Setiap pondok pesantren, tentu dibangun dengan ciri khas dan keunikan tersendiri. Tetapi jika Anda mengunjungi pondok pesantren Istighfar yang dipimpin oleh Gus Tanto (panggilan akrab Muhammad Kuswanto), yang terletak di Jl. Purwosari Perbalan V/755 D Semarang, pasti Anda akan heran, terperangah, kaget dan nyaris tak percaya jika bangunan itu ternyata sebuah pesantren.
Dari artistik bangunan (jika dilihat dari jauh), pesantren ini memang tidak mirip bangunan pesantren pada umumnya melainkan lebih mirip sebuah klenteng. Persis di depan pondok, ada dua relief naga menempel di dinding. Juga, masih dihiasi dengan banyak lampu. Tak mengherankan saat malam tiba, pondok itu berubah menjadi terang, dipenuhi kerlap-kerlip lampu yang berwarna-warni.
Tetapi keunikan itu belumlah seberapa. Lebih unik lagi, ternyata sebagian besar jamaah (demikianl Gus Tanto menyebut santri yang singgah) di pondok dulu mantan preman. Di antara mereka dulu adalah pemabuk, penjudi, perampok dan pembunuh. Meski demikian, kini mereka sudah bertaubat dan tidak jarang terlihat khusyuk shalat, mengaji, dan menjalani puasa karena mereka itu ingin meniti jalan ke akherat.
Bermula dari Jama`ah Pengajian
Secara fisik, memang pesantren ini dibangun dua tahun lalu, tepatnya tahun 2005. Kendati demikian, aktivitas jamaah pesantren yang dipimpin putra bungsu (empat bersaudara) pasangan Siti Kustinah dan Muhammad Nasiran ini sudah berlangsung lama, sekitar 1988 bersamaan dengan kiprah Gus Tanto di dunia jalanan dan preman.
Dilahirkan dan dibesarkan di Perbalan –Semarang-- yang dikenal daerah rawan kriminalitas, Gus Tanto tentu sudah akrab dengan kehidupan preman. Karena sejarah Perbalan sejak jaman Jepang dulu sudah dikenal sebagai “sarang penyamun”, sampai diidentikan dengan “perbal”, sebagai komunitas korak. Tetapi, jejang sosial itu ternyata tidak cocok bagi Gus Tanto, sehingga sewaktu masih kecil Gus Tanto sering berkalahi dan tak jarang dikeroyok.
“Tetapi saya ini tidak menyimpan dendam, justru bersumpah suatu saat nanti akan menunjukkan pada mereka tentang kebenaran. Alhamdulillah Allah mengijinkan,” cerita Gus Tanto yang juga guru spiritual Tukul Arwana.
Dari sumpah itu, maka tahun 1988 Gus Tanto mengumpulkan teman-temannya (yang nganggur) untuk diajak berkumpul mujahadah dengan tujuan agar tak bertindak negatif. Awalnya tak lebih 4-6 orang. Tidak puas dengan komunitas yang hanya ada di lingkungan Perbalan, Gus Tanto tak keberatan saat ada orang menawarinya mengelola (sekaligus jadi keamanan) warung makan Padang di terminal Terboyo. Karena identik dengan keamanan, maka di terminal Gus Tanto harus berkenalan dengan para preman dan bahkan sempat berbenturan.
Tapi benturan itu, lambat laun berubah menjadi kebersamaan ketika Gus Tanto tak memusuhi, tetapi mengenal akrab dan bahkan memanusiakan mereka. Tidak salah, setelah kenal, timbul rasa pengertian, kebersamaan dan saat itu Gus Tanto menyebarkan (mengenalkan) kebaikan. Saat Gus Tanto pergi ke mushalla, dan ada preman yang lagi kumpul mabuk-mabukan, Gus Tanto menghampiri. ”Jadi orang yang minum tak saya jauhi, saya hampiri, saya ajak ngobrol. Sehabis shalat (biasanya) maghrib dan isya` saya mampir lagi...,” demikian cerita Gus Tanto terjun di terminal.
Dengan keyakinan itu, para preman pun kemudian memahami. Apalagi, kiprah Gus Tanto mengajak mereka tak dengan bahasa menggurui. Karena di mata Gus Tanto, dunia preman itu tidak senang diatur. Gus Tanto paham hal itu. Maka kehadiran Gus Tanto pun diterima, dan kemudian mengajak mereka bergabung mujahadah.
Dalam mujahadah itu, Gus Tanto berusaha menawarkan rasa sejuk di hati para preman. Karena di mata Gus Tanto, preman itu tak butuh bahasa ucapan, mereka butuh bahasa praktek. Dengan pendekatan itu, satu persatu dari preman di terminal Semarang merasa tersentuh dan ikut mujahadah yang sudah digelar sejah tahun 1988 di Perbalan.
Dari pengajian mujahadah (yang dulu diadakan secara bergiliran dari rumah ke rumah itu), Gus Tanto mengajarkan agama dengan bahasa yang menyentuh. “Semua itu ujung pangkalnya di hati. Sehebat apa pun preman dan setenar apa pun dia, sewaktu mengeluh –sebetulnya-- mereka merasa bosan. Kenapa? Karena dihantui keadaan tak tentram. Jadi intinya, mereka mengharap kesejukan hati. Bukan hanya cari uang, tetapi bagaimana bisa hidup damai. Mereka itu sebenarnya jenuh. Meski punya nama besar, meski uang bisa datang sendiri, toh mereka mengalami saat sendiri memikirkan tentang siapa mereka. Saat mau tidur, mereka itu dikejar-kejar dunia.”
Ada tiga hal yang ditawarkan Gus Tanto. Pertama, niat untuk berubah, tekat dan dipaksa. Dalam Islam, Gus Tanto mencontohkan empat tingkat; syariat, tarikat, hakekat dan makrifat. Tapi dalam mengenalkan kebaikan kepada preman itu, Gus Tanto dengan bahasa lain menekankan niat untuk berubah, tekat, dan dipaksa, karena dengan dipaksa baru akan menemukan hasil. Dan bagi Gus Tanto, apa yang dipraktekkan itu merujuk rasulullah bahwa tugas turun ke bumi itu untuk memperbaiki akhlak.
“Dari situlah, mujahadah yang telah dirintis sejak 1988 berlanjut dari rumah ke rumah hingga tahun 2005 Allah memberikan amanat kepada saya mendirikan pondok,” ceritanya berdirinya pondok, “Padahal saat itu, saya hanya kerja di terminal. Awalnya pun utang, tak kontan. Dari nol besar! Alhamdulillah, kebetulan ada orang yang ketemu hati kemudian menyumbang. Jadi, membangun pondok ini karena berani, apalagi saya kurang ilmu, banyak kurangnya. Saya tak bisa-bisa apa, saya hanya tahu bagaimana berbuat baik,” jelas Gus yang disebut kiai tombo ati dengan rendah hati.
Kini, pesantren Istighfar sudah berdiri. Meskipun sudah ada bangunan, bukan berarti ada jama`ah yang menetap di sana. Mereka semua itu, hanya santri kalong yang datang ke pondok jika ada acara atau lagi butuh konsultasi dengan Gus Tanto. Karena sebagian besar jamaah memang mantan preman, maka metode pun yang diajarkan jelas beda dengan pondok-pondok pesantren pada umumnya. “Saya memakai metode lain. Lebih mengajarkan bacaan yang mudah, bacaan yang biasa didengar”.
Penuh dengan Ornamen
Pesantren ini tak saja unik karena jamaah atau santrinya sebagian besar dulunya mantan preman tapi juga punya keunikan dari segi artistik bangunan. Dinding pondok menampilkan relief dua naga, tepatnya di dinding depan pesantren.
Bagi Gus Tanto, relief itu tak sekadar ornament semata, melainkan punya makna di balik semua itu. ''Naga itu simbol keangkaramurkaan. Hewan itu juga memakan apa saja termasuk bola api. Pondok ini didirikan terutama untuk persinggahan para mantan preman atau orang-orang yang pernah menempuh jalan kesesatan. Jadi, tempat ini diikhtiarkan untuk mengatasi keangkaramurkaan naga.''
Selain ornament naga ternyata masih ada ornamen lain yang unik. Salah satunya adalah tulisan yang tertera di luar dinding mushala, bertitel ''Wartel Akhirat (0.42443)". Tulisan ini, tepatnya ditulis di samping pintu masuk mushalla.
Titel ''Wartel'' itu tentu tidak sekedar asal tulis, karena dimaksud oleh Gus Tanto sebagai metafora media komunikasi antara manusia dengan Tuhan, dan deretan angka yang menyerupai nomor telpon di belakangnya adalah simbol keberadaban komunikasi itu.
''Nol itu simbol kekosongan. Sebelum shalat, kita harus mengosongkan pikiran dari semua hal yang bersifat keduniawian. Adapun arti dari angka 42443 itu jumlah rakaat shalat lima waktu, dari isya, subuh, zuhur, asar, dan magrib,'' jelas, kiai tombo ati tersebut dengan tersenyum.
Tak cuma itu, ternyata masih ada simbol dan lambang aneh, unik dan tak lazim lain, semisal lampu disko di mushalla dan lampu kerlap-kerlip di depan pondok.
Memodali Anak dengan Agama
Memang, pesantren ini dikenal “pondok mantan preman”, tetapi bukan berati dipenuhi preman dan orang-orang jalanan. Karena setiap hari (kecuali minggu), sehabis maghrib, pondok justru jadi tempat persinggahan anak-anak di sekitar pesantren yang belajar mengaji al-Qur`an. Tak kurang, 60 anak (laki-alaki dan perempuan) yang belajar al-Qur`an, dan setiap malam Kamis pondok ini baru didatangi jamaah (sebagian besar mantan pereman) untuk mengikuti mujahadah.
“Intinya malam Kamis digelar acara mujahadah (membaca asmaul husna). Mereka kumpul, saling asah, asuh dan asih, saling mengetahui dan saling tanya jawab. Adapun anak-anak mengaji setiap hari, sehabis maghrib sampai isya` kecuali minggu malam (libur). Jika anak-anak itu mulai kecil sudah dimodali agama, insyaalah moral anak-anak itu nanti akan terasah dan membekas ketika dewasa,” jelas Gus Tanto yang lebih akrab dipanggil ayah oleh anak-anak di pesantren Istighfar.
Kini, jamaah pengajian sudah komplek, tidak lagi dipenuhi mantan preman. Ada juga ibu-ibu di sekitar pesantren yang ikut bergabung. Juga, lapisan masyarakat dari berbagai strata sosial, semisal polisi, tentara, pegawai, guru, dan lain-lain.
Semalam di Pesantren Istighfar
Beberapa bulan lalu, Hidayah berkesempatan mengunjungi pesantren Istighfar dalam rangka liputan ke daerah (Semarang). Karena Hidayah datang hari Selasa, Gus Tanto pun menganjurkan untuk datang kembali hari esoknya, Rabu malam Kamis.
Saran Gus Tanto itu saya patuhi agar saya bisa bertemu dengan jamaah yang dulu pernah bergelimang di dunia maksiat. Maka, Rabu esoknya saya datang kembali ke pesantren sehabis maghrib tepat pukul 18.15 WIB. Gema anak-anak yang belajar iqra` dan al-Qur`an terdengar meriah sebelum saya menginjakkan kaki di pintu pesantren. Saat saya masuk, kemudian bertemu Gus Tanto, saya melihat di dalam pondok, anak-anak duduk khitmad belajar kitab suci sedang yang lebih besar --kelas IV-VI SD hingga SLTP-- mengaji al-Qur`an di mushalla.
Hidayah disambut ramah oleh Gus Tanto dan disuguhi makan malam.
Tidak lama kemudian, adzan isya` menggema. Tepat pukul 19.20 WIB, shalat isya` pun dimulai, dan yang menjadi imam adalah pak H. Sarbini.
Selepas isya`, jama`ah (atau disebut santri) yang sebagian besar dulunya mantan preman mulai datang. Beberapa dari mereka, belajar membaca al-Qur`an dibimbing pak Sarbini di mushala. Seiring dengan berjalannya waktu, satu per satu jamaah kemudian berkumpul. Pukul 20.30 WIB mujahadah pun dimulai, dilanjutkan dengan tausiyah oleh pak H. Sarbini.
Acara selesai pukul 22.00 WIB, dilanjutkan ramah tamah. Jamaah bercengkrama sementara Gus Tanto menerima satu-dua jamaah yang mengadukan persoalan hidup mereka. Dalam kesempatan itu, saya kenalan dengan Ahamad Solichin, Heri Sardjono dan Muhammad Santoso. Mereka tidak segan-segan bercerita tentang perjalanan hidup mereka di masa lalu, hingga sadark dan belajar di pesantren Istighfar. Malam kian larut, cerita mantan preman itu pun membuat saya tidak sadar jika hari sudah tengah malam dan pukul 01.30 WIB, saya berkesempatan mewawancarai Gus Tanto mengenai pondok Istighfar, juga seputar masa lalunya yang sempat malang melintang di jalanan, sempat jadi petinju amatir dan kini memimpin pondok.
Hingga tak terasa, hari pun sudah berganti pagi. Pukul 03.30 WIB, Gus Tanto mengajak saya makan bersama dengan jamaah, karena beberapa santri besok pagi akan menjalani puasa (yang dianjurkan oleh Gus Tanto). Sembari makan, saya bercengkrama dengan pak Sarbini dan mas Budi (bendahara pesantren) hingga adzan subuh tiba.
Usai shalat subuh berjamaah, saya pun pamit. Langkah kaki terasa berat meninggalkan pondok. Cerita mantan preman yang sadar itu telah membuat saya tersentuh. Dalam perjalanan pulang itu pun, saya hanya dapat berdoa: semoga mereka diberi keteguhan hati dan iman! (nm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar