebenaran di sisi Allah) berkecamuk di dada Ibrahim. Seandainya, Allah memintanya untuk mengorbankan dirinya sendiri, bukan Ismail, tentunya akan mudah menentukan sebuah pilihan. Tetapi, Allah memerintahkan nabi Ibrahim untuk mengorbankan Ismail, bukan dirinya sendiri. Itu yang membuat nabi Ibrahim ditingkupi perasaan berat dalam menentukan pilihan.
Tetapi, keraguan di dada yang tak lain akibat godaan setan itu akhirnya mampu dilampaui oleh nabi Ibrahim. Ia tidak ragu, bahwa mimpi itu perintah dari Allah yang bertujuan untuk mengingatkan nabi Ibrahim bahwa kecintaan terhadap seorang anak tak ada artinya di sisi Allah. Dengan perintah itu, dia harus melepas segala kepentingan yang menguasai pikiran dalam berkomunikasi dengan Allah, dengan ujian berat Allah memerintahkan nabi Ibrahim untuk mengorbankan Isma`il agar dia bisa berserah total terhadap apa yang perintahkan Allah. Dalam al-Qur`an Allah SWT berfirman, "Dan kehatuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah cobaan (QS al-Anfal: 28).
Dialog Antara Bapak dan Anak
Setalah merenung bahwa mimpi itu adalah pesan Allah, maka nabi Ibrahim pun pasrah pada Allah. Dengan kepasrahan itu, ia akhirnya mengambil keputusan dilandasi kemerdekaan yang mutlak dengan menaati perintah Allah, dan sudah bulat tekat untuk memberitahukan perintah tersebut kepada Ismail.
Hari yang mendebarkan itu pun tiba. Di sebuah sudut Mina yang sepi, Ibrahim akhirnya angkat bicara. Sang ayah yang memiliki rambut dan janggut sudah memutih dan sudah menjalani hidup selama seabad, sedang Isma`il, seorang anak yang baru saja tumbuh remaja (sementara ulama memperkirakan umur Ismail pada saat itu 13 tahun). Langit Semenanjung Arabia seakan berselimut dengan kabut pilu. Ibrahim merasa berat untuk menyampaikan pesan Allah tersebut.
Tapi akhirnya nabi Ibrahim memasrahkan diri pada Allah, lalu berkata, "Isma`il, anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!”
Seketika sepi. Ibrahim diam, diliputi perasaan takut. Wajahnya pucat, tak kuasa menatap mata Isma`il, anak kesayangannya. Sementara Isma`il menyadari apa yang berkecamuk dalam hati bapaknya. Ia coba menenangkan hati nabi Ibrahim, lalu berkata, "Bapakku, patuhilah dan jangan ragu-ragu untuk memenuhi perintah Allah Yang Maha Kuasa. Engkau akan mendapatiku sebagai orang yang patuh dan dengan pertolongan Allah aku dapat menanggungnya" (lihat QS. Ash-Shaaffat: 102).
Ibrahim sudah memutuskan untuk memasrahkan diri kepada Allah, tetapi rasa takut masih juga berkecamuk di dalam hati. Kendati demikian, ia sudah memasrahkan segalanya hanya kepada Allah semata. Setelah itu, nabi Ibrahim mengambil pisau dan mengasahnya dengan sebilah batu hingga tajam kemudian membawa Ismail ke tempat pengorbanan dan menyuruhnya berbaring di tanah, tentu sebelum memegangi kakinya, menggenggam rambutnya dan mendongakkan kepalanya ke belakang supaya dapat melihat urat lehernya.
Detik-detik yang mendebarkan itu pun tiba. Nabi Ibrahim berserah diri. Dengan menyebut asma Allah, lalu menempelkan pisau ke leher Ismail, berusaha memotongnya dengan cepat. Orang tua itu pun berusaha menyelesaikan prosesi penyembelihan dalam sekejap. Tapi, pisau itu ternyata tidak sanggup untuk melukai leher Isma`il. "Pisau itu menyakitiku, karena aku merasa tersiksa," erang Ismail.
Dengan diliputi amarah, nabi Ibrahim akhirnya melemparkan pisau tersebut. Dengan penuh rasa takut, ia bertanya, "Apakah aku bukan bapaknya?"
Ibrahim berdiri, mengambil pisau dan kemudian mencoba melakukan perintah Allah untuk menyembelih Isma`il. Ismail tidak diliputi rasa takut, tetap bersikap tenang, tetapi sebelum Ibrahim menyentuhnya, tiba-tiba datang seekor domba. Rupanya, Allah telah mengganti korban yang akan dilaksanakan nabi Ibrahim itu dengan seekor domba, Allah tak menghendaki Isma`il dikorbankan. Ibrahim pun tidak perlu lagi membunuh Ismail, karena Allah tak butuh apa-apa!
Akhirnya yang dikorbankan waktu itu adalah domba, bukan manusia, bukan Isma`il. Awalnya, memang Allah memerintahkan Ibrahim mengorbankan Ismail, tetapi sebelum selesai penyembelihan, perintah itu dibatalkan oleh Allah. Dengan pembatalan itu, ada bentuk penyangkalan berupa larangan untuk mengorbankan manusia kepada Tuhan. Karena waktu itu, hampir di seluruh dunia telah dikenal adanya “ritual suci” keagamaan untuk mengorbankan manusia sebagai sesaji kepada tuhan yang disembah.
Di Mesir, misalnya, ada ritual persembahan seorang gadis cantik kepada dewa sungai Nil. Beda tempat, berbeda lagi sesembahan yang dikorbankan. Di Kan`an, Irak, bukan gadis cantik yang dipersembahkan pada sesembahan mereka (dewa Baal) tetapi seorang bayi, yang berbeda dengan suku Astec --di Meksiko-- yang mempersembahkan kepada dewa matahari, berupa jantung dan darah manusia. Sementara di Eropa Timur, orang-orang Viking yang menyembah dewa perang (Odion) justru mempersembahkan pemuka agama mereka. Jadi, pembatalan Ismail untuk dikorbankan lalu diganti Allah dengan "domba" itu adalah sebuah simbul bahwa manusia memang tidak layak untuk dikorbankan karena manusia terlalu mahal untuk tindakan yang sepele itu. (n mursidi/ disarikan dari buku, Makna Haji, Ali Syariati Penerbit Zahra, Jakarta [cetakan 8], 2007)
BOX
SIAPAKAH YANG DIKORBANKAN?
Anak remaja yang dikorbankan dalam cerita ini disebutkan jelas bahwa anak itu bernama Ismail. Itu pendapat umum sebagian besar umat Islam. Tapi ada riwayat yang dinisbahkan pada beberapa sahabat Nabi yang mengatakan bahwa yang dikorbankan itu bukan Ismail, melainkan Ishaq. Al-Qurthubi --sebagaimana dikutip Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah-- menyebut tujuh nama sahabat (di antaranya adalah Umar Ibn al-Khaththab dan putra beliau Abdullah Ibnu Umar, Ali Ibn Abi Thalib, al-Abbas dan putra beliau Abdullah Ibn Abbas, Ibn Mas`ud dan juga Jabir Ibn Abdillah) yang menyatakan bahwa mereka berpendapat anak itu bukanlah Ismail, melainkan Ishaq.
Ulama yang mendukung pendapat ini berdalil, doa nabi Ibrahim itu dipanjatkan sebelum nabi Ibrahim berhijrah meninggalkan kaumnya dan Allah menegaskan dalam al-Qur`an “Maka, setelah ia (Nabi Ibrahim) menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishaq dan Ya`qub. Dan masing-masing Kami angkat menjadi Nabi (QS. Maryam [19]: 49). Selain itu, dalam surah ini dinyatakan anak itu ditebus dengan seekor sembelihan yang besar. Maka, anak yang digembirakan itu adalah Ishaq.
Thabathaba`i dan Ibn `Asyur secara tegas menolak pendapat di atas yang menyatakan bahwa yang disembelih adalah Ishaq. Ibn `Asyur mengemukakan bahwa berita yang dimaksud dalam ayat itu adalah tentang kelahiran Ismail, anak pertama. Berita itu jelas berbeda dengan “berita” yang disampaikan para malaikat sebelum mereka membinasakan kaum Luth. Di sana anak itu disifati dengan alim sedang di sini (QS. Ash-Shaaffat: 101) disifati dengan halim.
Thabathaba`i berpendapat bahwa dari redaksi ayat-ayat QS. Ash-Shaaffat tidak dapat ditepis bahwa kabar gembira tentang kehadiran anak itu adalah anak yang akan disembelih sedang berita gembira kedua secara jelas dalam teksnya menyatakan bahwa dia adalah Ishaq.
Ulama yang berpendapat bahwa yang dikorbankan Ismail, berdalih penyifatan Ismail dengan penyabar (QS. Al-Anbiya` [21]: 85). Kesabaharan dan ketepatan janji itu tercermin dalam kesediaannya disembelih dan juga kesabarannya menghadapi cobaan tersebut. Di sisi lain, Allah telah menjanjikan nabi Ibrahim bahwa Ishaq akan menjadi nabi dan dia akan dianugerahi cucu, yaitu Ya`qub (QS. Hud [11]: 71).
Lantas siapakah yang disembelih? Apakah Ismail atau Ishaq? Menurut Quraish Shihab, siapa pun anak yang dikorbankan, tetap saja “kedua anak” itu adalah orang suci dan yang lebih penting bahwa cerita tentang penyembelihan ini bertujuan menunjukkan keutamaan nabi Ibrahim; bersedia mengorbankan apa yang dicintai. Itulah yang jadi teladan (panutan) bagi umat Nabi Muhammad yang kemudian menjalankan perintah Allah untuk berqurban yang didasari dari peristiwa yang dialami oleh nabi Ibrahim ini. (n. mursidi/ M Quraish Shihab Tafsir al-Mishbah, Penerbit Lentera Hati, Jakarta; 2000)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar