Hampir sebagian besar umat Islam Indonesia, apalagi bagi yang belum pernah belajar bahasa Arab atau nyantri di pesantren, pasti akan berpendapat bahwa bahasa Arab adalah bahasa yang sulit dimengerti.
Karena itu tak jarang mereka berkata sulit, jika diminta untuk menerjamahkan al-Qur`an. Kesulitan itu dapat dimaklumi, lantaran huruf Arab berbeda jenis atau bentuk dengan huruf alvabet yang selama ini dikenal dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
Di sisi lain, tak sedikit pula beredar cerita santri belajar bertahun-tahun di pesantren agar bisa bahasa Arab dan menerjemahkan al-Qur`an. Bahkan, ada santri yang sudah belajar bertahun-tahun, ternyata masih saja belum mengerti bahasa Arab. Tak pelak, jika bahasa Arab itu dianggap sulit dan susah.
Tetapi kesulitan dalam memahami bahasa Arab dan menerjemahkan al-Qur`an itu, ternyata tidak berlaku bagi Solihin Bunyamin Ahmad, L.c ini. Pasalnya lelaki kelahiran Rajasinga, Indramayu ini telah menemukan metode jitu (mudah) menerjemahkan al-Qur`an. Wajar, jika biasanya santri harus belajar bahasa Arab selama 2-3 tahun atau lebih untuk menerjemahkan al-Qur`an, ternyata Solihin menemukan metode cepat --yang diberinya nama metode Granada-- hanya dalam waktu delapan (8) jam. Dengan kata lain, cara itu mengajarkan orang bisa menerjemahkan al-Qur`an hanya dalam waktu delapan (8) jam.
Benahkah itu? Dengan berseloroh, Solihin menjawab, “Memang, hampir semua orang menganggap mengada-ngada, karena seorang santri biasanya belajar 14 tahun, baru dapat mahir, tetapi metode ini mengajarkan bagaimana dalam waktu 8 jam bisa menerjemahkan al-Qur`an,. Anehnya rata-rata pada jam ke–6 dalam pelatihan saya, peserta sudah dapat menerjemahkan, bahkan kemarin ada seorang anak kelas 5 sekolah dasar lebih cepat bisa dibandingkan kakaknya yang sudah kuliah”.
Latar Belakang Penemuan Granada
Metode Gradana yang mengajarkan bagaimana dalam waktu delapan jam orang dapat menerjemahkan al-Qur`an, tentu bukan sebuah metode yang ditemukan Solihin dalam waktu yang singkat. Ada latar belakang panjang yang tidak bisa ditepis Solihin sebagai sejarah panjang penemuaan metode Granada ini. “Awal ceritanya, mungkin bisa dirunut sewaktu saya duduk di kelas 4 SD. Saat itu saya sempat membaca sebuah buku berjudul Pandai Merangkum Pelajaran. Nah, dari situ saya berlatih bagaimana buku pelajaran sekolah bisa dirangkum. Akhirnya sembilan mata pelajaran untuk waktu empat bulan (dahulu kuartal), saya rangkum. Itu bisa saya selesaikan dalam waktu dua bulan. Dari meringkas-ringkas itu lantas jadi pola pikir saya bahwa semuanya bisa diringkas. Bahkan menghapal al-Qur`an pun, saya memakai cara meringkas, saya menghapal al-Qur`an satu halaman hanya menulis huruf awalnya dari setiap ayat. Dengan begitu, ingat semuanya,” terang ayah tujuh anak ini dengan mantap.
Tetapi, pola pikir itu belum sepenuhnya menjadi cetusan awal kelahiran dari metode Granada. Justru, pemicunya terjadi sekitar tahun 1998, setelah dia bertahun-tahun mengajar bahasa Arab di sejumlah instansi dan majelis taklim, lantaran ada orang yang mengeluh, “Saya sudah belajar bahasa Arab selama 3 tahun, tetapi tetap tidak bisa-bisa juga”.
“Loh, bahasa Arab itu justru bahasa yang mudah untuk dipahami,” jawab Solihin tanpa ragu.
“Mudah bagaimana? Saya sudah belajar 3 tahun, jangankan bisa mahir bahasa Arab dan bisa menerjemahkan al-Qur`an, mengetahui kata dasar saja masih tidak tahu.”
“Wah, kalau begitu metodologinya yang salah. Untuk tahu kata dasar itu, paling-paling cuma butuh waktu sekitar lima menit. Karena, bahasa Arab itu sebenarnya bersifat exsak.”
Keluhan orang itu kemudian membawa Solihin untuk bekerja keras guna mengelompokkan semua perubahan kata. Kerja keras itu akhirnya mendapat jalan terang dari Allah, sewaktu dia pulang mengajar penerjemahan al-Qur`an di sebuah instansi untuk menyempurnakan metode yang selama ini dia pakai. “Terbayang betul di otak saya, pengelompokan itu terjadi di angkot 106 (jur. Lebak Bulus-Parung) menjelang maghrib untuk membuat awalan, akhiran dan sisipan. Karena perubahan itu, kan dari imbuhan; awalan, akhiran dan sisipan,” kata Solihin.
Akhirnya, hasil penemuan itu jadi “tabel sederhana” berupa satu lembar rumus Granada. Tebel tersebut berisi semua akhiran, sisipan dan awalan dalam bahasa Arab yang kemudian menjadi kunci utama metode delapan jam bisa menerjemahkan al-Qur`an yang diberi nama “Tabel Rumus Granada”.
Filosofi di Balik Nama Granada
Awalnya, Solihin memang tidak menamai metode temuannya itu dengan nama Granada, melainkan al-Itqan. Tetapi, setelah Solihin membuka-buka buku dan menemukan bahwa nama al-Itqan ternyata sudah banyak digunakan para ulama salaf untuk menamai kitab ilmu-ilmu al-Qur`an, akhirnya Solihin berubah pikiran dan mengganti nama al-Itqan itu dengan nama Granada.
Pemberian nama itu, menuruit Solihin atas inisiatif direktur Granada Nadia, tempat Solihin pernah menjadi penerjemah tetap di PT tersebut. “Waktu itu saya jadi penerjemah resmi PT Gradana Nadia dan direkturnya mengusulkan temuan saya itu diberi nama Gradana,” cerita Solihin yang juga berprofesi editor film dokumenter.
Dengan memberi nama metode itu dengan nama Granada, awalnya Solihin diminta untuk bergabung dengan PT Granada Nadia. Di sisi lain lantaran nama Granada itu memiliki pesan filosfis. “Sebab nama Gradana itu dimabil dari nama kota di Spanyol yang pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan Islam dan bahkan di Eropa, kebangkitan Islam melalui pintu Granada dengan dimulainya gerakan (harakatut tarjamah) buku-buku ilmu pengetahuan sedunia di masa kejayaan Islam (abad VII-XII). Dengan nama itu, diharapkan metode Granada dapat ikut serta dalam kemajuan umat Islam. Akhirnya temuan itu saya beri nama Granada dengan harapan mudah-mudah metode itu bisa memberikan sumbangsih kebangkitan Islam di Indonesia. Jadi, di balik nama itu, ada do`a agar Granada bisa memberikan sumbangsih kebangkitan Islam.”
Empat Langkah
Berawal dari keinginan untuk memberi pelatihan yang terbaik kepada peserta didik agar cepat mengerti bahasa al-Quran dan tak membuang-buang waktu, akhirnya metode Granada menjadi solusi setelah Solihin bertahun-tahun mengajar penerjemahan al-Qur`an. Sebab ia sering mendengar keluhan bahwa bahasa al-Quran susah dipahami.
Dari situlah Solihin kemudian berusaha keras untuk membuktikan bahwa al-Quran itu bahasanya mudah. Itu ditunjukkan dengan metode mudah dan cepat penerjemahan al-Qur`an dengan metode Granada yang menjamin para peserta didik bisa menerjemahkan al-Qur`an dalam waktu cuma delapan jam.
Solihin menjelaskan, teknik Granada mengajarkan empat langkah praktis sebagai sistem yang tak bisa ditawar. Langkah pertama, menguasai kompenen kalimat dalam bahasa Arab, yakni kata benda (dengan ciri-ciri diawali huruf alif dan lam, bertanwin, diawali ma, mi dan mu, menunjukkan nama, kemasukan huruf yang mengkasrahkan dan idlafat) kata kerja (dibagi menjadi tiga bagian, yakni kata kerja bentuk lampau, kata kerja bentuk sedang/akan/kebiasaan dan kata kerja bentuk perintah) dan huruf (terbagi dalam dua kategori, yakni huruf pembentuk kata dan huruf bermakna). “Biasanya pengenalan hal ini memakan waktu paling lama 1 jam setengah atau 2 jam. Tetapi kalau belum bisa baca al-Qur`an, ada sistem membaca 1 setengah jam. Jadi, butuh waktu 10 jam untuk peserta yang belum bisa membaca. Kalau sudah bisa membaca, baru belajar metode Granada,” ujarnya.
Langkah kedua, menguasai kata-kata tidak berubah (tak berakar kata), seperti huruf bermakna, kata ganti, kata penghubung dan kata tunjuk. Langkah ketiga, menguasai rumus-rumus gradana, berupa awalan, sisipan dan akhiran beserta aplikasinya. “Dalam rumus ini ada tiga kaidah. Pertama, mencari akar kata. Kedua, mengerti pola aktif dan pasif. Ketiga mengerti huruf penyakit. Padahal, huruf penyakit ini di Timur tengah dipelajari selama lima bulan semester terakhir. Jadi, bisa dibayangkan metode ini mempercepat peserta didik,” ucap penemu metode Granada ini yang dahulu pernah dijanjikan oleh Nasaruddin Umar akan dimasukkan ke dalam kurikulum di MTS tetapi entah kenapa sampai saat ini belum terealisasikan.
Keempat, praktik menerjemahkan al-Qur`an dengan dibantu alat; kamus (bahasa Arab-Indonesia), al-Qur`an terjemah Departemen Agama dan Tafsir Ibnu Katsir.
Dengan menggunakan referensi tafsir Ibnu Katsir itu, papar Solihin, karena tafsir itu standar bagi penerjemahan. Di sisi lain, Ibnu Katsir menafsirkan ayat al-Qur`an dengan ayat, juga dengan bahasa dan budaya. Selebihnya, jika ada perbedaan pendapat antara ulama, Ibnu Katsir merinci pendapat itu dengan disertai argumentasi yang menjadi titik lemah dan kuat dari pendapat ulama tersebut. Jadi, peserta didik bisa belajar banyak tentang tafsir, bahkan sampai ilmu balaghah, tentunya supaya peserta didik tidak menerjemahkan al-Qur`an dengan seenaknya tanpa ditunjang dengan ilmu dan pengetahuan.
Selain itu, setelah menyusun kamus Granada, Solihin mendapatkan satu kesimpulan, “Jika ada peserta yang sudah menterjemahkan satu juz pertama al-Qur`an, itu sama saja dengan dia meraih 70 persen bahasa Al-Qur`an. Kenapa? Karena 70 persen itu ada di juz satu dan 30 persen sisanya, ada di juz 2-30. Jadi jika ingin pinter, bersusah-susahnya tidak lama. Untuk menerjemahkan, peserta dituntut akrab dengan al-Qur`an karena Allah nantinya akan sayang padanya. Aqidah semakin mantap, wawasan semakin berkembang dan ilmu pun semakin tinggi,” jelas Solihin soal kemudahan bahasa Al-Qur`an. (n. mursidi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar