
Dalam setiap prosesi pernikahan, kata mahar sudah bukan lagi sesuatu yang asing di pendengaran kita. Sebab, hampir di setiap acara pernikahan yang kita hadiri, kita acapkali menyaksikan penyerahan mahar dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan. Fenomena itu hampir tak bisa diingkari, karena mahar dalam fiqh disebut sebagai “sesuatu yang wajib dibayar” mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan disebabkan akad nikah atau senggama.
Tak salah, kalau mahar selalu menyertai akad nikah. Yang hadir pun tahu tentang jenis dan jumlah mahar yang diberikan karena biasanya disebutkan dengan jelas. Selain itu, ada kalanya juga sang mempelai laki-laki memberikan mahar dalam bentuk barang dan tak jarang ada yang berupa uang tunai. Kendati demikian, tidak bisa disangkal jika tiap daerah memiliki standar sendiri mengenai jenis dan jumlah mahar yang diberikan itu.
Dalam buku Ensiklopedia Hukum Islam diterangkan, mahar itu adalah pemberian wajib berupa “uang atau barang” dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah. Sebab, mahar memang merupakan salah satu unsur penting dalam proses penikahan. Dalam kasus ini, Allah berfirman di dalam al-Qur`an, “Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (QS. An-nisa`: 4).
Ayat lain yang menerangkan hal itu juga terdapat dalam surat an-Nisa` ayat 24-25 dan surat al-Maidah ayat 5. Juga dalam sebuah hadits, Rasulullah saw pernah mengatakan kepada seseorang yang ingin menikah, “Beri maharnya sekalipun sebentuk cincin dari besi…” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad bin Hanbal).
Lantas, apa syarat mahar itu? Ada tiga syarat mahar yang dikemukan ulama fiqh. Pertama, benda yang boleh dimiliki dan halal diperjualbelikan. Di sini, “barang haram” jelas tak boleh dijadikan mahar. Sebab barang itu tidak halal untuk diperjualbelikan. Kedua, mahar itu jelas jenis dan jumlahnya. Ketiga, tak terdapat unsur tipuan.
Yang perlu dipahami di sini adalah ulama fiqih berpendapat bahwa sekali pun mahar itu wajib dibayarkan, namun mahar bukan salah satu rukun/syarat pernikahan. Artinya, mahar itu hanyalah sekedar akibat dari adanya akad nikah. Karena itulah ulama fiqih berpendapat, sekalipun suatu pernikahan tanpa mahar, toh itu tetap sah. Pendapat ini didasarkan firman Allah, “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menemukan maharnya…” (QS. Al-Baqarah: 236).
Dalam hal ini, kebolehan talak sebelum campur dan sebelum ditemukannya mahar, dijadikan alasan bahwa mahar itu tidak termasuk rukun dan tidak sebagai salah satu syaratnya nikah. Tak pelak, jika memang suami-istri setuju untuk melangsungkan pernikahan tanpa ada mahar, maka pernikahan itu tetap sah.
Tetapi jumhur ulama tetap mewajibkan mahar, yaitu mahar al-misl (mahar yang jumlah, bentuk dan jenisnya ditetapkan sesuai yang berlaku di daerah tersebut). Tak salah jika antara satu daerah dengan daerah yang lain, jumlah, bentuk dan jenis maharnya bisa berbeda. Hal itu, dikarenakan nash tak menentukan jumlah mahar yang harus dibayarkan seorang suami terhadap istrinya. Hal ini didasarkan firman Allah, “Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka yang banyak, janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun…” (QS. An-nisa`: 20).
Tapi ulama fiqh sepakat menyederhanakan mahar karena nabi pernah bersabda, “Nikah yang paling besar berkatnya adalah yang paling sedikit maharnya.” (HR. Ahmad Hanbal). Dalam hadits lain juga disebutkan, “Mahar yang paling baik adalah yang sedikit” (HR. Abu Dawud dan al-Hakim). Kendati demikian, ulama fiqih berbeda pendapat dalam membicarakan mahar paling rendah dan berbeda dengan mazhab yang lain, menurut mazhab Syafi`i dan Hanbali menyatakan tak ada batas minimal mahar itu.
Sedangkan untuk kriteria mahar, ulama fiqh berbeda pendapat. Mazhab Hanafi, misalnya, memberikan kriteria dengan “setiap harta yang bernilai bagi umat Islam dalam jumlah yang jelas serta dapat dibayarkan.” Berdasarkan kriteria itu, tak ada alasan untuk menolak jika benda maupun manfaat atau jasa dijadikan mahar. Dalam konteks manfaat atau jasa itu bisa seperti “mengajar ayat-ayat al-Qur`an kepada istri”. Namun, menurut sebagian ulama Hanafi hal itu tidak sah dan menurut ulama lainnya, boleh-boleh saja.
Ulama Mazhab Maliki memberikan kriteria harta yang dapat dijadikan mahar dengan “setiap harta yang diminati manusia dan dihalalkan syara’ atau hukum Islam (seperti barang dagangan, hewan, uang dan benda tak bergerak) yang bermanfaat, jelas jenis dan ukurannya, mampu dibayarkan serta suci. Sedang ulama Mazhab Syafi`i dan Hanbali memberikan kriteria dengan “setiap yang sah dan diperjualbelikan, sah pula dijadikan mahar apabila jelas ukurannya, mampu dibayarkan baik secara tunai maupun utang, baik berbentuk benda, pekerjaan maupun manfaat tertentu”.
Karena itu, mengajarkan al-Qur`an dan ilmu yang bermanfaat boleh dijadikan mahar. Alasan yang mereka kemukakan adalah satu kasus perkawinan Nabi Musa as. dengan putri Syu`aib as. yang maharnya menggembala kambing. Juga didasarkan sabda nabi saat menikahkan sahabat yang menjadikan mengajarkan al-Qur`an kepada wanita yang dikawininya sebagai mahar (HR. al-Bukhari, Muslim dan Ahmad bin Hanbal).
Soal bentuk mahar, ada dua hal yang dikemukan ahli fiqh. Pertama, mahar al-musamma, yakni mahar yang dinyatakan secara jelas dalam akad. Termasuk dalam mahar al-musamma adalah sesuatu yang diberikan sang suami kepada istrinya sebelum dan sesudah perhelatan perkawinan seperti pakaian pengantin sesuai adat istiadat yang berlaku. Kedua, mahar al-misl. Dalam menentukan mahar al-misl ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh.
Akhirnya, yang patut dicatat di sini adalah mahar itu sesuatu yang wajib dibayar suami kepada istri dikarenakan akad nikah atau sanggama. Sebab, jika belum campur dan mahar itu masih dalam tanggungan utang, maka mahar itu pun tak wajib dibayar. Meski demikian, mahar bisa diartikan sesuatu yang wajib dibayar karena akad nikah atau senggama, namun ia tak menjadi syarat/rukun pernikahan. (Nur Mursidi)
Tak salah, kalau mahar selalu menyertai akad nikah. Yang hadir pun tahu tentang jenis dan jumlah mahar yang diberikan karena biasanya disebutkan dengan jelas. Selain itu, ada kalanya juga sang mempelai laki-laki memberikan mahar dalam bentuk barang dan tak jarang ada yang berupa uang tunai. Kendati demikian, tidak bisa disangkal jika tiap daerah memiliki standar sendiri mengenai jenis dan jumlah mahar yang diberikan itu.
Dalam buku Ensiklopedia Hukum Islam diterangkan, mahar itu adalah pemberian wajib berupa “uang atau barang” dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah. Sebab, mahar memang merupakan salah satu unsur penting dalam proses penikahan. Dalam kasus ini, Allah berfirman di dalam al-Qur`an, “Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (QS. An-nisa`: 4).
Ayat lain yang menerangkan hal itu juga terdapat dalam surat an-Nisa` ayat 24-25 dan surat al-Maidah ayat 5. Juga dalam sebuah hadits, Rasulullah saw pernah mengatakan kepada seseorang yang ingin menikah, “Beri maharnya sekalipun sebentuk cincin dari besi…” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad bin Hanbal).
Lantas, apa syarat mahar itu? Ada tiga syarat mahar yang dikemukan ulama fiqh. Pertama, benda yang boleh dimiliki dan halal diperjualbelikan. Di sini, “barang haram” jelas tak boleh dijadikan mahar. Sebab barang itu tidak halal untuk diperjualbelikan. Kedua, mahar itu jelas jenis dan jumlahnya. Ketiga, tak terdapat unsur tipuan.
Yang perlu dipahami di sini adalah ulama fiqih berpendapat bahwa sekali pun mahar itu wajib dibayarkan, namun mahar bukan salah satu rukun/syarat pernikahan. Artinya, mahar itu hanyalah sekedar akibat dari adanya akad nikah. Karena itulah ulama fiqih berpendapat, sekalipun suatu pernikahan tanpa mahar, toh itu tetap sah. Pendapat ini didasarkan firman Allah, “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menemukan maharnya…” (QS. Al-Baqarah: 236).
Dalam hal ini, kebolehan talak sebelum campur dan sebelum ditemukannya mahar, dijadikan alasan bahwa mahar itu tidak termasuk rukun dan tidak sebagai salah satu syaratnya nikah. Tak pelak, jika memang suami-istri setuju untuk melangsungkan pernikahan tanpa ada mahar, maka pernikahan itu tetap sah.
Tetapi jumhur ulama tetap mewajibkan mahar, yaitu mahar al-misl (mahar yang jumlah, bentuk dan jenisnya ditetapkan sesuai yang berlaku di daerah tersebut). Tak salah jika antara satu daerah dengan daerah yang lain, jumlah, bentuk dan jenis maharnya bisa berbeda. Hal itu, dikarenakan nash tak menentukan jumlah mahar yang harus dibayarkan seorang suami terhadap istrinya. Hal ini didasarkan firman Allah, “Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka yang banyak, janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun…” (QS. An-nisa`: 20).
Tapi ulama fiqh sepakat menyederhanakan mahar karena nabi pernah bersabda, “Nikah yang paling besar berkatnya adalah yang paling sedikit maharnya.” (HR. Ahmad Hanbal). Dalam hadits lain juga disebutkan, “Mahar yang paling baik adalah yang sedikit” (HR. Abu Dawud dan al-Hakim). Kendati demikian, ulama fiqih berbeda pendapat dalam membicarakan mahar paling rendah dan berbeda dengan mazhab yang lain, menurut mazhab Syafi`i dan Hanbali menyatakan tak ada batas minimal mahar itu.
Sedangkan untuk kriteria mahar, ulama fiqh berbeda pendapat. Mazhab Hanafi, misalnya, memberikan kriteria dengan “setiap harta yang bernilai bagi umat Islam dalam jumlah yang jelas serta dapat dibayarkan.” Berdasarkan kriteria itu, tak ada alasan untuk menolak jika benda maupun manfaat atau jasa dijadikan mahar. Dalam konteks manfaat atau jasa itu bisa seperti “mengajar ayat-ayat al-Qur`an kepada istri”. Namun, menurut sebagian ulama Hanafi hal itu tidak sah dan menurut ulama lainnya, boleh-boleh saja.
Ulama Mazhab Maliki memberikan kriteria harta yang dapat dijadikan mahar dengan “setiap harta yang diminati manusia dan dihalalkan syara’ atau hukum Islam (seperti barang dagangan, hewan, uang dan benda tak bergerak) yang bermanfaat, jelas jenis dan ukurannya, mampu dibayarkan serta suci. Sedang ulama Mazhab Syafi`i dan Hanbali memberikan kriteria dengan “setiap yang sah dan diperjualbelikan, sah pula dijadikan mahar apabila jelas ukurannya, mampu dibayarkan baik secara tunai maupun utang, baik berbentuk benda, pekerjaan maupun manfaat tertentu”.
Karena itu, mengajarkan al-Qur`an dan ilmu yang bermanfaat boleh dijadikan mahar. Alasan yang mereka kemukakan adalah satu kasus perkawinan Nabi Musa as. dengan putri Syu`aib as. yang maharnya menggembala kambing. Juga didasarkan sabda nabi saat menikahkan sahabat yang menjadikan mengajarkan al-Qur`an kepada wanita yang dikawininya sebagai mahar (HR. al-Bukhari, Muslim dan Ahmad bin Hanbal).
Soal bentuk mahar, ada dua hal yang dikemukan ahli fiqh. Pertama, mahar al-musamma, yakni mahar yang dinyatakan secara jelas dalam akad. Termasuk dalam mahar al-musamma adalah sesuatu yang diberikan sang suami kepada istrinya sebelum dan sesudah perhelatan perkawinan seperti pakaian pengantin sesuai adat istiadat yang berlaku. Kedua, mahar al-misl. Dalam menentukan mahar al-misl ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh.
Akhirnya, yang patut dicatat di sini adalah mahar itu sesuatu yang wajib dibayar suami kepada istri dikarenakan akad nikah atau sanggama. Sebab, jika belum campur dan mahar itu masih dalam tanggungan utang, maka mahar itu pun tak wajib dibayar. Meski demikian, mahar bisa diartikan sesuatu yang wajib dibayar karena akad nikah atau senggama, namun ia tak menjadi syarat/rukun pernikahan. (Nur Mursidi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar