kisah qur`an ini dimuat di majalah hidayah edisi 80, april 2008
“Katakanlah (hai nabi): telah diwahyukan kepadaku bahwa sekelompok jin telah mendengarkan (al-Qur`an dengan tekun), lalu mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami telah mendengarkan bacaan yang menakjubkan. (Ia) memberi petunjuk ke jalan yang benar, maka kami beriman kepadanya dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan apa pun dengan Tuhan kami suatu apapun, dan bahwa Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami. Dia tidak mengambil seorang istri dan tidak (pula) anak (QS. al-Jinn [72]: 1-3)
Sepeninggal Khadijah dan Abu Thalib, orang-orang kafir Quraish semakin sengit memusuhi nabi. Apalagi Khadijah dan Abu Thalib selama itu jadi benteng dan pembela nabi yang cukup disegani. Maka, kepergian kedua pembela nabi itu membuat orang-orang kafir Quraish tidak lagi segan untuk bertindak kejam dan keji. Tak jarang, nabi pun dihujani dengan cacian, hinaan bahkan dilembari debu dan batu hingga wajahnya sempat bersimbah darah.
Tapi Rasulullah tetap tak mundur untuk berdakwah menyebarkan Islam. Setelah bertahun-tahun, orang-orang Quraish tuli, Rasulullah akhirnya dakwah ke Tha`if. Secara diam-diam, Rasulullah berangkat ke Tha`if bersama Zaid bin Haritsah.
Orang Thaif pun Tuli
Setiba di Tha`if, nabi langsung mendatangi tiga orang bersaudara yang tak lain pemimpin daerah Tha`if. Ketiga orang itu adalah Abdu Yalail bin Amr, Mas`ud bin Amr dan Habib bin Amr. Selain mengajak ketiga pemimpin itu untuk memeluk Islam dan meninggalkan berhala, nabi juga minta mereka membantu beliau menyebarkan risalah yang telah diwahyukan oleh Allah.
Tapi apa jawaban ketiga orang itu atas ajakan rasulullah? Ketiga orang itu justru mengejek Rasulullah. “Jika Anda benar-benar diutus Allah, tentu Anda berani menanggalkan kain penutup Ka`bah,” ejek peminpin yang pertama.
“Apa Allah tidak menemukan orang selain Anda untuk dijadikan utusan-Nya?” cela pemimpin kedua.
“Jika Anda benar-benar seorang nabi, saya tak mau mengatakan apa-apa kepada Anda, karena jika saya menolak ajakan Anda, tentu Anda akan menimpakan bahaya besar terhadap kami. Tapi, jika Anda berdusta, tidak ada sesuatu yang mengharuskan saya menyambut ajakan Anda,” jawab pemimpin ketiga.
Hati Rasulullah seperti ditusuk. Tetapi, Rasulullah tetap bersabar dan tidak membenci mereka, meskipun nabi tahu bahwa ketiga orang itu telah menutup pintu untuk diajak ke jalan hidup yang lurus. Sebelum meninggalkan ketiganya, Rasulullah hanya berpesan agar tak menceritakan kedatangan beliau ke Tha`if itu pada orang-orang Quraish dan selanjutnya Rasulullah berkeliling ke pelosok-pelosok Tha`if.
Selama kurang lebih tiga puluh hari, nabi mendatangi pemukiman warga untuk diajak memeluk Islam. Tetapi tidak ada seorang pun mau mendengarkan ajakan beliau. Sebagian besar justru menghina, mengejek, mencemooh bahkan melempari batu, hingga kaki nabi berdarah (padahal Zaid bin Haritsah sudah berusaha melindungi rasulullah). Akhirnya, nabi harus berlindung di balik tembok keliling sebuah kebun milik dua orang bersaudara (anak Rabi`ah), yakni Utbah dan Syaibah. Seraya berteduh di bawah pohon, nabi bermunajat pada Allah.
Utbah dan Syaibah yang melihat kejadian itu, merasa iba. Lantas kakak beradik itu menyuruh Adas, pembantu mereka untuk memetikkan buah anggur untuk diberikan kepada Rasulullah. Nabi menerimanya seraya menyebut asma Allah. Adas tertegun hingga mengundang rasa tahu nabi untuk bertanya, “Dari mana asal Anda dan apa agama Anda?”
“Saya beragama nasrani, berasal dari penduduk Ninawy (sebuah dusun di Maushil, Irak).”
“Itu negerinya orang shaleh, bernama Yunus bin Matta.”
“Dari manakah Anda mengenal Yunus bin Matta?”
“Dia itu saudaraku, ia seorang nabi dan aku juga nabi seperti dia.”
Seketika itu, Adas tersentuh hatinya, lantaran nabi tahu nabi terdahulu yang tak mungkin bisa dikenal jika dia bukan seorang nabi. Ia akhirnya beriman.
Jin Mendengarkan al-Qur`an
Setelah beristirahat cukup, nabi dan Zaid beranjak pulang ke Makkah. Di tengah perjalanan, nabi singgah di Nikhlah, terletak antara Tha`if dan Makkah. Saat subuh menjelang, nabi mendirikan shalat. Saat nabi melaksanakan shalat itulah, lewat sekelompok jin (berasal dari Nashibin di Yaman). Rupanya, apa yang dibaca nabi sewaktu shalat itu membuat sekelompok jin terpikat dan hati mereka pun tersentuh. Sekelompok jin itu berhenti, saling berkata satu sama lain, “Diamlah!” (lihat QS. Al-Ahqaf [46]: 29-32)
Semua diam, terbuai dengan keindahan al-Qur`an dan setelah Rasulullah selesai shalat, sekelompok jin itu pergi ke tengah kaumnya (yakni masyarakat jin) dalam keadaan sudah beriman. Lalu, di hadapan kaumnya, mereka kemudian menceritakan kejadian itu, dan bahkan mengajak kaumnya untuk beriman.
“Sesungguhnya kami telah mendengarkan bacaan yang menakjubkan. (Ia) memberi petunjuk ke jalan yang benar maka kami beriman kepadanya dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan dengan Tuhan kami suatu apapun dan bahwa Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak mengambil seorang istri dan tidak (pula) anak” (QS. al-Jinn [72]: 1-3)
Jaminan Keselamatan
Pesan Rasulullah kepada ketiga pemimpin Tha`if yang meminta supaya tak menceritakan pada orang-orang kafir Quraish tentang kedatangan beliau, ternyata tak dipegang teguh. Saat Rasulullah tiba di Makkah, berita kepergian nabi itu ternyata sudah tersebar luas. Tidak salah, kalau kaum Quraish sudah berencana untuk melancarkan serangan terhadap nabi.
Tetapi Rasulullah, tetap tak akan berhenti menyebarkan risalah kenabian dan tidak mundur. Maka, sebelum nabi memasuki kota Makkah, beliau meminta tolong kepada seseorang (asal) Makkah yang ditemuinya di tengah jalan untuk menyampaikan permintaan beliau pada Al-Akhnasy bin Syariq agar menjamin keselamatannya setiba di Makkah.
Tapi permintaan nabi itu ternyata tak disanggupi Al-Akhnasy. Kemudian Rasulullah (melului orang dari Makkah itu lagi) menyampaikan permintaan yang sama pada Suhail bin Amr. Suhail pun tidak berkenan. Akhirnya beliau meminta jaminan kepada Al-Muth`im bin Adiy. Dengan tangan terbuka, Al-Muth`im pun menyanggupi, “Ya, silahkan masuk ke Makkah!”
Rasulullah dan Zaid pun akhirnya memasuki kota Makkah dengan aman. Al-Muth`im dan beberapa saudara serta anak laki-lakinya siap untuk menjamin keselamatan beliau dengan menyelimpangkan pedang di punggung.
Setiba di Makkah, Rasulullah langsung menuju rumah beliau, sedang Al-Muth`im beserta rombongan pergi ke Ka`bah. Saat tiba di Ka`bah, Al-Muth`im melihat Abu Jahl dan orang-orang Quraish lain sedang duduk. Ketika melihat Al-Muth`im datang dengan membawa pedang di punggung, Abu Jahl dan orang-orang Quraish heran, “Apa Anda penjamin keselamatan Muhammad ataukah menjadi pengikutnya?”
“Saya bukan pengikutnya, melainkan penjamin keselamatannya.”.
Akhirnya, Abu Jahl tidak berani menerjang jaminan Al-Muth`im itu, “Kami menjamin keselamatan siapa saja yang Anda jamin keselamatannya.”
Di lain hari, Rasulullah mengunjungi Ka`bah. Saat melihat nabi berjalan ke Ka`bah, Abu Jahl dengan sinis berkata pada orang-orang yang berkerumun di Ka`bah, “Hai Bani Abdul Manaf, itulah nabi kalian datang!”
“Bukankah kau sudah mengingkari jika dari kami muncul seorang nabi atau seorang raja?” balas Utbah bin Rabi`ah.
Rasulullah mendengar ejekan itu, lalu menghampiri mereka, “Hai Utbah, engkau tidak berkepentingan melindungi kebenaran Allah dan rasul-Nya tetapi yang penting bagimu adalah menjaga keselamatan dirimu sendiri,” ucap nabi kepada Utbah.
“Sedangkan engkau hai Abu Jahl, demi Allah, tak lama lagi engkau akan menghadapi musibah besar di mana engkau akan sedikit tertawa dan banyak menangis,” kata Rasulullah kepada Abu Jahl.
“Adapun kalian semua, hai sekelompok Quraisy, tak sedikit cobaan hidup yang akan kalian hadapi hingga saat kalian terpaksa memasuki urusan yang tidak kalian sukai,” ujar nabi kepada kaum musyrik.
Sejak peristiwa itu, setiap kali musim “upacara tahunan” di Ka`bah (yang kemudian dikenal menjadi musim haji), Rasulullah mendatangi kabilah-kabilah Arab yang datang dari luar Makah untuk diajak memeluk Islam. Sebagian dari mereka, ternyata mau mendengarkan kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah dan memeluk Islam. Hingga lambat laun kaum muslim bertambah.(n mursidi)
Jin dalam al-Qur`an
Peristiwa dalam kisah itu terjadi pada tahun ke 10 atau ke 11 kenabian, sekitar tiga tahun sebelum nabi hijrah ke Madinah.
Tujuan utama dari peristiwa yang diterangkan dalam QS al-Jinn di atas, tak dapat diingari menunjukkan kemuliaan nabi Muhammad. Ajaran nabi telah melampaui jenis umat manusia, lantaran disambut baik oleh sekelompok jin. Al-Biqa`i pun berpendapat bahwa kemuliaan nabi Muhammad yang merupakan nabi pembuka dan juga penutup para nabi itu telah diberi anugerah oleh Allah mampu melunakkan hati manusia dan makhluk lain yang berbeda jenis dengan manusia, yakni jin.
Kata “jin” berasal dari akar kata “janana” berarti tersembunyi. Ia tercipta dari api (lihat QS. Ar-Rahman [55]: 15). Ulama berbeda pendapat tentang jin. Sejumlah pakar yang berpikir rasional, menolak adanya jin. Meski mereka tidak mengingkari ayat-ayat dalam al-Qur`an yang berbicara tentang jin tapi mereka memahaminya tidak dalam pengertain hakiki.
Ahmad Khan (1817-1898) memahami jin sebagai manusia yang belum berperadaban. Menurut Ahmad Khan, al-Qur`an menyebut kata “jin” sebanyak lima kali dalam konteks bantahan terhadap keyakinan kaum musyrikin dan dia berpendapat ayat-ayat tersebut tidak dapat dijadikan bukti tentang adanya jin seperti keyakinan umat Islam pada umumnya. Adapun makna ayat-ayat selain kelima ayat dalam konteks bantahan itu adalah manusia-manusia liar yang hidup di hutan-hutan atau tempat terpencil di pegunungan.
Tapi menurut pendapat al-Maududi, ulama terkemuka asal Pakistan, jika yang dimaksud jin dalam al-Qur`an itu adalah jenis manusia, maka hal itu akan menimbulkan kerancuan. Sebab menurutnya, maksud Allah menguraikan soal jin itu tak lain untuk mengikis kepercayaan Jahiliyyah.
Sedang pandangan kaum muslimin sebagaimana dijelaskan dalam buku Ensiklopedia Abad karya Muhammad Farid Wajdi, jin itu tak lain adalah makhluk yang bersifat hawa (baca: udara), atau api, berakal, dapat berbentuk dengan berbagai bentuk, mempunyai kemiripan melaksanakan pekerjaan-pekerjaan berat.
Terlepas perbedaan pendapat sejumlah ulama “tentang jin”, yang jelas ajaran nabi itu menjangkau selain umat manusia. Dengan kata lain, kisah di atas mengisyaratkan bahwa nabi juga diutus Allah kepada jin. Kendati pun bangsa jin termasuk makhluk halus dan memiliki sifat yang berbeda dengan manusia, ternyata mereka mengetahui keistemewaan al-Qur`an.
Selain dalam QS. Al-Jin, Allah juga berfirman dalam al-Qur`an Surat Al-Ahqaf [46]: 29-32, “Dan ketika Kami hadapkan kepadamu serombongan jin yang mendengarkan al-Qur`an, maka tatkala mereka menghadirinya mereka berkata, “Diamlah!” Lalu, ketika telah selesai, mereka segera kembali kepada kaumnya memberi peringatan, Mereka berkata, “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab yang telah diturunkan sesudah Musa (yang) membenarkan yang sebelumnya lagi mempimpin kepada kebenaran dan ke jalan yang lurus. Hai kaum kami, sambutlah orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Dia mengampuni buat kamu dosa-dosa kamu dan memelihara kamu dari siksa yang pedih, sedang barangsiapa yang tidak menyambut orang yang menyeru kepada Allah maka ia tidak akan melepaskan diri di muka bumi dan tidak ada baginya selain-Nya pelindung-pelindung. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.”
Perlu dicatat, bahwa riwayat yang menyatakan jin mendengar bacaan al-Qur`an nabi itu ternyata tak sedikit. Bahkan menurut M Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah mengatakan riwayat yang menyangkut peristiwa sekelompok jin mendengar bacaan nabi itu banyak dan sebagian di antaranya bertolak belakang. Kendati demikian, menurutnya, kita tidak dapat mengingkari adanya sekelompok jin yang mendengar bacaan al-Qur`an dari nabi, sebagaimana QS. al-Ahqaf dan QS. al-Jinn (n. m)
Tapi Rasulullah tetap tak mundur untuk berdakwah menyebarkan Islam. Setelah bertahun-tahun, orang-orang Quraish tuli, Rasulullah akhirnya dakwah ke Tha`if. Secara diam-diam, Rasulullah berangkat ke Tha`if bersama Zaid bin Haritsah.
Orang Thaif pun Tuli
Setiba di Tha`if, nabi langsung mendatangi tiga orang bersaudara yang tak lain pemimpin daerah Tha`if. Ketiga orang itu adalah Abdu Yalail bin Amr, Mas`ud bin Amr dan Habib bin Amr. Selain mengajak ketiga pemimpin itu untuk memeluk Islam dan meninggalkan berhala, nabi juga minta mereka membantu beliau menyebarkan risalah yang telah diwahyukan oleh Allah.
Tapi apa jawaban ketiga orang itu atas ajakan rasulullah? Ketiga orang itu justru mengejek Rasulullah. “Jika Anda benar-benar diutus Allah, tentu Anda berani menanggalkan kain penutup Ka`bah,” ejek peminpin yang pertama.
“Apa Allah tidak menemukan orang selain Anda untuk dijadikan utusan-Nya?” cela pemimpin kedua.
“Jika Anda benar-benar seorang nabi, saya tak mau mengatakan apa-apa kepada Anda, karena jika saya menolak ajakan Anda, tentu Anda akan menimpakan bahaya besar terhadap kami. Tapi, jika Anda berdusta, tidak ada sesuatu yang mengharuskan saya menyambut ajakan Anda,” jawab pemimpin ketiga.
Hati Rasulullah seperti ditusuk. Tetapi, Rasulullah tetap bersabar dan tidak membenci mereka, meskipun nabi tahu bahwa ketiga orang itu telah menutup pintu untuk diajak ke jalan hidup yang lurus. Sebelum meninggalkan ketiganya, Rasulullah hanya berpesan agar tak menceritakan kedatangan beliau ke Tha`if itu pada orang-orang Quraish dan selanjutnya Rasulullah berkeliling ke pelosok-pelosok Tha`if.
Selama kurang lebih tiga puluh hari, nabi mendatangi pemukiman warga untuk diajak memeluk Islam. Tetapi tidak ada seorang pun mau mendengarkan ajakan beliau. Sebagian besar justru menghina, mengejek, mencemooh bahkan melempari batu, hingga kaki nabi berdarah (padahal Zaid bin Haritsah sudah berusaha melindungi rasulullah). Akhirnya, nabi harus berlindung di balik tembok keliling sebuah kebun milik dua orang bersaudara (anak Rabi`ah), yakni Utbah dan Syaibah. Seraya berteduh di bawah pohon, nabi bermunajat pada Allah.
Utbah dan Syaibah yang melihat kejadian itu, merasa iba. Lantas kakak beradik itu menyuruh Adas, pembantu mereka untuk memetikkan buah anggur untuk diberikan kepada Rasulullah. Nabi menerimanya seraya menyebut asma Allah. Adas tertegun hingga mengundang rasa tahu nabi untuk bertanya, “Dari mana asal Anda dan apa agama Anda?”
“Saya beragama nasrani, berasal dari penduduk Ninawy (sebuah dusun di Maushil, Irak).”
“Itu negerinya orang shaleh, bernama Yunus bin Matta.”
“Dari manakah Anda mengenal Yunus bin Matta?”
“Dia itu saudaraku, ia seorang nabi dan aku juga nabi seperti dia.”
Seketika itu, Adas tersentuh hatinya, lantaran nabi tahu nabi terdahulu yang tak mungkin bisa dikenal jika dia bukan seorang nabi. Ia akhirnya beriman.
Jin Mendengarkan al-Qur`an
Setelah beristirahat cukup, nabi dan Zaid beranjak pulang ke Makkah. Di tengah perjalanan, nabi singgah di Nikhlah, terletak antara Tha`if dan Makkah. Saat subuh menjelang, nabi mendirikan shalat. Saat nabi melaksanakan shalat itulah, lewat sekelompok jin (berasal dari Nashibin di Yaman). Rupanya, apa yang dibaca nabi sewaktu shalat itu membuat sekelompok jin terpikat dan hati mereka pun tersentuh. Sekelompok jin itu berhenti, saling berkata satu sama lain, “Diamlah!” (lihat QS. Al-Ahqaf [46]: 29-32)
Semua diam, terbuai dengan keindahan al-Qur`an dan setelah Rasulullah selesai shalat, sekelompok jin itu pergi ke tengah kaumnya (yakni masyarakat jin) dalam keadaan sudah beriman. Lalu, di hadapan kaumnya, mereka kemudian menceritakan kejadian itu, dan bahkan mengajak kaumnya untuk beriman.
“Sesungguhnya kami telah mendengarkan bacaan yang menakjubkan. (Ia) memberi petunjuk ke jalan yang benar maka kami beriman kepadanya dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan dengan Tuhan kami suatu apapun dan bahwa Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak mengambil seorang istri dan tidak (pula) anak” (QS. al-Jinn [72]: 1-3)
Jaminan Keselamatan
Pesan Rasulullah kepada ketiga pemimpin Tha`if yang meminta supaya tak menceritakan pada orang-orang kafir Quraish tentang kedatangan beliau, ternyata tak dipegang teguh. Saat Rasulullah tiba di Makkah, berita kepergian nabi itu ternyata sudah tersebar luas. Tidak salah, kalau kaum Quraish sudah berencana untuk melancarkan serangan terhadap nabi.
Tetapi Rasulullah, tetap tak akan berhenti menyebarkan risalah kenabian dan tidak mundur. Maka, sebelum nabi memasuki kota Makkah, beliau meminta tolong kepada seseorang (asal) Makkah yang ditemuinya di tengah jalan untuk menyampaikan permintaan beliau pada Al-Akhnasy bin Syariq agar menjamin keselamatannya setiba di Makkah.
Tapi permintaan nabi itu ternyata tak disanggupi Al-Akhnasy. Kemudian Rasulullah (melului orang dari Makkah itu lagi) menyampaikan permintaan yang sama pada Suhail bin Amr. Suhail pun tidak berkenan. Akhirnya beliau meminta jaminan kepada Al-Muth`im bin Adiy. Dengan tangan terbuka, Al-Muth`im pun menyanggupi, “Ya, silahkan masuk ke Makkah!”
Rasulullah dan Zaid pun akhirnya memasuki kota Makkah dengan aman. Al-Muth`im dan beberapa saudara serta anak laki-lakinya siap untuk menjamin keselamatan beliau dengan menyelimpangkan pedang di punggung.
Setiba di Makkah, Rasulullah langsung menuju rumah beliau, sedang Al-Muth`im beserta rombongan pergi ke Ka`bah. Saat tiba di Ka`bah, Al-Muth`im melihat Abu Jahl dan orang-orang Quraish lain sedang duduk. Ketika melihat Al-Muth`im datang dengan membawa pedang di punggung, Abu Jahl dan orang-orang Quraish heran, “Apa Anda penjamin keselamatan Muhammad ataukah menjadi pengikutnya?”
“Saya bukan pengikutnya, melainkan penjamin keselamatannya.”.
Akhirnya, Abu Jahl tidak berani menerjang jaminan Al-Muth`im itu, “Kami menjamin keselamatan siapa saja yang Anda jamin keselamatannya.”
Di lain hari, Rasulullah mengunjungi Ka`bah. Saat melihat nabi berjalan ke Ka`bah, Abu Jahl dengan sinis berkata pada orang-orang yang berkerumun di Ka`bah, “Hai Bani Abdul Manaf, itulah nabi kalian datang!”
“Bukankah kau sudah mengingkari jika dari kami muncul seorang nabi atau seorang raja?” balas Utbah bin Rabi`ah.
Rasulullah mendengar ejekan itu, lalu menghampiri mereka, “Hai Utbah, engkau tidak berkepentingan melindungi kebenaran Allah dan rasul-Nya tetapi yang penting bagimu adalah menjaga keselamatan dirimu sendiri,” ucap nabi kepada Utbah.
“Sedangkan engkau hai Abu Jahl, demi Allah, tak lama lagi engkau akan menghadapi musibah besar di mana engkau akan sedikit tertawa dan banyak menangis,” kata Rasulullah kepada Abu Jahl.
“Adapun kalian semua, hai sekelompok Quraisy, tak sedikit cobaan hidup yang akan kalian hadapi hingga saat kalian terpaksa memasuki urusan yang tidak kalian sukai,” ujar nabi kepada kaum musyrik.
Sejak peristiwa itu, setiap kali musim “upacara tahunan” di Ka`bah (yang kemudian dikenal menjadi musim haji), Rasulullah mendatangi kabilah-kabilah Arab yang datang dari luar Makah untuk diajak memeluk Islam. Sebagian dari mereka, ternyata mau mendengarkan kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah dan memeluk Islam. Hingga lambat laun kaum muslim bertambah.(n mursidi)
Jin dalam al-Qur`an
Peristiwa dalam kisah itu terjadi pada tahun ke 10 atau ke 11 kenabian, sekitar tiga tahun sebelum nabi hijrah ke Madinah.
Tujuan utama dari peristiwa yang diterangkan dalam QS al-Jinn di atas, tak dapat diingari menunjukkan kemuliaan nabi Muhammad. Ajaran nabi telah melampaui jenis umat manusia, lantaran disambut baik oleh sekelompok jin. Al-Biqa`i pun berpendapat bahwa kemuliaan nabi Muhammad yang merupakan nabi pembuka dan juga penutup para nabi itu telah diberi anugerah oleh Allah mampu melunakkan hati manusia dan makhluk lain yang berbeda jenis dengan manusia, yakni jin.
Kata “jin” berasal dari akar kata “janana” berarti tersembunyi. Ia tercipta dari api (lihat QS. Ar-Rahman [55]: 15). Ulama berbeda pendapat tentang jin. Sejumlah pakar yang berpikir rasional, menolak adanya jin. Meski mereka tidak mengingkari ayat-ayat dalam al-Qur`an yang berbicara tentang jin tapi mereka memahaminya tidak dalam pengertain hakiki.
Ahmad Khan (1817-1898) memahami jin sebagai manusia yang belum berperadaban. Menurut Ahmad Khan, al-Qur`an menyebut kata “jin” sebanyak lima kali dalam konteks bantahan terhadap keyakinan kaum musyrikin dan dia berpendapat ayat-ayat tersebut tidak dapat dijadikan bukti tentang adanya jin seperti keyakinan umat Islam pada umumnya. Adapun makna ayat-ayat selain kelima ayat dalam konteks bantahan itu adalah manusia-manusia liar yang hidup di hutan-hutan atau tempat terpencil di pegunungan.
Tapi menurut pendapat al-Maududi, ulama terkemuka asal Pakistan, jika yang dimaksud jin dalam al-Qur`an itu adalah jenis manusia, maka hal itu akan menimbulkan kerancuan. Sebab menurutnya, maksud Allah menguraikan soal jin itu tak lain untuk mengikis kepercayaan Jahiliyyah.
Sedang pandangan kaum muslimin sebagaimana dijelaskan dalam buku Ensiklopedia Abad karya Muhammad Farid Wajdi, jin itu tak lain adalah makhluk yang bersifat hawa (baca: udara), atau api, berakal, dapat berbentuk dengan berbagai bentuk, mempunyai kemiripan melaksanakan pekerjaan-pekerjaan berat.
Terlepas perbedaan pendapat sejumlah ulama “tentang jin”, yang jelas ajaran nabi itu menjangkau selain umat manusia. Dengan kata lain, kisah di atas mengisyaratkan bahwa nabi juga diutus Allah kepada jin. Kendati pun bangsa jin termasuk makhluk halus dan memiliki sifat yang berbeda dengan manusia, ternyata mereka mengetahui keistemewaan al-Qur`an.
Selain dalam QS. Al-Jin, Allah juga berfirman dalam al-Qur`an Surat Al-Ahqaf [46]: 29-32, “Dan ketika Kami hadapkan kepadamu serombongan jin yang mendengarkan al-Qur`an, maka tatkala mereka menghadirinya mereka berkata, “Diamlah!” Lalu, ketika telah selesai, mereka segera kembali kepada kaumnya memberi peringatan, Mereka berkata, “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab yang telah diturunkan sesudah Musa (yang) membenarkan yang sebelumnya lagi mempimpin kepada kebenaran dan ke jalan yang lurus. Hai kaum kami, sambutlah orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Dia mengampuni buat kamu dosa-dosa kamu dan memelihara kamu dari siksa yang pedih, sedang barangsiapa yang tidak menyambut orang yang menyeru kepada Allah maka ia tidak akan melepaskan diri di muka bumi dan tidak ada baginya selain-Nya pelindung-pelindung. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.”
Perlu dicatat, bahwa riwayat yang menyatakan jin mendengar bacaan al-Qur`an nabi itu ternyata tak sedikit. Bahkan menurut M Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah mengatakan riwayat yang menyangkut peristiwa sekelompok jin mendengar bacaan nabi itu banyak dan sebagian di antaranya bertolak belakang. Kendati demikian, menurutnya, kita tidak dapat mengingkari adanya sekelompok jin yang mendengar bacaan al-Qur`an dari nabi, sebagaimana QS. al-Ahqaf dan QS. al-Jinn (n. m)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar